BAB 2
Tak perlu menunggu lama, pak Parman pun sampai. Herman segera menaiki mobilnya dan langsung melaju cepat. Dalam hatinya, pak Parman merasa bingung sendiri dengan sikap Herman yang tega menduakan Amira yang lugu dan baik.
"Bukankah tadi dia bilang mau menginap? kenapa sekarang minta dijemput? sangat membingungkan!" gerutunya dalam hati. Tak selang lama, mobilnya sampai didepan rumah Herman. Herman segera mencari keberadaan istrinya. Terlihat Amira sudah tertidur dengan tubuh ditutupi selimut. Terbersit perasaan bersalah dalam hatinya, saat menyaksikan pemandangan didepannya. Amira terlihat sembab dan wajahnya pucat pasi. Matanya terlihat seperti orang yang sudah menangis.
Herman tidur disebelah Amira dan memeluk dari belakang tubuh istrinya itu. Sebenarnya, Amira mengetahui kedatangan Herman. Ia sengaja berpura-pura tidur, untuk menghindari pertanyaan yang akan ia dapatkan, kalau Herman melihatnya sudah menangis.
"Selamat pagi sayang!!" Herman memberikan kecupan hangat dipucuk kepala Amira. Dia bangun terlebih dahulu sebelum Amira. Ia sengaja memasak nasu goreng kesukaan Amira. Herman masih merasa bersalah atas kejadian semalam.
"Kau bangun lebih dulu mas? Kenapa tidak membangunkanku?" tanya Amira sambil mengedipkan matanya yang baru terbangun.
Seketika, matanya terbelalak melihat sepring nasi goreng yang masih mengeluarkan asap. Aromanya sangat menggugah selera makannya. Amira langsung terbangun dan meraih sendok yang ada di piring.
"Ini enak sekali," Amira berdecak sambil terus melahap nasi goreng buatan Herman. Pujian yang keluar dari mulutnya, benar-benar membuat Herman malu.
"Apa kau tahu siapa yang memasak ini?" tanya Herman sambil tersenyum tipis, menahan malu. Amira sedikit berpikir dengan mengerutkan keningnya.
"Bik Inah?!" jawabnya asal.
"Hmmmm...itu buatanku sayang, spesial untuk istriku tercinta!" balas Herman sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Amira.
"Waah sejak kapan suamiku pintar memasak?" ejek Amira sambil menatap lekat mata suaminya.
"Sejak semalam, saat aku pulang, kulihat kau sudah tertidur. Darisana lah aku berpikir bagaimana caranya agar kau tak marah lagi padaku," ucap Herman lembut.
Seketika Amira terdiam. Ada sedikit rasa bersalah dihatinya, karena semalam dia tidak menyambut kepulangan suaminya itu.
"Bergegaslah mandi! Bersiaplah! bukankah pagi ini jadwalmu memeriksakan kandungan?" tanya Herman.
"Oh ya, hampir lupa," jawab Amira sambil berusaha berdiri.
"Jangan terburu-buru sayang, santai saja. Hari ini aku tidak akan ke kantor. Aku akan menemanimu!" sergah Herman memegang lembut tangan Amira. Senyum hangat terpancar dari wajah Amira, dan seketika memeluk tubuh suaminya.
"Iya sayang, aku tak terburu-buru kok, aku hanya ingin bersiap segera. Lagipula, aku kan sudah menikmati masakanmu yang enak ini, jadi...tenagaku sudah pulih kembali!" Puji Amira kembali, sambil mencolek sedikit hidung mancung Herman.
Sungguh sikap lembut seperti inilah yang membuat Herman betah bersama Amira, walaupun ada kekurangan Amira yang membuatnya tak nyaman.
Amira langsung pergi kekamar mandi. Sedangkan Herman pergi keluar kamar. Ia akan menunggu Amira dibawah. Selang berapa menit, Amira turun dari tangga dengan pakaiannya yang rapi. Seperti biasa, make up natural yang menjadi ciri khasnya menghiasi wajah cantiknya.Herman seketika merasa tersihir dengan kecantikan istrinya. Dia baru sadar, kalau istrinya memang sudah cantik walau tanpa make up tebal diwajahnya.
"Hai sayang..,ayolah..mengapa malah bengong?" pertanyaan Amira membuyarkan lamunan Herman.
"Oh maaf sayang, pagi ini kau sudah membuatku tersihir dengan kecantikanmu!" gombal Herman yang langsung mendapat cubitan manja dipipinya.
Mereka pun segera menaiki mobil Herman yang langsung melesat.
Selang satu jam, mereka sampai di Klinik Dr wisma. Dr kandungan langganan Amira. Saat memasuki ruangan, nampak sudah ada beberapa orang yang mengantri di kursi antrian.
"Tunggulah disini, aku akan registrasi dulu," perintah Herman, sembari memberikan sebuah kursi untuk istrinya.
Amira duduk dikursi tunggu berdampingan dengan beberapa ibu-ibu hamil lainnya. Sambil menunggu Herman, Amira mengajak ibu hamil disampingnya berbincang. Membicarakan perihal kehamilan mereka.
*********
Terlihat pagi ini Adinda sangat pucat. Dia merasa tubuhnya sangat lemas. Pagi ini, dia sudah bolak - balik kamar mandi lebih dari 4x."Ya Tuhan...ada apa denganku? Kenapa aku merasa sangat lemas sekali," gumam Adinda dalam hatinya sambil memeluk guling yang sedikit ditekankan ke bagian dadanya. Setidaknya itu bisa mengurangi rasa mualnya.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Sebentar!"
dia mencoba mengingat kalau saat ini sudah tepat satu bulan dia tidak dapat tamu bulanan.
"Oh sial!! jangan-jangan.....," dia mulai menebak sesuatu yang membuat hati dan pikirannya kacau.
Segera ia bangkit dari tidurnya dan menghampiri laci dimeja riasnya. Dilihatnya kalender kecil yang berdiri tegak didepannya. Seketika tangannya bergetar melihat deretan angka didalam kalender. Perlahan ia mulai menghitung, dan matanya seketika melebar, saat ia mulai mengingat dengan jelas.
Benar saja, terakhir kali dia haid adalah satu bulan yang lalu, Dimana Herman akan berangkat keluar kota. Sebelum Herman berangkat, dia tak lupa meminta jatah tubuh Adinda karena mereka tidak akan bertemu dalam waktu yang lama.
"Ooh tidak! Jangan sampai apa yang aku takutkan ini terjadi! Aku harus segera mencari tahu kebenaran ini!" tegas Adinda pada dirinya sendiri.Adinda segera berganti pakaian, dia bahkan tidak menyempatkan diri untuk mandi. Hanya mencuci muka dan menggosok gigi sudah cukup baginya. Ada hal yang sangat penting yang harus segera dia ketahui.
Diraihnya kunci mobil diatas nakasnya, dan dengan kecepatan tinggi ia menjalankan mobilnya. Beruntung lagi ini tidak macet, sehingga ia bisa sampai dengan cepat disebuah Klinik kandungan.
Adinda berjalan tergesa-gesa menuju ruang registrasi. Saat memasuki ruang itu, matanya seakan dibuat tak percaya dengan apa yang barusaja ia lihat. Seketika ia menghentikan langkahnya yang semula tergesa. Dia melihat sosok Herman juga sedang berada disana. Perlahan, ia kembali berjalan dengan pelan. Didalam hatinya berkecamuk. Timbul keraguan yang membuatnya berhenti kembali."Astaga!! sialnya aku hari ini, bagaimana bisa mas Herman ada disini?!" pikirnya dalam hati.
Adinda berhenti sejenak untuk menenangkan dirinya. Dia tak ingin Herman melihatnya. Dia takut Herman pasti akan bertanya banyak hal jika melihatnya berada ditempat ini. Namun nasib tak berpihak baik padanya, justru Herman melihat keberadaannya. Tanpa disangka, Herman langsung menghampirinya dan menarik tangannya mengajaknya pada lorong sepi."Sedang apa kau disini?" Tanya Herman dengan rasa penasaran.
Adinda hanya terdiam tak mampu menjawab.
"Jawablah, kenapa malah diam? ada apa?" tanya Herman lagi.
Kali ini Herman bertanya dengan tegas. Rasa penasaran dihatinya mulai membuatnya tak lagi bisa berdamai.
Adinda yang merasa terpojokkan, langsung menjawab dengan gemetar.
"Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa aku ada disini. Yang jelas, sekarang ini aku sudah telat satu bulan dan aku akan memeriksakannya," Jawab Adinda dengan terbata.
Jederrrr.....
Jantung Herman serasa disambar petir. Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Adinda, sungguh membuatnya tak karuan."Apa maksudmu Adinda?" tatapan Herman langsung berubah tajam.
Adinda yang semula menundukkan pandangannya, seketika terpancing emosi dengan sikap Herman. Dia kembali menatap Herman
"Kenapa?Apa kau takut? Bersikaplah menjadi seorang laki-laki sejati, Tuan Herman yang terhormat!" jawaban Adinda yang singkat, namun memberikan kesan menyindir pada Herman.
Adinda pergi begitu saja meninggalkan Herman yang berdiri mematung.
"Bagaimana bisa dia teledor seperti itu?"Seribu oertanyaan bersemayam didalam otaknya kali ini. Ketakutan yang luar biasa, kini mulai memenuhi pikirannya.
"Bisa kacau kalau sampai dia memang hamil!" gerutunya dalam hati, sambil pergi melangkahkan kakinya menuju Amira diruang tunggu.
Sepanjang ia berjalan, hatinya terasa terbakar. Panas sehingga membuat otaknya mendidih dan tak bisa berpikir jernih.
"Aku harus tahu apa hasil pemeriksaan Adinda," gumamnya dalam hati.
Tapi terlebih dulu dia akan menemui Amira untuk memberikan nomor antrian.
"Sayang... kenapa lama sekali?Apa di ruang registrasi antri juga?" tanya Amira heran, saat Herman datang. Herman hanya mengangguk tanpa menjawab. Pikirannya benar-benar kacau.
"Sayang,.. maafkan aku. Aku tak bisa menemanimu sampai selesai. Ada urusan mendadak yang harus segera aku selesaikan. Tak apa jika aku tinggal kau sendiri? Dan ini, nomor antrianmu!" tanya Herman dengan berat hati, sambil memegang lembut tangan Amira yang tersimpan dilututnya.
Wajah Amira yang semula terlihat bahagia, kini berubah 180°. Wajahnya merah padam, memendam rasa kecewa, marah yang tak bisa dibendung lagi."Alasan apalagi yang kau buat mas? Kau barusaja menemaniku beberapa menit, dsn sekarang mau meninggalkanku begitu saja disini?!' Tanya Amira pelan.
"Please sayang mengertilah! Ini soal penting sayang, aku harus segera pergi!"
Jawab Herman dengan berat hati. Ia melepaskan genggaman tangan Amira. Kakinya kini mulai melanglah membawanya.
Tak terasa, airmatanya mengalir diujung matanya. Herman tak menghiraukan pertanyaan Amira. Yang ada dipikirannya saat ini adalahh, dia harus tahu apa hasil pemeriksaan Adinda.
"Bersikaplah dewasa seperti Amira yang ku kenal! Jangan bersikap. Ini nomor antrianmu dan aku akan segera pergi. Panggil saja pak Parman jika kau sudah selesai, nanti dia yang akan menjemputmu!"" Jawab Herman sambil pergi meninggalkan Amira yang menahan tangisnya."Ada apa denganmu mas, barusaja tadi pagi kau berbuat manis padaku, tetapi sekarang kau membuatku hancur!!" .batin Amira sambil mengusap airmatanya. Hatinya terasa seperti dijatuhkan dari langit ketujuh,.hancur tak bersisa.
"Tenang sayang,mama akan selalu ada untukmu. Mama yang akan selalu menjagamu," ucap Amira lirih sambil mengusap-usap perutnya yang masih rata.Tak terasa airmatanya menetes membasahi tangannya.
"Kau kenapa?" tiba-tiba seorang wanita hamil disampingnya bertanya dengan khawatir.
"Ibu hamil tidak boleh stress, ceritalah padaku kalau ada masalah, siapa tahu kita bisa menjadi teman akrab," imbuhnya lagi sambil mengusap pundak Amira.
"Terimakasih karena sudah baik padaku,walaupun kita baru kenal disini," Amira menjawab dengan lesu. Walaupun sebenarnya dia kecewa, tapi setidaknya dia sekarang merasa sedikit terobati karena wanita baik disampingnya.
" Ini kartu namaku, ambillah!" wanita hamil itu menyodorkan kartu nama yang bertuliskan Marta."Namaku Marta,simpanlah nomor handphone ku. Kita bisa saling bercerita saat kau membutuhkan teman," imbuhnya lagi. Amira mengambil kartu nama itu dan memasukkannya ke tas nya."Aku akan menghubungimu saat nanti aku sampai," jawab Amira."Nyonya Amira silahkan masuk!!" panggil seorang petugas klinik.
"Aku Amira,,," jawab Amira yang bergegas menemui panggilan perawat.
"Berbaringlah!" dr Wisma mempersilahkan Amira berbaring untuk memulai pemeriksaan. Ditempelkannya stetoskop ke perut Amira."Herman tak ikut lagi?" Dr Wisma memulai percakapannya."Suamiku sedang sibuk, tadi dia mengantarkanku, tetapi ada ada hal mendadak yang harus ia selesaikan, jadi dia pulang lebih dulu," jawab Amira lemah, membela suaminya. "Sampai kapan kau membohongi diri sendiri Amira?!" batin Wisma kesal.Dr Wisma bukan sekedar Dr langganan Amira. Tetapi, dia juga sahabat Amira saat kuliah dulu. Dia pernah menyimpan perasaan pada Amira, namun Amira lebih memilih Herman dibanding dirinya. Itulah alasan, kenapa sampai saat ini dia belum mau menikah. Dalam hatinya, ia berjanji takan menikah terlebih dahulu sebelum menemukan perempuan yang lebih dari Amira. Sudah ke sekian kali Amira memeriksakan kandungannya, tapi dia tak pernah bertemu langsung dengan Herman. Wisma hanya tahu namanya saja, tanpa
"Masih lama kah urutanmu?!" tanya Herman pada Adinda, sambil terus menatap jam ditangannya. Ia terlihat sangat gelisah.Adinda hanya melirik dan tak menjawab pertanyaan Herman. Diperlihatkannya nomor antrian yang dia pegang. tertulis angka 9, berarti dua orang lagi giliran Adinda masuk ruangan pemeriksaan.Tak selang berapa lama keluarlah wanita hamil urutan 7yang tak lain Marta, kenalan baru Amira. Herman tak hentinya melihat jam ditangannya, sudah satu jam lebih dia disana. Pikirannya melayang tak tentu arah. Duduknya mulai tak nyaman, sesekali dia menggeser tubuhnya kekiri, kemudian ke kanan, berdiri dan duduk lagi.Herman benar-benar sudah tidak betah berada di tempat itu. Ia ingin segera pulang dan meminta maaf pada Amira, karena telah meninggalkannya begitu saja. "Kalau memang tak bisa menemaniku, pergilah. Kau terlihat sangat buruk sekarang!" cetus Adinda membuka percakapan mereka.Herman memandang ke arah Ad
Akhirnya mereka sampai di apartemen pribadi Herman. Herman langsung keluar dari mobilnya dan beranjak masuk ke apartemen. Ruangan pertama yang ia tuju adalah kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya, mencoba memejamkan mata menetralisirkan pikiran kacaunya saat ini. "Apa yang harus aku lakukan?" Herman berdesir dalam hatinya. Fikirannya dipenuhi kedua wajah wanita yang saat ini menjadi masalah dalam hidupnya. Sesekali ia berfikir menyesali kelakuannya dulu. Kenapa ia harus bermain api didalam pernikahannya? Kenapa ia harus membawa Adinda masuk dalam permainan ini? Semua penyesalan membuat Herman semakin merasa bersalah karena sudah mengecewakan Amira, menkhianati janji pernikahannya, dan melibatkan Adinda dalam masalah rumit ini. Jam masih menunjukan pukul 03.00 sore. Tidak biasanya Herman bersantai seperti ini. Ia sangat sibuk dengan ribuan pekerjaannya, pertemuan dengan banyak kliennya, dan banyak lag
Setelah selesai menghabiskan makanannya, Amira merebahkan tubuhnya dikasur. Perasaannya sedikit merasa tenang setelah bik Inah memberikan nasihat kepadanya. Ia berfikir mungkin memang dirinya lebih sensitif karena pengaruh hormon, sehingga hal-hal kecil saja bisa membuatnya stress. Amira mencoba membuang semua prasangka buruk terhadap suaminya. Ia berniat akan mengubungi Herman dan meminta maaf, saat ia membuka pesan dilihatnya notif pesan dari martha."Hai Amira, maaf baru membalas pesanmu, Ponselku mati. Ini baru penuh," begitulah Isi pesan dari martha. "Iya tak apa Martha," jawaban Amira singkat."Apa kau baik-baik saja sekarang? Kau sudah tak menangis lagi kan?heee.."Tentu Martha, airmataku terlalu mahal jika aku harus terus membuangnya dengan sia-sia," jawab Amira bercanda.Amira tersenyum membaca pesan Martha. "Sepertinya Martha orang yang supel, enak diajak berteman," gumam Amira.
Amira menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia menangis dibalik bantal. Pikirannya masih tak percaya kalau suaminya ada main dengan perempuan lain dibelakangnya. Setiap kata-kata yang ia baca tadi, baginya ibarat sebuah pedang yang menghunus tajam dan membuat perih hatinya seperti disayat-sayat. "Berarti selama ini mas Herman hanya bersandiwara didepanku? setiap kata dan perilaku manisnya hanya untuk menutupi kebohongannya belaka," Pikirannya melayang-layang. Menikmati setiap rasa sakit yang kini tengah ia rasakan. "Apa salahku? Apa kurangku mas," Amira menangis semakin menjadi jadi. "Sejak kapan mas Herman begitu dibelakangku? Lirihnya dalam hati."Siapa sebenarnya wanita bernama Adinda itu? apa aku harus menanyakan langsung pada mas Herman, atau aku cari tahu sendiri?" Amira bermonolog. Seribu pertanyaan berputar-putar didalam otaknya. Ada sesak yang tak bisa ia tahan dalam dadanya. Ada rasa
Setelah semua masakannya selesai, Amira kembali ke kamar dan membangunkan suaminya."Mas bangunlah, sudah siang," Amira menggoyangkan sedikit tubuh Herman, yang nampak kelelahan. Ternyata tak susah untuk membangunkannya, karena dengan begitu saja Herman langsung terbangun. "Makasi sayang, aku langsung mandi ya," ucap Herman mencoba meraih kepala Amira, namun seketika Amira menepis dengan cepat tangan suaminya itu. Melihat penolakan halus yang Amira berikan, Herman merasa kikuk, tenggorokannya terasa kering, sehingga ia putuskan langsung menuju kamar mandi. Sedangkan Amira menyiapkan pakaian yang akan Herman pakai.Semarah apapun Amira pada suaminya, ia tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Tiba-tiba matanya kembali melihat ponsel Herman yang tergeletak bebas. Diambilnya ponsel itu, kemudian ia mulai menscroll semua panggilan dan pesan di wa nya. Benar saja, seperti dugaann
Suasana dikamar mereka sekarang seperti didalam neraka. Hawanya terasa sangat panas. Bahkan Ac yang menyala pun tak mampu mendinginkan keadaan. Herman yang masih bersimpuh dihadapan Amira takberkutik sedikitpun. Ia terus duduk dengan badan gemetar. Begitupun dengan Amira, ia tak luluh sama sekali sepertinya pengkhianatan Herman membuat luka yang amat dalam sehingga sangat sulit untuk Amira menerima kenyataan ini. Saat suasana menjadi hening, tiba-tiba ponsel Amira berdering. Amira hanya mendiamkannnya. Ia sama sekali tidak tertarik mengambil ponselnya Pikirannya sedang sangat buruk saat ini. Namun karena ponselnya terus berdering tanpa henti, akhirnya ia pergi meninggalkan Herman yang duduk terpaku didepannya dan mengambil ponsel miliknya. "Iya Martha ada apa?" tanya Amira lemas."Haii kamu kenapa lemes gitu Mira? Kamu gak lagi sakit kan?"Tanya M
"Deggg........" seketika jantung Amira seperti meledak. Tubuhnya mendadak kaku. Matanya membelalak bulat. Sangat tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dari mulut Martha.Seperti petir disiang bolong yang menyambarnya, suhu tubuhnya panas dingin seketika. Kemudian ia menunduk dan airmata yang ditahannya dari tadi, akhirnya jatuh juga."Apa benar Martha?" dengan suara pelan Amira merespon cerita Martha."Seperti apa perawakannya? tanya Amira lagi. Sebenarnya hatinya sakit mendengar ini, tapi ia ingin mendengar lebih banyak cerita tentang wanita yang sudah menghancurkan rumah tangganya itu. Ditambah lagi, hal yang sangat mengejutkan yang ia dengar barusan, benar-benar memukul jiwanya. Bagaimana bisa suaminya dengan wanita itu, sedangkan ia berpamitan pulang dan meninggalkannya sendirian di klinik? Jika itu memang benar adanya, berarti Herman lebih peduli pada perempuan simpanannya. Hatinya mengingkari semua itu, ia mencoba b
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang