Sudah satu minggu sejak penangkapan trio benalu itu, kami belum mendengar kabar dari petugas tentang kelanjutan kasus Kak Inggit dan antek-anteknya. Aku bukannya tak perduli karena sudah ada yang menangani, hanya saja kegiatanku di tempat kerja dan kuliah sudah sangat menyita waktu akhir-akhir ini. Belum lagi Bang Gagas yang terus saja memintaku untuk berhenti bekerja paruh waktu, agar aku bisa membantunya di perusahaan yang dia kelola saat ini.Akhir-akhir ini aku juga tidak bisa bertemu dengan lelaki tampan sang pujaan hati, Mas Bimo sudah jarang terlihat datang ke apotek, pekerjaannya selalu dikerjakan dari rumah. Aku mendengar laporan dari Mbak Dina, karena dia yang selama ini memberikan laporan langsung tentang yang berurusan dengan apotek pada Mas Bimo.Entahlah kemana laki-laki itu, sejak malam terakhir beliau mengantarku pulang tak ada lagi kabarnya padaku. Entahlah itu telpon atau sekedar menghubungi ku lewat pesan, Mas Bimo seolah hilang ditelan bumi.Ingin sebenarnya aku m
Sebuah foto terpampang jelas dalam status wa nomor seseorang yang begitu familiar, karena hampir setiap menit kami saling menghubungi, bertanya kabar, bercerita tentang hal-hal yang terjadi setelah kami berpisah dari perkuliahan, tempat aku bercerita mengadukan segala kegundahan hati, begitu pun dia sebaliknya padaku.Dialah sahabatku Aisyah, dari status whatsAppnya kulihat ia menampilkan foto-foto yang terlihat seperti acara prosesi lamaran, ada banyak orang di sana dan yang membuatku begitu shock adalah laki-laki yang duduk disebalahnya, laki-laki yang mengenakan kemeja batik warna moka dipadukan dengan celana warna hitam begitu cocok dibadannya. Lelaki yang selama beberapa hari ini jarang terlihat, bahkan tidak mengabariku sama sekali dialah Mas Bimo, lelaki yang beberapa hari yang lalu memberikanku harapan untuk membangun masa depan kami berdua, laki-laki yang beberapa hari yang lalu memanggilku bidadari surganya, lelaki yang beberapa hari yang lalu berkata akan datang kerumah un
"Jangan mengirim anak itu ke panti asuhan, Bang! Kalau Abang tidak mau merawatnya, biarkan dia jadi anak angkatku saja." Teriakku lantang yang membuat Ibu juga Abangku menoleh seketika padaku."Jangan gegabah, Dek. Kamu ini masih lajang, untuk apa kamu mengadopsinya? lagipula suatu hari nanti kamu akan memiliki suami dan anak sendiri, apa bisa mereka menerima keberadaan Jingga dalam kehidupan kalian?" "Justru Abang yang sudah gegabah mengambil keputusan, sebesar apapun kebencian Abang pada Kak Inggit jangan pernah melampiaskannya pada anak ini. Sudah kukatakan jika dia ini hanya bayi tak berdosa yang tidak tahu apa-apa, Jingga hanya korban, Bang. Apa tidak ada rasa simpatik sama sekali dalam hati Abang untuk bayi tidak berdaya ini, sampai Abang tega membuangnya ke panti asuhan?" Aku benar-benar tidak habis pikir dengan tindakan yang akan Bang Gagas ambil, kenapa dia setega itu? padahal dari baru lahir Jingga dia begitu menyayanginya, namun hanya karena rasa bencinya kepada Kak Inggi
"Dia ...? bukankah dia seharusnya di penjara ...?"Mataku melotot, seketika aku menggosok-gosok mata takut mataku ini salah lihat, tapi saat mata ini menatap sosok itu benar-benar nyata, dia Kak Inggit. kakak iparku yang baru saja bebebrapa minggu yang lalu masuk penjara, karena kasus kejahatan yang menjeratnya. Namun saat ini kulihat dia tengah disebuah mobil bersama laki-laki yang bernama Denis, yaitu laki-laki yang menjadi selingkuhannya. 'Kok bisa, Kak inggit keluar? bukannya sidang saja belum, lagipula bukti-bukti sudah nyata mengarahkannya menjadi tersangka utama, belum lagi tuntutan tentang penganiayaannya padaku tempo hari, kenapa bisa Kak Inggit keluar secepat ini?' batinku bertanya-tanya Lamunanku buyar, ketika suara klakson kendaraan saling bersahutan karena aku tidak kunjung menjalankan sepeda motorku, padahal lampu lalulintas itu sudah berganti hijau. Secepatnya kulajukan segera kendaraanku membelah jalanan ibukota, berusaha untuk mengejar mobil yang tadi kulihat ada K
'"Aisyah, dan Mas Bimo ...?' gumamku.Ibu mengangguk tanda mendengar apa yang kugumamkan barusan, kenapa aku bisa lupa dengan kata-kata ibu tadi pagi, jika hari ini Aisyah dan Mas Bimo akan datang kerumah.Segera aku membuka mukena yang masih kupakai, lalu menggantinya dengan hijab instan yang menggantung di sebelah ranjang. Bergegas aku mengekor dibelakang ibu, untuk menemui pasangan calon pengantin yang bertamu malam ini."Assalamualaikum, Aish, Mas." Sapaku ketika sudah sampai di depan keduanya.Setelah mengantarku ke ruang tamu, Ibu kembali ke dapur sambil membawa Jingga dalam gendongan kainnya. Katanya mau membawa camilan untuk mereka, karena tadi baru sempat menyuguhkan air saja."Wa'alaikumussalam, Din. Apakabar? aku kangen." Jawab Aisyah yang langsung memelukku, seraya memberikan senyum sumringah terlihat begitu bahagia rona di wajahnya."Apa kabar, Mas?" tanyaku pelan."Alhamdulillah, Baik." Jawab Mas Bimo tidak kalah pelan. Wajahnya tertunduk, sama sekali tak berani menatap
"Assalamualaikum." Ucap Mas Yaseer, kemudian masuk dan duduk di sofa sebelah Mas Bimo walaupun belum dipersilahkan masuk. "Kok malah bengong, tidak ada kah yang mau menjawab salam yang saya ucapkan barusan?""Wa-wa'alaikumsalam," jawabku berbarengan dengan Aisyah.Aisyah menatapku penuh tanya, dia menatapku sambil tersenyum menggoda penuh arti, entah apa maksud dari senyuman Aisyah itu sampai akhirnya kusikut lengan Aisyah pelan supaya dia tak terus-terusan menggodaku lagi."Apa benar, Mas mau menerima Dina walaupun dia sudah memiliki anak? eh maksud saya walaupun dia membawa anak angkat dalam rumah tangga kalian, jika kalian berjodoh?" tanya Aish pada Mas Yaseer terlihat masih penasaran."Aish ...," Geramku kesal. Kenapa juga Aisyah mesti menanyakan hal itu kepada Mas Yaseer, ah dasar sahabatku ini bisa-bisanya dia membuatku salah tingkah, didepan dua laki-laki yang berbeda karakter itu."Tidak apa-apa, Din. Biar lebih jelas saja begitu, kan jika sudah jelas maksud dan tujuannnya ti
Waktu seakan cepat berlalu, kegiatanku saat ini hanya membantu ibu mengurus usahanya juga menjaga Jingga di rumah. Aku belum mengutarakan pada Bang Gagas, jika aku mau menerima tawarannya membantu bisnis yang ia kelola.Selain tidak tega membiarkan Ibu bekerja seorang diri, karena sekarang Aisyah sudah tidak diperbolehkan lagi bekerja membantu Ibuku oleh paman dan bibinya, aku juga malas sebetulnya untuk bekerja ditempat Bang Gagas, karena otomatis akan memperbanyak kesempatan ku untuk bertemu Mas Yaseer, laki-laki yang begitu banyak kelebihan percaya dirinya.Bukan aku baper, hanya saja rasanya kok tidak begitu sreg di hati melihat tingkah ceplas ceplos Mas Yaser padaku. Ya mungkin aku terlalu berlebihan atau mungkin terlalu geer menanggapi perlakuan nyeleneh Mas Yaseer, yang mungkin hanya tengah bercanda saja denganku.Namun aku benar-benar merasa tidak nyaman dengan tingkahnya, apalagi jika ia menggodaku blak-blakan didepan orang kain, rasa-rasanya aku begitu benci saat itu juga in
"Apaan, sih!" Gumamku kesal, yang ditimpali kekehan Mas Yasser dibelakangku.Bergegas turun dari pelaminan, kuhampiri Ibu dan juga Bang Gagas yang tengah menikmati makanannya di meja paling depan dekat pelaminan.Melihat yang lain tengah menikmati makanan mereka, aku sengaja mengajak main Jingga anak kesayanganku, tak ada sedikitpun keinginan untuk menyentuh makanan siang itu, rasanya melihat makanan tersaji dengan rapi di meja saja, sudah membuat perutku kenyang dibuatnya."Makanlah dulu biar Jingga ku jaga, sementara kamu mengisi perutmu, Dek!" Tiba-tiba kehadiran lelaki yang begitu menyebalkan di mataku itu, membuat lamunanku buyar seketika. Bukannya aku membawa main Jingga, malah anak itu yang menatapku seolah memberikan semangat pada mamanya, yang tengah gundah gulana ini.Tak ku indahkan perkataan Mas Yaseer, aku malah terus mengajak Jingga bercanda, hingga membuat anak bayi itu tergelak sangat menggemaskan. "Din, kok kamu tidak makan? apa makanannya tidak sesuai dengan seleram
"Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa
"Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang
Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster
"Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan
Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d
Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu
"Ayok jalan lagi! Kalau enggak, jawab pertanyaanku yang tadi siapa sebetulnya yang sakit, Dek? Kamu ataukah salah satu keluargamu?""Itu bukan ur—""Yas, sedang apa kamu dengan wanita itu ...?"Aku menatap sekilas ke arah suara yang rasanya tidak begitu asing, suara wanita paruh baya yang tadi membuat energiku terkuras, karena harus menahan emosi tingkat dewa menanggapi sikap absurdnya padaku."Ibu ... kenalkan ini Dina, Bu. Adik partner kerja, Yas di kantor."'Ibu ...? Jadi wanita setengah baya, yang bermulut pedas itu Ibunya Mas Yaseer, pantas saja anaknya tengil gak karuan ternyata ibunya saja memiliki tingkah yang tak kalah ajaib, dari putranya.' pikirku kesal.Ingin sebetulnya segera lari dari tempat itu, menghindari manusia-manusia yang hanya akan merusak moodku seharian. Ibu yang bermulut pedas juga julidh, lalu anak laki-lakinya yang tengil, slengean gak jelas. Sudah pasti hariku akan terus runyam, jika terus bersinggungan dengan manusia-manusia ajaib macam mereka ini."Jadi d
"Apa kamu tidak melihat jalan pakai mata? kamu pikir jalanan ini punya nenek moyangmu, sampai seenaknya saja berjalan tidak memperhatikan jalanan didepanmu!" Bentaknya keras, menatap nyalang sambil menunjuk-nunjuk kearah wajahku."Maafkan say—""Ah awas minggir! Dasar wanita tidak berguna, tidak punya atittude baik. Pasti kamu sengaja menabrak ku untuk mengalihkan perhatianku, kan? kamu ini berniat mencuri dariku ya, heh?"Astagfirullah ... betapa terkejutnya aku mendengar bentakan wanita setengah baya yang kutabrak barusan, padahal aku sudah meminta maaf padanya, sudah berniat mau membantunya untuk kembali berdiri. Tapi tuduhannya padaku tidak main-main, bagaimana mungkin dia bilang aku tidak punya attitude jika dirinya saja berlaku seperti itu, lagipula jika aku berniat mencuri untuk apa aku berniat membantunya berdiri, kenapa tidak kuambil saja barangnya, lalu pergi kabur begitu saja dengan barang yang kucuri darinya. Benar-benar ibu-ibu yang sangat ajaib memang, perangainya sung
"Din, aku akan menceraikan Aisyah setelah pengobatannya selesai, tolong tunggu aku sebentar lagi Din, ku mohon!""Apa maksudmu, Mas ...?"Tanya Aisyah menatap kearah kami, dua orang yang kini berada di depannya. Aku yang tidak mau kembali mendapatkan kesalahpahaman dari Aisyah, secepatnya menghampiri sahabatku kemudian mengusap bahunya lembut."Selesaikanlah masalah kalian, maaf aku tidak ingin ikut campur dan kembali terseret di dalamnya, Aish!"Tanpa menunggu jawaban Aisyah, aku segera kembali ke ruang tamu meninggalkan pasangan suami istri itu agar menyelesaikan berdua masalah mereka, aku tidak ingin lagi jika harus sampai terseret kedalam masalah besar diantara keduanya. "Kemana, Nak Aisyah sama suaminya, Nduk? apakah mereka sudah pulang?""Belum, Bu. Mereka ada di taman belakang." Jawabku sambil tetap menimang Jingga yang masih saja terdengar rewel."Jingga kenapa to, Nduk? nenek dengarkan dari tadi kok kamu tuh rewel terus, Nduk." Ucap ibuku terdengar khawatir.Ibu menghampiri