"Kamu gila, Mas?" pekik Salma.Tak ia sangka, lelaki yang pernah menjadi selingkuhan kemudian menjadi suami sirinya itu malah meminta hal seperti itu.Bian, bagai merendahkan harga diri Salma yang memang sudah tercabik-cabik hingga nyaris habis. Rasanya, Salma benar-benar merasa sangat hina."Aku? Gila?" Bian kembali tertawa dengan pongahnya. "Aku rasa, dengan mencium kaki aku, tidak akan langsung membuat kamu jadi kehilangan salah satu anggota tubuhmu, Salma!""Tapi, Mas... itu terlalu tidak masuk akal. Masa' kamu tega meminta aku mencium kaki kamu, sih?""Ya sudah, kalau tidak mau. Aku juga tidak masalah," timpal Bian masa bodoh. "Kalau sudah tidak ada urusan lagi, lebih kamu keluar, sekarang!" usirnya terhadap wanita itu.Salma berhitung cepat dengan situasi. Mana mungkin, dia pergi dengan tangan kosong seperti ini. Karena, jika Seno tahu bahwa Salma hari ini gagal melayani tamu, maka sudah dipastikan bahwa Salma pasti akan kembali dimarahi habis-habisan oleh lelaki jahat itu. Dan
Untung saja, lemparan Salma meleset. Asbak itu tidak mengenai Bian, melainkan justru mengenai dinding."Perempuan sinting!" hardik Bian kesal.Napasnya mulai memburu. Akal sehatnya terbakar habis oleh amarah yang mulai membumbung tinggi. Andai, lemparan Salma tadi mengenai kepalanya, bisa dipastikan bahwa Bian pasti akan mendapatkan luka yang serius."Kamu yang sinting, Mas! Tega-teganya, kamu malah mempermainkan aku seperti ini!" teriak Salma meradang."Keluar, kamu!" usir Bian dengan tatapan nyalang."Berikan aku uang sepuluh juta dulu!" ujar Salma bersikukuh.Dia tak akan berani pulang jika tak membawa uang. Dia takut, Seno akan benar-benar memukuli dirinya."Aku bukan ATM berjalan kamu lagi, Salma! Jadi, silakan kamu minta uang sepuluh juta itu pada selingkuhan kesayangan kamu! Kejar Dika, sana!""Mas..,""AKU BILANG, KELUAR!!!" hardik Bian sekali lagi.Salma tersentak kaget. Walaupun amarahnya semula berkobar hebat, namun saat melihat Bian yang juga sudah perlahan naik pitam, mem
"Ibu!!!" panggil Salma sekali lagi.Sambil merangkak, dia menghampiri sang Ibu lalu memangku kepalanya."Ibu, ibu nggak apa-apa?" tanya Salma khawatir. Air mata membanjiri wajahnya yang dipenuhi oleh luka lebam itu."Ada monster jahat!! Kita harus pergi, Salma! Kita bisa dimangsa sama monster jahat itu jika terus-terusan berada di sini!" lirih Bu Dian dengan suara lemah."Ibu... Ibu muntah darah, Bu!"Salma berusaha membersihkan darah yang mengotori mulut sang Ibu hingga ke area dagu. Sementara, Seno sedang membalut lukanya dengan sapu tangan sebelum membuat perhitungan kembali dengan kedua perempuan itu.Setelah pendarahannya berhenti, Seno yang masih diliputi emosi, langsung menghampiri Salma dan Bu Dian kembali.Grep!Dia menjambak rambut Salma dari belakang. Di hempasnya tubuh wanita itu hingga nyaris mencium lantai."Dasar perempuan-perempuan tidak tahu diri! Sudah bagus aku tampung kalian di sini! Tapi, kalian malah berani bertingkah!" seru Seno sembari meludah tepat di samping
Akhirnya, Bu Dian dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulans. Salma pun turut serta dan ikut melakukan visum seusai arahan pihak kepolisian. Kali ini, Salma berjanji akan membuat Seno benar-benar terpuruk dan membusuk di penjara."Saya nggak salah, Pak. Mereka duluan yang cari gara-gara sama saya. Apa Bapak nggak lihat, kalau tangan dan kaki saya juga luka? Wanita tua gila itu, yang pertama kali menusuk saya. Jadi, wajar dong, kalau saya membela diri."Seno menyampaikan pembelaannya saat sedang diinterogasi oleh pihak penyidik. Walau sesulit apapun, Seno harus berhasil meyakinkan para penyidik ini bahwa dirinya sama sekali tidak bersalah."Dia bohong, Pak! Ibu saya melakukan itu karena melihat saya yang hampir mati akibat dicekik olehnya," sergah Salma yang ternyata langsung menuju ke kantor polisi setelah memastikan Ibunya mendapatkan perawatan medis."Salma?" lirih Seno. "Salma, kenapa kamu ngomong kayak gitu, Sayang? Ya, aku akui salah. Aku memang telah mencekik kamu. Tapi, aku cum
"Wa, terimakasih ya, kamu sudah mau repot-repot datang menjenguk Altaf di sini," ucap Halimah pada Najwa."Sama-sama, Kak. Semoga Altaf cepat sembuh, ya!" timpal Najwa sembari menatap sekali lagi, bocah tampan yang sedang tertidur diatas brankar rumah sakit itu."Ya, Aamiin," sahut Halimah mengaminkan perkataan Najwa."Kalau gitu, aku pamit dulu ya, Kak! Udah malam, soalnya. Kasihan, Bi Iroh cuma sendirian di rumah. Assalamualaikum!""Waalaikumsalam. Hati-hati nyetirnya, Wa! Jangan ngebut-ngebut!" "Iya, Kak!"Najwa kemudian berjalan keluar dari ruangan VIP tersebut. Langkahnya menuju ke arah parkiran sebelum akhirnya reflek berbelok saat tak sengaja mendengar sayup-sayup suara orang yang sedang menangis."Dia... manusia, kan?" gumam Najwa bertanya pada diri sendiri.Hari sudah mulai gelap. Dan, melihat seorang wanita dengan penampilan berantakan sedang menangis dengan wajah menunduk ditutupi rambut, tentu membuat dirinya jadi berpikiran negatif.Bukan apa-apa, rumah sakit memang pern
"Aku tahu aku salah. Makanya, aku menyesal, Mbak," ucap Salma sembari mengusap air matanya."Terus, kemana laki-laki itu, sekarang?" tanya Najwa.Salma tersenyum getir. Ia tampak memainkan ujung jaket hitam yang dikenakannya."Dia... sudah aku laporkan ke polisi, Mbak. Laki-laki itu sudah mendekam di penjara.""Ya, itu langkah bagus. Laki-laki seperti itu, memang sepatutnya dipenjarakan saja."Wanita disamping Najwa, tampak mengangguk setuju."Lalu, setelah ini, apa rencana kamu selanjutnya?""Mungkin... setelah semua ini, aku akan bawa Ibu pergi jauh dari kota ini, Mbak.""Kemana?"Salma menggeleng. "Aku masih belum memikirkan soal itu, Mbak."Najwa mengangguk mengerti. Meski Salma pernah jadi duri dalam rumah tangganya, namun bukan berarti Najwa harus merasa bahagia ketika melihat perempuan itu mengalami penderitaan seperti sekarang.Sebaliknya, dia justru malah merasa prihatin. Sebagai sesama wanita, tentu Najwa sangat-sangat mengerti bagaimana hancurnya mental dan perasaan Salma.
Pagi ini, Najwa merasa heran saat banyak karyawan yang terlihat saling berbisik-bisik ketika dia lewat. Meski begitu, Najwa tetap menyapa mereka dengan ramah seperti biasa. Mencoba mengabaikan, perasaan ganjil yang tiba-tiba hingga didalam hati."Mungkin, perasaan aku aja, kali," gumam Najwa seraya mencoba tetap berpikiran positif."Najwa!!!" panggil Galih sembari berlari kecil menghampiri Najwa."Hai, Gal! Baru datang?" tanya Najwa ketika pria itu kini sudah berdiri tepat di sampingnya.Bersama dengan beberapa karyawan lain, mereka sedang menunggu pintu lift terbuka."Iya," angguk Galih. "Siang ini, kita makan siang bareng, ya! Kan, kemarin kamu udah nolak.""Tapi, aku...,""Eits!! Aku nggak terima penolakan kali ini. Kalau kamu tega nolak lagi, aku bakalan ngambek, loh!" potong Galih cepat, sebelum Najwa benar-benar menolak kembali ajakannya."Tapi...,"Ting!Pintu lift terbuka. Beberapa orang yang berdiri dibelakang mereka masuk terlebih dulu dengan wajah yang terlihat sedang menah
"Hah?"Najwa terperangah, kaget dengan ucapan yang meluncur cepat dari mulut Halimah, sang atasan."Kok, kamu malah kelihatan kaget, gitu?" tanya Halimah dengan sebelah alis yang terangkat.Sebenarnya, dia tahu jika Najwa tak memiliki hubungan spesial sama sekali dengan Galih. Dia tahu, Najwa bukan perempuan yang mudah dalam membuka hati untuk seorang lelaki.Apalagi, Najwa sudah pernah mengalami satu kali kegagalan. Tentu, yang kedua kali, dia akan lebih selektif dalam memilih."Aku nggak pacaran sama Galih, Kak!" bantah Najwa."Sayangnya, berita itu yang sudah beredar luas di kantor kita, Wa! Sebagian pegawai... terutama di divisi tempat Galih bekerja, sibuk menyebarkan berita tentang kalian yang lagi pacaran ke seantero lingkungan kantor.""Ya Allah!" Najwa menggumam kecil. Kekhawatiran, jelas tercetak di wajah cantiknya.Sementara itu, sang atasan hanya sibuk mengamati wajah Najwa. Berusaha menyelami, apa isi hati yang sebenarnya dari adik tingkat yang sudah ia anggap seperti adik
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da