Bryan segera menunjukan kamar Alex. Membuka pintu lalu menjulurkan tangan mempersilakan Tuan Mada masuk.
“Alex putraku, sungguh putraku. Ini bukan mimpi, dia sangat mirip denganku,” kata Tuan Mada ingin sekali menyentuh pipi putranya itu. “Nahas sekali nasibmu Tuan muda.”
“Benar Tuan Mada, Tuan Alex sangat mirip denganmu.” Bryan mulai kagum dengan pahatan wajah Alex yang hampir sempurna.
“Bryan, atasi semua masalah di Venmo Group.” Tuan besar menuju ke sofa. Matanya tidak lepas dari sosok lelaki bertubuh tinggi agak kurus itu, Alex.
Bryan dan Zaen komunikasi lewat tatapan mata. Ia sepakat tidak akan menganggu Tuan besar yang masih ingin memandang Tuan muda. Bryan merancang kata-kata sedetail mungkin, mulai dari menemukan Tuan muda sampai Tuan muda pingsan.
“Aku harus membawa putraku kembali ke keluarga Madagaskar.” Tuan Mada melihat putranya lebih dekat lagi.
“Tuan Mada, sebaiknya biarkan Tuan muda bersemayam di rumah ini,” balas Bryan.
“Aku akan membawa putraku saat pembacaan wasiat dan pembagian warisan nanti.” Tanpa Bryan usir, Tuan Mada tidak ingin berlama-lama di negara ini. Mobil karatan itu sebagai transportasi ke bandara.
Sang pilot sudah menyiapkan diri. Pesawat itu melintasi atas rumah pemberian Bryan. Tidak lama kemudian Tuan muda mulai terbangun. Memegangi tengkuknya, mencium bau sangat wangi. Bryan segera meniliki Tuan muda.
“Tuan muda…” Bryan mempercepat jalannya, tangannya melingkari pinggang Alex dan membantunya duduk.
“Rumah siapa ini?” Pandangan mata Alex menatap rak buku dan berbagai benda-benda yang belum pernah ia lihat. “Di mana jam tanganmu?”
“Masalah jam tangan,” balas Bryan tersenyum sambil memegangi lengan kirinya. “Itu saya simpan, toh itu barang mahal.”
Alex manggut-manggut percaya. Keselamatan Tuan muda baginya sangat penting.
“Rumah ini resmi milik Tuan muda.” Alex menunjuk langit-langit kamar.
“Aku tidak butuh rumah semewah ini.” Alex melangkahkan kakinya pelan-pelan.
Punggung dan kepalanya terasa amat sakit. Ia teringat dengan kewajibannya pagi ini, magang di Vanmo Group. Sebelum Tuan muda turun untuk sarapan. Bryan menghubungi Abiyaksa, komisaris Venmo Group.
“Selamat pagi Pak Abiyaksa. Pagi ini saya ingin bicara dengan bapak. Bisakah Pak Abiyaksa meluangkan waktunya sebentar?” Tiap detik Bryan memandang anak tangga. Siapa tahu Tuan muda sedang menguping.
“Bisa.” Orang yang ditunjuk langsung oleh Tuan besar ini selalu melakukan tugasnya dengan baik. Ia tidak pernah membangkang dengan perintah.
Derap langkah Alex mulai terdengar. Bryan menutup gawainya dan menyiapkan sepiring sarapan dan segelas susu untuk Tuan mudanya itu.
“Minum susu ini supaya Tuan muda terasa lebih sehat.” Bryan menghidangkan di hadapan Alex.
“Tuan muda, masih ingat. Kemarin Tuan memanggilku Ayah…” Topik pembicaraan Bryan membuat Alex tidak nafsu makan.
“Ayah! Tidak mungkin, kamu pikir ingatanku bisa kembali normal. Tiba-tiba perutku tidak lapar.” Alex mengeser sepiring makanannya.
Bryan terdiam sambil memahami perkataan Alex. Ingatan, kembali normal? Kata-kata itu membuat Bryan berpikir keras. Alex menenteng tas kerja dan pergi mencari ojek di sekitar jalan Rantih.
“Mungkinkah Tuan muda mengalami amnesia pasca hilang ditelan ombak.” Bryan menghentikan kunyahannya. Di teguknya air putih sampai tandas. Ia segera menyalakan mobil rongsoknya dan mencari Tuan muda.
Bryan melihat punggung Alex menghilang di tikungan. Berhentilah ia di samping Alex.
“Tuan muda…” panggil Bryan turun dari mobil. “Biar saya antar.”
“Semalam orang tuaku datang lewat mimpi,” kata Alex memangku tas kerjanya.
“Bagaimana dengan wajahnya?” Bryan belum bisa menjelaskan yang sebenarnya. Ia menunggu waktu yang tepat.
“Wajah dan bajunya sangat kotor macam gelandangan. Benarkan dia orang tuaku, benarkah dia Madagaskar?” Setelah itu tidak ada percakapan lagi.
Bryan membiarkan Alex jalan lebih dulu. Ia akan masuk menemui Abiyaksa di ruangannya. Baju compang-camping, berjalan tunduk melewati beberapa karyawan yang baru saja berangkat. Seperti hari kemarin, Bryan mendapat cacian.
“Ada yang perlu di bantu Pak?” tawar Vania beramah tamah kepada Bryan.
“Di mana ruangan Pak Abiyaksa.” Baru saja dibicarakan, Abiyaksa muncul dari belakang Bryan.
Vania mengantar Bryan sampai depan ruangannya. Sedangkan, Abiyaksa menemui karyawan magang yang baru.
“Ada perlu apa Pak Bryan?” Abiyaksa mempersilakan Bryan duduk kembali.
“Sudah lihat kelakukan bawahanmu kepada karyawan magang baru itu,” tunjuk Bryan ke sembarang arah. “Saya ingin anda adil atau saya bisa pecat anda sekarang!”
Tujuan Bryan ingin memuliakan Tuan mudanya. Mendengar bisa pecat anda sekarang, Abiyaksa mulai murka. Ia meminta Bryan mengulangi perkataannya. Alex menyusup masuk dan menarik mundur Bryan.
“Lepaskan Tuan muda,” lirih Bryan tidak ingin menyakiti hati Alex.
“Jangan memperkeruh suasana Bryan.” Alex menyeret Bryan keluar. Namun, ia ngotot dan kembali menantang Abiyaksa.
Alex mendapat ancaman dari Tasha, kalau tidak membawa pergi orang tuamu. Alex bakal dipecat dan Tasha akan mengumumkan di seluruh perusahaan di negara Granada supaya tidak menerima Alex sebegai karyawan.
Brak…
“Jadi kamu orang tuanya, pantas! Tidak ada bedanya!” Abiyaksa mengira Bryan terlalu berani. Ia membalas dengan lebih berani lagi, “Kamu tahu, aku ditunjuk langsung oleh Bos besar. Hanya Bos besar yang bisa menghentikanku, bukan kamu. Dasar manusia tidak tahu tatanan!”
“Aku atau bawahanmu yang tidak tahu tatanan?” Bryan melangkah lebih dekat. “Orang-orang mu terlalu munafik dimataku!”
“Bryan, sudahlah. Ini bukan tempat yang bagus untuk berkelahi.” Alex mendorong Bryan mundur. Bryan menampel tangan Tuan mudanya itu.
Abiyaksa memanggil tiga satpamnya. Mereka masih trauma dengan pukulan Bryan kemarin. Ketiga satpam itu hanya diam di belakang Bryan. Tidak ada satupun yang berani menyentuh pengawal sejati keluarga Madagaskar.
“Kalian bertiga, keluar!” usir Bryan keras. Wajahnya merah padam. “Masih berani melawanku! Berani!”
“Siapa kamu sebenarnya? Penguasa di kantor ini! Kamu hanya orang gila yang butuh tambahan uang!” sentak Abiyaksa suaranya menembus beberapa ruangan.
“Aku terlalu marah pada kalian!” Bryan sudah tidak bisa mengendalikan emosinya. Ia juga tidak bisa mendengar Tuan muda selalu dicaci-maki, selalu diremehkan. “Asal kamu tahu, dia putra pertama keluarga Madagaskar.”
Gerakan tangan Abiyaksa mengusir ketiga satpamnya. Setelah saling bentak kini diam bagaikan orong-orong terpijak. Bryan membuat kesepakatan supaya menyembunyikan identitas Tuan muda setelah tahu kebenarannya.
“Sayangnya, karyawanmu sudah melampaui batas. Orang-orangmu berani memukul Tuan muda sampai pingsan. Sekarang, kamu hanya nunggu panggilan dari Tuan besar Madagaskar.” Bryan melenggang pergi.
Kebetulan Bryan ketemu dengan Tasha. Perempuan itu hendak menemui Abiyaksa. Abiyaksa mengumpulkan para manajer dan direktur di ruangannya. Bryan mengamati Tuan muda dari kejauhan. Ia juga tidak mengungkap identitas aslinya.
“Kamu, Tasha! Kamu pikir setelah jadi direktur terus bertindak seenaknya kepada karyawan magang di sini!” Abiyaksa bersungut-sungut, ia takut dipenggal kepalanya oleh Tuan besar.
“Gara-gara orang tua bedebah itu, aku jadi kena marah.” Tasha terdiam namun hatinya berapi-api menahan letupan amarah.
“Kalau begini semuanya jadi kacau!” Abiyaksa merasa dirinya ada di titik tersulit. Di mana ia harus menanggung ulah bawahannya.
Tasha keliling kantor sampai menemukan keberadaan Alex. Ia ada di lantai dua. Tasha merencanakan acara dengan Yuda. Mereka mengajak Alex datang ke acara makan malam bersama atasan yang lain.
“Aku mengajakmu makan malam bersama para komisaris dan direktur perusahaan di negara ini nanti malam,” ajak Tasha dengan manis.
Berhubung sifat Alex yang berubah drastis, ia tidak berani membangkang. Akhirnya ia mengangguk dan mengatakan bisa. Sesampainya di rumah Alex menjelaskan kepada Bryan kalau dirinya di ajak makan malam.
“Tuan muda akan berangkat?” tanya Bryan memilah-milah baju kerja Alex besok pagi.
Alex mengangguk tanpa bersuara.
“Kenapa tidak Tuan muda tolak, Tasha bakal meremehkan Tuan muda di depan para komisaris dan direktur.” Alex bersikukuh akan berangkat.
Tiba-tiba Bryan menemukan gulungan kertas di bawah sofa. Ia tidak berani membuka sebelum ada perintah dari Tuan besar. Ada satu kalimat yang dibaca Bryan yaitu, Andara.
Bryan tidak bisa pergi menemani Alex ke acara makan malam Tasha. Ia terbang menemui Tuan besar dan mengembalikan gulungan kertas yang ia temukan di bawah sofa. Bryan melenggang pergi tanpa pamit. “Bryan… boleh aku pinjam mobilmu?” Alex mencari pengawalnya itu dari satu ruang ke ruang lainnya. “Di mana kamu Bryan?”Alex memutuskan naik ojek sampai ke hotel Andalusia. Tak ada satu pun yang menyambut dan mengajak bicara Alex. Mereka sibuk membahas pekerjaan dan jabatannya. “Kita apakan karyawan magang itu?” tanya Tasha kepada Yuda.“Aku ada cara.” Yuda menemukan ide brilian. Lalu ia berseru memanggil Alex. “Alex…” panggilnya. Tasha mengambil bubuk obat dari tasnya. Ia tuangkan ke minuman bersoda milik Alex. Yuda membawa Alex bergabung dengannya. Yang benar saja di acara makan malam ini ada Davin dan Lydia. “Kamu di undang jadi tamu atau tukang bersih-bersih?” lontar Davin dari meja sebelah. Beberapa tamu yang mendengar cacian Davin palah tertawa. Yuda mengangkat telapak tangan
Ingin sekali rasanya mencibir Tasha sampai habis-habisan. Tapi mungkinkah Alex bisa melakukan itu. “Ciih!” Hanya ini yang keluar dari mulut Alex, itupun lirih. Vania memberi beberapa tugas kepada Alex dan harus selesai hari ini. Alex diam-diam menghubungi Bryan. Satu permintaan lagi, cari tahu siapa sebenarnya Vania ini. Kenapa dia selalu diam saat orang lain tertawa menghina. “Baik Tuan muda,” balas Bryan selalu siap siaga. “Alex,” panggil Abiyaksa komisaris Venmo Group. Mengiring Alex ke ruangannya. “Beritahu saya tentang latar belakangmu.” Abiyaksa memastikan Alex benar dari keluarga Madagaskar. Sebelum Alex bertemu dengan keluarga aslinya. Ia akan tetap mengaku sebagai gelandangan yang dipungut oleh nenek tua dan ditelantarkan oleh anak-anaknya. Masalah biaya pendidikan Alex tidak pernah tahu. “Saya diasuh oleh nenek tua dan ditelantarkan begitu saja.” Alex menyingkat ceritanya. “Orang tuamu?” tanya Abiyaksa menaikkan alis.“Belum pernah bertemu setelah kejadian nge
Rumah mewah yang dirahasiakan dan sengaja dijauhkan dari kerumunan warga ini mulai terbongkar. Kedatangan Sanjaya membuat Bryan was-was. “Dari mana mereka tahu alamat ini?” tanya Bryan pada dirinya sendiri saat menutup pintu. “Mereka bicara apa Bryan?” tanya Alex membawa segelas air putih yang diambilnya dari kulkas. “Mereka hanya minta jangan hentikan suntikan dana ke Golden Key, itu saja.” Bryan menepuk pundak Alex sambil berkata, “jangan takut.” Alex menjawab dengan senyuman. Sanjaya dan putranya itu memiliki watak yang hampir sama. Serakah, sombong, dua itu sangat melekat pada diri mereka. Pagi-pagi sekali Bryan membuat sarapan, menyiapkan baju, sampai memanasi mobil untuk berangkat Tuan mudanya. “Tuan muda bangun, sudah jam setengah lima.” Bryan membangunkan Tuan muda layaknya membangunkan anaknya. Ia usap rambutnya, menepuk-nepuk pipinya pelan, mengoyang-goyangkan kakinya sampai bangun. “Tuan muda…” bisik Bryan ditelinga Alex. “Ayah…” jawab Alex membuka matanya pel
Pagi itu tiga pengawal keluarga Madagaskar saling membantu menyiapkan keperluan Tuan mudanya. Tiga pengawal itu sudah rapi dengan jas hitam dan kemeja putih. “Selamat pagi Tuan muda,” sapa Zaen menarik kursi untuk Alex. “Aku bukan Tuan mudamu? Kenapa kamu ada di sini? Dan kamu siapa lagi?” Alex binggung setelah bangun pagi sudah ada dua orang asing. Semalam Alex pulang hanya dengan Bryan. Zaen dan Irawan datang sekitar jam dua pagi. Kedatangan Zaen dan Irawan sudah diatur Bryan. Bryan sengaja mencarikan jalan yang sepi supaya tidak banyak orang yang tahu. “Dia Zaen, yang menemani Tuan muda kemarin. Dia Irawan, yang menemukan identitas Vania. Keduanya pengawal sejati keluarga Tuan muda,” jelas Bryan mengambil beberapa piring. “Ada keperluan apa kalian ke sini?” tanya Alex balik, “bagaimana dengan rumah ini Bryan?”“Selain mengawal Tuan muda, kami ada keperluan sendiri,” balas Zaen tidak ingin Alex tahu masalah mereka. Zaen dan Irawan pergi ke Orbit Company setelah Tuan muda
Alex kembali dengan wajah masam dan kecewa. Bryan menyapa dan mencoba menghiburnya. “Bryan, bagaimana dengan masa depanku?” tanya Alex dari balik selimut tebal. “Tuan muda tidak perlu khawatir.” Bryan memancarkan senyum kepada Alex sambil membawa nampan berisi makanan dan susu. Bryan diskusi bersama Irawan dan Zaen di lantai satu. Mereka membicarakan nenek Rida. Alex sedih karena tidak bisa membawa nenek Rida. Bryan membeberkan cerita masa kecil Alex bersama nenek Rida. “Kenapa baru sekarang kamu mengakuinya?” lontar Zaen, pertanyaan ini memang pantas ditanyakan. “Butuh waktu untuk mengakuinya,” jawab Bryan selanjutnya, “semua harus diperhitungkan dengan teliti.” Setianya Bryan kepada keluarga Madagaskar sudah tidak perlu di uji lagi. Sudah terbukti, buktinya Bryan rela bertahun-tahun menyamar demi Tuan mudanya. “Tuan muda ingin kita bagaimana?” tanya balik Irawan. “Tidak tahu, Tuan muda cenderung diam dan ingin menyelesaikan sendiri,” jawab Bryan menggelengkan kepala.
Entah kebetulan atau apa. Alex harus melayani Yuda dan Tasha. Bartender di bar serdadu tidak ada yang berani melayaninya karena mereka tamu VIP. Di mana ada satu kesalahan ancamannya pecat. “Silakan Tuan, ini pesanannya.” Alex menyajikan dua botol anggur bersama gelasnya. “Ambilkan aku es batu,” perintah Tasha menyibakkan rambut lalu melipat tangannya di depan perut. “Tunggu sebentar.” Alex segera membalikkan tubuhnya. “Tunanganku sebentar lagi punya jabatan di Golden Key. Tidak kayak kamu, dimana-mana hanya jadi karyawan magang.” Dahinya berkerut, matanya bergerak menuju ke gelas anggur. “Tuangkan untukku.”Genggaman tangan Alex segera membuka tutup botol, segera ia tuangkan. Ia melayani semua pelanggan tanpa membeda-bedakan. Mendengar ocehan Tasha, Alex hanya diam dan tersenyum. Tasha matanya merem saat menengak minuman yang terasa agak pahit ini, “Pastinya kamu tidak bisa seperti tunanganku.”“Bagaimana dengan ganti rugi mobilku, masih sanggup bayar?” tambah Yuda, dari ta
“Saya tidak tahu Tuan muda, Papa hanya ingin bicara dengan Tuan muda?” Zaen segera membeli tiket VIP ke negara Arbania. Kedua kalinya Alex menikmati fasilitas pesawat VIP tanpa mengeluarkan uang sepersen pun. Satu permintaan Tuan muda yang sangat ingin dikabulkan oleh dua pengawalnya ini. Yaitu, sangkut pautkan Vanka dalam masalah Tasha kepadanya. “Kenapa aku tidak percaya penuh kalau dia papaku?” lontar Alex menundukkan kepala. Bryan segera mencari beberapa foto 15 tahun lalu. “Ini foto Tuan muda bersama keluarga Madagaskar.” Di foto itu ada Bryan dan tujuh pengawal yang hanyut di lautan. “Tujuh orang ini siapa Bryan, dia pengawal Madagaskar?” Bryan memperbesar tubuhnya yang mungil di layar ipad. “Kenapa mereka tidak bersamamu?” Bryan hanya menggelengkan kepala lalu menjawab dengan terbata-bata, “Mereka tenggelam bersama Tuan muda.” Alex mendekatkan wajahnya. Ia kira Bryan sedang mengarang cerita. Alex mengeser foto berikutnya, foto tujuh pengawal bersama Tuan muda. “Teng
“Nenek.” Alex berhasil menemui nenek Rida tanpa dihalangi Sang Paman. Nenek Rida tersenyum, menjulurkan tangan kanannya, memeluk Alex lalu mencium pipi dan dahinya. Nenek Rida paham dengan bau keringat Alex. “Nenek harus ikut Alex ya.” Mengenggam tangan nenek yang menempel di pipinya. Alex memapah nenek Rida, sialnya Sang Paman meneriakki Alex sebagai penculik. Warga sekitar berbondong-bondong keluar sambil membawa bambu. “Maafkan Alex ya nek.” Menaikkan roda gigi lalu menginjak pedal gas dalam. Bryan kepergok Alex saat bersama lima pengawal Madagaskar. Bryan meringis kebingunggan, Tuan mudanya bakal marah andai tahu lima pengawal ini yang membuat pamannya ngamuk. “Rumah mu?” tanya nenek Rida mengenggam erat lengan Alex. “Ya, Bryan yang beli untukku.” Alex menuntun Sang nenek menaiki lima anak tangga. “Baik sekali yang namanya Bryan?” Alex tidak menghiraukan ucapan nenek tua itu. Menatap Bryan lalu beredar kepada lima pengawal itu, “Bryan, siapa lagi yang kamu bawa?”
Ke esokkan harinya Alex memberanikan diri melamar jadi karyawan magang di Van Hatten. Baru sebentar Alex menatap gedung Ema Van Hatten, tahu-tahu ada yang keluar dari balik gerbang tinggi bercorak hitam ini. “Heh! Cari apa di sini?” Sang Satpam dengan nama Ilham keluar sambil berkacak pinggang. “Boleh saya nitip lamaran di sini?” tanya Alex hendak menyerahkan berkas lamaran pekerjaan.Rambut gondrong Alex membuat Satpman tidak yakin untuk menerima berkasnya. Pada akhirnya berkas tersebut diterima. “Kelihatannya bakal lama dapat panggilan, penampilanmu saja tidak meyakinkan,” ejek Sang Satpam melempar berkas ke meja dibelakangnya. Terlihat seseorang berlarian sambil memanggil dengan nama, “Tuan Mada.” “Alex,” sebut Alex berdiam diri sambil menunggu pertanyaan berikutnya.Bocah berpenampilan lusuh ini masih dikenal sebagai Tuan muda dikalangan miliuner negara tetangga. Momen seseorang mengunggah potret Tuan muda saat hadir di p
“Rencana?” ulang Alex masih tidak yakin. “Papa sempat melarangmu tinggal di Granda kan?” Diiringi lirikan mata yang lembut. Alex hanya mengangguk nurut. “Menurut Mama, lebih baik kamu tinggal di Granda. Lagian tugasmu juga di sini. Jangan hiraukan omongan Papamu, dia hanya disuruh Cakra.” “Cakra? Buat apa dia seperti itu?” lontar Alex membuat Mamanya binggung untuk menjawab. “Mama kurang tahu, ini rencana Papa dengan Cakra,” sebut Sang Mama sambil siaga terhadap pertanyaan kedua dari putra pertama. “Bohong, Mama pasti tahu. Baru-baru ini Mama mengakui Alex, sebelumnya tidak. Sebaik-baiknya Papa dihadapan Alex, Papa pasti punya rencana jahat buat Alex. Rencana apa itu Ma?” Alex menatap Sang Mama penuh kejujuran. Sang Mama masih menggeleng sambil mengatakan tidak tahu. Orang tua ini tetap berpihak kepada putra kedua kesayangannya. Bryan menengahi pembicaraan keduanya. Serentak keduanya langsung melendehkan punggung. “Kepergian Madam d
Yuda membuat jebakan hebat yang di buat semenarik mungkin. Bryan mengoper mobilnya lebih dekat dengan rumah Nenek Rida. “Baik kalau begitu Tuan muda, malam ini saya juga akan menginap di sini,” sambung Bryan.Tapi, Vanmo tidak suka melihat kebahagiaan Tuan muda bersama orang-orang yang ia sayangi. Permainan rekayasa mulai dibuat Yuda dan Davin. Tanpa sengaja Bryan melihat sehelai rambut Alex jatuh di bahunya. “Tempat ini tidak cocok untuk dirimu Bryan, lebih baik kamu pulang,” usir Tuan muda kepalanya tunduk dan matanya memandang pergelangan kaki. “Tidak bisa Tuan, saya harus ada di dekat Tuan muda.” Mendengar jawaban Bryan, Alex langsung pergi ke belakang rumah sambil berceloteh. “Terserah kamu Bryan, aku tidak tahu harus berbuat apa lagi,” Bryan melenggang pergi, ia semalaman tidur di mobil. Sedangkan, Tuan muda yang dikatakan agak lugu itu bermain-main di pinggir kolam ikan. Segenggam roti itu ia tebarkan ke dalam air keruh yang sudah lama tida
“Aku tidak ada waktu bicara denganmu,” jawab dingin Alex. Beralih kepada Bryan, “Kita pergi ke pemakaman sekarang.” “Baik Tuan muda,” sahut Bryan kemudian memberikan lambaian tangan isyarat supaya menyiapkan kendaraan.Alex mulai dilarang pergi ke Granada oleh Tuan besar. Padahal ia baru saja diberikan wewenang di Orbit dan Vanmo. Sepulangnya Alex dan Bryan. Cakra menemui Sang Papa di ruang kerjanya. “Kamu tahu ini permintaan terakhir,” tutur Tuan besar kepada putra kedua. “Terimakasih Pa,” jawab Cakra hatinya sangat bungah. Papanya hanya melengos dan tidak peduli lagi.Tian dimarahi Tuan Mada habis-habisan. Tidak ada perintah mencoret tembok, melepaskan amunisi senapan angin. “Masih bisa dengar perintah saya?” Berkacak pinggang, mendekat, lalu kepalan tangan mendarat tepat di lambung. “Di bayar berapa kamu sama Cakra? Kamu boleh mengamati tapi tidak dengan mencelakai.” “Dua kali lipat dari biasanya Tuan,” jujur T
Bayu Guntur pengendali Orbit Group kini merasa gugup setelah tahu Alex akan mengantikan posisinya. Ia juga tahu latar belakang Tuan muda. Semakin Bayu tahu, ia tidak rela jabatannya lengser. Gara-gara bocah magang menyandang status Tuan muda itu seakan hidupnya kelam kelabu.“Kalian masih kerja di sini?” tanya Alex kepada Davin dan Lydia. “Kamu masih magang? Belum kapok?” Davin tepuk tangan sambil tersenyum sinis. “Bagus, mentalmu bagus. Selamat datang kembali.” “Siapkan dirimu untuk satu minggu ke depan.” Peringatan dari Alex menjadi bahan guyonan. “Mau ngadu sama siapa lagi heh. Pengawalmu? Papamu? Pak Bayu? Semua sudah tidak peduli!” cibir Davin melenggang pergi menghampiri karyawan yang lainnya. Gerakan tangan Alex mengusir Davin menambah suasana semakin gaduh. Alex semakin di tertawakan. “Diam semuanya!” seru Bryan selalu siap siaga di depan pintu tim B. “Saya bisa pecat kalian sekarang juga!” “Hei bocah magang, kerja, nggak usah sombong!” Sang Senior memberikan setum
“Baik Tuan.” Zen segera menghubungi pengawal di rumah Madagaskar. Setibanya di latar rumah gedong, ramai-ramai jalan mengawal Tuan Mada dan Alex. Dua pengawal sejati ikut bersinambung. “Silakan Tuan,” sambut Irawan sambil membawa gulungan kertas. Ketiga anaknya telah menunggu dengan jengkel. Lima belas tahun menanti dan warisan akan jatuh ditangan ketiga anaknya, sekarang menjadi runtutan yang acak-acakan. “Hubby,” kata Risa memincingkan kepalanya. “Apa-apaan ini?” “Aku bisa mengusirmu kapan saja, ingat itu!” Tuan Mada lebih membela anak pertamanya. “Senang kamu! Senang!” ketus Risa kepada Alex, karena ini keinginan Tuan Mada yang tidak bisa dibendung. Alex mundur dua kali, sembunyi di balik tubuh Papanya. Melihat tingkah putranya yang agak lain. Tuan Mada semakin murka dan mengancam putra keduanya. “Pa, ini tidak adil. Dia hanya anak pungut, bisa-bisanya dapat paling banyak,” sangkal Cakra menunjuk Alex dengan tatapan menantang. Tuan Mada hanya diam dan membiarkan mulut C
Kebanyakan saham Golden Key dari Vanka. Sekarang Vanka mulai tahu kebusukan calon besannya itu. Ia juga menyalahkan Yuda habis-habisan. Yang katanya tidak mengajarkan hal baik. Diam-diam menusuk dari belakang. Yuda hanya memanfaatkan Tasha demi kemakmuran Sanjaya. “Dasar bedebah macam apa kamu ini Sanjaya,” geram Vanka mulai meremat celemek. “Ssssttt…” gerutu Sanjaya menahan emosi. “Kamu pulang bareng Mama sekarang.”Sanjaya berniat merampungkan masalah keduanya. Vanka meminta Tasha dan istrinya naik. Tatapan empat orang sudah saling terpaut. “Sekarang mau bagaimana?” tanya Bryan jari telunjuknya mengetuk-ketuk meja. “Ini masalah Sanjaya, kenapa saya harus ikut,” sangkal Vanka keras kepala. “Memang benar bukan masalahmu,” balas Bryan menyingkirkan piring kosong dari hadapannya. Vanka mendengus sabar. Kepalanya cenderung tunduk ke bawah. Di tambah telapak tangan bersarang di kepala bagian belakang. Antara binggung dan kecewa. “Cukup,” sela Vanka tangannya pindah ke dahi, “pe
Davin dan Bayu hanya saling melempar tanda tanya. Kenapa banyak sekali mobil di depan, ada apa? Ditambah dengan wajah yang suram.“Alex? Putraku?” Tuan Mada mencopot kacamata dan merengangkan dasinya. “Benar Tuan,” jawab Zaen lamat-lamat tidak jelas. Saking gentarnya Tuan besar, ia membuka pintu sendiri dan jalan lebih cepat. Zaen menyempatkan bicara dengan Bryan. Biarkan Irawan mengawal Tuan besar sampai bertemu dengan Davin. “Kira-kira kita harus bagaimana? Tuan Mada marahnya kambuh.” Dua pengawal ini masih ngobrol di luar. “Bodoh, kenapa kamu nggak ulur waktu buat jawab. Kenapa harus jawab gitu, kan bisa cari topik lain.” Tantangannya sekarang adalah Tuan muda, bagaimana Bryan bisa menuruti keinginan Tuan muda lagi. Tuan besar sudah tahu jabatan Alex di Orbit Company. “Bryan, bukannya aku tidak sejalan dengan pikiranmu. Tapi, aku tidak bisa bohong.” Bryan membiarkan Zaen membela dirinya. Tuan Mada masuk di ruangan Bayu disanjung-sanjung. Direktur dan manajer semua kumpul
“Nenek.” Alex berhasil menemui nenek Rida tanpa dihalangi Sang Paman. Nenek Rida tersenyum, menjulurkan tangan kanannya, memeluk Alex lalu mencium pipi dan dahinya. Nenek Rida paham dengan bau keringat Alex. “Nenek harus ikut Alex ya.” Mengenggam tangan nenek yang menempel di pipinya. Alex memapah nenek Rida, sialnya Sang Paman meneriakki Alex sebagai penculik. Warga sekitar berbondong-bondong keluar sambil membawa bambu. “Maafkan Alex ya nek.” Menaikkan roda gigi lalu menginjak pedal gas dalam. Bryan kepergok Alex saat bersama lima pengawal Madagaskar. Bryan meringis kebingunggan, Tuan mudanya bakal marah andai tahu lima pengawal ini yang membuat pamannya ngamuk. “Rumah mu?” tanya nenek Rida mengenggam erat lengan Alex. “Ya, Bryan yang beli untukku.” Alex menuntun Sang nenek menaiki lima anak tangga. “Baik sekali yang namanya Bryan?” Alex tidak menghiraukan ucapan nenek tua itu. Menatap Bryan lalu beredar kepada lima pengawal itu, “Bryan, siapa lagi yang kamu bawa?”