Adisty tersenyum, menyimpan bubur di rantang mini yang di bawanya ke nakas.
"Hai, gimana keadaan kamu sekarang?"
"Lo kenapa terus dateng? Gue ga nyaman, gue canggung di jaga cewek yang ga gue inget." Fajar terlihat dingin, suaranya masih terdengar lemah.
"Kata dokter, ingatan kamu hilang itu sementara. Aku mau bantu balikin."
Fajar memalingkan wajahnya."Ga usah, lebih baik lo ga usah ke sini." dinginnya.
Nata yang sedang duduk di sofa berdecak tak suka."Lo bertekad kejar dia, sekarang bahkan Adisty yang kejar lo! Saat lo inget nanti, lo pasti nyesel sama ucapan lo hari ini, Jar!" gemasnya lalu memutuskan keluar dan membiarkan mereka berdua."gue pulang dulu, Elsa udah tanya kapan gue pulang."
"Hm, hati - hati. Salam buat Elsa sama Kanya."
"Hm." Nata pun hilang di telan pintu.
Adisty masih betah duduk dengan kepala menun
Nata terlihat kacau, gosip mengenai dirinya gay kini muncul kembali ke permukaan. Membuat beberapa klien membatalkan janjinya. Bahkan sahamnya pun agak goyah."Mereka tahukan gue udah nikah bahkan udah punya anak!" amuk Nata.Qiano diam sejenak."Mungkin ada pesaing yang mau lo sama perusahaan ini hancur."Nata menghela nafas kasar."Gue ga paham dan ga tahu, nyokap bokap pasti turun tangan tapi tetep aja, sialan banget berita ini. Gara - gara gosip ini, dalam sehari klien banyak yang batalin janji." ujar Nata dengan emosi yang menggebu."Cari akarnya, jangan di biarin, Nat."Nata mengangguk dengan penuh tekad."Pasti, gue akan cari." tatapannya berkilat penuh ambisi."Dengan uang lo yang ga akan habis tujuh turunan, semua pasti mudah."***"Ma,
Nata dan Qiano tengah terlihat serius, cafe sepi pengunjung itu benar - benar sepi."Dia saingan lo waktu sebelum kontrak sama perusahaan ponsel waktu itu." Qiano mendekatkan tabnya pada Nata."Gue udah duga ini, dia ga terima kalah." Nata memperhatikan satu CCTV di mana salah satu tangan kanan saingannya yang tengah memberi sesuatu pada wartawan di perusahaan besar."Gue dapet ini pake ancaman. Kalau mereka ga jujur dan kasih bukti, gue bakalan bikin mereka bangkrut." jelas Qiano sebelum menyesap kopinya."Bagus, walau pun udah kasih bukti, gue tetep mau mereka bangkrut, wartawan matre sialan! Gue mau ajak liburan anak sama bini jadi gagal!" amuk Nata."Sabar, yang penting semua masalah beres dengan adanya bukti - bukti ini. Lo bisa terbang lusa atau bahkan besok, Nat.""Lo bener, gue pam—""Hai." Irvan tersenyum tipis, deng
Nata terlihat kewalahan, Elsa begitu tidak bisa diam. Berlarian di pantai, menjerit saat ombak menghampiri. Nata tidak mau lengah, dia tidak mau Elsa kenapa - kenapa."Astaga." nafas Nata ngos - ngosan, masih dengan menatap Elsa lalu kembali mengejarnya dan berjaga di belakangnya."Papa! Elsa udah besar, kenapa di buntuti terus!" Elsa menekuk wajahnya, menatap Nata dengan cemberut."Masih kelas 2 SD, itu belum besar. Ombaknya lagi besar sayang, ayo ke mama, kita makan semangka." Nata meraih tangan Elsa namun Elsa menolak."Gendong."Nata terkekeh."Katanya udah besar, dasar anak papa gemesin." ucapnya sembari menggendong Elsa di punggungnya."Woaaa, terbang, lari papa." pinta Elsa heboh.Dengan susah payah Nata berlari pelan, membuat Elsa begitu bahagia. Nata yang lelah dengan nafas terengah jadi ikut bahagia mendengar tawa bahagia dari anaknya.
Bermain di bibir pantai, naik kapal, berenang, belanja, jalan - jalan di sekitar pantai. Semua telah mereka lalukan berulang kali selama seminggu liburan di sana.Elsa terlihat betah dan nyaman berada di sana. Dan sekarang efek dari kenyamanan itu, Elsa terus menolak untuk pulang.Kanya berusaha menarik tangan Elsa yang berpegang pada pintu, takutnya terjepit membuat Kanya jadi kesal karena Elsa tidak menurutinya."Lepas, Elsa!" bentak Kanya hilang kendali.Nata yang tengah berbincang dengan anak buahnya soal rute pulang menuju bandara nanti pun jadi terhenti, dia mendekati keduanya dengan tidak suka karena Kanya membentak Elsa bukan membujuknya."Bujuk bukan bentak! Aku ga suka sama kamu yang ga bisa tahan emosi sama, Elsa." Nata mengusap kepala Elsa, membujuknya lalu menggendongnya.Kanya menghela nafas berat, pasti akan ada perang dingin lagi bersam
Nata menghampiri Kanya, mengecup keningnya dan perutnya yang membuncit. Kini kandungannya sudah memasuki bulan ke 7. Kanya terlihat cantik dengan gaun pesta yang membalut perutnya dengan sedikit ketat.Selama mengandung, Kanya tidak pernah di rawat. Kehamilannya yang kedua ini sungguh mudah."Fajar sama Adistynya udah di gereja kali ya? Mau ke sana duluan biar bisa foto - foto lama, aku mau perut aku keliatan bagus."Nata tersenyum tipis."Perut kamu, sama kamu selalu cantik. Tunggu dulu, Elsa masih di dandani, sayang." balasnya agak geli dengan kesukaan baru Kanya yaitu selfie."Masih lama?" Kanya menoleh sebentar pada Nata sebelum sibuk merapihkan dandanannya yang merasa kurang."Sebentar lagi." Nata mengecup belakang kepala Kanya lalu membawa langkahnya ke kamar anak gadisnya."Papa! Masa Elsa pake ini?" Elsa menunjuk gaun pink mengemba
Elsa terlihat malu - malu, rambut panjangnya tergerai indah. Gadis kecil yang kini tumbuh jadi Gadis SMA yang begitu cantik bak bidadari.Elsa memasuki kelasnya dengan berdebar, selama SMP dia home schooling karena ulah Rafa yang menghasut kedua orang tuanya agar tidak menyekolahkannya di sekolah umum. Dengan alasan pergaulan.Dan inilah saatnya Elsa mengenal dunia baru, dia ingin bersosialisasi walau masih saja di kekang Rafa."Di sini." Rafa menepuk sebelah kursinya yang kosong.Elsa mendengus, papanya selalu membuatnya terlibat dengan Rafa bahkan kini sekelah.Elsa mencari kursi lain, dia akan membangkang! Sudah dari lama dia menolak perjodohan, Rafanya saja terlalu keras kepala dan pemarah! Membuat Elsa semakin membencinya."Di sini." Rafa menyeret Elsa dengan wajah di tekuk garang.Elsa mendengus kesal, semakin besar Rafa b
Nata dan Kanya berpelukan, Nata menenangkan Kanya yang tampak kecewa, sedih namun juga bahagia. Semua rasa bercampur aduk."Kita bisa nikahin mereka sebelum perut Elsa membesar." Nata menenangkan Kanya yang semakin terisak."Semua bukan salah Afa aja, tapi karena kejadian saat aku mau di perkosa, ma, pa." Elsa sama kacaunya dengan Kanya, rasanya dia sudah mengecewakan kedua orang tuanya."Perkosa?" Nata terlihat menautkan alisnya, dia tidak dapat laporan soal itu.Rafa menjelaskan semuanya, jelas saja membuat semua semakin sedih. Mereka terlalu menghakimi Rafa walau sebenarnya Rafa pun salah dalam mengambil tindakannya hingga membuat Elsa hamil sebelum gadis itu kuliah."Kuliah kamu gimana? Bukannya hari ini—""Di undur, karena tahu soal kehamilan ini, aku maunya nikahin kamu dulu terus kita terbang ke sana. Aku ga mau tinggalin kamu yang lagi ham
Nata, Kanya, Qiano, Syasya, Fajar, Adisty, Garsela minus papa Nata karena sedang di luar negeri. Mereka semua terlihat tidak bisa diam di ruang tunggu persalinan.Elsa sedang berjuang di sana, sudah hampir satu jam masuk dan mereka belum juga mendapat kabar bagaimana keadaan di dalam."Semua baik - baik ajakan? Anak kita, pa." Kanya berderai air mata, traumanya saat melahirkan Elsa membuat Kanya tak karuan.Nata menarik Kanya, menenangkannya dengan sabar. Memberikannya semangat dan kata - kata positif agar Kanya tidak berpikir yang macam - macam.Qiano terlihat mondar - mandir tidak tenang.Fajar di samping Adisty sama gelisahnya, Fajar mengusap perut Adisty yang membuncit.Adisty hanya meliriknya sekilas karena dia tengah sibuk menenangkan Syasya yang sama seperti Kanya.Fajar terlihat gelisah, dia pun akan seperti Nata tidak l
Revan duduk dengan tenang, justru perasaannya kini senang. Sedangkan Bella menunduk dalam, dia terlihat malu."Kan! Mereka udah dewasa, ketakutan aku terjadikan!" Dewi menatap Dewa dengan emosi dan berkaca - kaca."Iyah, kalau tahu gini aku dari awal engga kasih izin.." Dewa meraih bahu Dewi, mengusapnya agar tenang."Kalau hamil gimana? Rieta pasti kecewa!" Dewi menyeka air matanya, perasaan Rieta pasti hancur kalau sampai itu terjadi.Revan terhenyak, rasa senangnya lenyap. Benar juga, Rieta kalau tahu pasti kecewa dan akan merasa bersalah. Revan harusnya menjaga Bella."Kalian keluarnya di dalam atau luar?" Dewi menatap Revan dengan masih marah.Bella semakin tidak berani mengangkat kepalanya.Revan menjilat bibirnya yang tiba - tiba kering, jakunnya mulai bergerak saat menelan ludah."Da-dalem ma.." Revan menunduk,
Bella tersenyum dengan tersipu, tangannya yang dingin kini di genggam erat oleh Revan. Rasanya Bella kembali pada masa ABG labil, berdebar dan malu - malu."Di sini kalo pagi emang gini, dingin.." Revan menatap Bella dengan senyum tipis.Revan masih tidak percaya kalau Bella ada di rumahnya, bahkan saat membuka mata Bella ada di sampingnya.Revan ingin menyinggung pernikahan tapi rasanya Revan ragu, dia tidak mau melukai Bella yang belum sembuh dari gagal nikahnya dengan Fadil."Iyah, parah dinginnya.." Bella mengamati sekitarnya, padahal matahari sudah menyapa cukup tinggi.Revan mengubah posisi, di peluknya Bella dari belakang."Biar anget.." katanya di atas kepala Bella, Revan menyandarkan kepalanya di kepala Bella.Bella menggigit bibirnya, menahan senyum yang takutnya terlalu lebar."Bell.." panggil Revan lembut.
Revan membantu Dewi untuk duduk, kini mereka sudah kembali ke rumah. Satu bulan lebih berlalu, operasi kecil pun dengan lancar Dewi laksanakan.Revan dan Bella pun mulai terlihat seperti semula, tanpa canggung atau berusaha menghindar. Hubungannya bisa di bilang membaik namun tidak sedekat dulu, Bella pun tidak seagresif dulu.Bella di sibukan dengan bisnis barunya yang baru buka, Bella membuka toko kecil namun berisi bunga dan peralatan lain untuk kado."Bella kok jadi jarang jenguk bunda?" tanya Dewi setelah meraih gelas air yang di berikan Revan.Dewa melirik sang istri."Mungkin sibuk, ayah denger Bella buka bisnis ya?" tanya Dewa.Revan mengangguk."Baru buka minggu kemarin.." jawab Revan."Kamu kenapa ga bantu Bella?" tanya Dewi dengan penasaran."Katanya Bella ga mau di ganggu dulu." balas Revan lesu, seminggu lebih tidak bertemu
Revan menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang rumah Bella, sepertinya untuk bertemu Rieta tak bisa sekarang."Bunda di dalem?" tanya Revan setelah membantu Bella membuka sabuk pengaman.Bella menggeleng."Lagi di rumah tante, acara syukuran anaknya.." balasnya dengan suara parau dan mata sembab.Revan mengangguk samar, syukurlah. Jika pun ada Revan tak bisa bertemu sekarang. Revan harus bergiliran menjaga sang bunda dengan ayahnya yang harus lembur."Kapan pulang?" tanya Bella."Nunggu mama sembuh.." balas Revan dengan memperhatikan Bella yang ternyata gemukan.Revan merasa lega, itu artinya Fadil menjaga Bella dengan baik."Mau jenguk, tapi nunggu matanya sembuh.." jelas Bella dengan bibir di tekuk. Moodnya masih belum baik."Hm, gih masuk. Istirahat.."Bella mengangguk."Makasih untuk
Bella mendial nomor Fadil, tumben selama dua hari ini Fadil tidak segesit biasanya."Kak Bell.."Bella menoleh lalu tersenyum ramah."Eh ada Ratu.." sapanya seraya memeluknya sekilas."Kakak lagi belanja juga?" tanyanya dengan riang."Hm, kamu ke sini sama siapa?" tanya Bella seraya mengusap anak gadis yang kini sudah masuk ke kelas dua SMA itu."Loh?"Bella menoleh, sama kagetnya dengan Fadil kini. Orang yang sulit di hubungi olehnya ternyata sedang belanja."Kalian saling kenal?" tanya Ratu senang."aku sepupu kak Fadil kak dan aku kenal sama kak Bell karena waktu itu kak Bell bantu tolongin anjing Ratu yang kejebak ikatannya di besi pinggir jalan.." terangnya riang.Bella yang berpikiran negatif sontak tertawa pelan."Kirain dia selingkuh.." gemas Bella pada Fadil.Fadil tersenyum, meraih pinggan
Bella terus berceloteh di samping Revan yang kini tengah makan bersama Fadil, Dewa dan Dewi."Iyah Bell, udah makan dulu.." Revan menyimpan udang yang sudah di kupas ke nasi Bella."Makasih.." kata Bella seraya menyudahi celotehannya lalu melirik Fadil di samping kirinya.Fadil menyeka keringat di poni Bella dengan tissue lalu membantu Bella mengupas udang. Fadil harus menghentikan Revan, biar soal mengurus Bella kini menjadi urusannya.Revan melirik keduanya dengan mood down. Revan salah berpikir Bella akan terus menunggunya. Mungkin Revan terlalu percaya diri kalau Bella tidak akan berpaling."Makasih.." kata Bella saat Fadil memberikan udang yang sudah di kupas cangkangnya.Dewi mengamati gerak - gerik anaknya. Sebagai ibu dia sangat paham dengan perasaan Revan.Sudah berapa kali dirinya menasihati Revan tapi tetap saja tidak
Fadil menggeleng samar, Bella sudah makan langsung tidur siang. Pantas saja pipinya gembul, menggemaskan.Fadil memperhatikan posisi Bella yang tidur dengan posisi duduk dan kepala bersandar di kepala sofa.Nyaman namun nanti akan membuatnya sakit. Fadil memutuskan untuk memandang wajah Bella.Damai, bulu mata lentik, alis tebal dan hampir menyatu dengan bulu - bulu halus di keningnya."Monyet, kamu banyak bulu di wajah ternyata.." gumamnya seraya mengusap bulu halus itu lalu turun ke hidungnya yang mungil namun mancung.Hingga jempolnya berakhir di bibir tipis yang merona alami. Ada kumis tipis yang menghiasi.Hubungannya setelah berstatus masih bisa di bilang mingguan belum bulanan, apa boleh mengecupnya sekilas? Pikir Fadil."Mau cium Bella?"Fadil tersentak sangat kaget di duduknya bahkan membuat Bella terja
"Aduh! Dosennya semoga belum dateng" heboh Bella dengan kedua kakinya yang pendek terus berlari melewati lorong yang akan membawanya semakin masuk ke dalam kampus.Fadil menaikan satu alisnya saat melihat Bella berlari begitu saja tanpa meliriknya.Fadil menyusulnya lalu menarik jaket Bella yang sontak membuat gadis itu berhenti dengan memekik kaget."Kemana? Kelas kita di sana kali" tunjuk Fadil kearah sebrang Bella."Ha! Belum ada dosen?" tanya Bella dengan nafas terengah."Hm, makanya kalo lagi ngomong teleponnya jangan di matiin! Tahu rasakan!" cemoohnya seraya melepaskan jaket Bella.Bella menggeram, bukan salahnya tapi justru salah Fadil yang selalu berbicara setengah - setengah dan kadang tak jelas. Membuatnya salah paham terus."Au ah! Males gue sama lo!" amuk Bella lalu berlari pelan menuju kelas di ikuti Fadil yang berjalan santai.
Bella gelisah, Bella tengah berdiri di balik pilar. Mencoba bersembunyi dan mengintip Revan yang kini tengah berbicara dengan Melia, kakak kelas mereka."Bella hanya temankan? Terus kenapa kamu ga bisa terima aku?" tanyanya seraya meraih tangan Revan.Revan menatap Melia, gadis di depannya memang menarik tapi Revan tidak ingin terganggu oleh hubungan rumit di masa SMA.Revan hanya ingin lulus lalu terbang ke negara yang akan mendidiknya menjadi atlit."Sorry.." setelah mengucapkan itu Revan berlalu.Bella menghela nafas lega, namun juga prihatin atas penolakan Revan. Bella kembali menarik nafasnya, kali ini dengan berat.Orang terdekat saja di abaikan, apalagi orang luar. Bella semakin tidak bisa menjangkau Revan rasanya.Bella membawa langkahnya untuk kembali masuk ke dalam gedung sekolah yang semakin r