Dua hari kemudian, aku memutuskan untuk menemui Ibunya Mas Riko. Aku terus kepikiran lantaran belum berpamitan pada beliau. Dengan menggunakan taksi, pagi-pagi sekali aku berangkat. Sengaja aku tidak memakai mobilku lantaran belum bisa menyetir. Selain itu, aku tidak mau terlihat pamer di depan Ibunya Mas Riko. Selama perjalanan Kayla begitu senang mendengar kami akan mengunjungi Neneknya. Selama ini Kayla memang dekat dengan Ibunya Mas Riko, aku sering mengunjunginya berdua dengan Kayla tanpa Mas Riko. Selain itu ibu juga terbilang sering mengunjungi kami. Begitu turun dari taksi, Ibu menyambutku dengan sebuah pelukan. Tidak seperti biasanya beliau memelukku sambil menangis. Aku mengerti, mungkin karena beliau mengetahui kalau hubunganku dengan Mas Riko berakhir."Kamu itu menantu yang baik, Lis. Ibu tidak habis pikir, kenapa Riko sampai tega menyia-nyiakanmu.""Lisa baik di mata Ibu, tapi tidak di mata Mas Riko, Bu. Sekarang dia sudah menemukan wanita yang sesuai dengan seleranya.
Pria itu nampak kaget untuk beberapa saat melihat Kayla yang menyambutnya. Detik berikutnya ia melihat ke arah Ibu dan aku. Sementara wanita yang keluar dari pintu lain berjalan sambil menatapku sinis. "Itu Riko bersama .... " Pertanyaan Ibu tertahan."Itu Mas Riko bersama istri barunya."Ibu tak menjawab lagi, wanita yang sudah kuanggap Ibu kandungku itu nampaknya tidak enak hati. Dalam hati aku menggerutu kenapa taksi yang aku pesan belom juga datang. Aku berusaha untuk tenang ketika Mas Riko dan pelakor itu bergerak mendekat. Mata pria itu menelisik ke arahku. Sepertinya Mas Riko kaget melihat penampilanku yang jauh berbeda depan kemarin-kemarin. Beruntung, gamis yang aku kenakan saat ini adalah best seller di butik. Aku juga sempat memoles wajah ini dengan riasan tipis. Jelas saja Mas Riko pasti pangling melihatku meski kulit wajahku belum se-glowing Alin.'Bagaimana, Mas, aku cantik 'kan kalau dirawat?"Keduanya semakin mendekat, beberapa langkah lagi mereka akan sampai di hada
"Maafkan Ibu yang selalu merepotkanmu." Sekali lagi Ibu merangkulku. Setelah itu aku pun bermaksud pergi, kalau saja ponselku tidak berbunyi. Kebetulan, ini kesempatan untuk menunjukkan ponsel mahalku pada Mas Riko dan jalang itu. Aku berhenti tepat di samping Alin yang masih memberikan lirikan sinis padaku. Agak kesusahan lantaran sedang menggendong Kayla, akhirnya aku bisa merogoh tas branded yang kemarin dipesankan oleh Gina dengan barang-barang lainnya. Sengaja sedikit kuangkat tas berwarna maroon itu agar Alin bisa melihatnya. Rupanya Gina yang menghubungiku. Dengan percaya diri kugeser tanda hijau di layar ponsel. Sengaja kuhadapkan bagian belakang ponsel ke arah Alin dan Mas Riko. "Ya, Gin. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bu.""Ada apa, Gin?""Ada yang mau pesen baju untuk seragam acara resepsi pernikahan, tapi katanya ingin bertemu dengan owner butiknya. Apa Ibu masih lama perginya?""Satu jam lagi aku sampai di sana. Kalau beliau bersikeras ingin bertemu, mohon sabar me
Pov RikoSaat ini Lisa benar-benar menjadi wanita yang berbeda di mataku. Setelah kemarin dia berani pergi dari rumah ini, sekarang dia tidak mau menunjukkan di mana kunci kamar itu disembunyikan. Aku yakin, benda itu bukan terjatuh, tapi Lisa sengaja menyembunyikannya.Lisa yang selama lima tahun ini kukenal sebagai wanita yang penurut. Kini berubah jadi wanita yang menyebalkan, padahal dulu dia selalu mengikuti apa yang aku katakan termasuk untuk berhemat. Tapi sekarang membalas pesanku pun dia tidak mau, menerima telepon juga terkesan santai.Aku sudah menanyakannya secara baik-baik tentang kunci itu, tapi dia bilang kunci itu jatuh di sekitar halaman rumah. Namun setelah aku cari memang tidak ada dan Lisa bersikeras tidak mau menjawab. Siang ini aku kembali mengirim pesan untuk menanyakan keberadaan kunci itu, tapi jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Memangnya apa yang dia lakukan di rumahnya Mbak Tika. Aku yakin di sana dia hanya bantu-bantu membereskan rumah. Rumah Mbak Lisa i
"Coba lihat ini!" Tangan kanannya teracung, sontak saja aku terbelalak melihat benda yang dipegang Alin."Di mana kamu temukan benda sialan itu?!" Aku menunjuk tiga buah anak kunci yang bergantung di antara jemari Alin."Di sini, Mas. Di dekat rak bumbu." Alin menunjuk toples-toples kecil yang berderet, tempat biasanya Lisa menyimpan bumbu. Di sampingnya terdapat toples bertuliskan gula dan kopi."Apa ini kunci kamar yang hilang itu?" tanya Alin menyelidik."Benar, ini kunci kamar sialan itu." Aku mendengus kesal lantaran benda itu yang kemarin sempat membuatku masuk got. Benda itu pula yang menyebabkan aku kehilangan uang ratusan ribu untuk membayar tukang. Kepergian Lisa benar-benar kesialan bagiku, hanya karena masalah kunci saja aku sudah rugi dua kali."Sepertinya Mbak Lisa sengaja mengerjai kita, Mas. Dia pasti iri dengan kebahagiaan kita." Suara Alin berubah manja."Ya sudah, buatkan kopinya. Aku akan melanjutkan bersih-bersih."Aku pun kembali melangkah menuju tiga pintu yang
Aku membuang nafas perlahan, Alin adalah wanita karir yang tidak bisa kupaksakan mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi terpaksa besok aku harus mencari jasa pembantu."Baiklah, besok aku cari pembantu untuk beres-beres di rumah dan mengerjakan pekerjaan lainnya. Supaya istri cantikku ini tidak kecapean.""Nah begitu dong, Mas. Itu tandanya kamu sayang sama aku. Tapi nyari pembantunya jangan yang muda, harus bibi-bibi yang sudah tua.""Loh kenapa? Bukannya yang muda itu bagus? Masih kuat tidak mudah capek.""Ih, enggak ah, nanti yang muda itu malah keganjenan. Sudah banyak kasus majikan ada main sama pembantu.""Kamu itu kebanyakan nonton sinetron, jadi pikirannya suka kemana-mana.""Nggak. Pokoknya harus bibi-bibi yang tua, jangan yang masih muda. Titik!""Apa sih yang bisa aku lakukan untuk istriku ini." Aku tidak bisa membantah Alin. Aku selalu berusaha membuatnya bahagia dan menuruti semua keinginannya demi untuk melihat wanita itu tersenyum. Besoknya, atas rekomendasi salah seorang t
Kusalami Ibu sambil menggendong Kayla yang tadi menyambutku di halaman rumah. Anak ini sepertinya rindu padaku, kasihan juga Kayla, dia belum mengerti apa-apa tentang rumitnya rumah tangga dan kini harus berada diantara orang tua yang sudah tidak utuh. Kulirik sekilas Lisa yang kini berdiri tak banyak bergerak. Kuakui sekarang penampilannya memang terlihat lebih elegan. Beda dengan Lisa yang dulu, pakaian seadanya dan tidak terawat, kenapa sekarang berubah jadi cemerlang seperti baku lusuh yang baru saja direndam oleh deterjen tujuh hari tujuh malam.Mataku terbelalak ketika Ibu memamerkan beberapa lembar uang yang berada di genggamannya, yang katanya itu pemberian dari Lisa. Aku benar-benar melihat bisa sebagai orang lain. Pakaian branded, penampilan ala sosialita dan banyak uang. Kenapa Lisa bisa berubah dalam sekejap. Jika memang dia punya pekerjaan, lalu pekerjaan apa? Bukankah selama ini Lisa tidak punya pengalaman bekerja, kecuali dulu kerja di butik sewaktu sebelum menikah den
"Kok ngancamnya gitu sih, Sayang?" Aku menggeser duduk, mendekati Alin, tapi wanita itu ikut bergeser."Mas kenapa, sih, deket-deket. Gerah tahu mana di sini nggak ada AC lagi," ucap Alin sambil mengibaskan telapak tangan di depan wajahnya. Matanya melirik, menyapu seisi ruangan yang memang tidak ber-ac. Rumah Ibu sangat sederhana, dulu ayah bukan pegawai yang mempunyai jabatan tinggi. Jadi hidup kami terbilang pas-pasan. Itu sebabnya aku memaksakan diri untuk kuliah lalu punya pekerjaan supaya hidupku tidak susah seperti Ayah dan Ibu. Beruntung Lisa mau diajak sederhana. Hingga dalam usia lima tahun pernikahan kami, aku sudah punya rumah dan mobil dengan gajiku yang terbilang lebih dari cukup, tapi tidak bisa dibilang banyak juga. Dan sekarang aku menikah dengan Alin, aku berharap kekayaanku akan bertambah banyak karena kami sama-sama berpenghasilan.Selang beberapa menit, Ibu datang sambil membawa nampan berisi makanan. Lalu obrolan basa-basi pun mengalir dari mulut Ibu. Alin hanya
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny