"Diam kamu madesu!" Mbak Meri menunjukkan ekspresi tak suka saat ku sindir. "Mbak, jangan marah-marah, nanti darah tingginya kumat lagi, kena struk malah repot!" tegurku pada Mbak Meri. "Heh! Seenaknya kamu nyumpahin aku kena struk! Dasar madesu nggak tau diri! Mas, lihat, si Arum nyumpahin aku kena struk hu hu hu!" Mbak Meri sok sedih. Aku pengen ketawa melihat tingkah istrinya Kang Handoyo ini. Is lebay banget deh. "Halah, kamunya aja yang baper! Arum itu bener. Kamu jangan marah-marah. Nanti tensimu naik lagi!" sungut Kang Handoyo. Yes! Aku menang! Kirain Kang Handoyo mau ikut marah, ternyata malah belain aku. Mbak Meri meliriku tajam. Aku biasa aja. "Bulik, aku mau istirahat dulu, ya!" ucap Tio kepadaku. Aku menoleh Tio, "Oh iya, istirahatlah. Cepet sembuh ya! Bulik mau duduk disana aja." Ku kecup kening Tio, lalu ku benahi selimutnya. Akupun menuju karpet dimana Mas Rahman dan Kang Handoyo duduk. "Kang, gimana, yang tadi siang itu beneran 'kan? Mana?" Tanganku langsung sa
"Mer, kamu itu harusnya terimakasih sama Arum dan Rahman, mereka orang pertama yang nengokin kamu. Yang lain mana ada. Bahkan sodaramu saja nggak mau kesini." tegur Kang Handoyo pada istrinya. "Halah, itu 'kan memang tugasnya mereka nengokin kita. Ingat ya Mas. Derajat kita lebih tinggi dari keluarga jelata itu!" Lagi Mbak Meri menghinaku. Rasanya pengen banget meremas mulut itu. Tapi, sabar Arum, sabar! Main cantik aja. "Sudahlah, Mer. Diam saja kamu!" bentak Kang Handoyo. Mbak Meri langsung diam lalu dia terisak. "Mas, kita pulang aja, yuk. Percumah disini juga, cuma dihina aja." ajakku pada Mas Rahman. Kang Handoyo nampak terkejut saat aku mengajak suami untuk pulang. "Rum, tolong jangan pulang! Siapa yang menemaniku disini? Jangan dengerin omongan Meri!" Kang Handoyo memelas. Sengaja kupasang muka masam kepada Kang Handoyo, biar saja. Tetiba hape baruku berdering. Langsung saja kulihat. Ternyata sebuah pesan dari Mbak Rini. "Rum, hapemu baru?" tanya Kang Handoyo. "Arum di
"Nggak usah teriak-teriak, kita juga pasti pergi, kok. Kang suruh belajar sopan tuh istrimu sama sodara. Asal Kakang tau, kelakuan kaya gitu yang bikin sodara malas mendekat sama keluarga Kakang." Mataku mengerling kearah Kang Handoyo. Aku segera beranjak dari dari karpet ini. Bersiap pergi dari ruangan ini, sebelum pergi, ku ambil foto Mbak Meri, Tio, aku, Mas Rahman dan Kang Handoyo juga. Biasa hape baru. Sengaja pamer dikit, boleh dong. "Mas, yuk keluar aja, kedatangan kita disini nggak ada gunanya kok. Korban modus doang," ceplosku. Biarin aja, mau tersinggung elos, enggak ya elos. Dia yang janji, eh, malah dusta. Mas Rahman berdiri. Mata Kang Handoyo sayu. Hatiku lumayan kesal setelah menjadi korban modus Kang Handoyo. "Pasti tak ganti, Rum. Tenang aja. Besok siang kesini lagi, ya! Tolong bawain makanan dari rumah, lauknya apa aja deh, tekor beli terus," keluh Kang Handoyo. Kuhela nafas kasar. Walah Kang, Kang. Untuk makan sendiri aja itungan. Resiko lah. Coba kalo kaya gin
Silakan hina aja, belum tau dia, motorku lebih keren dari punya dia. "Eh, Bude, situ 'kan cs-nya Mbak Meri tuh, udah nengokin belum solmatenya sakit?" Mataku melirik kearah Bude Sri. "Udah dong! Semalam aku kesana pulang jam sembilan," jawabnya sok iyes. What kesana? Mana ada, wah pembohong nih. "Oh, ya! Kok nggak ketemu, ya sama aku! Aku semalam habis dari sana loh, ini Kang Handoyo minta dimasakin suruh ngirim makanan nanti siang," ucapku santai. "Mana ada! Kamu jangan ngarang cerita dong! Semalam kamu nggak ada tuh. Si Meri kasihan tau, dia itu semalem belum sadar, ih, miris banget deh. Aku disuruh jaga rumah sama si Handoyo," Bude Sri sok sedih. Dasar tukang ngibul. Mana ada Mbak Meri pingsan, semalem dia mencak-mencak kok. Dih, dasar tukang cari muka! Kucebikkan bibir ini. Jelas-jelas Bude Sri ini berdusta. "Oh, benarkah? Emang Mbak Meri dirawat diruangan mana, Bude?" tanyaku mengetes si perempuan cs-nya Mbak Meri ini. "Lho, katanya nengokin kok nggak tau Meri dirawat dir
Pulang dari warung, hatiku puas bisa memberi pelajaran kepada Bude Sri cs-nya Mbak Meri. Selama ini dia selalu ikut-ikutan menghinaku. Pagi ini, kubuat dia melongo. Aku harus segera mengeksekusi bahan masakan ini, lalu membantu suamiku di ladang. _______ "Mas, sarapan dulu," ucapku setelah motor ku parkir di kebun karet yang kami garap. Sebuah plastik berisi bekal makanan kuambil dari motor. "Masak apa, Dik?" Mas Rahman membuka bungkusan ini. "Balado telur, Mas. Sekalian buat ngirim ke rumah sakit nanti siang." Aku duduk ditanah. Suasana teduh dibawah pohon karet membuat nyaman. "Tadi Kang Handoyo telepon, katanya Mbak Meri hari ini sudah boleh pulang. Tapi ... Tio masih harus dirawat." Mas Rahman mulai menyantap nasi bungkus bekal yang ku bawa. "Terus jadi ngirim makanan engga?" Alisku bertaut. Mas Rahman meneguk air bekal minumnya. "Ya jadi. Ini mulung dulu, langsung kesana. Siapa lagi yang mau ngirim makanan ke mereka kalau bukan kita?" Mas Rahman menatapku ekspresi wajahn
"Ah enggak, hoak itu. Semalam aku kesana suara Mbak Meri aja kenceng kaya toa kok," ucapku jujur. Kubuka lagi plastik pemberian Bude Sri kucek lagi isinya apa. "Mak Odah, Mbak Lilis, aku minta tolong kalian ikut ngecek baju ini, ya! Takutnya nanti timbul masalah gara-gara baju ini. Tau sendiri 'kan iparku itu gimana." Mataku menatap Mak Odah dan Mbak Lilis bergantian. Mak Odah meletakkan sayur asem kedalam, lalu dia keluar lagi ikut memeriksa baju Mbak Meri. "Nggak ada apa-apa nya kok. Baju dua potong, celana dua potong," ucap Mbak Lilis. "Iya, aman kok, Rum. Tenang aja, nanti kalo Meri berulah, biar Emak yang ngadepin." Mak Odah siap pasang badan. Aku tersenyum, "Makasih lho, Mak." Kuusap lembut bahu Emak. "Aku mau mandi dulu, nanti mau ke rumah sakit lagi," ungkapku pada kedua orang ini. Merekapun mengerti lalu permisi pulang. Suamiku pulang saat aku selesai mandi. "Mas, udah langsung dibagi uangnya?" tanyaku pada Mas Rahman, sambil menjemur pakaian yang telah kucuci. Uang ha
Aku melenggang pergi dari ruang perawatan Mbak Meri. Mending cari makanan dan minuman yang bikin kenyang dan adem. "Mas, ayok ikut aku! Kita cari makan diluar aja," ajakku pada Mas Rahman. Kamipun berjalan bersama mencari tempat nongkrong yang asyik sambil makan. Usai makan siang, pas azan Dzuhur berkumandang. Aku dan suami mencari mushola terdekat untuk tunaikan kewajiban. "Dik, kamu tadi bawa nasi bungkus berapa?" Mas Rahman duduk disampingku usai kami sholat. "Lima bungkus, Mas. Untuk kita semua. Tapi, bukanya ucapan trimakasih yang ku dapat malah cuitan sumbang," keluhku kesal. "Hah, entahlah, Dik. Mas juga nggak habis pikir, kok mereka setega itu. Liat tadi, Kang Handoyo pun nggak nawari kita makan. Jan kebangeten," ucap Mas Rahman ia merebahkan diri di ubin. Mending ngadem di mushola ini, ayem, ketimbang di dalam ruangan sana. ber-AC tapi rasanya mendidih. "Mas, cukup ini terakhir kalinya kita berurusan sama keluarga Kang Handoyo orang yang nggak tau terimakasih itu. Beso
_________ "Heh madesu, bangun!" Suara sumbang terdengar jelas ditelinga. "Enak ya tidur diruang ber-AC!" Mataku perlahan terbuka, menatap sosok yang berdiri mendelik kearahku. Yah, Mak Lampir bangun. Aku segera duduk bersandar di dinding. "Bulik, siap-siap, hari ini sudah boleh pulang," lirih Tio. Aku menoleh Tio lalu tersenyum. Kemana Mas Rahman dan Kang Handoyo? Kok nggak ada? Ah, lebih baik cuci muka dulu, biar seger. "Hei, mau kemana kamu?" Mbak Meri mendelik lagi. Tangannya memegangi botol infus yang masih separuh. Aku malas menanggapi Mbak Meri. Lebih baik ketoilet aja. Keluar dari toilet, datang dua orang perawat menghampiri Tio dan Mbak Meri. "Hari ini boleh pulang, tinggal nunggu infusnya habis. Tolong administrasi diurus ke kasir, biar bisa segera pulang," ucap perawat itu ramah. Kuraih hapeku di tas, kunci layar kubuka, ternyata dilayar sudah tertera jam tiga lebih sepuluh menit. Hem, rupanya sudah sore. "Hei Arum! Sampai rumah nanti kalo barangku ada yang hilang
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "