"Bi Tin?"Lirih suara Bu Dahlia memanggil. Dia merasa agak aneh dengan tingkah tetangganya yang satu itu. Bu Dahlia pikir, Bi Tin sudah kembali ke rumah yang sengaja disewa oleh Najwa untuk ditempati oleh Bi Tin dan beberapa tetangga lain selama beberapa hari mereka tinggal di kota. Namun, ternyata belum."Eh, Bu Dahlia?" sahut Bi Tin agak salah tingkah.Dia pikir, Bu Dahlia sedang berada dihalaman belakang dan tak mungkin bisa mendengar suaranya. Namun, ternyata dia salah."Ngapain Bi Tin ada di sini?" tanya Bu Dahlia dengan mata memicing curiga. "Kenapa belum pulang ke rumah sewa?" lanjutnya."Maaf, Bu Dahlia. Tadinya, saya sudah ingin pulang. Tapi... ada barang saya yang ketinggalan sehingga saya terpaksa harus kembali ke sini." Wanita tua itu berusaha mengarang alasan."Terus... kenapa Bi Tin malah gedor-gedor pintu kamar Najwa? Memangnya, Bi Tin ada perlu dengan Najwa?""Ah, itu...," Bi Tin terlihat gugup. Dia meremas jarinya sambil menoleh ke arah lain. "Sa-saya cuma mau ingeti
"Kenapa, memangnya?" tanya Deva."Udah aku bilang, nggak usah aneh-aneh. Sana, siap-siap! Jangan lama! Bapak nungguin, loh.""Iya, iya. Galak amat, sih? Padahal, aku cuma pengen berbuat baik, loh. Aku cuma mau bantuin kamu mandi biar cepat selesai.""Nggak usah. Kalau dibantu sama Mas Deva, yang ada nanti malah makin lama aku mandinya." Bibir Najwa cemberut."Oh, ya? Emangnya, bisa gitu?"Najwa tergeragap. Dia tak tahu harus berkata seperti apa."Ish!! Mas Deva nyebelin."Blam!Pintu kamar mandi ditutup sedikit keras oleh Najwa. Bukannya tersinggung, Deva malah tertawa senang.Sementara, Najwa yang berada dibalik pintu kamar mandi, sedang berusaha menetralkan detak jantungnya. Perut sixpack dan lengan berotot milik Deva, terus terbayang dalam benaknya."Astaghfirullah!! Kenapa aku mendadak mesum kayak gini, sih?" gerutu Najwa.Wanita itu mengulum senyum. Tak lama kemudian, dia menggeleng pelan lalu berjalan menuju ke pancuran air untuk membasuh tubuhnya.*"Apa anak itu sudah mau men
"Ya sudah kalau begitu. Kita bicarakan dulu masalah ini dengan Intan."Akhirnya, Pak Unang melunak. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mencoba mengikuti saran yang diutarakan oleh sang istri.Sambil berjalan beriringan, sepasang suami-istri berusia paruh baya itu berjalan kembali menuju ke arah kamar putri mereka. Tiba didepan pintu, keduanya sama-sama berdiri lalu saling berpandangan."Mama saja yang masuk duluan," ujar Pak Unang sambil membuang muka ke arah lain.Bu Sephia menghela napas dalam. Ya, dia mengerti jika sang suami pasti masih sulit untuk meredakan kemarahan dan rasa kecewa terhadap putri mereka."Nggak bisa, Pa," kata Bu Sephia. Dia sudah berulangkali mencoba untuk memutar gagang pintu itu namun pintu didepan mereka tetap saja tidak dapat dibuka."Intan! Ini Mama sama Papa, Sayang! Tolong, buka pintunya!" teriak Bu Sephia sambil berusaha mengetuk-ngetuk pintu kamar Intan."Coba lebih keras lagi, Ma!" titah Pak Unang saat tak ada jawaban apapun dari dalam sana."Intan!!
"Assalamualaikum!""Waalaikum salam," jawab Najwa yang kebetulan bertugas membukakan pintu.Bi Iroh dan Bu Dahlia sedang sibuk di dapur."Ibu mana, Wa?" tanya Pak Haris saat Najwa mencium tangannya."Lagi di dapur sama Bi Iroh, Pak.""Oh," Pak Haris mengangguk kemudian melangkah menuju ke dapur."Sayang...," panggil Deva.Sambil tersipu malu, Najwa mendekati pria itu kemudian mencium punggung tangannya dengan takzim. Deva membalasnya dengan mencium kening Najwa agak lama."Kamu cantik dengan rambut digerai seperti itu, Sayang!" puji Deva.Ya, memang Najwa sedang tak mengenakan jilbabnya. Toh, buat apa? Bukankah yang ada di rumah itu adalah mahramnya semua? Termasuk... pria tampan yang baru tadi pagi sah menjadi suaminya itu."Terimakasih, Mas!" timpal Najwa sambil tertunduk malu."Wa... panggil Deva makan dulu, Sayang!" teriak Bu Dahlia yang sontak membuat pasangan pengantin baru itu terperanjat kaget."I-iya, Bu," jawab Najwa. "Mas, kamu langsung ganti baju, ya! Habis itu, kita makan
"Baik, kami akan bantu," angguk Pak Haris setuju. "Deva, tolong kamu keluarkan mobil ya, Nak! Biar Bapak sama Pak Unang yang mengangkat Intan dari dalam rumah." "Iya, Pak," angguk Deva yang langsung bergerak cepat menuju kembali ke rumah. Tepat didepan teras, dia berpapasan dengan sang istri. "Mas, ada apa sebenarnya?" tanya Najwa penasaran. "Intan... dia melakukan percobaan bunuh diri. Kita harus segera mengantarnya ke rumah sakit sebelum nyawanya benar-benar tak bisa tertolong," jawab Deva dengan wajah tegang. "Innalilahi...jadi, gimana?" "Mas boleh pinjam mobil kamu, Sayang?" tanya Deva. "Soalnya... Mas harus antar dia ke rumah sakit. Kasihan, Papanya. Beliau nggak bisa ngapa-ngapain saking syoknya." "Iya, Mas. Boleh. Tunggu sebentar, ya! Aku ambil kuncinya dulu di kamar," angguk Najwa yang kembali masuk ke dalam rumah dengan langkah tergesa. Selang beberapa saat, wanita itu kembali keluar dengan kunci mobil yang sudah berada ditangan. "Ini, Mas!" "Terimakasih. Kamu... ng
"Assalamualaikum!""Waalaikumsalam," jawab Bi Iroh sambil tersenyum kaku. "Silakan masuk, Pak!" Ia membuka pintu dengan lebar."Terimakasih," angguk Pak Unang sambil melangkah masuk."Silakan duduk! Sebentar, saya panggil majikan saya dulu ya, Pak!"Dengan segenap perasaan bingung, Bi Iroh segera menuju ke belakang untuk melaporkan kedatangan tamu tersebut kepada Bu Dahlia dan juga Pak Haris. Kebetulan, sepasang suami istri paruh baya itu sedang nge-teh di halaman belakang rumah. "Bu, Pak! Ada tamu," lapor Bi Iroh. "Siapa, Roh?" tanya Bu Dahlia. "Itu... Papanya Mbak Intan," jawab wanita berbadan gempal itu."Papanya Intan?Mau apa beliau kemari?" Sebelah alis Pak Haris tampak terangkat heran. Sesaat kemudian, dia saling berpandangan dengan sang istri."Sebaiknya, kita temui saja, Pak. Mungkin, beliau ingin mengucapkan terima kasih, sekali lagi.""Iya. Ayo, Bu!" Pak Haris bangkit dari kursinya kemudian berjalan lebih dulu menuju ke ruang tamu.*"Assalamualaikum, Pak Unang!" sapa Pak
"Bagaimana Nak Najwa? Nak Najwa sependapat dengan saya, kan? Saya yakin, sebagai seorang wanita, Nak Najwa pasti bisa merasakan penderitaan yang putri saya alami."Pak Unang menjeda sesaat untuk menarik napas panjang."Intan sangat kasihan. Dia butuh dukungan dari orang yang dicintainya. Dan, harapan satu-satunya agar dia bisa bertahan di tengah cobaan ini adalah Nak Deva. Nak Najwa tenang saja! Intan akan tahu diri, kok. Dia tak akan menuntut lebih terhadap Nak Deva selain status sah dimata agama maupun hukum. Sementara, untuk masalah waktu, Nak Deva boleh empat hari dengan Nak Najwa dan tiga hari dengan Intan. Adil, kan?"Hening seketika setelah Pak Unang selesai bercerita panjang lebar tentang dongeng indahnya. Bu Dahlia terlihat menahan kekesalan. Terlebih dengan Pak Haris yang sedari tadi wajahnya sudah mulai mengeras."Untuk acara akad nikahnya, kalau bisa dilaksanakan secepatnya saja. Saya tidak mau jika kehamilan Intan akan menjadi konsumsi publik sebelum akad nikah nanti. Jad
"Halo, Assalamualaikum, semuanya! Perkenalkan, saya Intan Safira Hermawan. Saya adalah seorang wanita yang saat ini sedang mengandung anak dari pria yang bernama Muhammad Devandra Al-Ghifari. Ya, beliau adalah putra dari seorang pengusaha ternama yang bernama Bapak Syahid Al-Ghifari. Tentu, kalian sudah tidak asing dengan nama itu, kan?"Jeda sesaat karena Intan menyeka air matanya terlebih dulu. Dengan wajah pucat dan pakaian pasien rumah sakitnya, dia menangis menghadap kamera."Saya dan Devandra adalah sepasang kekasih yang awalnya saling mencintai saat kami masih berada di Singapura. Namun, semuanya berubah saat Deva memutuskan untuk kembali ke tanah air. Rupanya, di sini... di Indonesia, Deva jatuh cinta lagi pada seorang wanita yang sudah berstatus janda bernama Najwa. Mereka bahkan telah menikah secara resmi tanpa peduli pada keadaan saya yang saat ini tengah berbadan dua. Mereka juga nggak peduli, ketika saya akhirnya memutuskan untuk mengakhiri nyawa saya sendiri karena frust
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da