Adinda terdiam sambil sedikit meneteskan airmata disudut matanya. "Sejijik itukah aku di matamu mas, sampai kau benar-benar tak mau sekedar berdekatan denganku" batin Adinda. Ia menidurkan kembali tubuhnya. Rasanya ia mau mati saja mendapatkan perlakuan Herman yang terus menerus menyakitinya.
"Sesakit inikah mencintaimu" lirihnya dalam hati. Amira yang melihat Adinda merasa iba, didekatinya temannya itu. "Kau baik-baik saja Ania?" tanya Amira pelan."Iya Amira, aku hanya tak enak hati telah merepotkanmu dan suamimu" jawab Adinda pelan. "Tidak sama sekali Ania, sudahlah...jangan banyak fikiran begitu, kau harus rileks, kau baru sembuh" timpal Amira sambil mengelus tangan Adinda. Adinda hanya tersenyum lemah. "Sepertinya dia tahu pembicaraanku dan mas Herman tadi" gumam Amira dalam hatinya. "Biar nanti aku bujuk mas Herman lagi, agar dia mau mengantarkan Adinda pulang" batin Amira. Amira hanya merasa tak enak saja deSemua sudah selesai. Mereka bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanannya. Kali ini Herman meminta agar Amira duduk didepan bersamanya. Ia takut merasa mengantuk saat menyetir. Akhirnya Amira duduk disampingnya, sedangkan Adinda duduk sendiri dibelakang. Barusaja mereka melaju, Amira merasa mengantuk, karena kebanyakan makan, akhirnya dia tidur. Herman yang awalnya ingin ditemani mengobrol, terpaksa harus terdiam lagi, karena istri disampingnya malah meninggalkannya tidur. Suasana didalam mobil kini menjadi hening. Herman fokus pada jalan didepanny, begitu pula Adinda yang hanya melihat jalan dari jendela mobilnya. "Oiya, mobilmu biar besok Andi yang antar" tiba-tiba Herman memulai pembicaraan. Ia terlihat canggung sat berbicara pada Adinda. Adinda hanya bergeming mendengarnya, ia malas untuk berbicara dengan Herman. Ia takut kalau hatinya kembali terluka, karena terlalu besar menaruh harapan pada Herman. "Terimakasih, dan maaf merepotkan" jawabnya singkat. Kini s
Benar saja, barusaja Herman kembali dari dapur, istrinya keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Sudah berapa kali dia bolak-balik ke wc. Tubuhnya tampak lemas. "Kau kenapa sayang? tanya Herman khawatir. Amira hanya mendudukkan tubuhnya dikursi, kepalanya disandarkannya ke belakang. Keringat dingin bercucuran."Entahlah mas, aku merasa sangat lemas. Jawabnya pelan. "Kau terlalu makan pedas tadi, jadi begini akibatnya."Herman terus mengusap kepala Amira yang duduk lemah. "Amira kenapa?" tanya Adinda yang baru datang dengan membawa minuman ditangannya. Amira membuka matanya perlahan. "Tak apa Ania, aku hanya sedikit lemas, mungkin karena kebanyakan makan pedas tadi" ucapnya sambil memejamkan matanya. "Kalau begitu, istirahatlah dulu, jangan dulu pulang" sergah Adinda. Ia kasihan melihat kondisi Amira, kemudian ia bergegas kembali ke dapur untuk membuat teh pahit hangat. Adinda kembali dengan membawa secangkir teh pahit hangat. Dia duduk disamping Amira. "Minuml
"Kamu sedang apa sayang?" tanya Amira sambil mendekati Herman, dan memeluknya. Herman yang tak ingin Amira curiga membalas pelukan Amira. "Tak apa sayang, ini pesan dari Andi tentang jadwalku besok." Jawabnya berbohong. "Mas, apa benar kau akan mencarikanku seorang pembantu baru?" Amira bertanya sambil mendongakkan wajahnya menatap mata suaminya. "Iya sayang...., kasihan kalau kau selalu sendirian" ucapnya pelan, sambil mengecup pucuk kepala istrinya. "Hmmm....mas, kalau misalkan selama kita menunggu pembantu baru, aku meminta Ania yang menemaniku sementara, apa kau mengjinkannya mas...?" tanya Amira pelan. Dia seakan sangat berhati-hati mengucapkan nama Ania, pasalnya dulu Herman sangat tidak menyukai sikap Ania. Herman kaget setengah mati mendengar usul Amira. Begitu polosnya istrinya itu, dia tak tahu apa yang dia inginkan akan menjadi boomerang baginya. Bagaimana tidak? jika Adinda diam dirumah mereka, maka dengan leluasa Adinda menggoda suaminya, dan
"Sayang, ini sudah sore...sebaiknya aku bersiap dulu, nanti lepas maghrib, mungkin aku akan pergi dinas Seperti dulu lagi." Tiba-tiba Hati Amira merasa sedih mendengarnya. Herman yang sudah mulai berubah seperti sediakala, akan kembali meninggalkannya seperti dulu. Terlintas dalam fikirannya tentang ketakutannya dulu. Ia takut kalau Herman akan main serong lagi dibelakangnya. Mendengar pepatah, " satu kali selingkuh, maka selamanya akan selingkuh." Begitu kiranya pepatah yang didengar Amira. Namun kali ini, ia berusaha percaya pada suaminya. Amira mendongakkan kepalanya, memandang lekat maga suaminya. "Kau berjanji dulu, untuk tidak tergoda lagi dengan Adinda, dan Adinda lain diluar sana." mohon Amira. Herman hanya gelagapan mendengar permintaan Herman. Seperti anak panah yang kena sasaran. Pas sekali Amira berkata tentang dirinya. "Tidak sayang, aku benar-benar dinas luar kota malam ini, besok juga sudah beres. Jadi aku bisa langsung pulang.." jawabnya ngeles.
Waktu menunjukkan pukul 12.00 malam. Namun matanya masih tak bisa terpejam. Herman terus menerus mengubah posisi tidurnya, memang tidur diatas sofa membuat tubuh terasa nyeri. Ia terbangun, dilihatnya sekelilingnya, semua lampu utama dimatikan. Hanya lampu yang terang samar-samar mengisi ruangan. Seluruh tubuhnya terasa sangat sakit. Ia luruskan kakinya kedepan. Diputar-putarnya tubuhnya kesana kemari. "Aaah...rasanya sangat menyiksa sekali." Tenggorokannya terasa kering, ia langkahkan kakinya menuju dapur. Ia nyalakan listrik diruangan itu. Matanya memandang ke arah meja makan. Kagetnya Herman, ketika ia lihat sederet makanan tersaji dimeja makan. Dilihatnya makanan itu dari dekat. "Mungkin ini makanan yang tadi ia masak untukku." ujarnya dalam hatinya. Timbul rasa kasihan dalam hatinya, "ternyata dia sudah berkorban untukku." Ada rasa menyesal dalam hatinya, Tadi ia menolak makan dirumah Adinda, karena ia sudah makan bersama Amira. Dibukanya kulkas milik Adinda.
Mereka bertiga terjaga dalam malamnya. Tak ada satupun yang bisa tidur. Setelah sekitar 3 jam Amira berada diruang operasi, akhirnya Dokter pun menemui mereka. "Bagaimana keadaan Nyonya saya Dokter?" tanya Dina cemas."Bersyukurlah, ibu dan bayinya sehat." ucap dokter lembut.Mereka bertiga saling melempar pandangan. "Bayi? maksud Dokter?" tanya Dina lagi."Ya...untuk menyelamatkan bayinya, terpaksa kita harus lahirkan sebelum waktunya. Tapi semua berjalan lancar, dan sekarang bayinya berada diruang incubator, karena bayi lahir prematur." jawab Dokter menjelaskan.Mereka hanya menganggukan kepalanya tanda setuju."Apa kita bisa menemuinya?""Silahkan, tapi butuh waktu agak lama untuk nyonya Amira sadar kembali. Saat ini dia masih dipengaruhi obat bius." terang Dokter. Mereka bertiga memasuki ruangan Amira. Dilihatnya saat ini majikannya masih terkulai lemas. Selang infus masih tertancap dihidungnya. Wajahnya nampak pucat pasi. *** Adinda terbangun saat sinar hangat
"Beliau sedang dalam perjalanan kemari nyonya." ucap Dina. Amira merasa tenang mendengarnya. Tak lama, Herman dan Andi sampai. Dengan tergesa, Herman masuk ke ruangan dimana Amira dirawat. "Sayaang..." peluk Herman kuat. Airmatanya menetes, melihat keadaan istrinya. Amira memeluk balik Herman. Airmatanya tumpah seketika. "Anak kita mas, dia sudah lahir." terang Amira, dengan masih menangis. "Aku sudah tahu sayang, kau tenang ya.." Herman mendaratkan kecupan dikepala istrinya."Apa kau sudah melihatnya?" "Belum sayang, nanti kita lihat sama-sama ya..!" balas Herman lagi."Anak kalian laki-laki tuan, ucap Dina memotong pembicaraan Amira dan Herman. Herman semakin tak sabar ingin segera melihat keadaan anaknya. Apalagi anaknya seorang laki-laki. Anak yang sangat diinginkannya. "Kau cepat pulih sayang, nanti kita lihat anak kita bersama.." ucap Herman dengan airmata yang masih menetes. Ini adalah airmata pertama Herman. Selama ia menikah dengan Amira, belum pernah ia me
Herman terus melajukan mobilnya, tanpa mendengarkan permintaan Adinda."Herman, kau membahayakan kita...!!" teriak Adinda yang semakin ketakutan. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Ia gemetaran melihat Herman marah."Kau harus kuperlakukan seperti ini ,baru kau takut hah?!!" bentak Herman. Ia menoleh tajam pada Adinda yang saat ini sedang ketakutan."Berhenti....!!, kubilang berhenti Herman...!!" Lagi lagi Adinda berteriak. Teriakan Adinda membuat telinga Herman sakit.Herman meminggirkan mobilnya dijalan yangs sepi. Ia mengerem mobilnya dalam sekali hentakan. Hal itu membuat Adinda tersungkur kearah depan."Kau sangat kasar Herman, kau meyakitiku..." Amira berkata lirih sambil memegangi dahinya, yang terkena bagian depan mobil. Ia mengelus-elusnya sambil merintih. Herman menyeringai sinis. "Kau tadi minta berhenti kan? aku kabulkan permintaanmu sekarang..!" ucapnya tenang.Herman berbalik ke arah Adinda, sekarang mereka sedang berpandangan."Katakan, sebenarnya apa maumu?
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang