"Bagaimana Bela? Apa kalian sering bertemu?" tanya Mama suatu malam. Saat itu aku baru pulang dari kantor, selesai membersihkan diri, aku duduk di ruang keluarga bersama mama. "Kebetulan sudah agak lama kami tidak bertemu. Mama tahu sendiri Bela itu orang yang super sibuk. Bahkan untuk keluarganya sendiri dia tidak punya waktu. Apalagi sama aku, teman bukan, rekan bisnis bukan, saudara apalagi." Dengan kalimat itu aku ingin menegaskan bahwa aku dan Bela tidak ada hubungan apa-apa. Kalaupun ada hubungan, maka kami akan sulit sekali berkomunikasi. Mudah-mudahan saja mama mengerti.Untuk beberapa saat aku terdiam, menunggu reaksi mama pada jawabanku barusan. Tapi wanita yang masih cantik di usianya yang sudah terbilang tidak muda ini sepertinya enggan berkomentar, terbukti mama hanya menatap lurus ke arah televisi yang sedang menayangkan acara ajang pencarian bakat di sebuah stasiun swasta."Mama sendiri sudah lama tidak berbelanja ke butik," pancingku sambil harap-harap cemas."Maksud
"Jo, minggu depan Mama ada undangan ke pestanya Bu Henny. Beliau mau mengadakan pesta pertunangan anak bungsuku. Tapi Mama gak ada stok gaun." Suara mama terdengar memelas di ujung telepon. Jelas saja mama tidak punya stok gaun, karena akhir-akhir ini dia tidak rajin pergi ke butiknya Lisa seperti dulu yang rutin ke sana."Memangnya harus, ya, memakai baju yang baru?""Ya harus, dong, Jo. Masa seorang mama dan istri dari dua laki-laki yang menjadi pengusaha, .gaunnya itu-itu juga.""Terus sekarang Mama maunya apa? Mau beli baju online atau .... ""Anterin Mama ke butik.""Butik yang mana?""Butiknya Lisa, dong. Mama sudah nyaman belanja di sana. Pernah belanja di butik lain, tapi tidak enak jahitannya."Satu sudut bibirku terangkat, setengah tidak percaya mama mengajakku mengunjungi bukitnya Lisa. Mungkin beliau terdesak kebutuhan hingga mau tidak mau harus pergi ke sana, tapi kenapa mesti minta diantar. Dulu saja tidak setiap pergi ke butik bersamaku. Lebih sering pergi bersama sopir
Sesuai usulan mama dan Meti. Aku tidak begitu antusias lagi mendekati Lisa. Aku juga yakin kalau trauma yang diderita oleh Lisa atas rumah tangganya yang terdahulu pasti akan membuat dia menghindar dari siapapun. Kemarin saja dia sempat menghindar saat aku menyatakan perasaanku. Akhirnya aku hanya memantau Lisa lewat Meti. Meski kadang Meti juga tidak tahu mengenai informasi yang kuinginkan. "Sorry, ya, Met. Aku nanya-nanya sama kamu. Tahu sendiri lah gimana kalau nanya langsung ke orangnya.""Santai aja, Jo. Aku juga minta maaf karena tidak semua informasi kutahu."Aku bisa maklum ketika Meti berkata seperti itu. Karena tahu sifat Lisa yang sebenarnya. Yang penting apa yang diketahuinya pasti Meti sampaikan padaku, termasuk ketika Lisa sedang mengikuti satu event di sebuah hotel. Mendengar itu aku sangat bangga, ternyata Lisa mengalami banyak kemajuan setelah berpisah dari Riko. Mama juga akan ikut bangga karena wanita yang nantinya akan mendampingiku sekarang berkarir, tak kalah s
Aku membuka mata ketika hari sudah terang. Rupanya aku masih berada di parkiran sebuah klub malam yang semalam kukunjungi. Meski kepalaku masih agak pusing, aku memaksakan diri untuk menyetir hingga sampai ke rumah Lisa. Aku tidak mau membuang waktu, masih ada kesempatan untuk memiliki wanita itu. Setelah bertemu dengannya, aku langsung mengungkapkan perasaan dan keinginanku untuk menikahinya. Tapi lagi-lagi Lisa menolak. Sengaja aku menemuinya dalam keadaan kacau seperti ini, maksudnya supaya Lisa merasa iba lalu mempertimbangkan keputusannya untuk menikah dengan pria bernama Nathan. "Kamu tahu, aku menyukaimu sejak kita SMA. Selama beberapa tahun ini aku masih berharap meskipun aku tahu kamu sudah menikah dengan Riko. Apalagi setelah kamu kembali dengan status single-mu, aku kembali memupuk harapan itu. Kamu juga tahu itu El. Tapi kenapa pilihanmu justru jatuh pada lelaki yang baru saja kau kenal, bukan aku yang menunggumu sejak lama?!"Aku mengacak rambut lalu mengambil nafas yan
Lebih dari satu jam aku menunggu mereka keluar. Tak apalah aku terlambat masuk kantor lagi demi untuk bertemu dengan Lisa. Aku yakin mereka tengah asyik mengobrol di dalam, entah apa yang mereka bicarakan. Hingga pada akhirnya aku melihat Meti keluar tergesa-gesa, tak lama setelah itu Lisa pun nampak berjalan anggun menenteng tas mewahnya. Beberapa detik sebelum Lisa memasuki mobilnya, aku sudah aku berdiri di belakang wanita itu lalu berdehem. Lisa nampak terkejut ketika mengetahui keberadaanku. Bahkan tatapan wanita itu serupa menelisik, mungkin trauma karena penampilanku tempo hari. "Kamu juga ada di sini juga, Jo?" Pertanyaan itu adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir Lisa. Aku tahu Lisa berubah, dia seperti waspada ketika berhadapan denganku. Aku mengajaknya ke dalam mobil setelah kukatakan ada sesuatu yang ingin kusampaikan. Tapi Lisa menolak, dia minta berbicara di luar saja alasannya karena dirinya terburu-buru harus pulang ke butik. Sepertinya Lisa menghindariku.Ba
LisaSembilan bulan berlalu.Ternyata tidak mudah menjadi istri mas Nathan. Lebih tepatnya menjadi adik ipar mbak Nadia. Apa yang kulakukan selalu salah dimatanya. Meski kami tidak tinggal satu rumah dan satu kota, mbak Nadia selalu merecoki rumah tangga kami. Seperti sebelum kami menikah, ia selalu menyetir hidup mas Nathan. Mama, meskipun dia bersikap baik padaku. Beliau juga tidak bisa melarang apapun yang dilakukan oleh mbak Nadia. Mas Nathan pun demikian, sepertinya ia enggan sekali menentang semua yang dikatakan oleh kakaknya. Hampir setahun pernikahan kami dan aku terpaksa harus bolak-balik rumahku dan rumah Mas Nathan. Tapi mau bagaimana lagi, aku punya bisnis sendiri, sementara kewajibanku sebagai istri juga harus kupenuhi. Dan yang paling berat bagiku adalah keberadaan Yesi di rumah Mas Nathan. Makin hari gadis itu makin kurang ajar, sikapnya pada suamiku makin berani saja. Berkali-kali aku menyampaikan keberatan atas sikap Yesi pada mas Nathan. Tapi suamiku itu tidak bis
"Lisa!"Aku tak menghiraukan panggilan mas Nathan, kupacu langkah cepat untuk segera sampai ke kamar. Pemandangan barusan membuat mood-ku anjlok. Ternyata di belakangku Yesi sudah berani bersikap sejauh itu pada suamiku. Meskipun mas Nathan cenderung menghindarinya, tapi tetap saja aku marah karena dia tidak berterus terang perihal hubungannya di masa lalu dengan Yesi."Lisa tunggu! Jangan salah paham!" Mas Nathan kembali berteriak, langkah panjangnya semakin mendekat. Hingga dia berhasil meraih tanganku ketika aku baru saja menapaki beberapa anak tangga. Karena tidak mau mengambil resiko terjatuh, aku pun berhenti. Segera berbalik dan mendapati suamiku ini sedang menatapku penuh permohonan. Pandanganku lalu beralih ke tempat lain, di mana Yesi berdiri sambil melipat tangan di dada. Sikapnya malam ini berbeda dengan sebelumnya. Yesi yang sudah ketahuan belangnya kini terang-terangan menatapku penuh kebencian."Mas bisa jelaskan, Sayang. Kamu tidak usah salah paham, tidak ada hubungan
Mas Nathan berbaring di belakangku setelah selesai makan biskuit dan air putih yang memang selalu tersedia di kamar. Kasihan juga, suamiku itu tentu lapar sepulang dari kerja. Makanya tadi dia membuat mie instan di dapur. Sayangnya, kesempatan itu digunakan oleh Yesi untuk menggoda suamiku. Beruntung aku menyusulnya, kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi karena mas Nathan tidak bisa bersikap tugas pada Yesi.Aku terlelap beberapa saat setelah Mas Nathan melingkarkan tangannya di pinggangku. Sebuah kalimat yang membuatku kembali menahan senyum ia ucapkan menjelang tidur."Maafkan Mas, ya, Sayang. Mas hanya ingin membuatmu bahagia dan tenang tanpa mengetahui masalah yang terjadi dengan Yesi. Tapi ternyata menyembunyikan ini darimu adalah salah." Sebuah kecupan kembali mendarat di pucuk kepalaku. Aku pun memejamkan mata karena perlakuan lembutnya ini mampu menghadirkan getar-getar halus di dadaku.***Pagi harinya ketika kami turun untuk sarapan. Tidak seperti biasanya Yesi s
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny