"Maaf, Mas! Aku nggak bisa," tolak Najwa halus. "Besok aku harus berangkat pagi-pagi untuk ke kantor. Ada meeting penting yang mesti aku hadiri bersama atasan aku.""Kamu kan bisa berangkat dari sini, Sayang!" bujuk Bian. Demi Tuhan, dia tak mau sendiri dalam menghadapi cobaan ini."Terlalu ribet, Mas! Apalagi, rumah sakit ini lumayan jauh dari kantor aku. Aku takut kejebak macet kalau berangkat dari sini.""Kamu bisa berangkat lebih subuh, Sayang!""Sekali lagi, maaf, Mas! Tapi, kalau berangkat di waktu subuh, justru aku lebih takut lagi. Mas tahu sendiri, kalau akhir-akhir ini, banyak kasus pembegalan yang terjadi di kota kita, kan.""Tapi... aku nggak tahu mesti gimana lagi, Wa! Kalau seumpama Ibu sadar dan butuh sesuatu, gimana? Sementara, Mas nggak tahu mesti ngapain karena selama ini jarang ikut merawat Ibu sama kamu.""Mas bisa panggil perawat!" jawab Najwa. "Mereka pasti bersedia bantuin Mas Bian, kok."Bian menghela napas berat. Dia menyerah. Memaksa Najwa untuk tetap tinggal
"Wa, sudah pulang?" sapa Bian begitu manis. Dia bahkan sengaja menunggu Najwa didepan pintu."Kelihatannya, gimana, Mas?" balas Najwa dingin. Dia melangkah masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan Bian sama sekali."Wa, Mas mau bicara penting sama kamu," ucap Bian yang berusaha mengejar langkah Najwa."Bicara apa?""Lebih baik kita duduk dulu! Ini penting!"Najwa menarik napas panjang. Wanita itu menghentikan sejenak langkahnya."Aku mau mandi lalu sholat Maghrib dulu, Mas. Apa Mas bisa menunggu?"Lelaki itu tersenyum kikuk. Ah, dia lupa bahwa waktu Maghrib hampir tiba. Maklum, dia sudah lama meninggalkan ibadahnya semenjak mengenal Salma kembali."Oke, kalau gitu. Mas tunggu kamu di ruang tamu," balas Bian.Najwa mengangguk singkat. Dia pun, ingin membicarakan sesuatu kepada Bian. Perempuan berhijab itu masuk ke dalam kamarnya.Walau selalu terlihat kuat, sejatinya dia sudah merasa sangat lelah dengan kondisi rumah tangganya yang sudah nyaris benar-benar karam."Segalanya harus cepat
Najwa masuk ke dalam kamar sambil beristighfar berkali-kali. Tadi, dia terlalu sombong dihadapan Bian. Hal, yang menurut Najwa, tak sepantasnya dia lakukan."Maafkan Hamba ya, Allah!" gumam Najwa tertunduk.Tadi, Bian masih terus bersikeras untuk tak bercerai. Dia bahkan memohon agar Najwa mau memberinya kesempatan untuk membuktikan diri.Sayangnya, Najwa sudah tak peduli. Mau apapun yang Bian katakan, Najwa tak ingin menurut lagi. Sudah cukup, selama ini dia bersikap bodoh. Dia harus bersikap pintar demi menyelamatkan hatinya sendiri.Karena... jika bukan dirinya sendiri, lantas siapa lagi yang akan peduli pada perasaannya?"Ingat, Mas! Beberapa hari lagi, kamu harus angkat kaki dari sini!" peringat Najwa sebelum meninggalkan Bian sendirian di ruang tamu.*******Hari yang tak diharapakan Bian akhirnya tiba. Kebetulan, ini akhir pekan. Jadi, baik Bian maupun Najwa sama-sama tidak berangkat kerja."Wa, tolong pertimbangkan lagi! Apa kamu benar-benar tega mengusir aku dari sini? Aku ma
Salma menghentakkan kakinya dengan keras. Dia sangat tersinggung dengan ucapan Ibu-ibu tadi."Mas, kamu kok malah biarin Ibu-ibu itu ngehina aku, sih?""Ck, buat apa meladeni ucapan tetangga, Salma? Yang lebih penting sekarang, kita harus cari tempat untuk berteduh dulu.""Ya, itu urusan kamu, Mas!" sahut Salma sambil melipat kedua tangannya. "Harusnya, kamu itu tetap bersikeras bertahan dirumah Mbak Najwa. Kan, di rumah itu, kamu juga ada hak, Mas!""Ck, bisa diam tidak, sih?" bentak Bian. Kepalanya terasa hampir meledak saking kerasnya dia berpikir untuk mencari solusi."Huh! Aku lagi yang kena marah," omel Salma."Semuanya gara-gara kamu juga! Andai dulu kamu tidak mendesak Mas untuk membawa kamu kemari, nggak mungkin Najwa jadi marah dan bikin hidup kita jadi sial kayak gini!"Mata Salma mendelik. Setelah semua jadi sekacau sekarang, kenapa malah dia yang disalahkan?"Eh, Mas! Mas jangan lupa, ya! Aku maksa tinggal di sini juga karena kamu, Mas! Kamu yang selalu koar-koar didepan
"Keluar kamu, Mbak! Keluar!" teriak Neti didepan rumah Najwa.Padahal, waktu sudah memasuki waktu Maghrib. Adzan telah berkumandang dan jelas sekali terdengar di rungu Neti. Namun, rupanya hal tersebut tak juga membuat Neti jadi mengurungkan niatnya untuk melabrak Najwa."Woi! Mbak Najwa! Buka, nggak?" teriak Neti lagi.Prang!Karena merasa diabaikan, Neti akhirnya menempuh jalan yang nekat. Dia mengambil sebuah batu berukuran kepalan tangan orang dewasa kemudian menghantamkannya, ke kaca jendela rumah Najwa."Astaghfirullah! Apa-apaan ini?" pekik Najwa yang tergopoh-gopoh keluar rumah begitu selesai menunaikan sholat."Heh, Mbak! Siapa yang memberi kamu hak untuk mengusir kakakku dari sini, hah?" tanya Neti dengan lantang.Wanita itu berkacak pinggang. Sepasang bola matanya, seolah hampir menggelinding jatuh ke lantai."Memangnya, kenapa?" tanya Najwa. Ia menoleh ke samping. Menghela napas panjang, saat melihat kaca jendelanya kini pecah berantakan."Rumah ini dibeli oleh kakakku! Ka
"Gimana perasaan kamu, Wa? Apa masih pusing?" tanya Bu RT begitu Najwa selesai diobati.Dahi Najwa harus memperoleh tujuh jahitan berkat kelakuan Neti. Sebenarnya, Najwa bisa saja menghindar saat Neti hendak mendorongnya. Namun, dia biarkan sang adik ipar melakukan apa yang dia mau, demi memperoleh momentum ini.Ya, Najwa harus membuat Neti yang kurang ajar itu menjadi jera."Sudah agak mendingan, Bu! Terimakasih, ya! Sudah mengantar saya kemari," ucap Najwa dengan senyum kecil."Mbak, apa Mbak Najwa akan melaporkan Neti ke kantor polisi?" tanya Bu Nur, tetangga Najwa."Tentu saja iya, Bu," angguk Najwa.Ibu-ibu yang ada di ruangan itu tampak tersenyum senang dengan keputusan Najwa."Bagus itu, Mbak! Adik ipar Mbak Najwa itu memang harus di kasih pelajaran!""Sekalian, laporin Mas Bian juga karena sudah menikah diam-diam dibelakang Mbak Najwa," timpal yang lain."Kalau Mas Bian, saya nggak tega laporin, Bu!" sahut Najwa."Loh, kenapa? Mbak Najwa masih sayang ya, sama laki-laki itu?"P
"Neti, bangun, Sayang!""Nanti, Mas! Aku masih ngantuk," jawab Neti.Dika menghela napas panjang. Dia kembali berusaha membangunkan istrinya."Sayang... sudah hampir jam delapan, loh. Memangnya, kamu nggak kerja?"Neti kian merapatkan selimutnya. "Nggak, Mas! Hari ini, aku mau libur aja."Mendengar jawaban Neti, Dika seketika menjadi gelisah. Kalau Neti libur kerja, bisa-bisa bosnya akan marah. Pasalnya, Neti baru saja bekerja di tempat itu dan sudah diwanti-wanti untuk tidak boleh libur dulu selama satu bulan pertama."Kalau Bos kamu cariin, gimana, Sayang?""Nanti aku telfon beliau. Aku mau izin sakit aja, Mas," jawab Neti.Mau tak mau, Dika hanya bisa pasrah dengan keputusan istrinya. Dika tak mungkin memaksakan keinginannya pada Neti. Bisa-bisa Neti malah marah dan meminta dia yang bekerja.Jelas, Dika tak mau itu. Hidupnya sudah terlanjur enak dibiayai oleh istrinya itu."Ck, mereka berdua juga pada belum bangun. Apa Mas Bian nggak mau kerja juga kayak si Neti?" ketus Dika saat m
"Ya, silakan saja!" ucap Najwa mempersilakan dengan santainya. "Tapi, jangan lupa! Aku juga bisa menuntut Mas Bian dan Salma atas kasus perselingkuhan dan nikah diam-diam."Mata Bian melotot marah. Tak ia sangka, Najwa akan berani mengancam balik dirinya seperti ini."Kejam kamu, Wa!" desis Bian. "Kamu zalim kepada suamimu sendiri! Berdosa besar, kamu!""Aku nggak peduli Mas Bian mau bicara apa. Yang jelas, sabarku sekarang sudah habis. Mas sendiri yang membuat aku jadi seperti ini."Bian mengusap wajahnya kasar. Dia tak tahu lagi, harus seperti apa membujuk Najwa."Wa... Mas mohon! Setidaknya, kasihani Neti!" Kali ini, Bian kembali melunak."Kasihan pada orang yang hampir membunuhku?" Najwa tertawa sumbang. "Apa nggak salah, Mas?""Sudah ku bilang, Neti khilaf. Dia tak sengaja," balas Bian membela sang adik."Aku nggak peduli!" Najwa bangkit dari duduknya. Bergegas untuk pergi dari sana."Wa, tolong jangan pergi dulu! Aku masih ingin bicara!" ucap Bian sambil menahan pergelangan tang
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da