"Pernah tahu soal kamu," jawab Deva dengan cepat sambil melotot ke arah Halimah."Oh ya?""I-iya," angguk Deva kaku. "Kamu kan salah satu mahasiswi paling berprestasi di universitas kita dulu. Wajar, kalau hampir semua mahasiswa termasuk aku kenal kamu."Najwa mengangguk paham. Dulu, dirinya memang cukup terkenal ditempatnya menimba ilmu. Bahkan, beberapa lawan jenis termasuk senior-senior di kampus, sempat ada yang mengutarakan perasaan padanya namun ditolak.Salah satunya, sahabat dekat Deva waktu itu."Oh iya, kado aku mana, Kak?" tagih Deva pada Halimah. Dia sebenarnya hanya mengalihkan pembicaraan.Seketika, alis Halimah berkerut."Kado? Tumben, kamu nanyain kado?""Emangnya, salah?" tanya Deva balik. "Aku kan memang lagi ulangtahun. Wajar dong, kalau aku minta kado.""Yah, tapi Kakak lupa bawa, Dev. Gimana, dong?"Deva berdecak. Wajah tampannya terlihat masam."Jadi, Kak Halimah ke sini, murni cuma mau numpang makan doang?"Uhuk!!!Lagi-lagi, Najwa tersedak. Namun, kali ini buka
[Nggak mau, ya? Ya udah kalau gitu.]Suara Dika terdengar kecewa berat. Salma yang mendengar itu pun seketika panik."Tu-tunggu... jangan ditutup dulu!"[Apalagi?]"Aku ada, kok," jawab Salma dengan suara setengah berbisik. Jangan sampai sang Ibu mendengar suaranya.[Beneran?]Kini, suara pria itu terdengar begitu bahagia."Iya. Tapi, kalau aku pinjemin, kamu bakalan ganti, kan?"[Ya, jelas dong, Sayang!] jawab Dika mantap dari seberang sana. [... Asal kamu tahu, Beib! Rumah Bapak sama Ibu terkena proyek jalan tol. Bapak sama Ibuku akan dapat uang 2 M sebagai ganti rugi dari pihak pengembang. Jadi, soal uang, kamu nggak usah khawatir! Bulan depan, uangnya pasti aku ganti semua, kok. Termasuk, yang seratus juta itu.]"Kenapa kamu baru bilang sekarang, Sayang?" tanya Salma dengan mata berbinar. Ingin rasanya berteriak, namun takut sang Ibu dengar.[Sebenarnya... orangtuaku nggak merestui hubungan kita, Sayang. Mereka berniat menjodohkan aku dengan perempuan lain setelah resmi bercerai d
"Yah, berarti aku terlambat lagi dong, Kak!" kata Deva yang tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya."Ya, bisa dibilang... begitu."Deva tersenyum. Dadanya terasa sesak saat sekali lagi, cinta itu gagal dia raih."Permisi!" ucap Najwa saat memasuki ruangan. Dia membawa nampan berisi dua cangkir teh dan satu piring kecil berisi beberapa jenis cookies. Tentunya, itu cookies kesukaan Deva yang memang sangat pilih-pilih jika soal makanan."Terimakasih," kata Deva saat Najwa meletakkan secangkir teh dihadapannya.Najwa hanya mengangguk. Tersenyum singkat, lalu memberikan teh yang satu lagi untuk Halimah."Makasih ya, Wa!" Halimah turut mengucapkan terimakasih."Sama-sama, Bu!" angguk Najwa sebelum undur diri.Hampir satu jam lamanya, hingga Deva akhirnya keluar dari ruangan tersebut. Tak lupa, pria itu singgah di meja Najwa dan memberikan sesuatu yang seketika membuat bola mata Najwa tampak berbinar."Pak Deva? I-ini? Ini saputangan saya?" tanya Najwa takjub.Dia pikir, saputangan dengan de
Najwa mulai merasa takut. Tingkah Bian benar-benar terlihat ganjil malam ini."Kita sudah hampir bercerai, Mas! Minggu depan, adalah sidang terakhir kita dan waktunya kamu menjatuhkan talak untuk aku.""Apa kamu bilang? Bercerai?" Lelaki itu tertawa sumbang. "jangan bercanda! Hubungan kita baik-baik aja, Wa! Tapi, kenapa kamu malah bahas soal perceraian?""Mas yang jangan bercanda!" sergah Najwa. "Jangan pura-pura lupa ingatan, Mas!"Najwa berbalik. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah daripada harus meladeni Bian terlalu lama."Wa, tunggu!" cegah Bian sambil menahan pergelangan tangan Najwa."Apa lagi, Mas?" tanya Najwa muak."Aku nggak mau cerai! Sampai mati pun, aku nggak akan pernah lepasin kamu!"Cengkraman tangan pria itu kian mengerat. Najwa bahkan mulai merasa kesakitan akibat ulah Bian."Mas, sakit!!!" desis Najwa sambil berusaha melepaskan diri dari cengkraman Bian. Tulang pergelangan tangannya terasa hampir remuk."Katakan, kalau kamu nggak akan pernah bercerai dari Mas
Perasaan Bu Jannah hancur tak karuan. Putra kebanggaan yang dulu dia manjakan dengan sepenuh hati kini malah tega menyakiti dirinya. Rasanya perih. Seluruh tulang Bu Jannah bagai dipaksa lepas satu per satu."Kamu jahat sama Ibu, Bian!" lirih Bu Jannah menangis.Di kamar sebelah, Bian menutup telinganya dengan bantal. Kesal sekali rasanya, mendengar tangisan sang Ibu yang menurutnya sangat menganggu."Argghhh!! Ibu bisa diem nggak, sih? Berisik!!!" bentak Bian sembari memukul dinding pembatas antara kamarnya dan kamar sang Ibu.Tak berselang lama, suara tangis itu perlahan reda. Bian menghela napas lega lalu tertidur tanpa rasa bersalah.*"Bian... tolong bersihkan Ibu dulu ya, Nak! Ibu benar-benar udah nggak nyaman," pinta Bu Jannah memelas saat kepala Bian menyembul di depan pintu kamarnya."Makanya, Ibu cepat sembuh, dong! Biar Ibu nggak nyusahin Bian lagi," ucap Bian ketus sembari masuk ke dalam kamar sang Ibu."Maafkan Ibu!" Bu Jannah tertunduk. Ia pasrah saja ketika Bian mulai m
"Bapak? Ibu?" lirih Najwa dengan perasaan bahagia."Ngapain orang itu harus datang sekarang, sih?" gumam Bian merasa kesal.Pak Haris dan Bu Dahlia lekas menghampiri Najwa. Mereka saling berpelukan demi melepas rindu yang sudah lama menggunung."Bapak sama Ibu kenapa datang nggak bilang-bilang, sih? Kan, Najwa bisa jemput di terminal," ucap Najwa begitu melepaskan pelukan dengan sang Ibu angkat."Ibu sama Bapak sengaja pengen kasih kejutan untuk kamu, Wa! Tapi... ternyata pas sampai sini, justru kami yang terkejut. Kok, manusia sampah ini masih ada disini?" tanya Pak Haris dengan lirikan sinis ke arah Bian."Bapak sama Ibu apa kabar?" tanya Bian basa-basi."Nggak usah sok akrab. Sebentar lagi, kamu bukan siapa-siapa lagi untuk putri kami," jawab Pak Haris ketus."Tapi, saya nggak mau cerai dari Najwa, Pak. Saya masih sangat mencintai dia.""Cinta Najwa atau cinta hartanya?" sindir Pak Haris telak."Tentu saja cinta Najwa-nya, Pak.""Kalau memang cinta, kenapa dulu mendua?"Skakmat!La
Hari yang dinanti-nanti Najwa akhirnya tiba. Hari ini, adalah sidang terakhir perceraiannya dengan Bian. Dengan didampingi oleh pengacara serta kedua orangtua angkatnya, Najwa dengan penuh percaya diri melangkah memasuki gedung tersebut. "Sepertinya, Bian tidak akan hadir hari ini," ucap Pak Haris saat hendak memasuki ruang pengadilan. "Bagus kalau Mas Bian nggak datang, Pak. Itu artinya, perceraian kami bisa diputuskan secara verstek. Dengan begitu, nggak akan banyak drama yang bisa menganggu jalannya persidangan nanti," timpal Najwa. Perempuan itu sangat bersyukur dengan ketidakhadiran mantan suaminya. Dengan begitu, sidang putusan perceraian mereka bisa diputuskan dengan cepat tanpa ada drama penolakan dari Bian. "Selamat, Mbak Najwa! Anda kini sudah resmi menyandang status baru." Pengacara yang selama ini mendampingi Najwa dalam sidang perceraiannya tampak tersenyum puas dengan hasil yang dikeluarkan pengadilan. "Terimakasih, Pak!" "Kalau begitu, saya permisi dulu! Masih ada
"Pokoknya, Mas nggak akan pernah menerima perceraian ini, Wa! Kamu selamanya akan tetap jadi istri Mas!" ucap Bian keras kepala.Kehilangan Najwa adalah kejatuhan paling rendah dalam hidupnya. Wanita itu adalah harapan terakhir yang tersisa untuk Bian bisa kembali hidup senang seperti dulu.Namun, jika sekarang Najwa benar-benar sudah lepas dari genggaman, itu artinya hidup Bian selamanya akan terus dipenuhi penderitaan."Kenapa susah sekali untuk kamu memaafkan aku, Wa? Padahal, aku sudah mengaku salah! Aku sudah bilang, kalau aku khilaf. Aku menyesal karena telah menyakiti kamu dengan menghadirkan Salma ditengah-tengah kita.""Dan aku juga sudah pernah bilang, Mas! Nggak ada gunanya menyesal! Karena selamanya, aku nggak akan pernah mau kembali lagi sama kamu!"Bian merasa sangat frustasi. Apalagi yang harus dia lakukan demi membuat Najwa kembali padanya?"Ayo, Pak, Bu! Kita pulang!" ajak Najwa pada kedua orangtuanya."
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da