"Mana sertifikat rumahnya, Sayang?"Bian sudah tak sabaran. Secepatnya, dia harus mendapatkan uang supaya bisa melunasi biaya operasi sang Ibu."Ini, Mas," kata Salma. Ditangannya terdapat sebuah map berwarna merah.Bian dengan mata berbinar hendak mengambil map tersebut. Namun, Salma malah dengan sengaja menjauhkan benda tersebut dari jangkauan Bian."Sebelum Mas ambil sertifikat ini, Mas harus janji dulu!" ucap Salma mengajukan syarat."Janji apa lagi sih, Sayang?""Mas cuma boleh mengambil uang sesuai dengan kebutuhan biaya rumah sakit Ibu. Selebihnya, harus Mas setor semua sama aku."Pria di hadapannya menghela napas panjang. "Itu sudah pasti, Sayang! Pokoknya, berapa pun sisanya, akan Mas berikan semua sama kamu."Wajah Salma tersenyum cerah. Dia sudah membayangkan akan melakukan banyak hal jika uang sudah berada di tangan.Shopping, perawatan dan mungkin liburan. Semuanya sudah tertata rapi dalam rencana menyenangkan Salma."Ya udah, Mas! Berangkat sekarang, yuk!""Ayo."Suami i
"Pokoknya, aku nggak mau kalau mobil kamu sampai dijual, Mas! Aku nggak rela. Cuma itu satu-satunya harta yang bisa kita banggakan!"" pekik Salma kalut."Makanya, kalau mau jadi pelakor, cari tahu dulu yang betul! Jangan sampai kamu tertipu dari casing luarnya saja!" sindir Najwa."Diam kamu, Mbak!" hardik Salma sambil mengepalkan kedua tinjunya."Ini rumahku! Terserah aku dong, mau bicara atau diam."Huh! Salma semakin bertambah kesal. Kakak madunya terus menunjukkan kekuatan yang membuat Salma semakin terlihat kecil.Tak hanya memiliki harta, kini Najwa semakin unggul berkat penampilan cantiknya yang telah kembali. Ditambah lagi, sekarang wanita itu juga sudah bekerja sehingga tak perlu bergantung pada siapapun untuk membiayai hidupnya.Tentu berbeda jauh dengan Salma, yang hanya mampu bergantung pada laki-laki. Sayangnya, dia keliru dalam memilih suami."Wa! Tolonglah! Kamu itu masih istriku! Sudah menjadi kewajiban kamu untuk menolong aku disaat kesusahan seperti ini." Bian memela
"Ck! Mbak Salma gimana, sih? Masa' tamu malah disuruh masak sendiri? Nggak sopan!" gerutu Neti dengan kesal."Mas, ini gimana?" tanyanya pada sang suami. "Aku malas kalau cuma makan mie instan."Tak ada jawaban. Suaminya masih melongo, memikirkan kerlingan mata sang kakak ipar yang begitu menggoda."Mas?" tegur Neti. "Woy, Mas! Kok kamu malah bengong?""Hah? apa?" Dika kelabakan. Dia kaget karena Neti tiba-tiba menepuk lengannya dengan keras."Kamu dengerin aku apa enggak, sih?""Ka-kamu bilang apa?" tanya Dika gelagapan. "A-aku tadi nggak fokus soalnya perutku udah sakit banget."Mata Neti seketika memicing curiga. "Nggak fokus karena lapar, atau nggak fokus karena lihat penampilan seksi Mbak Salma?"Mata Dika sedikit melebar. Dia agak terkejut karena sang istri bisa menebak dengan tetap sasaran apa yang ada didalam kepalanya."Mana mungkin Mas seperti itu, Sayang!" sangkal Dika. "Mau seseksi apapun penampilan wanita lain dihadapan Mas, tetap nggak ada yang bisa mengalahkan keseksian
"Wa! Sini dulu, kamu!" hadang Bian didepan pintu rumah saat melihat Najwa datang. Dengan sedikit memaksa, Bian menarik tangan Najwa ke samping rumah."Ada apa sih, Mas?" tanya Najwa."Kamu ngapain dandan cantik waktu ke kantorku tadi? Sengaja, ya, untuk tebar pesona didepan rekan kerja aku?"Dari sorot mata Bian, Najwa dapat melihat sepercik api kecemburuan didalam sana."Kamu ini aneh, Mas! Jelas-jelas dandananku biasa-biasa aja, malah kamu tuduh yang enggak-enggak. Sudah aku jelaskan, kalau aku ke kantor kamu untuk menemani atasanku meeting sama Pak Kelvin. Tapi, kenapa kamu masih curiga?"Bian memindai penampilan Najwa dari atas ke bawah. Terutama, pada bagian wajah.Benar kata Najwa. Dia tak memakai riasan berlebihan pada wajahnya yang memang sudah mulai glowing."Sebaiknya, kamu berhenti kerja aja, Wa!""Berhenti kerja?" Najwa malah tertawa. "Kalau aku berhenti kerja, yang mau nafkahin aku, siapa, Mas?"Bian tergeragap. Benar juga apa kata istri pertamanya itu. Siapa yang akan me
