Elsa terlihat malu - malu, rambut panjangnya tergerai indah. Gadis kecil yang kini tumbuh jadi Gadis SMA yang begitu cantik bak bidadari.
Elsa memasuki kelasnya dengan berdebar, selama SMP dia home schooling karena ulah Rafa yang menghasut kedua orang tuanya agar tidak menyekolahkannya di sekolah umum. Dengan alasan pergaulan.
Dan inilah saatnya Elsa mengenal dunia baru, dia ingin bersosialisasi walau masih saja di kekang Rafa.
"Di sini." Rafa menepuk sebelah kursinya yang kosong.
Elsa mendengus, papanya selalu membuatnya terlibat dengan Rafa bahkan kini sekelah.
Elsa mencari kursi lain, dia akan membangkang! Sudah dari lama dia menolak perjodohan, Rafanya saja terlalu keras kepala dan pemarah! Membuat Elsa semakin membencinya.
"Di sini." Rafa menyeret Elsa dengan wajah di tekuk garang.
Elsa mendengus kesal, semakin besar Rafa b
Nata dan Kanya berpelukan, Nata menenangkan Kanya yang tampak kecewa, sedih namun juga bahagia. Semua rasa bercampur aduk."Kita bisa nikahin mereka sebelum perut Elsa membesar." Nata menenangkan Kanya yang semakin terisak."Semua bukan salah Afa aja, tapi karena kejadian saat aku mau di perkosa, ma, pa." Elsa sama kacaunya dengan Kanya, rasanya dia sudah mengecewakan kedua orang tuanya."Perkosa?" Nata terlihat menautkan alisnya, dia tidak dapat laporan soal itu.Rafa menjelaskan semuanya, jelas saja membuat semua semakin sedih. Mereka terlalu menghakimi Rafa walau sebenarnya Rafa pun salah dalam mengambil tindakannya hingga membuat Elsa hamil sebelum gadis itu kuliah."Kuliah kamu gimana? Bukannya hari ini—""Di undur, karena tahu soal kehamilan ini, aku maunya nikahin kamu dulu terus kita terbang ke sana. Aku ga mau tinggalin kamu yang lagi ham
Nata, Kanya, Qiano, Syasya, Fajar, Adisty, Garsela minus papa Nata karena sedang di luar negeri. Mereka semua terlihat tidak bisa diam di ruang tunggu persalinan.Elsa sedang berjuang di sana, sudah hampir satu jam masuk dan mereka belum juga mendapat kabar bagaimana keadaan di dalam."Semua baik - baik ajakan? Anak kita, pa." Kanya berderai air mata, traumanya saat melahirkan Elsa membuat Kanya tak karuan.Nata menarik Kanya, menenangkannya dengan sabar. Memberikannya semangat dan kata - kata positif agar Kanya tidak berpikir yang macam - macam.Qiano terlihat mondar - mandir tidak tenang.Fajar di samping Adisty sama gelisahnya, Fajar mengusap perut Adisty yang membuncit.Adisty hanya meliriknya sekilas karena dia tengah sibuk menenangkan Syasya yang sama seperti Kanya.Fajar terlihat gelisah, dia pun akan seperti Nata tidak l
Dewi memeluk buku yang di pangkunya. Gadis berkucir kuda itu tengah duduk di bus yang akan mengantarkannya ke sekolah. Matanya terus fokus pada jalanan yang di lewatinya."Dewi Anandita." gumam seseorang yang membuat Dewi mendongkak menatap siswa yang berseragam sama sepertinya.Dewi melirik name tag di dadanya.Dewa Altarik.Dewi mengacuhkan Dewa, dia tidak kenal Dewa. Dewi hanya tahu kalau dia salah satu anak nakal di sekolah.Dewa masih berdiri, tidak berniat duduk di samping Dewi yang kosong. Matanya yang sipit terlihat tajam, rambutnya yang sedikit panjang di belakang dan poninya membuat kesan Bad boy melekat hanya dengan sekali melihatnya dan jangan lupakan sesuatu yang membelit di keningnya. Mirip seperti Naruto pikir Dewi.Dewi tidak ingin berurusan dengan berandal sekolah karena sebentar lagi dia akan segera meninggalkan sekola
Elsa melirik anak bujangnya yang baru pulang itu, selalu saja terlihat berantakan walau tampannya melebihi Rafa muda dulu."Rapih banget seragamnya, sayang." sindir Elsa dengan lembut nan hangat.Dewa mengangkat bahunya acuh."Tahu kok, ma." balasnya."Tahu - tahu! Benerin! Mama cape harus ke sekolah urusin kamu." wajah ramah Elsa berubah marah."Jangan di urusin aja, ma. Gampang." Dewa berlalu begitu saja, membuat Elsa jelas saja darah tinggi.***Dewi membuka buku paket yang sangat tebal itu dengan pikiran yang kembali bercabang, dia tidak bisa fokus.Kekhawatiran selama ini akhirnya terjadi. Dewi belum ingin mengenal cinta atau pun laki - laki karena pasti akan mengganggu proses belajarnya."Argh! Engga bisa fokus! Perlombaan sebentar lagi, gawat!" erangnya se
Dewi melangkah masuk menuju tempat di mana akan di adakannya seleksi untuk mengikuti perlombaan IPS tingkat provinsi."Sini Dew." sambut Melo—saingannya yang berbeda kelas."Kamu udah menghapal apa aja?" tambah Melo saat Dewi sudah duduk di sampingnya.Dewi mengeluarkan catatan yang di buatnya, dengan antusias Melo meraih catatan itu."Ini kamu yang bikin, Dew?" tanya Melo dengan senyum ramahnya yang khas di sertai suaranya yang lembut.Dewi mengangguk dengan melempar senyum kecil. Dewi kalau dengan orang lain memang seperti itu, jarang berbicara."Oh iya—" Melo menutup catatan itu lalu membisikan sesuatu."kamu beneran pacaran sama Dewa? Kemarin di parkiran anak - anak heboh karena kamu cewek pertama yang masuk ke mobil Dewa." bisik Melo, setelahnya menatap Dewi dengan penuh minat. Berharap Dewi akan terbuka padanya walau tidak terlalu dek
Dewi benar - benar tidak bisa tidur, jiwanya resah mengingat besok pengumuman akan di tempel di mading. Ponselnya berdering, mengalunkan musik adik EXO, NCT Dream - Hot sauce.Dengan lesu Dewi meraih ponselnya dan nama Dewa lah yang tertera di sana."Ya hallo," sambut Dewi dengan tidak bertenaga. Dia sebenarnya sedang dalam mood tidak ingin di ganggu."Engga bisa tidur?" tebak Dewa yang sangat tepat sasaran, Dewa melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 1 malam."Hm."gumam Dewi sebagai jawaban."Mau aku nyanyikan lagu?" tawar Dewa seraya mengerjapkan matanya , sepertinya bir yang di minumnya sudah mulai bereaksi."Engga usah." tolak Dewi dengan di akhiri helaan nafas panjang guna menetralkan degub jantungnya yang berdebar entah karena Dewa atau karena kegelisaannya menunggu besok."Jangan sungkan,
Rizkita mengepalkan tangannya dengan nafas memburu kesal, marah plus kecewa dengan jalan hidupnya yang terasa rumit.Demi apapun Rizkita hanya ingin menjadi siswi biasa sesuai umurnya, tidak memusingkan uang, tidak lelah karena pekerjaan, dia hanya ingin sibuk bermain."Rania, mama tetap tidak berubah.."lirih Rizkita yang kini terisak, amarahnya menguap menjadi rasa lelah akan semuanya.Rania sang sahabat yang merangkap asistennya kini memeluk Rizkita. Keduanya berada di posisi yang sama, di jadikan mesin uang dengan mengesampingkan pendidikan. Keduanya hanya home schooling."Mereka beruntung merasakan masa putih abu - abu, sedangkan aku melewati fase itu."lirih Rizkita dengan tangisan yang semakin tak terbendung."Mama marah saat aku bilang ingin berhenti, apa uang papa tidak cukup? kenapa aku harus bekerja banting tulang sedangkan Dewi dia bisa merasakan bangku sekolah! sem
Rizkita masuk dengan tanpa permisi membuat Dewi yang tengah berbincang dengan Dewa lewat ponsel mengalihkan fokusnya."Ada apa Ta?"tanya Dewi heran melihat raut marah di wajah Rizkita."Semua ga adil!"teriak Rizkita seraya mendorong Dewi hingga terjatuh ke lantai."Akh! ada apa Ta?"tanya Dewi dengan ringisan sakit saat merasakan lengannya yang mungkin terkilir."Enak ya pacaran? enak ya sekolah! lo ga berguna!"teriak Rizkita dengan nafas memburu."kenapa gue? harusnya elo!"lanjut Rizkita semakin tak terkendali.Dewi mulai gelisah, dia tidak mengerti maksud Rizkita apa."Maksud kamu apa Ta?"lirih Dewi."Kenapa cuma gue yang kerja di sini? sedangkan elo yang nikmatin uangnya buat sekolah dan pacaran! sialan!"teriak Rizkita lalu melayangkan tamparan keras ke pipi Dewi.Dewi tak bisa lagi membendung air mata dan amarahnya."Harusnya gue yang merasa g
Revan duduk dengan tenang, justru perasaannya kini senang. Sedangkan Bella menunduk dalam, dia terlihat malu."Kan! Mereka udah dewasa, ketakutan aku terjadikan!" Dewi menatap Dewa dengan emosi dan berkaca - kaca."Iyah, kalau tahu gini aku dari awal engga kasih izin.." Dewa meraih bahu Dewi, mengusapnya agar tenang."Kalau hamil gimana? Rieta pasti kecewa!" Dewi menyeka air matanya, perasaan Rieta pasti hancur kalau sampai itu terjadi.Revan terhenyak, rasa senangnya lenyap. Benar juga, Rieta kalau tahu pasti kecewa dan akan merasa bersalah. Revan harusnya menjaga Bella."Kalian keluarnya di dalam atau luar?" Dewi menatap Revan dengan masih marah.Bella semakin tidak berani mengangkat kepalanya.Revan menjilat bibirnya yang tiba - tiba kering, jakunnya mulai bergerak saat menelan ludah."Da-dalem ma.." Revan menunduk,
Bella tersenyum dengan tersipu, tangannya yang dingin kini di genggam erat oleh Revan. Rasanya Bella kembali pada masa ABG labil, berdebar dan malu - malu."Di sini kalo pagi emang gini, dingin.." Revan menatap Bella dengan senyum tipis.Revan masih tidak percaya kalau Bella ada di rumahnya, bahkan saat membuka mata Bella ada di sampingnya.Revan ingin menyinggung pernikahan tapi rasanya Revan ragu, dia tidak mau melukai Bella yang belum sembuh dari gagal nikahnya dengan Fadil."Iyah, parah dinginnya.." Bella mengamati sekitarnya, padahal matahari sudah menyapa cukup tinggi.Revan mengubah posisi, di peluknya Bella dari belakang."Biar anget.." katanya di atas kepala Bella, Revan menyandarkan kepalanya di kepala Bella.Bella menggigit bibirnya, menahan senyum yang takutnya terlalu lebar."Bell.." panggil Revan lembut.
Revan membantu Dewi untuk duduk, kini mereka sudah kembali ke rumah. Satu bulan lebih berlalu, operasi kecil pun dengan lancar Dewi laksanakan.Revan dan Bella pun mulai terlihat seperti semula, tanpa canggung atau berusaha menghindar. Hubungannya bisa di bilang membaik namun tidak sedekat dulu, Bella pun tidak seagresif dulu.Bella di sibukan dengan bisnis barunya yang baru buka, Bella membuka toko kecil namun berisi bunga dan peralatan lain untuk kado."Bella kok jadi jarang jenguk bunda?" tanya Dewi setelah meraih gelas air yang di berikan Revan.Dewa melirik sang istri."Mungkin sibuk, ayah denger Bella buka bisnis ya?" tanya Dewa.Revan mengangguk."Baru buka minggu kemarin.." jawab Revan."Kamu kenapa ga bantu Bella?" tanya Dewi dengan penasaran."Katanya Bella ga mau di ganggu dulu." balas Revan lesu, seminggu lebih tidak bertemu
Revan menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang rumah Bella, sepertinya untuk bertemu Rieta tak bisa sekarang."Bunda di dalem?" tanya Revan setelah membantu Bella membuka sabuk pengaman.Bella menggeleng."Lagi di rumah tante, acara syukuran anaknya.." balasnya dengan suara parau dan mata sembab.Revan mengangguk samar, syukurlah. Jika pun ada Revan tak bisa bertemu sekarang. Revan harus bergiliran menjaga sang bunda dengan ayahnya yang harus lembur."Kapan pulang?" tanya Bella."Nunggu mama sembuh.." balas Revan dengan memperhatikan Bella yang ternyata gemukan.Revan merasa lega, itu artinya Fadil menjaga Bella dengan baik."Mau jenguk, tapi nunggu matanya sembuh.." jelas Bella dengan bibir di tekuk. Moodnya masih belum baik."Hm, gih masuk. Istirahat.."Bella mengangguk."Makasih untuk
Bella mendial nomor Fadil, tumben selama dua hari ini Fadil tidak segesit biasanya."Kak Bell.."Bella menoleh lalu tersenyum ramah."Eh ada Ratu.." sapanya seraya memeluknya sekilas."Kakak lagi belanja juga?" tanyanya dengan riang."Hm, kamu ke sini sama siapa?" tanya Bella seraya mengusap anak gadis yang kini sudah masuk ke kelas dua SMA itu."Loh?"Bella menoleh, sama kagetnya dengan Fadil kini. Orang yang sulit di hubungi olehnya ternyata sedang belanja."Kalian saling kenal?" tanya Ratu senang."aku sepupu kak Fadil kak dan aku kenal sama kak Bell karena waktu itu kak Bell bantu tolongin anjing Ratu yang kejebak ikatannya di besi pinggir jalan.." terangnya riang.Bella yang berpikiran negatif sontak tertawa pelan."Kirain dia selingkuh.." gemas Bella pada Fadil.Fadil tersenyum, meraih pinggan
Bella terus berceloteh di samping Revan yang kini tengah makan bersama Fadil, Dewa dan Dewi."Iyah Bell, udah makan dulu.." Revan menyimpan udang yang sudah di kupas ke nasi Bella."Makasih.." kata Bella seraya menyudahi celotehannya lalu melirik Fadil di samping kirinya.Fadil menyeka keringat di poni Bella dengan tissue lalu membantu Bella mengupas udang. Fadil harus menghentikan Revan, biar soal mengurus Bella kini menjadi urusannya.Revan melirik keduanya dengan mood down. Revan salah berpikir Bella akan terus menunggunya. Mungkin Revan terlalu percaya diri kalau Bella tidak akan berpaling."Makasih.." kata Bella saat Fadil memberikan udang yang sudah di kupas cangkangnya.Dewi mengamati gerak - gerik anaknya. Sebagai ibu dia sangat paham dengan perasaan Revan.Sudah berapa kali dirinya menasihati Revan tapi tetap saja tidak
Fadil menggeleng samar, Bella sudah makan langsung tidur siang. Pantas saja pipinya gembul, menggemaskan.Fadil memperhatikan posisi Bella yang tidur dengan posisi duduk dan kepala bersandar di kepala sofa.Nyaman namun nanti akan membuatnya sakit. Fadil memutuskan untuk memandang wajah Bella.Damai, bulu mata lentik, alis tebal dan hampir menyatu dengan bulu - bulu halus di keningnya."Monyet, kamu banyak bulu di wajah ternyata.." gumamnya seraya mengusap bulu halus itu lalu turun ke hidungnya yang mungil namun mancung.Hingga jempolnya berakhir di bibir tipis yang merona alami. Ada kumis tipis yang menghiasi.Hubungannya setelah berstatus masih bisa di bilang mingguan belum bulanan, apa boleh mengecupnya sekilas? Pikir Fadil."Mau cium Bella?"Fadil tersentak sangat kaget di duduknya bahkan membuat Bella terja
"Aduh! Dosennya semoga belum dateng" heboh Bella dengan kedua kakinya yang pendek terus berlari melewati lorong yang akan membawanya semakin masuk ke dalam kampus.Fadil menaikan satu alisnya saat melihat Bella berlari begitu saja tanpa meliriknya.Fadil menyusulnya lalu menarik jaket Bella yang sontak membuat gadis itu berhenti dengan memekik kaget."Kemana? Kelas kita di sana kali" tunjuk Fadil kearah sebrang Bella."Ha! Belum ada dosen?" tanya Bella dengan nafas terengah."Hm, makanya kalo lagi ngomong teleponnya jangan di matiin! Tahu rasakan!" cemoohnya seraya melepaskan jaket Bella.Bella menggeram, bukan salahnya tapi justru salah Fadil yang selalu berbicara setengah - setengah dan kadang tak jelas. Membuatnya salah paham terus."Au ah! Males gue sama lo!" amuk Bella lalu berlari pelan menuju kelas di ikuti Fadil yang berjalan santai.
Bella gelisah, Bella tengah berdiri di balik pilar. Mencoba bersembunyi dan mengintip Revan yang kini tengah berbicara dengan Melia, kakak kelas mereka."Bella hanya temankan? Terus kenapa kamu ga bisa terima aku?" tanyanya seraya meraih tangan Revan.Revan menatap Melia, gadis di depannya memang menarik tapi Revan tidak ingin terganggu oleh hubungan rumit di masa SMA.Revan hanya ingin lulus lalu terbang ke negara yang akan mendidiknya menjadi atlit."Sorry.." setelah mengucapkan itu Revan berlalu.Bella menghela nafas lega, namun juga prihatin atas penolakan Revan. Bella kembali menarik nafasnya, kali ini dengan berat.Orang terdekat saja di abaikan, apalagi orang luar. Bella semakin tidak bisa menjangkau Revan rasanya.Bella membawa langkahnya untuk kembali masuk ke dalam gedung sekolah yang semakin r