Pov LisaAku merasa puas, setidaknya pertemuan kemarin dengan Mas Riko dan Alin bisa membuatku sedikit berbangga. Melihat ekspresi mereka yang melongo ketika Ibu memperlihatkan uang pemberianku, sebenarnya aku ingin bersorak. Secara tidak langsung aku sudah menunjukkan pada Mas Riko kalau aku bisa hidup lebih baik tanpa dia, terbukti bisa memberi lebih pada Ibu.Aku pun mulai mencintai pekerjaanku. Seharian menghabiskan waktu di butik membuatku bisa melupakan kelamnya kehidupan rumah tanggaku bersama Mas Riko. Coba saja dulu Mas Riko bisa menerima istri yang berpenghasilan maka aku akan menunjukkan pekerjaan ini. Tak tahunya sekarang dia memilih Alin wanita bekerja yang ia bangga-banggakan. Sebenarnya yang ia sukai dari Alin itu penampilannya atau penghasilannya.Fokus mengurus butik, sampai aku tidak sempat membuka ponsel jadul di mana Mas Riko sering menghubungi ke sana. Malahan tadi pagi pas aku cek baterainya habis dan aku tidak berniat menambah dayanya. Sehari-hari Aku menggunaka
Akhirnya Aku mengalah, memaksakan diri duduk di samping pria yang aku tahu menyimpan perasaan padaku. Sepanjang perjalanan Joan sibuk mengajak bicara pada Kayla. Gayung bersambut, Kayla yang memang sangat rindu perhatian seorang Ayah, akhirnya seperti menemukan sosok yang dia inginkan. Aku pun pasrah, menjadi pendengar mereka berdua. Tiba di sebuah cafe yang menjadi tempat teman-temanku berkumpul, aku disambut meriah terutama oleh teman-teman perempuan yang hadir beberapa orang. Sepanjang kami lulus, memang aku jarang bertemu dengan mereka. Apalagi setelah aku menikah dengan Mas Riko, aku sama sekali tidak diizinkan untuk bertemu dengan teman-teman SMA-ku. "Ya ampun Lis, aku kangen banget," seru Meti yang langsung berhambur ke memelukku. "Jadi sekarang kamu tinggal di sini?" tanya Sheila setelah aku melepas pelukan Meti dan beralih padanya."Aku ada pekerjaan di sini, jadinya kemungkinan akan sering ke sini." Terpaksa aku berbohong untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan berikutnya
Selepas menerima telepon, Joan terlihat bingung. Berkali-kali ia melirik padaku lalu pada teman-teman. Sebentar kemudian dia melihat ponselnya. Aku yakin yang barusan menelepon adalah Bu Anita. Dari sejak kami bertemu di butik waktu itu, memang Bu Anita sudah nampak tidak senang padaku. Terlebih setelah mengetahui aku sudah punya anak, dia langsung mengajak Joan pulang.Padahal aku juga cukup tau diri, meskipun Joan menaruh rasa padaku tapi aku tidak akan segampang itu menerima cinta Joan dalam keadaanku seperti ini. Apalagi statusku masih istri orang, sebelum sidang pengadilan agama memutuskan bahwa aku sudah bercerai dengan mas Riko aku juga tidak akan menjalin hubungan dengan pria mana pun. Setelah itu pun rasanya aku tidak akan mudah memulai hubungan lantaran masih ada trauma. Pernikahanku dengan Mas Riko menyisakan trauma yang mendalam. Meskipun tidak semua laki-laki sama. Saat ini aku hanya ingin fokus pada butik dan Kayla. Aku ingin membuktikan pada Mas Riko, bahwa hidup tanpa
"Saya tahu, orang seperti Bu Anita itu tipe-tipe wanita yang gila pujian dan biasanya mereka itu sangat mudah disogok. Soalnya, kalau Bu Anita belanja itu senangnya dipuji. Makanya saya selalu bilang baju yang dia pilih itu cocok dan membuatnya semakin cantik juga awet muda. Ini rahasianya lho, kenapa Bu Anita selalu memborong di sini." Guna tertawa lucu sambil menutup mulutnya.Mendengar penuturan Gina, aku langsung tertawa. Rupanya selama ini Gina pandai mengambil hati pelanggan terutama Bu Anita."Berarti kamu pernah berbohong, dong, sama pelanggan.""Pernah. Saya bilang, warnanya kurang cocok dan Bu Anita marah-marah. Kata dia, saya itu tidak bisa menghargai pilihan orang lain. Ya sudah, besoknya lagi saya tidak pernah membantah, selalu bilang iya dan bagus."Kadang orang memang seperti itu, ia memaksakan sempurna di mata orang lain. Tanpa ingat bahwa semua orang punya pendapat yang berbeda. Mendengar cerita Gina mengenai Bu Anita, aku jadi berpikir. Kenapa karakter Joan tidak sep
Pertanyaan macam apa itu? Aku melempar pandang, merasa kalau Joan tengah mengintrogasi."Sebenarnya ini bukan urusanmu. Tapi oke, aku kasih tahu. Sekarang kamu coba pikirkan apa seseorang yang masih sayang itu akan pergi dan memilih meninggalkan semuanya?"Aku menatap wajah Joan yang berubah menjadi gugup"Ah ya, eum ... maksudku bukan seperti itu. Aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu, El. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja dan pastinya tidak rela kalau kamu terus-terusan disakiti.""Terima kasih atas perhatiannya, tapi kamu tidak usah khawatir. Aku sudah mengambil keputusan ini dan berarti sudah siap menjalani hidup sendirian.""Aku minta maaf jika aku terlalu bersemangat." Jo menatap penuh penyesalan."Apa ada yang ingin kamu sampaikan lagi, Jo?""Sepertinya tidak ada, memangnya kenapa?""Kalau begitu, aku permisi dulu. Aku khawatir Kayla bangun.""Tapi makannya?" Joan menunjuk makanan yang masih banyak tersisa."Jo, aku tidak bisa makan dengan tenang kalau Kayla jauh
"Langsung aja ya, Mas, aku nggak punya banyak waktu. Ada perlu apa Mas Riko sampai mencariku jauh-jauh ke sini?""Yang jelas bukan karena kangen sama Mbak Lisa, jangan geer, ya." Bukannya Mas Riko yang menjawab tapi malah wanita itu yang mendahului dengan mencibirku."Lagian siapa juga yang mau dikangenin sama dia. meskipun Mas Riko saat ini masih berstatus sebagai suamiku, tapi aku sudah tidak punya perasaan." Aku menjawab ucapan Alin dengan tenang."Sudahlah, Sayang. Jangan memperkeruh suasana. Aku bilang juga tadi apa, kalau kamu mau ikut kamu jangan macam-macam." Mas Riko melirik Alin, rasanya aku ingin mengeluarkan isi perutku melihat tatapan keduanya."Kamu yang memancingku datang untuk ke sini, Lis. Aku sudah teleponin kamu tapi ponselnya tidak aktif-aktif. Kalau kamu ganti nomor kenapa tidak memberitahuku?" "Apa urusannya kalau aku gak ngasih tahu Mas Riko, nanti ada yang cemburu. Di antara kita sudah tidak ada keperluan lagi, hubungan rumah tangga kita juga sebentar lagi akan
Pov RikoTernyata Lisa bukan karyawan di butik itu, melainkan ownernya. Kenapa dulu aku tidak mempertanyakannya sewaktu kami masih pacaran. Memang dulu kami hanya kenal selama satu bulan sebelum memutuskan untuk menikah. Waktu itu kutahu Lisa adalah gadis yatim piatu yang tinggal bersama kakak sepupunya, Mbak Tika. Itu sebabnya dia memintaku untuk segera melamarnya. Tanpa pikir panjang aku pun melamarnya lalu kami pun menikah. Namun sialnya aku tidak sempat bertanya tentang butik itu sebab Lisa tidak pernah bercerita kalau dia adalah pewaris tunggal usaha itu. Kenapa juga aku harus menegaskan, bahwa aku tidak suka wanita bekerja dan berpenghasilan. Dulu, semata-mata itu kulakukan supaya aku lebih mudah mengatur hidup Lisa. Sebab jika Lisa tidak berpenghasilan maka hidupnya akan tergantung padaku dan ia tidak mungkin macam-macam. Walau bagaimana aku butuh seorang Ibu dan istri yang bisa mengurus rumah dan anakku. Tapi kenyataannya berkata lain, Lisa ternyata punya usaha sendiri tanpa
Alin bangkit sambil menarik tanganku, mau tidak mau aku pun harus berdiri. Tidak enak kalau berlaku seperti anak kecil di depan Lisa. Kulirik Lisa sedang memijit pelipisnya, meski tanpa kata, aku tahu bagaimana penilaian Lisa terhadap Alin."Aku pulang dulu, Lis, dan aku harap kamu berpikir ulang tentang gugatan cerai itu.""Mas!!"Tanpa diduga Alin mencubit tanganku hingga aku meringis."Kalau sudah tidak ada keperluan lagi, silakan." Lisa ikut berdiri lalu menunjuk ke arah pintu keluar menuju tangga.Di sini perbedaan keduanya, jelas terlihat Lisa bersikap tenang dan berwibawa. Sementara Alin begitu kekanakan dan tidak bisa menahan emosi. Ya Tuhan, ternyata cantik saja tidak cukup untuk menyenangkan hati.Alin berjalan tergesa-gesa sambil menarik tanganku. Aku sudah mirip anak TK yang dipaksa pulang oleh Ibunya. Berkali-kali aku mencoba menarik tangan untuk melepaskan diri dari cengkraman Alin, namun semakin ditarik wanita itu semakin kuat mencengkram pergelangan tanganku. Sampai di
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny