BAb 1
"Bagaimana, kamu suka sayang"?? Suara parau Herman membuat Amira menghela nafas gemetar. Perlahan, Amira membuka matanya, dia melihat takjub dirinya dicermin.
"Waaahh, bukan suka lagi sayang, bahkan aku suka sekali. Terimakasih sayang." Amira membalikkan badannya dan memeluk Herman dengan erat. Dia merasa sangat bahagia, karena sepagi ini Herman sudah memberinya sebuah kejutan manis.Sepulang dari dinas luar kota, Herman membelikan set perhiasan emas dengan permata warna warni yang mengkilat. Herman sengaja memakaikan kalung pada leher Amira. Dia ingin istrinya bahagia dengan kejutannya.Begitulah sikap Herman. Dia sangat romantis dan penyayang. Setiap pulang dari Dinas luarkota nya, dia tak pernah lupa membawa buah tangan untuk istri tercintanya. Dan hari ini, dia membawakan set perhiasan lengkap. Kalung dengan liontin berinisial A yang tak lain adalah Amira, ditambah manik-manik permata yang membuat kesan mewah. Pernikahan Amira dan Herman sudah berlangsung selama 3tahun dan sekarang, Amira tengah mengandung anak pertama mereka. Usia kandungannya baru menginjak 5bulan.
Amira adalah perempuan yang hampir mendekati sempurna. Selain cantik alami, dia juga baik. Istri penurut dan tidak banyak menuntut. Hanya saja, ada hal yang Herman kurang suka dari Amira. Dia wanita natural yang jarang sekali berdandan. Menurut Amira, dandanan natural lebih enak dipandang daripada riasan wajah yang mencolok. Namun berbeda dengan Herman, yang awalnya dia pun tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Namun lama kelamaan, karena seringnya dia bertugas dinas keluar kota dan bertemu dengan banyak wanita sosialita, menjadikannya sedikit terganggu dengan penampilan Amira.
Hanya saja,dia tidak mau mengutarakan perasaannya. Rasa takut kalau Amira akan tersinggung, membuatnya menahan diri untuk mencoba menerima Amira. Setidaknya, sekarang yang membuat Herman masih merasa nyaman dengan Amira adalah sifat Amira yang berbeda dengan wanita lain.
Dulu, saat hidup mereka masih susah. Saat bagaimana Herman berjuang mendirikan perusahaannya, Amira lah yang selalu setia menemaninya.Tak pernah sedikitpun mengeluh dengan keadaan Herman. Maka, sepantasnya sekarang saat keluarga kecil mereka berada diatas angin, Herman memperlakukan Amira dengan sangat istimewa.
"Baguslah, kalau dia suka. Setidaknya mengurangi sedikit rasa bersalahku," gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba gawai Herman berdering, pertanda panggilan masuk. Tertulis sekertarisnya Andi memanggil. Herman sedikit beringsut menjauh dari Amira yang sedang duduk didepan kaca riasnya menikmati indahnya pantulan dirinya yang menggunakan perhiasan yang diberikan Herman dibalik cermin."Iya, apa kau sudah memberikannya?"
"Iya, sudah tuan. Semua sudah saya laksanakan sesuai instruksi tuan!" jawab Andi.
"Bagus!!" jawaban Herman singkat, sambil mematikan tombol digawainya mengakhiri pembicaraan ditelp dengan Andi orang kepercayaannya. Herman bergegas memasukkan kembali gawainya kedalam saku celana.Dia takut Amira mendengar pembicaraannya dengan Andi.
"Sayang.. maafkan aku, sepertinya aku harus berangkat lagi malam ini. Barusan Andi memberitahuku ada hal yang harus aku selesaikan di kantor," ucap Herman sambil mendekati Amira kembali dan memegang pundaknya.
"Tidak bisakah besok saja kau selesaikan mas? kau barusaja pulang setelah dinas luar kotamu selama 3 minggu. Besok adalah jadwalku memeriksakan kandungan. Aku ingin sekali saja kau menemaniku," Terlihat wajah Amira memelas kepada Herman.
"Aku usahakan besok pulang cepat agar aku bisa menemanimu sayang." Dengan mengecup pucuk kepala istrinya, Herman berharap Amira luluh dan mengizinkannya.
"Baiklah!!...tapi tolong pulanglah besok sebelum aku berangkat!" Balas Amira lagi, dengan senyum memaksa.
Amira sebetulnya sangat kecewa dengan jawaban Herman. Tapi dia tidak boleh egois, Herman adalah pemilik perusahaan sudah pasti dia sangat sibuk saat ini.
"Baik-baik dirumah sayang, panggil bik Inah kalau kau ada perlu apa-apa. Jangan terlalu malam kalau tidur, tidak baik untuk kesehatanmu dan calon anak kita!" Sambung Herman sambil mengecup kening Amira dan bergegas keluar. Amira hanya terdiam melihat Herman berlalu.
Setelah Herman tak terlihat, Amira merebahkan dirinya dikasur empuknya. Seketika, sunyi mulai merasuki kedalam hatinya. Bagaimana tidak? Suaminya yang baru saja datang beberapa jam yang lalu, kini pergi lagi meninggalkannya. Ini bukan kali pertama Herman bersikap seperti itu. Semenjak dia menjadi pengusaha sukses yang memiliki banyak anak perusahaan, Herman sangat jarang berada dirumah. Paling lama hanya dua atau tiga hari dalam sepekan, selanjutnya ia akan menghabiskan waktunya untuk perusahaannya.
Dalam fikirannya, Amira ingin suaminya kembali seperti dulu. Dimana, dia selalu menemaninya kapanpun dia mau. Tak banyak menghabiskan waktu diluar rumah. Dulu, Herman selalu menyempatkan untuk pulang walau hanya satu jam dirumah. Karena Herman benar-benar tidak bisa jauh dengan Amira. Tapi seiring berjalannya waktu, Herman semakin berubah. Walaupun masih tetap hangat seperti dulu, tapi tetal saja terasa ada yang berbeda, yang mengganjal dihatinya. Tak terasa, buliran airmata menetes membasahi bantal yang ditiduri Amira. Amira benar-benar merasa kesepian malam ini.
Herman duduk dibangku belakang sambil memainkan gawainya. Di scrollnya layarnya ke atas ke bawah mencari sebuah nama di kontaknya.
"Hai Beb...sebentar lagi aku akan sampai, apa kau sudah terima hadiah dariku?" tanya Herman sambil tersenyum manis. Seolah orang yang diajak bicaranya ada dihadapannya. Pak Parman hanya melirik dari spion depan, menyaksikan mimik wajah tuannya saat menelpon. Parman sudah tahu kalau orang yang sedang ditelp tuannya adalah bukan Amira istrinya. Melainkan Dinda, seorang perempuan muda yang selalu tuannya temui seminggu sekali.
Sebenarnya Parman merasa kasihan dengan Amira, namun dia hanyalah seorang supir. Dia tidak berhak berbuat apa-apa selain melaksanakan perintah tuannya.Tak lama, mobil sedan milik Herman sampai didepan rumah cat putih dengan pagar tinggi berwarna abu tua.
"Pergilah!! Besok ku hubungi kau kalau aku akan pulang!!" perintah Herman. Pak Parman mengangguk tanda mengerti, yang kemudian langsung menjalankan mobilnya dengan cepat.
Terlihat gadis muda memakai baju lingerie berwarna hitam berdiri didepan pintu. Dengan rambut terurai, lekuk tubuh yang terlihat samar karena tipisnya lingerie yang dia gunakan, terlihat senyumnya dari kejauhan, membuat Herman melengkahkan kakinya dengan cepat. Ia tak sabar ingin memeluk gadis simpanannya yang sangat dia rindukan.
"Aku sangat merindukanmu beb...!!" Herman langsung memeluk erat tubuh wanita didepannya.Tangannya melingkar kuat sambil sesekali meremas bagian belakang gadis itu. Hidungnya menyusuri setiap inci leher jenjang wanita itu. Tercium wangi parfum yang membuat Herman semakin tergoda. Bibirnya tak henti mencium tengkuk gadis itu, sambil nafasnya mulai memburu. Sadar posisinya berada didepan pintu, Herman langsung membopong tubuh gadis itu dan kakinya menutup pintu dengan cepat. Dia membawa gadis itu masuk kedalam kamar dan menidurkannya dengan lembut. Ditindihnya tubuh gadis itu, dan tangannya yang mulai bergerilya menyusuri setiap lekuk tubuh gadis muda dibawahnya, yang tubuhnya mulai bergerak tak teratur mendapat sentuhan Herman yang secara tiba-tiba dan tanpa ampun.
Desahan yang keluar dari mulutnya membuat Herman semakin beringas melahap tubuh gadis itu. Tangan kanan gadis itu memencet lampu tidur sehingga suasana kamar menjadi gelap. Hanya suara desahan yang saling membalas menjadi saksi malam itu."Beb, kemana dulu kamu?Kenapa kamu tidak langsung datang kesini?" rengek gadis itu sambil mengusap lembut dada Herman yang sudah tidak ditutupi baju.
"Hmmm..aku pulang kerumah dulu beb. Istriku menungguku dirumah," jawab Herman dengan nafas yang masih terengah-engah.
"Kau bahkan lebih memilih pulang kerumah perempuan kuno itu daripada langsung datang kesini?Tidak tahukah kau, kalau aku lama menunggumu!" kesal gadis itu sambil mengerucutkan bibirnya.
"Bukankah dari awal kau sudah tahu resiko menjadi simpananku?bersabarlah sedikit, aku akan menikahimu tapi tunggulah waktu yang tepat!" jawab Herman dengan datar.
"Hadiah yang Andi berikan apa kau suka itu?" tanya Herman menatap lekat mata gadis dipangkuannya.
"Tentu saja beb, makasih oleh-olehnya I like beb" jawab gadis itu membisik ditelinga Herman.
"Kau dan istriku sama-sama hal yang penting. Apalagi sekarang Amira sedang mengandung anaku, jadi aku harus membuatnya bahagia selama kehamilannya," jawabnya lagi sambil menambah erat pelukannya. Dan ciuman mendarat dikening gadis itu.
"Aku tidak menginap disini,aku akan pulang. Besok aku datang lagi kesini," Seketika, suasana menjadi hening sesaat. Tak ada jawaban dari gadis itu. Sepertinya dia kecewa karena Malam ini Herman tak bermalam dirumahnya.
"Baiklah.. pergilah!"...jawab gadis itu dengan nada kecewa. Herman mengecup lagi kening gadis itu dan langsung memunguti pakaiannya yang tadi ia lepaskan ke sembarang tempat. Setelah ia kembali berpakaian rapi, diambilnya gawainya didalam saku celananya"Pak Parman, jemput saya sekarang!" perintah Herman.
"Baik tuan!" terdengar jawaban singkat dari sopirnya dan langsung Herman mematikan telponnya.
Sebenarnya ia berniat bermalam dirumah Adinda, namun ia lupa kalau ia sudah berjanji akan pulang pada Amira. Dia merasa kasihan membayangkan Amira tertidur sendirian. Setelah dia meninggalkan Amira dinas selama 3 minggu kemarin, rasa rindunya pada Amira lebih besar dari rasa rindunya pada gadis simpanannya.BAB 2Tak perlu menunggu lama, pak Parman pun sampai. Herman segera menaiki mobilnya dan langsung melaju cepat. Dalam hatinya, pak Parman merasa bingung sendiri dengan sikap Herman yang tega menduakan Amira yang lugu dan baik."Bukankah tadi dia bilang mau menginap? kenapa sekarang minta dijemput? sangat membingungkan!" gerutunya dalam hati. Tak selang lama, mobilnya sampai didepan rumah Herman. Herman segera mencari keberadaan istrinya. Terlihat Amira sudah tertidur dengan tubuh ditutupi selimut. Terbersit perasaan bersalah dalam hatinya, saat menyaksikan pemandangan didepannya. Amira terlihat sembab dan wajahnya pucat pasi. Matanya terlihat seperti orang yang sudah menangis.Herman tidur disebelah Amira dan memeluk dari belakang tubuh istrinya itu. Sebenarnya, Amira mengetahui kedatangan Herman. Ia sengaja berpura-pura tidur, untuk menghindari pertanyaan yang akan ia dapatkan, kalau Herman melihatnya sudah menangis. "Selamat pagi sayang!!"
"Berbaringlah!" dr Wisma mempersilahkan Amira berbaring untuk memulai pemeriksaan. Ditempelkannya stetoskop ke perut Amira."Herman tak ikut lagi?" Dr Wisma memulai percakapannya."Suamiku sedang sibuk, tadi dia mengantarkanku, tetapi ada ada hal mendadak yang harus ia selesaikan, jadi dia pulang lebih dulu," jawab Amira lemah, membela suaminya. "Sampai kapan kau membohongi diri sendiri Amira?!" batin Wisma kesal.Dr Wisma bukan sekedar Dr langganan Amira. Tetapi, dia juga sahabat Amira saat kuliah dulu. Dia pernah menyimpan perasaan pada Amira, namun Amira lebih memilih Herman dibanding dirinya. Itulah alasan, kenapa sampai saat ini dia belum mau menikah. Dalam hatinya, ia berjanji takan menikah terlebih dahulu sebelum menemukan perempuan yang lebih dari Amira. Sudah ke sekian kali Amira memeriksakan kandungannya, tapi dia tak pernah bertemu langsung dengan Herman. Wisma hanya tahu namanya saja, tanpa
"Masih lama kah urutanmu?!" tanya Herman pada Adinda, sambil terus menatap jam ditangannya. Ia terlihat sangat gelisah.Adinda hanya melirik dan tak menjawab pertanyaan Herman. Diperlihatkannya nomor antrian yang dia pegang. tertulis angka 9, berarti dua orang lagi giliran Adinda masuk ruangan pemeriksaan.Tak selang berapa lama keluarlah wanita hamil urutan 7yang tak lain Marta, kenalan baru Amira. Herman tak hentinya melihat jam ditangannya, sudah satu jam lebih dia disana. Pikirannya melayang tak tentu arah. Duduknya mulai tak nyaman, sesekali dia menggeser tubuhnya kekiri, kemudian ke kanan, berdiri dan duduk lagi.Herman benar-benar sudah tidak betah berada di tempat itu. Ia ingin segera pulang dan meminta maaf pada Amira, karena telah meninggalkannya begitu saja. "Kalau memang tak bisa menemaniku, pergilah. Kau terlihat sangat buruk sekarang!" cetus Adinda membuka percakapan mereka.Herman memandang ke arah Ad
Akhirnya mereka sampai di apartemen pribadi Herman. Herman langsung keluar dari mobilnya dan beranjak masuk ke apartemen. Ruangan pertama yang ia tuju adalah kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya, mencoba memejamkan mata menetralisirkan pikiran kacaunya saat ini. "Apa yang harus aku lakukan?" Herman berdesir dalam hatinya. Fikirannya dipenuhi kedua wajah wanita yang saat ini menjadi masalah dalam hidupnya. Sesekali ia berfikir menyesali kelakuannya dulu. Kenapa ia harus bermain api didalam pernikahannya? Kenapa ia harus membawa Adinda masuk dalam permainan ini? Semua penyesalan membuat Herman semakin merasa bersalah karena sudah mengecewakan Amira, menkhianati janji pernikahannya, dan melibatkan Adinda dalam masalah rumit ini. Jam masih menunjukan pukul 03.00 sore. Tidak biasanya Herman bersantai seperti ini. Ia sangat sibuk dengan ribuan pekerjaannya, pertemuan dengan banyak kliennya, dan banyak lag
Setelah selesai menghabiskan makanannya, Amira merebahkan tubuhnya dikasur. Perasaannya sedikit merasa tenang setelah bik Inah memberikan nasihat kepadanya. Ia berfikir mungkin memang dirinya lebih sensitif karena pengaruh hormon, sehingga hal-hal kecil saja bisa membuatnya stress. Amira mencoba membuang semua prasangka buruk terhadap suaminya. Ia berniat akan mengubungi Herman dan meminta maaf, saat ia membuka pesan dilihatnya notif pesan dari martha."Hai Amira, maaf baru membalas pesanmu, Ponselku mati. Ini baru penuh," begitulah Isi pesan dari martha. "Iya tak apa Martha," jawaban Amira singkat."Apa kau baik-baik saja sekarang? Kau sudah tak menangis lagi kan?heee.."Tentu Martha, airmataku terlalu mahal jika aku harus terus membuangnya dengan sia-sia," jawab Amira bercanda.Amira tersenyum membaca pesan Martha. "Sepertinya Martha orang yang supel, enak diajak berteman," gumam Amira.
Amira menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia menangis dibalik bantal. Pikirannya masih tak percaya kalau suaminya ada main dengan perempuan lain dibelakangnya. Setiap kata-kata yang ia baca tadi, baginya ibarat sebuah pedang yang menghunus tajam dan membuat perih hatinya seperti disayat-sayat. "Berarti selama ini mas Herman hanya bersandiwara didepanku? setiap kata dan perilaku manisnya hanya untuk menutupi kebohongannya belaka," Pikirannya melayang-layang. Menikmati setiap rasa sakit yang kini tengah ia rasakan. "Apa salahku? Apa kurangku mas," Amira menangis semakin menjadi jadi. "Sejak kapan mas Herman begitu dibelakangku? Lirihnya dalam hati."Siapa sebenarnya wanita bernama Adinda itu? apa aku harus menanyakan langsung pada mas Herman, atau aku cari tahu sendiri?" Amira bermonolog. Seribu pertanyaan berputar-putar didalam otaknya. Ada sesak yang tak bisa ia tahan dalam dadanya. Ada rasa
Setelah semua masakannya selesai, Amira kembali ke kamar dan membangunkan suaminya."Mas bangunlah, sudah siang," Amira menggoyangkan sedikit tubuh Herman, yang nampak kelelahan. Ternyata tak susah untuk membangunkannya, karena dengan begitu saja Herman langsung terbangun. "Makasi sayang, aku langsung mandi ya," ucap Herman mencoba meraih kepala Amira, namun seketika Amira menepis dengan cepat tangan suaminya itu. Melihat penolakan halus yang Amira berikan, Herman merasa kikuk, tenggorokannya terasa kering, sehingga ia putuskan langsung menuju kamar mandi. Sedangkan Amira menyiapkan pakaian yang akan Herman pakai.Semarah apapun Amira pada suaminya, ia tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Tiba-tiba matanya kembali melihat ponsel Herman yang tergeletak bebas. Diambilnya ponsel itu, kemudian ia mulai menscroll semua panggilan dan pesan di wa nya. Benar saja, seperti dugaann
Suasana dikamar mereka sekarang seperti didalam neraka. Hawanya terasa sangat panas. Bahkan Ac yang menyala pun tak mampu mendinginkan keadaan. Herman yang masih bersimpuh dihadapan Amira takberkutik sedikitpun. Ia terus duduk dengan badan gemetar. Begitupun dengan Amira, ia tak luluh sama sekali sepertinya pengkhianatan Herman membuat luka yang amat dalam sehingga sangat sulit untuk Amira menerima kenyataan ini. Saat suasana menjadi hening, tiba-tiba ponsel Amira berdering. Amira hanya mendiamkannnya. Ia sama sekali tidak tertarik mengambil ponselnya Pikirannya sedang sangat buruk saat ini. Namun karena ponselnya terus berdering tanpa henti, akhirnya ia pergi meninggalkan Herman yang duduk terpaku didepannya dan mengambil ponsel miliknya. "Iya Martha ada apa?" tanya Amira lemas."Haii kamu kenapa lemes gitu Mira? Kamu gak lagi sakit kan?"Tanya M
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang