Mak Siyem menikmati pagi dengan sepiring pisang goreng dan segelas teh panas yang disuguhkan Sumini sebagai temannya untuk menikmati sejuknya udara pagi.Mak Siyem sengaja memisahkan diri dari kegiatan sarapan dimeja makan dengan keluarga ini, dia hanya ingin Tukiman mengira bahwa dirinya masih tersinggung dengan perbuatan Astutik.Sehingga menimbulkan perselisihan diantara bapak dan anak itu.Padahal dia lebih memilih duduk menyendiri di halaman belakang yang sama luasnya dengan halaman depan itu, karena disini dia merasa lebih tenang.Rumah ini terasa begitu jauh dari tetangga, karena luasnya halaman yang mengelilingi rumah ini. Sehingga penghuninya bisa bebas dan tenang. Tidak ada tetangga yang setiap saat selalu mengomentari apapun yang penghuninya lakukan. Rumah ini bagus, seharusnya sejak awal dia dan Suminilah yang lebih berhak tinggal dirumah ini. Mereka tidak mengambil apapun dirumah ini, Mursiyem hanya berusaha mengambil sedikit dari apa yang seharusnya menjadi miliknya seja
Ketika tersadar Sumini sudah berada dirumah dengan banyak orang yang mengelilingi nya.Dia pingsan dalam waktu yang cukup lama.Dia masih bingung dengan apa yang terjadi.Yang dia ingat adalah waktu itu dia dan Mak nya ingin makan diseberang jalan, lalu semuanya gelap dan dingin dengan suara-suara berisik disekitarnya. Dan ketika bangun, dia merasakan sakit luar biasa pada sekujur tubuhnya."Ada apa ini?""Alhamdulilah mbak sampean sudah sadar""Aduhhhh, kenapa badanku sakit semua, kenapa kakiku susah digerakin?""Mbak, sampean diem dulu, kata dokter nggak boleh banyak bergerak""Apa yang terjadi denganku?""Sampean tadi kecelakaan mbak, tertabrak mobik ketika dipasar""Lalu bagaimana dengan Mak ku? Dimana Mak ku? Dia baik-baik saja kan?""Yang sabar ya mbak, sampean pulihkan diri sampean dulu""Yang sabar? Ada apa memangnya? Kenapa?""Mbak, tenang! Kakimu masih sakit, kalau kamu paksakan, nanti akan berdampak buruk untuk kesehatanmu dimasa mendatang""Tidak, aku mau mencari Mak ku!"
Astutik tak menyangka, bahwa Mursiyem pergi begitu cepat dengan cara setragis itu. Semuanya terjadu begitu cepat, hari itu setelah pulang sekolah untuk pertama kalinya dia tidak langsung pulang. Astutik memilih jalan kaki, sebelumnya Astutik sudah berpesan kepada pak Kusno untuk tidak menjemputnya.Meski matahari cukup terik, namun pohon-pohon besar dipinggir jalan ini cukup membuatnya merasa teduh, Astutik begitu menikmati perjalanan ini. Dalam hati Astutik menyesal, kenapa dia tidak melakukannya dari dulu-dulu. Tidak puas dengan menikmati perjalanannya, Astutik berhenti disungai yang begitu jernih. Astutik sengaja melepas sepatunya dan melangkah, naik diatas sebuah batu besar ditengah sungai tersebut. Sungai besar namun dangkal, airnya jernih, sehingga ikan-ikan kecil terlihat begitu jelas. Astutik merasa seluruh bebannya terangkat. Hingga tanpa terasa, waktu begitu cepat berlalu, hari sudah semakin sore. Astutik yakin sebentar lagi bapaknya pulang, kalau tahu dia belum dirumah,
Astutik tak menyangka, bahwa Mursiyem pergi begitu cepat dengan cara setragis itu. Semuanya terjadu begitu cepat, hari itu setelah pulang sekolah untuk pertama kalinya dia tidak langsung pulang. Astutik memilih jalan kaki, sebelumnya Astutik sudah berpesan kepada pak Kusno untuk tidak menjemputnya.Meski matahari cukup terik, namun pohon-pohon besar dipinggir jalan ini cukup membuatnya merasa teduh, Astutik begitu menikmati perjalanan ini. Dalam hati Astutik menyesal, kenapa dia tidak melakukannya dari dulu-dulu. Tidak puas dengan menikmati perjalanannya, Astutik berhenti disungai yang begitu jernih. Astutik sengaja melepas sepatunya dan melangkah, naik diatas sebuah batu besar ditengah sungai tersebut. Sungai besar namun dangkal, airnya jernih, sehingga ikan-ikan kecil terlihat begitu jelas. Astutik merasa seluruh bebannya terangkat. Hingga tanpa terasa, waktu begitu cepat berlalu, hari sudah semakin sore. Astutik yakin sebentar lagi bapaknya pulang, kalau tahu dia belum dirumah,
Astutik tak menyangka, bahwa Mursiyem pergi begitu cepat dengan cara setragis itu. Semuanya terjadu begitu cepat, hari itu setelah pulang sekolah untuk pertama kalinya dia tidak langsung pulang. Astutik memilih jalan kaki, sebelumnya Astutik sudah berpesan kepada pak Kusno untuk tidak menjemputnya.Meski matahari cukup terik, namun pohon-pohon besar dipinggir jalan ini cukup membuatnya merasa teduh, Astutik begitu menikmati perjalanan ini. Dalam hati Astutik menyesal, kenapa dia tidak melakukannya dari dulu-dulu. Tidak puas dengan menikmati perjalanannya, Astutik berhenti disungai yang begitu jernih. Astutik sengaja melepas sepatunya dan melangkah, naik diatas sebuah batu besar ditengah sungai tersebut. Sungai besar namun dangkal, airnya jernih, sehingga ikan-ikan kecil terlihat begitu jelas. Astutik merasa seluruh bebannya terangkat. Hingga tanpa terasa, waktu begitu cepat berlalu, hari sudah semakin sore. Astutik yakin sebentar lagi bapaknya pulang, kalau tahu dia belum dirumah,
POV MenikKuperhatikan satu persatu karyawan ku yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka.Sungguh, berat rasanya harus meninggalkan semua ini, semua yang ku bangun benar-benar dari 0.Namun bagaimana pun aku harus kembali, bagaimana pun aku harus mengambil apa yang seharusnya milikku.Aku bukan menyerah selama ini, membiarkan mereka menari diatas luka ku.Membiarkan manusia-manusia tak tahu diri itu menikmati apa yang seharusnya menjadi milikku.Aku hanya sedangan berusaha berdiri dan bangkit, sehingga ketika aku kembali, aku bisa berdiri tegak dengan kakiku sendiri.Setelah berunding dengan mas Rudi dan jeng Susi, aku memutuskan untuk tidak menutup usaha ini.Selain karena usaha ini menghidupi banyak kepala, aku juga harus tetap memiliki penghasilan, jika aku kembali nanti, aku harus menjadi seorang Menik yang baru.Aku tak ingin lagi bergantung apapun dengan mas Tukiman, bagaimanapun waktu sudah begitu lama berlalu. Siapa yang tahu dalamnya isi hati? Bisa saja dia kini telah beruba
Setelah kejadian yang menimpa dirinya, Sumini benar-benar terguncang.Dia enggan meninggalkan kamarnya, bahkan hanya untuk sekedar mandi dan mengisi perutnya.Dia sering marah-marah tak jelas, sering berteriak dan menangis sendiri.Sehingga ketika Tukiman ingin mendekat, lebih ke rasa takut dan jijik dari pada rasa iba.Ketika ada kerabat atau tetangga yang ingin menjenguk, sebisa mungkin Astutik akan mengajak mereka berbincang diruang tamu. Dari pada harus melihat langsung kondisi Sumini, lalu terdengar gunjingan yang menyakiti hati terlontar dari mulut mereka."Kasihan ya, lihat dia sudah seperti orang tidak waras, jangan-jangan ini karma dari apa yang sudah diperbuat dulu kepada Menik""Iya yu, mukanya nyeremin dengan luka itu, apalagi borok ditubuhnya, ih bau lagi ya""Kasihan Tukiman dan Astutik yang harus repot mengurusnya, padahal kan dia selalu jahat ya yu"Selalu terdengar bisik-bisik seperti itu setiap kali mereka selesai melihat kondisi Sumini dikamar. Astutik memang tak p
Senja mulai turun, ketika Sumini menunggu Tukiman pulang dengan kerudung yang menutupi sebelah pipi kirinya. Sumini mencoba untuk menerima takdirnya. Sumini mencoba untuk ihklas meski tak mudah. Entah kenapa, hari ini perasaannya begitu gelisah. Atau hanya tentang rasa rindu, karena sudah begitu lama Tukiman selalu menghindarinya? Baru saja hubungan mereka harmonis, Tukiman berubah menjadi manis kepadanya, namun kejadian itu harus terjadi dan merusak wajahnya, sehingga kini hubungannya dengan Tukiman kembali renggang. Sumini sering kali bertanya, kenapa tuhan begitu tidak adil? Kenapa tuhan seolah-olah mempermainkan hidupnya? Sumini sudah menyiapkan makan malam untuk Tukiman, dia sudah mematut diri, menggunakan bedak yang tebal untuk menutupi bekas luka yang mengerikan dipipinya, walau dia tahu, hasilnya percuma. Lukanya masih terlihat nyata, lukanya terlihat mengerikan. Astutik sedang membantu Wijaya mengobati luka dikakinya. Anak itu, kalau tidak main perempuan, pasti berkelahi
Mursiyem sebenarnya bukanlah orang jahat, dia tidak pernah menyakiti oranglain. Mursiyem hanya membatasi diri dari orang sekitar, dia memang tidak pandai bergaul sejak dulu, namun para tetangganya menyebut dirinya sombong, angkuh, dan tidak tahu diri. Mereka mencibirnya dengan pikiran mereka masing-masing. Mursiyem bukanlah orang jahat, dia hanya korban. Korban dari keegoisan dan juga ketidak adilan. Korban dari keserakahan, dan juga korban dari perasaan dendam yang tak berkesudahan. Dia adalah korban dari perasaannya sendiri. Kini apa yang dia mau sudah berhasil dia dapatkan, Sumini sudah berhasil menghancurkan kebahagiaan keluarga Menik, adik tiri yang tidak pernah Sumini sadari. Misinya sudah berhasil, Mursiyem sudah berhasil membuat Menik menangis setiap malam seperti yang dia rasakan dulu. Suami yang selama ini dia banggakan, kini dengan perlahan mulai membagi perasaanya dengan Sumini, kini cinta lelaki itu tak lagi utuh. Pernah sekali Mursiyem berfikir untuk mengakiri saja se
Mursiyem setengah mati berusaha untuk tidak tertawa puas untuk pagi ini, pagi yang begitu indah dengan udara yang begitu sejuk yang dia rasakan setelah puluhan tahun. Sesak didadanya yang dia rasakan selama ini serasa terobati melihat pemandangan ini. Lelaki lugu itu tampak gemetar ketakutan, dia begitu tampak marah, lelah dan juga putus asa, ketika semua orang yang berada diruangan ini tampak menyudutkannya. Semua tetua datang untuk mengutuk perbuatannya, perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan. Mursiyem ingin bertepuk tangan untuk semua yang ada diruangan ini, betapa hebat ekting mereka. Saminah yang terlihat marah namun masih berusaha menenangkan suaminya, Raharjo yang terlihat begitu terpukul, padahal mungkin saja Raharjo tahu bahwa istrinya sedikit banyak ikut andil dalam hal ini, Raharjo tentu tahu bahwa keponakan tersayangnya itu tidak mungkin melakukan hal sekeji ini. Dan lihat Sumini, Mursiyem ingin memberikan penghargaan tertingginya untuk anak itu, Sumini memang
Pesta itu berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan sangat meriah, semua hiburan rakyat ditampilkan di acara tersebut, makanan yang tersaji juga tak kalah melimpah. Warga yang hadir maupun para undangan orang-orang penting begitu terkagum-kagum, semua memuji atas kebaikan Raharjo dalam memperlakukan anak angkatnya dengan begitu baik lakyaknya anak kandungnya sendiri.Kedua mempelai juga terlihat sangat bahagia, senyum tak pernah lepas dari bibir keduanya, si perempuan pipinya bersemu merah jambu manakala sang pengantin pria membisikkan sesuatu ditelinganya lalu menatapnya dengan jail."Beruntung ya yu, Menik di asuh oleh Ki Harjo, walaupun mereka tidak ada ikatan darah, tapi ki Harjo memperlakukan Menik dengan sangat baik" Terdengar obrolan segerombolan ibu-ibu yang baru saja menghadiri acara tersebut. "Iya ya yu, bahkan ki Harjo mau menikahkan Menik yang sudah yatim piatu itu dengan keponakannya sendiri.""Ya pantes to yu, lawoh Tukiman kan juga sudah yatim piatu sejak kecil. C
Kini semua sudah mulai berjalan dengan semestinya, menjalani hidup dengan porsi masing-masing. Menik sudah mulai bisa menerima kenyataan akan kepergian orangtuanya. Dia hidup layaknya anak seusianya, bermain, belajar, walau tanpa bermanja seperti dahulu. Tapi dia hidup dengan sangat layak disini, segala kebutuhannya tetap terpenuhi, dia tidak dibedakan dengan anak ataupun keponakan dari ki Raharjo, lelaki yang kini menjadi orang yang paling dihormati dan paling berpengaruh karena harta dan pengaruhnya di desa ini. Ya, kini Menik mulai memiliki teman baru, teman untuk membagi kesedihan dan juga kebahagiaanya. Mereka senasib, sama-sama seorang anak yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan ditampung keluarga ini. Walaupun begitu, kebersamaan mereka cukup dibatasi, tak baik katanya, seorang anak perempuan terlalu dekat bersama seorang anak lelaki, namun sesekali mereka masih sering terlihat bersama. Sama halnya Menik yang sudah mulai berdamai dengan keadaan, Mursiyem juga menjalani hid
Menik membereskan barang-barangnya dengan diam, satu persatu benda-benda penuh sejarah itu masuk kedalam kopernya. Menik membereskan semua itu dibantu oleh seorang pembantu yang sudah menganggapnya layaknya anaknya cucunya sendiri, mereka sama-sama diam, sama-sama berulangkali yang mengusap matanya yang terus berair. Bukan hanya Menik, wanita itu juga begitu berat meninggalkan rumah ini, sudah begitu lama dia menggantungkan hidupnya dirumah ini, bahkan sejak Admodjo masih didalam perut. Namun sayang, rumah ini akan segera dikosongkan, majikan sudah tiada, putri semata wayangnya pun kini hidup sebatang kara dan dirawat orang lain yang dirasa mampu. Wanita itu memandang Menik yang terus menangis dalam diam, mendekap erat baju terakhir yang akan dimasukkan kedalam sebuah koper besar itu, nafasnya tersengal, bahunya terlihat naik turun, namun gadis itu masih diam. Tak tahan melihat semua itu, wanita tua itupun tanpa sungkan menarik Menik kedalam pelukaanya, lalu mereka sama-sama terisak b
Didalam riuhnya pesta, Menik kebingungan mencari orangtuanya kesana kemari namun tak kunjung ketemu, seorang lelaki yang dia kenal sebagai sahabat bapaknya oun mendekat, berkata bahwa bapaknya ada sedikit keperluan, lelaki itu akan menemaninya menemui tamu-tamu sebagai wakil dari bapaknya. Namun, meskipun sudah dijelaskan, Menik masih merasa bingung dengan apa yang terjadi, kecewa menyusup didadanya. Bagaimana mungkin orangtuanya tiba-tiba menghilang ketika tamu undangan sudah mulai ramai berdatangan, urusan apa yang begitu penting hingga mereka sampai hati meninggalkannya seorang diri? Jam pun akhirnya berganti, seluruh tamu sudah seluruhnya datang, namun acara tak kunjung dimulai, sang tuan rumahpun tak kunjung terlihat. Kini mereka mulai resah dan berbisik. Menik terlihat begitu panik hingga beberapa kali sang paman itu menenangkan bahwa semuanya baik-baik saja, mereka akan menunggu orangtuanya datang sebentat lagi, atau jika mereka tak kunjung datang, acara itu bisa dimulai denga
Admodjo sangat antusias menyiapkan pesta ulangtahun anaknya yang akan dilaksanakan minggu depan. Admodjo memerintahkan para pembantunya untuk menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Dia ingin mwnjamu para tamu dengan sebaik mungkin. Admodjo mengundang semua kenalannya, mulai para pegawai yang bekerja dengan dirinya, sampai dengan para petinggi belanda yang cukup berpengaruh dalam memperlancar bisnisnya. Semakin mendekati hari H, semua tampak sibuk, para pekerja laki-laki ditugasi untuk menata halama sekaligua mendekornya hingga tampka lebih pantas untuk sebuah pesta. Sedangkan para pekerja wanita telah sibuk membuat kue yang akan dihidangkan nanti. Menik dan ibunya pun tak kalah antusias, mereka telah mendapatkan gaun pesta terbaik yang dirancang oleh perancang langganan para nonik belanda. Gaun yang terlihat begitu mewah dan juga anggung ketika sudah digunakan olehnya, begitu serasi dengan wajah ayu juga kulit kuning yang begitu terawat sedari kecil. "Ibu, coba lihat ini"K
Admodjo sedang memangku putri kecilnya sambil memberi makan ikan-ikan hias pada kolam kecil yang sengaja dibangun atas permintaan putri kecilnya tersebut, yang sangat suka melihat ikan-ikan kecil itu berenang seakan sedang menari. Admodjo dengan telaten mendengarkan sang putri bercerita tentang hari-harinya yang menyenangkan, juga tentang teman barunya yang cukup pendiam, lalu tentang makanan apa yang dia tak suka, namun kata sang ibu itu bangus untuk kesehatannya. Juga tentang betapa bersyukurnya dia karena telah terlahir dikeluarga ini, keluarga yang penuh dengan cinta, dan juga orang-orang yang menyenangkan. Admodjo terus mendengarkannya dengan penuh minat dan rasa syukur. Dia begitu mencintai putrinya itu, dan itu adalah kali pertama dia benar-benar mencintai seseorang tanpa syarat dan tetapi. Putrinya itu kini tumbuh menjadi anak yang saangat cantik parasnya, tingkah lakunya pun manis dengan tata krama yang begitu halus, mencerminkan bahwa dia adalah keturunan seorang priyayi, d
Admodjo merasa hidupnya sangat sempurna, dia memiliki harta dan juga keluarga yang bahagia. Ternyata perjodohan yang diatur oleh bapaknya tidak seburuk yang dia bayangkan dulu, dia sama sekali tidak menyesali pilihan orangtuanya, justru dia bersyukur atas itu. Walaupun terus terang ada sedikit rasa bersalah ketika dia harus meninggalkan Mursiyem dalam keadaan yang tidak dia inginkan, Admodjo tahu bahwa dia telah merusak sepenuhnya masa depan Mursiyem dan juga kebahagiaan keluarga perempuan itu, tapi bukankah itu bukan keinginannya? Bukankah dirinya sudah menyuruh Mursiyem untuk menggugurkan anak itu? Bukankah niat awal mereka hanya bersenang-senang? Apakah sepenuhnya dia bersalah? Ah, tentu saja tidak, karena selalu ada harga untuk setiap kesenangan yang kita nikmati, bukankah dulu Mursiyem juga sudah meneguk kesenangan bersama dirinya, mungkin saja iti harga yang harus perempuan itu bayar, walaupun menurut Admodjo terlalu mahal dan berat, namun sekali lagi, itu bukan kesalahannya. Di