Pov Riko[Soal kunci itu, aku lupa, Mas. Karena terburu-buru dan terbiasa mengunci pintu sebelum pergi aku sampai lupa membawanya. Sepertinya terjatuh di halaman rumah atau mungkin di saluran air depan rumah waktu aku akan mengambil dompet. Soalnya kunci itu sudah tidak ada di tasku.]Apa?! Jadi kuncinya kecebur got. Sialan, aku tidak percaya kalau Lisa tidak sengaja menjatuhkannya, ini pasti akal-akalan dia untuk mengerjaiku."Dasar istri bulukan! Sudah pergi pun masih membuat masalah." Aku mengumpat sambil meletakkan ponsel agak kasar. Niat menikmati sarapan sebelum ke kantor sepertinya akan urung, pasalnya aku sudah keburu tidak selera lantaran pesan yang dikirim oleh Lisa. "Kenapa, Sayang, kok pagi-pagi sudah cemberut. Apa kurang yang semalam?"Alin yang baru saja keluar dari kamar menyentuh bahuku lalu mengusapnya perlahan, ia berkata sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aroma tubuhnya langsung saja menguar memenuhi indra penciumanku. Rasa kesalku untuk sementara lenyap karena ke
[Maaf Lis, Mbak tidak sedang tidak bisa menerima telepon. Nanti Mbak hubungi lagi, ya.]Menit berikutnya Mbak Tika mengirim pesan. Sesibuk itukah dia, hingga tidak bisa menerima telepon. Padahal sewaktu aku masih di rumah Mas Riko, Mbak Tika tidak pernah menolak panggilanku.Apa ini ada kaitannya dengan uang yang tidak jelas itu?Aku pun lanjut melihat-lihat keadaan butik sekaligus mempelajarinya. Syukurlah, Kayla juga bisa dengan cepat beradaptasi hingga dia mudah akrab dengan beberapa karyawan butik yang hampir semuanya perempuan. "Alhamdulillah butik ini tidak pernah sepi orderan. Setiap bulannya ada saja yang memesan baju untuk seragam pesta. Jadi kita panen terus. Ini tak lepas berkat Mbak Tika yang terus mempromosikan butik ini lewat sosial media." Gina terus menjelaskan sambil berjalan perlahan mengelilingi setiap sudut butik ini."Benarkah?""Iya Bu, bahkan ada ponsel khusus untuk mengelola akun promosi. Tapi ponsel itu Bu Tika yang pegang." Aku manggut-manggut mendengar pen
Keesokan harinya, aku pergi ke sebuah salon kecantikan untuk merawat diri, sengaja aku membawa satu karyawan butik untuk menjaga Kayla di sana. Suatu hari aku pasti bertemu dengan Mas Riko. Mungkin di persidangan atau di tempat lain. Saat itu aku harus sudah terlihat cantik, aku harus bisa membuktikan bahwa tanpa dirinya aku bisa lebih baik. Dan jika terawat aku juga bisa lebih cantik dari Alin.Teringat saat malam tadi malam aku membalas pesannya, aku bilang ada kemungkinan kunci itu terjatuh di halaman atau mungkin masuk ke got. Kita lihat saja, apa dia percaya dengan ucapanku. Paling dia akan menyuruh tukang sapu keliling untuk turun ke got. Padahal kunci serepnya sudah aku simpan di tempat bumbu. Jika tidak ditemukan juga, itu artinya mereka tidak pernah masuk dapur.Puas memanjakan diri di salon, aku mengajak Kayla dan Ira-karyawan yang kupercaya menjaga Kayla-ke sebuah restoran yang cukup bagus. Agak canggung juga, karena selama menikah dengan mas Riko, dapat dihitung dengan jar
Sesuai dengan janji Mbak Tika, keesokan harinya di jam makan siang dia mengajak bertemu di restoran yang tak jauh dari butik. Alasannya supaya aku tidak terlalu jauh pergi, di samping ribet dengan Kayla juga saat ini aku belum punya kendaraan sendiri. Lantaran jarak yang dekat dengan butik, aku sampai duluan di tempat itu. Sengaja kupilih tempat di dekat jendela supaya bisa leluasa melihat keluar. Selang beberapa menit sebuah mobil berwarna merah memasuki area restoran, awalnya aku biasa saja, kupikir itu pelanggan lain. Namun ketika kutahu siapa yang keluar dari mobil tersebut, aku memicing lantaran ternyata mobil itu dikendarai oleh Mbak Tika. Setahuku, Mbak Tika punya mobil satu yang kemarin digunakan untuk mengantarku ke butik. Mobil berwarna putih yang sudah lama dia beli. Apa mungkin Mbak Tika membeli mobil baru dengan menggunakan uang ... Lagi pula, biasanya Mbak Tika kalau mau membeli sesuatu memberitahu aku, tapi perihal mobil ini aku sama sekali tidak tahu."Maaf Lis, lam
"Katakan, Lis, kamu dapat uang dari mana hingga bisa memberi Ibu uang sebanyak itu setiap bulannya?" Tanpa basa-basi Mas Riko menyerangku dengan pertanyaan itu begitu sambungan telepon terhubung."Kamu tidak perlu tahu, Mas. Toh selama ini kamu tidak mau tahu apa yang terjadi padaku, apa yang aku butuhkan dan apa yang kurang di rumah kita.""Berarti selama ini kamu sudah selingkuh? Melakukan banyak hal tanpa sepengetahuanku?""Lalu apa bedanya dengan Mas Riko? Memberikan apa saja yang diinginkan oleh Alin sementara Mas mengekang kebutuhanku. Memintaku berhemat sementara kamu berfoya-foya dengan wanita itu. Melarangku berpenghasilan sementara kamu cari wanita yang punya penghasilan dan malah memuji-mujinya bisa merawat diri karena banyak uang.""Tetap saja kamu salah karena melakukan banyak hal di belakangku. Sekarang katakan uang dari mana itu?""Kamu tidak perlu tahu, yang jelas selama ini aku bisa memenuhi kebutuhan Ibumu juga kebutuhanku. Sekarang selamat menikmati hidup tanpa aku,
Hingga pulang ke kontrakan, aku masih belum percaya kalau dalam waktu singkat dan bersamaan aku sudah memiliki mobil dan rumah yang bagus. Apalagi orang yang mempersiapkannya adalah Mbak Tika yang sempat aku curigai. Ini kuanggap sebagai buah dari kesabaranku selama menikah dengan Mas Riko yang tidak banyak melawan. Sekarang aku harus fokus bagaimana caranya aku harus bisa membuat Mas Riko menyesal. Sebenarnya tinggal menunggu waktu saja, sebab rencana sudah kususun dan sudah aku praktekan satu persatu. Ibarat bom waktu yang sudah kusetel hanya tinggal menunggu bum saja.Sepintas mungkin Alin akan merasa beruntung karena sudah berhasil merebut Mas Riko dariku. Untuk sementara dia boleh perbangga hati, tapi tunggu saja satu atau dua minggu lagi dia akan menyesal menikahi pria itu kecuali dia punya stok kesabaran yang banyak sepertiku. ***Pagi harinya setelah mengabari karyawan butik, aku pun berkemas. Menjelang siang ini Mbak Tika berjanji akan mengantarku ke rumah baru sekalian mem
Akhirnya tanpa bicara lagi aku membawakan belanjaan Ibu berbaju merah tersebut. Padahal paper bag bertuliskan Elisa Boutique itu hanya berisi dua potong pakaian yang kalau dia bawa sendiri pun tidak akan berat dan tidak akan membuatnya ribet. Oh ya, butik ini memang bertajuk namaku, dulu Ibu menggunakan namaku ketika beliau merintis usaha butik ini. Tapi namanya juga pelanggan kita wajib memperlakukannya seperti seorang ratu. Meskipun ratu yang cerewet lebih tepatnya. Sekilas kulirik Gina yang menggeleng kecil sambil tersenyum miris melihat sikap Ibu tersebut terhadapku. Tidak mengapa aku dianggapnya karyawan baru karena memang aku belum tahu apa-apa tentang detail butik ini, harga satu potong gamis best seller pun aku tidak tahu. "Saya sudah lama menjadi langganan butik ini. Dari sejak saya muda, sewaktu butik ini masih dipegang oleh perintisnya." Tanpa diminta si Ibu menjelaskan sesuatu, sambil menunduk aku hanya tersenyum, mungkin yang Ibu maksud itu adalah Ibuku.Sampai di luar,
"Iya, Ma. Sebentar." Joan menoleh sebentar lalu kembali menatapku."El .... ""Nanti aku hubungi kamu, Jo." Aku memotong kalimat Joan sebab tidak enak pada Bu Anita."Aku tunggu, ya.""Ya." Aku mengangguk untuk meyakinkan pria ini."Oke, makasih sebelumnya. Aku permisi." Joan masih menatapku. Aku pun mengangguk sekali lagi.Beberapa detik kemudian punggung lebar itu menghilang di balik pintu butik, aku pun sontak menjatuhkan bahu."Kenapa Bu Lisa tidak terus terang pada Bu Anita?" Pertanyaan Gina mengakhiri lamunanku."Aku tidak suka membanggakan diri. Apalagi butik ini hanya warisan, bukan hasil kerjanya kerasku. Jadi apa yang bisa aku banggakan?" Aku tersenyum miring."Supaya beliau tidak seenaknya saja menyuruh Ibu.""Memangnya benar dia pelanggan butik ini?""Iya, Bu Anita itu terbilang sering datang ke sini. Meskipun dia termasuk pelanggan yang rewel tapi lumayan sering belanjanya. Mayan lah, udah gitu tiap-tiap ke sini selalu diantar anaknya. Jadi kita bisa cuci mata," ucap Gin
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny