Yang dikatakan Deva memang benar. Galih pasti akan pulang kampung setelah berhenti kerja. Dan, bisa saja, pria itu kembali bekerja sebagai buruh tani di sawah warisannya lalu diam-diam berpikir mulai balas dendam dengan mengincar Pak Haris ataupun Bu Dahlia."Makasih atas saran Mas Deva. Nanti aku pasti akan kabarin Bapak.""Kalau gitu, aku pamit dulu ya, Wa! Assalamualaikum!""Waalaikumsalam!" jawab Najwa. "Tapi, Mas Deva pulang naik apa? Nggak mau bawa mobilku aja?""Nggak usah, Wa! Aku udah pesan taksi online, kok. Tuh, mobilnya udah di depan.""Ya sudah kalau gitu. Mas Deva, hati-hati ya! Sekali lagi, makasih banyak karena udah nolongin aku sekaligus nganterin pulang."Lelaki berambut gondrong itu tersenyum lebar. Senyum yang teramat manis sehingga dua lesung di pipinya terlihat sempurna.*"Najwa!!""Bapak? Ibu?"Najwa benar-benar tak percaya bahwa kedua orangtua angkatnya datang di waktu yang tepat. Tadi, begitu dia membuka pintu rumah untuk masuk ke dalam, dirinya sungguh dikej
"Tapi, Pak...,""Nggak ada tapi-tapian, Najwa! Antar Bapak, sekarang!!" tegas Pak Haris tanpa mau dibantah lagi.Sorot mata tajam terbakar amarah itu mengerutkan nyali Najwa. Perempuan itu menunduk, berpikir cepat.Sejujurnya, dia tak mau sang Ayah terlibat masalah jika mendatangi Galih."Najwa!! Antar Bapak, atau Bapak akan cari pria brengsek itu sendirian.""Ba-baik, Pak! Najwa akan antar Bapak ke sana," angguk Najwa pada akhirnya.Sambil mendesah samar, Najwa kembali meraih tas dan kunci mobilnya. Sang Ayah angkat sudah lebih dulu berjalan di depan dan membuat Najwa jadi kepayahan mengejar langkahnya.Tapi, sebelum mencapai pintu, tangannya tiba-tiba dicekal oleh sang Ibu."Apa perlu, Ibu ikut juga, Wa?" tanya Bu Dahlia pada Najwa. Raut wajahnya terlihat cemas."Ibu di rumah aja. Biar Najwa yang dampingi Bapak.""Kamu... nggak apa-apa, kan? Apa kamu nggak merasa takut, jika harus bertemu Galih lagi?"Najwa menarik napas panjang. Sejujurnya, dia takut. Namun, jika ketakutan itu tak
Galih benar-benar tak menyangka Pak Haris akan datang dengan kemarahan yang sepertinya sudah sangat siap untuk melahap habis dirinya. Pria yang hampir melecehkan Najwa itu, tampak menelan saliva dengan susah payah."Pak... sa-saya bisa jelaskan," ucap Galih terbata.Sepertinya, ia tak sadar jika hidungnya sudah mengeluarkan darah akibat pukulan Pak Haris tadi."Mau jelaskan apa lagi, kamu, hah? Semuanya sudah dijelaskan oleh Najwa! Kamu memang benar-benar kurang ajar, Galih! Tak tahu balas budi, kamu!"Bugh!Lagi, Pak Haris meninju Galih. Kali ini, mengenai ulu hati pria itu.Ugh!Wajah Galih memerah. Ia hampir muntah gara-gara kerasnya pukulan itu."Pak, tunggu! Se-semua hanya salah paham. Apa yang disampaikan Najwa, tidak sepenuhnya benar. Najwa berbohong, Pak!""Oh, ya?"Galih yang terduduk disamping tempat tidur, mengangguk cepat. Dia memegangi perut yang terasa sangat sakit."I-iya. Najwa hanya memfitnah saya! Justru, seharusnya Anda berterimakasih pada saya. Berkat kedatangan sa
"Pak, ayo pulang! Jangan mengotori tangan Bapak lagi dengan darah lelaki pecundang itu," ujar Najwa sembari menarik lengan sang Ayah agar mundur menjauhi Galih.Harga diri Galih terasa jatuh saat Najwa menyebutnya lelaki pecundang. Baginya, itu sebuah penghinaan besar."Wa, menikahlah denganku! Ayolah, jangan munafik! Aku tahu kalau kamu juga suka sama aku, kan?" Meski harga dirinya diinjak-injak sampai ke dasar sekalipun, namun Galih harus tetap bersikap seperti ini sampai benar-benar berhasil mendapatkan Najwa."Mending aku jadi janda seumur hidup, daripada harus menikah dengan lelaki tukang fitnah seperti kamu," balas Najwa sinis. "Ingat, Gal! Aku tidak memenjarakan kamu hanya karena aku kasihan sama Ibu kamu. Andai bukan karena Bi Tin, sudah ku pastikan bahwa kamu sudah membusuk dibalik jeruji besi."Galih terdiam. Matanya nyalang menatap Najwa dan Pak Haris yang kini akhirnya melangkah pergi."Najwa sialan!!!" umpat Galih marah.Sekarang, dia harus apa? Bagaimana caranya, dia bis
Najwa bimbang memikirkan pilihan yang diberi sang Ayah. Keduanya, adalah keputusan yang sangat sulit untuk Najwa.Membuka hati untuk orang yang baru, tidaklah semudah itu. Pun, dengan pulang ke kampung. Di sana, Najwa hanya akan terus merasa sedih karena mengingat bahwa sang Kakek benar-benar sudah tiada.Sementara, jika dia tinggal di kota, Najwa bisa men sugesti diri, bahwa Kakek masih hidup dan masih ada di kampung. Mereka hanya dipisahkan jarak, sama seperti hari-hari biasanya."Wa, boleh Ibu masuk?"Najwa yang sedang sibuk melamun sontak terkesiap. Dia menoleh ke arah pintu yang entah sejak kapan sudah terbuka, dan menemukan sosok sang Ibu yang berdiri di sana."Silakan, Bu!" angguk Najwa. Dia kembali bangun dan bersandar di kepala ranjang sambil memeluk guling."Kamu kenapa belum tidur? Masih mikirin soal permintaan Bapak kamu, ya?" tanya Bu Dahlia lembut sambil duduk di samping Najwa."Iya, Bu. Najwa merasa pusing. Pilihan yang Bapak berikan, terasa sangat sulit untuk Najwa jal
"Kak Halimah ini ngomong apa? Jangan ngawur, ah!" kata Najwa sambil tertawa kecil.Meski, tak bisa ia pungkiri bahwa ada yang berdetak cepat didalam dada saat mendengar ucapan Halimah tadi, namun Najwa menganggap bahwa ucapan Halimah hanya sekadar candaan belaka. Dia tak boleh bawa perasaan, atau dirinya sendiri yang akan terluka."Ck! Kamu dibilangin serius malah nganggap Kakak bercanda. Gimana sih, Wa?" Halimah mendengkus sebal."Ya, habisnya, gimana? Nggak masuk akal banget kalau orang sekeren Mas Deva mau sama janda kayak aku.""Memangnya, kenapa kalau kamu janda?"Najwa tersenyum kecil. Ia tertunduk lalu menggeleng pelan."Ya, nggak pantas aja," jawab Najwa. "Mas Deva bisa dapat perempuan yang jauh lebih baik dibanding aku, Kak. Dia kaya, tampan, punya karir bagus dan juga berasal dari keluarga terhormat. Sementara, aku? Aku hanya berasal dari kalangan orang biasa. Yatim piatu pula, lagi.""Kalau Deva maunya cuma sama kamu, gimana?""Udah, ah! Aku mau keluar aja. Makin lama di
Najwa merasakan wajahnya berubah panas. Ucapan Deva, bagai sebuah anak panah yang melesat hendak mengenai jantungnya.Namun, sebisa mungkin Najwa menghalau anak panah itu agar tak tepat mengenai sasaran. Najwa takut, terlalu berharap pada sosok nyaris sempurna seperti Deva, malah akan melukainya jauh lebih parah dibanding dulu."Wa, kamu mau nggak, menjalani ta'aruf sama aku?" tanya Deva dengan tatapan serius.Glek!Najwa menelan ludah. Apa yang Deva katakan, benar-benar tak pernah terlintas dalam benak Najwa."Apa yang Mas Deva lihat dari aku?" Najwa balik bertanya."Banyak," jawab Deva."Contohnya?""Aku suka kamu yang care banget sama kucing-kucing liar. Suka kasih mereka makan bahkan sengaja bikinin mereka rumah-rumahan supaya ada tempat berteduh. Aku juga suka kamu yang tiap hari Jumat, selalu berbagi makanan sama mereka yang membutuhkan. Kamu bahkan rela panas-panasan ditengah hiruk-pikuk keramaian jalanan kota, demi memberi mereka yang kekurangan secara langsung.""Mas Deva, ta
"Apa Mas Deva serius?" tanya Najwa dengan suara bergetar."Apa aku terlihat sedang bercanda?" Deva balik bertanya."Apa keluarga kamu setuju dengan ini, Mas? Maksud aku, perbedaan kita terlalu jauh. Aku bukan siapa-siapa jika harus dibandingkan dengan Mas Deva yang punya segalanya.""Keluargaku tidak pernah merecoki dengan siapa aku akan berjodoh, Wa! Insyaallah, mereka akan menerima apapun keputusan aku.""Tetap saja aku cemas, Mas!""Bagaimana kalau kita jalani dulu?" tanya Deva penuh harap.Dia hanya ingin mendengar satu kata dari mulut Najwa. Hanya kata 'ya' yang ia tunggu-tunggu sedari tadi."Tapi, Mas...,""Tolong jawab saja, Wa! Apa kamu bersedia menjalani ta'aruf dengan aku atau tidak?" potong Deva tak sabaran.Dia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia bisa mati karena kehabisan napas jika terlalu lama digantung seperti ini."Mas, bagaimana kalau ta'aruf kita nggak berhasil?"Deva meneguk salivanya. "Aku akan mundur baik-baik. Berarti, kamu memang bukan jodohku," jawabnya ter
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da