Bian tak punya jalan lain lagi. Akhirnya, dia merelakan mobil yang selama ini dia bangga-banggakan demi membayar biaya rumah sakit sang Ibu.Meski tak seberapa, tapi setidaknya bisa melunasi hutang pada pihak rumah sakit."Sekarang aku sudah nggak punya apa-apa lagi," lirih Bian yang termenung meratapi nasibnya."Kenapa, Bro?" tegur Deden.''Nggak apa-apa. Cuma masih mikirin mobil yang udah diambil alih sama sepupu lu.""Lo nggak ikhlas, tuh mobil Lo over kredit?""Bukannya nggak ikhlas, cuma... ngerasa sayang aja.""Nggak apa-apa lah, Bro! Gue doain, semoga rezeki lo bisa lancar lagi kayak dulu dan Lo secepatnya bisa punya mobil baru lagi.""Ya, makasih doanya, Bro!" ucap Bian yang merasa terhibur dengan kata-kata Deden."Jangan lupa, minta doa juga sama kedua bini Lo. Doa istri itu mustajab banget, loh!""Apa iya?" tanya Bian tak percaya. Andai doa istri memang mustajab, kenapa hidup Bian malah penuh dengan masalah seperti ini? Bukankah, di rumah ada dua orang istri yang mendoakanny
"Maaf, Mas! Aku nggak bisa," tolak Najwa halus. "Besok aku harus berangkat pagi-pagi untuk ke kantor. Ada meeting penting yang mesti aku hadiri bersama atasan aku.""Kamu kan bisa berangkat dari sini, Sayang!" bujuk Bian. Demi Tuhan, dia tak mau sendiri dalam menghadapi cobaan ini."Terlalu ribet, Mas! Apalagi, rumah sakit ini lumayan jauh dari kantor aku. Aku takut kejebak macet kalau berangkat dari sini.""Kamu bisa berangkat lebih subuh, Sayang!""Sekali lagi, maaf, Mas! Tapi, kalau berangkat di waktu subuh, justru aku lebih takut lagi. Mas tahu sendiri, kalau akhir-akhir ini, banyak kasus pembegalan yang terjadi di kota kita, kan.""Tapi... aku nggak tahu mesti gimana lagi, Wa! Kalau seumpama Ibu sadar dan butuh sesuatu, gimana? Sementara, Mas nggak tahu mesti ngapain karena selama ini jarang ikut merawat Ibu sama kamu.""Mas bisa panggil perawat!" jawab Najwa. "Mereka pasti bersedia bantuin Mas Bian, kok."Bian menghela napas berat. Dia menyerah. Memaksa Najwa untuk tetap tinggal
"Wa, sudah pulang?" sapa Bian begitu manis. Dia bahkan sengaja menunggu Najwa didepan pintu."Kelihatannya, gimana, Mas?" balas Najwa dingin. Dia melangkah masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan Bian sama sekali."Wa, Mas mau bicara penting sama kamu," ucap Bian yang berusaha mengejar langkah Najwa."Bicara apa?""Lebih baik kita duduk dulu! Ini penting!"Najwa menarik napas panjang. Wanita itu menghentikan sejenak langkahnya."Aku mau mandi lalu sholat Maghrib dulu, Mas. Apa Mas bisa menunggu?"Lelaki itu tersenyum kikuk. Ah, dia lupa bahwa waktu Maghrib hampir tiba. Maklum, dia sudah lama meninggalkan ibadahnya semenjak mengenal Salma kembali."Oke, kalau gitu. Mas tunggu kamu di ruang tamu," balas Bian.Najwa mengangguk singkat. Dia pun, ingin membicarakan sesuatu kepada Bian. Perempuan berhijab itu masuk ke dalam kamarnya.Walau selalu terlihat kuat, sejatinya dia sudah merasa sangat lelah dengan kondisi rumah tangganya yang sudah nyaris benar-benar karam."Segalanya harus cepat
Najwa masuk ke dalam kamar sambil beristighfar berkali-kali. Tadi, dia terlalu sombong dihadapan Bian. Hal, yang menurut Najwa, tak sepantasnya dia lakukan."Maafkan Hamba ya, Allah!" gumam Najwa tertunduk.Tadi, Bian masih terus bersikeras untuk tak bercerai. Dia bahkan memohon agar Najwa mau memberinya kesempatan untuk membuktikan diri.Sayangnya, Najwa sudah tak peduli. Mau apapun yang Bian katakan, Najwa tak ingin menurut lagi. Sudah cukup, selama ini dia bersikap bodoh. Dia harus bersikap pintar demi menyelamatkan hatinya sendiri.Karena... jika bukan dirinya sendiri, lantas siapa lagi yang akan peduli pada perasaannya?"Ingat, Mas! Beberapa hari lagi, kamu harus angkat kaki dari sini!" peringat Najwa sebelum meninggalkan Bian sendirian di ruang tamu.*******Hari yang tak diharapakan Bian akhirnya tiba. Kebetulan, ini akhir pekan. Jadi, baik Bian maupun Najwa sama-sama tidak berangkat kerja."Wa, tolong pertimbangkan lagi! Apa kamu benar-benar tega mengusir aku dari sini? Aku ma
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da