Namanya mbah Sumini, rumahnya tepat berada disamping rumahku.
Terkadang aku akan sangat marah setiap kali anakku main ke sana, lalu saat ku panggil untuk pulang, mbah Sum akan mencegahnya dengan berkata,
“Jangan didengerin ibumu, ibumu itu bisanya marah-marah saja, kalau kamu pulang nanti malah dimarahin. Sudah disini saja, sama nunggu es puter lewat, nanti beli dua ya, satu Nella, satu untuk embah.”
Anak kecil mana yang tidak luluh dengan bujukan seperti itu.
Kalau sudah seperti itu, anakku selalu menangis jika ku ajak pulang dengan paksa, walau sebenarnya aku memanggilnya untuk pulang bukan tanpa alasan. Mungkin saja waktu itu hari sudah gelap, atau waktunya dia makan, atau mungkin waktunya mandi tapi dia belum mandi.
Dan hal itu terus berupang, anakku sangat suka dirumah mbah Sum. Mungkin karena dirumah mbah Sum anakku sepenuhnya mendapat perhatian, sehingga dia nyaman disaat dirumah aku masih melakukan kegiatan rumah yang lain.
Mbah Sum ini lumpuh, mungkin karena pengapuran dikakinya. Matanya juga sudah tak lagi bisa berfungsi dengan baik. Mbah Sum hidup sendiri, mungkin karena itu, jika ada Nella merupakan sedikit hiburan baginya, dan seluruh perhatian tercurah untuk anakku. Dengan telaten bercerita tentang apapun, dan menanggapi setiap celotehan Nella.
Awalnya egoku terpancing, aku melarang Nella untuk kerumah mbah Sum karena kesal dan takut anakku terpengaruh dengan ucapannya yang menurutku jahat dan tidak pantas, aku memanggil Nella untuk pulang bukan lagi karena aturan, namun hanya untuk memuaskan egoku. Aku seakan berlomba dengannya untuk menjadi pemenang dihati anakku, ya walaupun aku tahu semua itu konyol. Jelas-jelas aku ibunya dan mbah Sum hanya orang lain yang anakku datangi ketika bosan berada dirumah. Lama-lama rasanya lelah juga, percuma dan aku rasa sikapku terlalu kekanak-kanakan. Rasanya juga tak sampai hatiku untuk terlalu lama abai dengan wanita tua yang malang itu.
Mbah Sum wanita tua yang malang itu tidak memiliki siapapun untuk bersandar. Dia hidup sebatang kara dihari tuanya.
Untuk makan sehari-hari mbah Sum mengandalkan kiriman dari anak tirinya yang tinggal didesa sebelah, itupun datangnya tak tentu waktu. Terkadang dipagi hari, namun lebih sering ketika matahari sudah tinggi. Dikirim satu kali untuk jatah makan satu hari.
Dalam pernikahannya, mbah Sum tidak memiliki anak kandung. Setahuku dulu mbah Sum menikah dengan lelaki yang sudah memiliki dua anak, sehingga salah satu anak tirinya itulah yang kini memperhatikan kebutuhan mbah Sum. Walaupun rasanya semua itu dilakukan hanya sekedarnya, bukan sepenuh hati layaknya anak yang ingin berbakti kepada ibunya.
Bagiku, mbah Sum adalah gambaran kesepian dihari tua yang nyata.
Mbah Sum sebenarnya termasuk orang yang cukup berada dimasanya, mbah Sum bukan orang miskin. Dia memiliki sawah yang luas, dari hasil panennya dia bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dengan sangat layak. Namun sayang 5tahun yang lalu tiba-tiba kakinya tak bisa lagi menopang tubuh tuanya, mbah Sum mengalami kelumpuhan,sejak saat itu dengan berat hati dia merelakan sawahnya untuk digarap orang lain sepenuhnya, dan dia hanya mendapat sedikit bagian.
“Masak apa nduk hari ini? Sudah mateng belum kok malah nglamun. Bapak sudah lapar lo.”
Tiba-tiba bapak datang mengagetkanku sekaligus membuyarkan lamunanku tentang mbah Sum.
“Masak sayur lodeh sama ayam goreng pak, baru saja Alin pindahin ke mangkok. Bapak mau makan sekarang? Sudah lapar to? “
“Ya iya nduk, wong sudah siang, cacing diperut bapak ini sudah teriak-teriak dari tadi minta jatahnya.”
Bapak memang suka bercanda, dan kami tertawa bersama.
“Alin ambilin nggeh pak?”
“Wes nduk, bapak bisa ngambil sendiri, mbah Sum aja tolong ambilin, kasian sudah siang belum sarapan, sama lihaten masih punya air minum apa enggak, kalau botolnya sudah kosong, tolong kamu isiin ya.”
“Ngeh pak.”
Bapak memang sangat perhatian dengan mbah Sum. Kasian kata bapak.
Harus hidup sendiri dihari tuanya.
Walaupun memang mbah Sum seringkali jahat dengan ibuku.
Seringkali ucapannya begitu tajam dan melukai, namun lagi-lagi kita hanya bisa memaklumi.
☘️☘️☘️☘️☘️
Siang itu ketika aku akan menidurkan Nella putriku, aku mendengar mbah Sum teriak-teriak memanggil bapak.
Aku mencoba mengabaikannya dengan berusaha memejamkan mata supaya segera tertidur, palingan juga cari perhatian seperti biasa batinku. Karena mbah Sum memang mempunyai kebiasaan seperti itu, suka teriak memanggil orang yang lewat agar mampir dan duduk di sampingnya hanya untuk menemani dia ngobrol, dan mendengarkan semua keluh kesahnya. Namun jika diabaikan, dia akan terus mengomel mengatai tidak punya etika kepada orangtua, tidak sopan atau apalah yang melegakan hatinya. Aku sadar, terkadang orang yang sudah sepuh memang kembali menjadi seperti anak-anak, sama seperti mbah Sum yang ingin perhatian lebih, ingin didengar atau hanya sekedar butuh teman bicara. Namun, yang tidak dia pahami adalah tidak semua orang benar-benar memiliki waktu luang atau sengaja meluangkan waktu untuknya. Seperti aku misalnya, walaupun aku hanya seorang ibu rumahtangga, bukan berarti aku menganggur. Justru begitu banyaknya pekerjaan rumahtangga yang menungguku dirumah.
“So darso, tulong soooo “
Aku langsung bergegas bangun ketika ku dengar lagi teriakan mbah Sum dari dalam kamarku, yang terdengar semakin lemah namun masih cukup jelas.
Tak ku hiraukan anakku yang belum tidur, dan masih asik bermain dengan mainannya,
Kutinggalkan Nella sendiri dan segera berlari kerumah mbah Sum.
Saat memasuki rumah mbah Sum, kulihat mbah Sum sudah berada dilantai dengan kursi roda yang terbalik.
“Ya allah mbah, kenapa?”
“Nduk tulong, aku jatuh, kursiku nggoleng.”
Ucapnya yang terlihat meringis sambil memegangi bokongnya .
“Ya allah mbah, kok bisa jatuh?”
Tanyaku sambil membopong tubuh rentanya .
Mbah Sum ini lumpuh, kakinya sama sekali tidak bisa digerakkan, jadi terasa begitu berat saat aku mengangkatnya seorang diri.
“Aku haus nduk, mau ngambil air dimeja depan.eh pas mau pindah ke kursi roda lakok malah nggoleng, bapakmu tak panggili dari tadi yo gak nyaut-nyaut.”
Mbah Sum menjelaskan sambil terus meringis, membuat perasaan bersalah menggelayut didalam hatiku. Seandainya tadi aku lebih peka, seandainya aku tidak suudzon lebih dulu kepada mbah Sum. Bagaimanapun mbah Sum adalah orang yang sudah renta dengan keterbatasan fisiknya, dan bagaimanapun keluarga kamilah yang paling dekat dengannya.
“Enggeh mbah bapak gak ada dirumah, tadi pamit pergi disawah dan belum pulang, sekarang njenengan apanya yang sakit mbah?”
“Bokongku nduk, tolong carikan minyakku, dimana ya aku naruhnya?”
Aku mulai mencari minyak urut mbah Sum diruangan yang tak seberapa besar ini .
Hanya ada tempat tidur, lemari kayu jati tua, dan satu ruangan lagi, dulu adalah dapur yang sekarang sudah dialih fungsikan sebagai kamar mandi.
Iya, karena dulu kamar mandinya mbah sum terletak jauh dibelakang rumah, khas rumah dipedesaan jaman dulu.
Namun semenjak lumpuh, karena dapur yang tidak lagi digunakan, anak-anak mbah Sum membangunkan sebuah kamar mandi didalam rumah ini agar lebih memudahkan mbah Sum untuk mandi dan buang hajat. Walaupun aku tahu, mbah Sum pasti masih sangat kesulitan untuk beraktifitas dikamar mandi dengan kondisinya yang seperti saat ini.
Ah ketemu juga akhirnya, minyak urut yang nyempil diantara tumpukan baju-baju mbah Sum yang warnanya sudah pudar.
Saat akan membantu mbah Sum membalur bokong dan kakinya yang terlihat mulai membiru memar, ku dengar Nella anakku menangis.
Bagaimana bisa aku sampai lupa membiarkan anak berusia tiga tahun itu sendirian dikamar sedang dia belum tidur.
“Mbah aku pulang ya, Nella nangis e mbah, takut kenapa-kenapa dirumah sendiri , mbahnya sedang ada urusan diluar tadi.”
Ucapku sambil berjalan terburu-buru menuju pintu.
Seperti biasa, saat berpamitan pulang akan dijawab dengan rentetan keluh kesah yang engan untuk ditinggalkan.
“Ibumu emange kemana? Peh sehat kok ngluyur ae, dholan terus gak ngerti wayah, ditinggal bojone kerjo malah dholan dewe.”
Tak ku hiraukan, aku sudah biasa mendengar itu darinya. Anakku sedang mencari ibunya, sedang mbah Sum sudah kupastikan baik-baik saja.
Saat aku membuka pintu, ternyata Nella sudah berada digendongan ibu .
“Pinter, anak ditinggal ngurusin orang , nangis kejer dibiarin. Kalau anakmu mainan yang bahayain gimana? Kalau anakmu dibawa orang gimana? Wong pintu ya kamu biarkan terbuka lebar. Anakmu ini masih belum ngerti Lin!”
Ibuku mulai drama.
“Ya ampun ibuk, aku habis nolong mbah Sum jatuh, kursinya lo nggoleng nggak ada yang bantuin. Apa sampean ndak kasian? Kita tetangga terdekatnya lo buk, kalau ada apa-apa apa ibuk nggak merasa bersalah? Apa ibu nggak iba?”
Aku hanya dijawab dengan dengusan kesal, ibu pergi melengos begitu saja .
Sejak dulu ibuku memang tidak akur dengan mbah Sum .
Entah kenapa, mbah Sum dari dulu selalu mencari gara-gara dengan ibuku . Kata-katanya selalu berhasil melukai hati.
Dulu aku fikir mbah Sum seperti itu karena cemburu, ibuku lebih beruntung darinya, punya suami seperti bapak, lelaki yang selalu memanjakan istrinya. Sejak aku kecil bapak selalu membantu pekerjaan rumah, apapun itu bahkan termasuk masak. Bapak tidak pernah mau membiarkan ibu capek, selalu ada untuk ibukku dan selalu memanjakannya. Hubungan ibu dan bapak sangat harmonis dan romantis.
Ibu juga mempunyai anak dan cucu yang membuatnya tak pernah kesepian dan selalu diperhatikan, sedang mbah Sum tak mempunyai semua itu.
Dia hanya hidup sendiri dihari tuanya.
Dulu aku berfikir mbah Sum cemburu dengan keharmonisan keluarga kami , karena rumah kami memang berdekatan, satu pelataran rumah khas perdesaan yang tidak berpagar.
Dapur kami berhadapan, rumah kami hanya dipisahkan jalan setapak selebar satu meter , sehingga apapun yang kami lakukan sangat mudah dia lihat dan dengar.
Namun aku salah, bukan hanya itu alasan mbah Sum selalu bersikap buruk kepada ibu.
Ibu adalah keponakan kesayangan dari wanita yang dia ambil suaminya, Mbah Sum kuasai harta dan anak-anaknya lalu di usir jauh-jauh dengan cara yang begitu licik dan hina.
Namun ternyata dunia tetap berpihak kepadanya , tak pernah dia temui kemalangan dalam hidup , kecuali suami yang terenggut.
Hari ini aku masak spesial, opor ayam kampung pedes, sama soto ayam kampung untuk Nella.Ayam peliharaan bapak memang cukup banyak, itu pun dilepas begitu saja tanpa kawatir diambil orang, mereka mencari makanananya sendiri, sehingga tidak perlu memberi pakan terlalu banyak kalau sore ayam-ayam itu biasanya pulang sendiri, seolah sudah hafal jalan pulangnya.Aku melihat kearah jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Nella kebetulan ikut ibu ke pasar. Aku tidak perlu kawatir mereka sudah makan apa belum, karena kalau kepasar, ibu pasti akan mengajak Nella mampir ke warung langganan kita. Dari dulu sejak aku masih sekecil Nella, setiap kali kepasar ibu akan mengajak mampir ke warung itu, namanya warung Lumintu, dengan menu andalah iwak srondengnya. Iwak srondeng sendiri adalah dendeng daging yang dikasih srondeng kelapa. Sekarang sudah generasi kedua, namun rasa masakannya masih tetap sama, sama sekali tak berubah.Makanan sudah siap, rumah sudah
Matahari sudah sangat tinggi, tak seperti biasa, kulihat Rumah mbah Sum masih tertutup rapat.Padahal biasanya jam segini mbah Sum berjemur didepan rumah sambil menunggu orang lewat.Bahkan tadi, ketika pembantu anaknya mengantarkan makanan pun tak terdengar suara keluh kesah mbah Sum seperti biasa, orang itupun langsung pulang.Sebenarnya, orang kepercayaan anaknya yang selalu disuruh mengurus makan dan kebutuhan mbah Sum lainnya itu, memang tak pernah berlama-lama dirumah mbah Sum, setelah menaruh makanan, pasti langsung pulang, tanpa perduli dengan kondisi dan juga keluh kesah yang terdengar. Entah mungkin karena jijik melihat kondisi mbah Sum yang terkadang bau pesing karena pipis yang berceceran sebelum berhasil mencapai kamar mandi, atau karena jengah mendengar keluh kesah wanita tua itu.Semua dilakukan sekedarnya, mungkin merasa tak ada ikatan, tak punya kewajiban, atau hanya menghindari gunjingan tetangga karena tuduha
Flasback.Sumber bening adalah sebuah desa yang masih sangat asri, sumber airnya tak pernah kering walau dimusim kemarau. Mungkin karena itu desa ini diberi nama Sumber bening. Desa yang tenang dan nyaman, serta sumber alamnya yang melimpah.Masyarakat disini sebagian besar bekerja sebagai buruh diperkebunan kopi milik ki dhemang Raharjo, atau biasa juga dipanggil ki Harjo.Saking luasnya perkebunan tersebut, membuat kampung ini dijuluki sebagai kampung kopi.Masyarakatnya ramah-ramah, hidup dengan rukun dan saling gotong royong.Ki Harjo adalah sosok lelaki yang tegas, namun baik, terlihat keras namun berhati lembut. Pekerjakeras dan memiliki disiplin yang tinggi.Namun demikian, ki Harjo dikelilingi orang-orang yang tamak.Ki harjo memiliki keponakan sekaligus orang kepercayaan untuk membantu menjalankan perkebunan kopi tersebut, namanya Tukiman, lelaki lugu namun cerdas.Kerjanya bagus, cekatan, d
Sudah dua hari, Sumini dan ibunya, Mursiyem berada di desa Sumber bening.Sumini dan ibunya tinggal di rumah belakang ki Harjo.Rumah yang memang diperuntukan untuk para pekerja dirumah utama.Hari ini Sumini akan mulai bekerja di perkebunan, sedang ibunya akan membantu pekerjaan dirumah utama.Sekaligus menemani nyi Saminah yang selalu merasa kesepian karena anak dan cucunya yang tinggal jauh di luar kota.Hari masih sangat pagi, namun Sumini sudah terlihat cantik dan rapi. Rambutnya disanggul sederhana, ditambah perbaduan baju yang pas untuk tubuh sintalnya, membuatnya semakin sedap dipandang mata. Kalau sudah begini, lelaki mana yang tidak tertarik dengannya?"Walah Sum, ini masih jam berapa? kamu kok sudah cantik, rapi begini?""Hari ini kan hari pertama Sumi kerja mak, masak harus telat sih? setidaknya kan Sumu harus memberikan kesan pertama yang baik.""Ya tapi kamu ini kerjanya dikebun nduk, bukan dikantor desa, atau dis
Sumini, gadis dengan kulit sawo matang, rambutnya ikal, namun memiliki tubuh yang sintal.Usianya sudah berada diakhir 20n, namun belum juga menikah, padahal diwaktu itu, teman seusianya rata-rata sudah memiliki anak yang beranjak remaja. Sangat tabu di masyarakat umum anak gadis yang belum menikah diusia segitu, karena umumnya, pada masa itu rata-rata perempuan menikah diusia 15-17tahun. Jika lebih dari itu dan belum juga menikah, maka harus siap jika sebutan perawan tua diberikan kepadanya.Sumini memang tidak terlalu cantik, namun memiliki lekuk tubuh yang menarik. Tuhan menganugerahi bentuk tubuh yang di idam-idamkan banyak wanita kepadanya.Sehingga sering kali digoda lelaki iseng, itu sebabnya banyak wanita yang tak menyukainya, atau mungkin juga karena sikapnya yang acuh dan tak mudah bergaul. Sumini lebih memilih untuk menyendiri dari pada bergaul. Karena sejak kecil, Sumini selalu mendapatkan perlakuan kurang baik dari sekitarnya.Sudah hampir se
Sudah hampir seminggu Sumini terbaring sakit,Semenjak dia tahu kenyataan bahwa sang pujaan hati ternyata sudah beristri,dunia Sumini tak lagi sama.Dia berubah menjadi pendiam.mengurung diri didalam kamar berhari-hari, hanya untuk menangis pedih. Harapan Sumini yang sudah terlanjur membumbung tinggi, kini hancur berserakan. Hatinya pecah, harapannya musnah.Mak Siyem pun kawatir dengan apa yang menimpa Sumini,setiap kali ditanya, Sumini hanya menjawab ingin sendiri.hingga akhirnya Dia menceritakan semua ini kepada nyi Saminah, tak sanggup rasanya dia melihat putri kesayangannya menjadi seperti ini. Seakan hilang arah, tak punya lagi semangat untuk hidup. Mak Siyem prihatin, ini adalah pertama kalinya Sumini jatuh cinta, lalu seketika harus dipatahkan oleh kenyataan. Hatinya ikut sakit, membayangkan kisah masalalunya hatus terulang kepada Sumini.Merasa kawatir dengan apa yang diceritakan mak Siyem, nyi Saminah pun megusulk
Mendengar penuturan ibunya, Sumini merasa mempunyai semangat baru. dia merasa kembali mempunyai harapan, hati yang telah layu, seakan mulai bersemi kembali.Hari ini dia kembali kerja dengan penuh semangat. seumur hidup Dia tak pernah merasakan perasaan ingin memiliki kepada seseorang sebesar ini sebelumnya, sehingga Sumini merasa harus memperjuangkan perasaan ini. Lagi pula, bukankah benar, agamanya pun tak melarang seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu?"Kalaupun memang takdirku tak bisa memilikimu seutuhnya, aku rela kang untuk berbagi, asalkan aku bisa menjadi istri sahmu. Aku berjanji akan berjuang, melakukan apapun untuk mendapatkanmu."Tekad Sumini.***Sumini rela menebalkan muka kepada Tukiman, penolakan halus yang terus dia dapatkan, tak membuat semangatnya surut. Justru tekadnya semakin kuat, rasanya cintanya semakin besar, kekagumannya kepada Tukiman, lelaki yang begitu setia itu seolah seperti pupuk yang membuat perasaanya s
"Sudah to nduk, sudah! Jangan nangis terus, emak juga ikut sedih lihat kamu seperti ini."Mak Siyem mencoba menenangkan Sumini, semenjak mengetahui kenyataan bahwa Tukiman ternyata adalah suami Menik, Sumini seolah kehilangan harapan. Kenyataan menamparnya dengan begitu keras, sehingga hatinya hancur tak berbentuk. Berkali-kali dia merutukki nasib yang tak pernah berpihak kepadanya."Selama ini mak, aku berfikir mereka itu sama-sama keponakanya ki Harjo karena saudara, ternyata mereka keponakanya ki Harjo karena suami istri, sakit hatiku mak, sakit! Kenapa sejak awal Menik tidak pernah cerita? perasaanku kepada Mas Tukiman sudah terlanjur dalam mak. Harapanku sudah terlanjur besar!"Mak Siyem hanya mampu terdiam sekaligus merasa bersalah, karena dulu dia yang membawa Menik datang kerumah ini. Seandainya saja Sumini tidak pernah mengenal Menik, mungkin rasa sakitnya tidak sesakit ini,tidak harus menanggung rasa bersalah ketika dia berjuang merebut hati Tukiman. M
Mursiyem sebenarnya bukanlah orang jahat, dia tidak pernah menyakiti oranglain. Mursiyem hanya membatasi diri dari orang sekitar, dia memang tidak pandai bergaul sejak dulu, namun para tetangganya menyebut dirinya sombong, angkuh, dan tidak tahu diri. Mereka mencibirnya dengan pikiran mereka masing-masing. Mursiyem bukanlah orang jahat, dia hanya korban. Korban dari keegoisan dan juga ketidak adilan. Korban dari keserakahan, dan juga korban dari perasaan dendam yang tak berkesudahan. Dia adalah korban dari perasaannya sendiri. Kini apa yang dia mau sudah berhasil dia dapatkan, Sumini sudah berhasil menghancurkan kebahagiaan keluarga Menik, adik tiri yang tidak pernah Sumini sadari. Misinya sudah berhasil, Mursiyem sudah berhasil membuat Menik menangis setiap malam seperti yang dia rasakan dulu. Suami yang selama ini dia banggakan, kini dengan perlahan mulai membagi perasaanya dengan Sumini, kini cinta lelaki itu tak lagi utuh. Pernah sekali Mursiyem berfikir untuk mengakiri saja se
Mursiyem setengah mati berusaha untuk tidak tertawa puas untuk pagi ini, pagi yang begitu indah dengan udara yang begitu sejuk yang dia rasakan setelah puluhan tahun. Sesak didadanya yang dia rasakan selama ini serasa terobati melihat pemandangan ini. Lelaki lugu itu tampak gemetar ketakutan, dia begitu tampak marah, lelah dan juga putus asa, ketika semua orang yang berada diruangan ini tampak menyudutkannya. Semua tetua datang untuk mengutuk perbuatannya, perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan. Mursiyem ingin bertepuk tangan untuk semua yang ada diruangan ini, betapa hebat ekting mereka. Saminah yang terlihat marah namun masih berusaha menenangkan suaminya, Raharjo yang terlihat begitu terpukul, padahal mungkin saja Raharjo tahu bahwa istrinya sedikit banyak ikut andil dalam hal ini, Raharjo tentu tahu bahwa keponakan tersayangnya itu tidak mungkin melakukan hal sekeji ini. Dan lihat Sumini, Mursiyem ingin memberikan penghargaan tertingginya untuk anak itu, Sumini memang
Pesta itu berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan sangat meriah, semua hiburan rakyat ditampilkan di acara tersebut, makanan yang tersaji juga tak kalah melimpah. Warga yang hadir maupun para undangan orang-orang penting begitu terkagum-kagum, semua memuji atas kebaikan Raharjo dalam memperlakukan anak angkatnya dengan begitu baik lakyaknya anak kandungnya sendiri.Kedua mempelai juga terlihat sangat bahagia, senyum tak pernah lepas dari bibir keduanya, si perempuan pipinya bersemu merah jambu manakala sang pengantin pria membisikkan sesuatu ditelinganya lalu menatapnya dengan jail."Beruntung ya yu, Menik di asuh oleh Ki Harjo, walaupun mereka tidak ada ikatan darah, tapi ki Harjo memperlakukan Menik dengan sangat baik" Terdengar obrolan segerombolan ibu-ibu yang baru saja menghadiri acara tersebut. "Iya ya yu, bahkan ki Harjo mau menikahkan Menik yang sudah yatim piatu itu dengan keponakannya sendiri.""Ya pantes to yu, lawoh Tukiman kan juga sudah yatim piatu sejak kecil. C
Kini semua sudah mulai berjalan dengan semestinya, menjalani hidup dengan porsi masing-masing. Menik sudah mulai bisa menerima kenyataan akan kepergian orangtuanya. Dia hidup layaknya anak seusianya, bermain, belajar, walau tanpa bermanja seperti dahulu. Tapi dia hidup dengan sangat layak disini, segala kebutuhannya tetap terpenuhi, dia tidak dibedakan dengan anak ataupun keponakan dari ki Raharjo, lelaki yang kini menjadi orang yang paling dihormati dan paling berpengaruh karena harta dan pengaruhnya di desa ini. Ya, kini Menik mulai memiliki teman baru, teman untuk membagi kesedihan dan juga kebahagiaanya. Mereka senasib, sama-sama seorang anak yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan ditampung keluarga ini. Walaupun begitu, kebersamaan mereka cukup dibatasi, tak baik katanya, seorang anak perempuan terlalu dekat bersama seorang anak lelaki, namun sesekali mereka masih sering terlihat bersama. Sama halnya Menik yang sudah mulai berdamai dengan keadaan, Mursiyem juga menjalani hid
Menik membereskan barang-barangnya dengan diam, satu persatu benda-benda penuh sejarah itu masuk kedalam kopernya. Menik membereskan semua itu dibantu oleh seorang pembantu yang sudah menganggapnya layaknya anaknya cucunya sendiri, mereka sama-sama diam, sama-sama berulangkali yang mengusap matanya yang terus berair. Bukan hanya Menik, wanita itu juga begitu berat meninggalkan rumah ini, sudah begitu lama dia menggantungkan hidupnya dirumah ini, bahkan sejak Admodjo masih didalam perut. Namun sayang, rumah ini akan segera dikosongkan, majikan sudah tiada, putri semata wayangnya pun kini hidup sebatang kara dan dirawat orang lain yang dirasa mampu. Wanita itu memandang Menik yang terus menangis dalam diam, mendekap erat baju terakhir yang akan dimasukkan kedalam sebuah koper besar itu, nafasnya tersengal, bahunya terlihat naik turun, namun gadis itu masih diam. Tak tahan melihat semua itu, wanita tua itupun tanpa sungkan menarik Menik kedalam pelukaanya, lalu mereka sama-sama terisak b
Didalam riuhnya pesta, Menik kebingungan mencari orangtuanya kesana kemari namun tak kunjung ketemu, seorang lelaki yang dia kenal sebagai sahabat bapaknya oun mendekat, berkata bahwa bapaknya ada sedikit keperluan, lelaki itu akan menemaninya menemui tamu-tamu sebagai wakil dari bapaknya. Namun, meskipun sudah dijelaskan, Menik masih merasa bingung dengan apa yang terjadi, kecewa menyusup didadanya. Bagaimana mungkin orangtuanya tiba-tiba menghilang ketika tamu undangan sudah mulai ramai berdatangan, urusan apa yang begitu penting hingga mereka sampai hati meninggalkannya seorang diri? Jam pun akhirnya berganti, seluruh tamu sudah seluruhnya datang, namun acara tak kunjung dimulai, sang tuan rumahpun tak kunjung terlihat. Kini mereka mulai resah dan berbisik. Menik terlihat begitu panik hingga beberapa kali sang paman itu menenangkan bahwa semuanya baik-baik saja, mereka akan menunggu orangtuanya datang sebentat lagi, atau jika mereka tak kunjung datang, acara itu bisa dimulai denga
Admodjo sangat antusias menyiapkan pesta ulangtahun anaknya yang akan dilaksanakan minggu depan. Admodjo memerintahkan para pembantunya untuk menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Dia ingin mwnjamu para tamu dengan sebaik mungkin. Admodjo mengundang semua kenalannya, mulai para pegawai yang bekerja dengan dirinya, sampai dengan para petinggi belanda yang cukup berpengaruh dalam memperlancar bisnisnya. Semakin mendekati hari H, semua tampak sibuk, para pekerja laki-laki ditugasi untuk menata halama sekaligua mendekornya hingga tampka lebih pantas untuk sebuah pesta. Sedangkan para pekerja wanita telah sibuk membuat kue yang akan dihidangkan nanti. Menik dan ibunya pun tak kalah antusias, mereka telah mendapatkan gaun pesta terbaik yang dirancang oleh perancang langganan para nonik belanda. Gaun yang terlihat begitu mewah dan juga anggung ketika sudah digunakan olehnya, begitu serasi dengan wajah ayu juga kulit kuning yang begitu terawat sedari kecil. "Ibu, coba lihat ini"K
Admodjo sedang memangku putri kecilnya sambil memberi makan ikan-ikan hias pada kolam kecil yang sengaja dibangun atas permintaan putri kecilnya tersebut, yang sangat suka melihat ikan-ikan kecil itu berenang seakan sedang menari. Admodjo dengan telaten mendengarkan sang putri bercerita tentang hari-harinya yang menyenangkan, juga tentang teman barunya yang cukup pendiam, lalu tentang makanan apa yang dia tak suka, namun kata sang ibu itu bangus untuk kesehatannya. Juga tentang betapa bersyukurnya dia karena telah terlahir dikeluarga ini, keluarga yang penuh dengan cinta, dan juga orang-orang yang menyenangkan. Admodjo terus mendengarkannya dengan penuh minat dan rasa syukur. Dia begitu mencintai putrinya itu, dan itu adalah kali pertama dia benar-benar mencintai seseorang tanpa syarat dan tetapi. Putrinya itu kini tumbuh menjadi anak yang saangat cantik parasnya, tingkah lakunya pun manis dengan tata krama yang begitu halus, mencerminkan bahwa dia adalah keturunan seorang priyayi, d
Admodjo merasa hidupnya sangat sempurna, dia memiliki harta dan juga keluarga yang bahagia. Ternyata perjodohan yang diatur oleh bapaknya tidak seburuk yang dia bayangkan dulu, dia sama sekali tidak menyesali pilihan orangtuanya, justru dia bersyukur atas itu. Walaupun terus terang ada sedikit rasa bersalah ketika dia harus meninggalkan Mursiyem dalam keadaan yang tidak dia inginkan, Admodjo tahu bahwa dia telah merusak sepenuhnya masa depan Mursiyem dan juga kebahagiaan keluarga perempuan itu, tapi bukankah itu bukan keinginannya? Bukankah dirinya sudah menyuruh Mursiyem untuk menggugurkan anak itu? Bukankah niat awal mereka hanya bersenang-senang? Apakah sepenuhnya dia bersalah? Ah, tentu saja tidak, karena selalu ada harga untuk setiap kesenangan yang kita nikmati, bukankah dulu Mursiyem juga sudah meneguk kesenangan bersama dirinya, mungkin saja iti harga yang harus perempuan itu bayar, walaupun menurut Admodjo terlalu mahal dan berat, namun sekali lagi, itu bukan kesalahannya. Di