Kursi roda terhenti di ruangan UGD dimana ada Ibu yang terbaring lemah diatas bangkar. Hatiku berdenyut ngilu, menyaksikan wajah pucat Ibu, namun rautnya begitu tenang seolah sedang tertidur.
Dua kantung infus bertengger dikiri-kanan. Satu berisi cairan putih, sedang satunya berisi kantung darah yang sudah tersisa setengah."Bu ... kuat ya, ada aku disini," lirihku seraya menggenggam jemarinya."Silahkan berbaring disini, Mbak." titah, Pak Dokter sambil menunjuk bangkar disebelah Ibu.Dengan hati-hati kedua, suster memapah tubuhku menaiki ranjang rumah sakit."Saya cek darahnya ya, semoga cocok dengan golongan darah pasien," ucap, Pak Dokter seraya mengamati jarum suntikkan."Tolong suster," suster yang ditunjuk langsung sigap, dia meraih tanganku dan menyekanya dengan kapas yang disudah ditetesi alkohol."Tarik nafas ..." titah, Pak Dokter.Aku menahan nafas, saat jarum suntik menembus kulit, da"Meski terdengar samar dan lemah, saya yakin ada yang berdetak disini ..." Dokter Murni kembali menaruh stetoskop diperutku. Aku menahan nafas dengan mata yang mulai memanas.Mungkinkah ... ada makhluk Tuhan didalam perut ini."Mas ..." aku menoleh dengan mata yang berkaca-kaca pada suamiku."Maksud Dokter, istri saya ha-hamil?" tanya Mas Yas mewakili isi hatiku, rautnya berbinar penuh harap.Dokter berhijab putih itu mengangguk pasti, lalu mengalungkan stetoskop di lehernya."Untuk lebih jelas, sebaiknya langsung cek ke Dokter kandungan saja. Besok mulai jam delapan pagi, Dokter specialis kandungan Ibu Tiara sudah mulai praktek." Jelas Dokter Murni. Dibalas dengan anggukan tegas oleh Mas Yas."Kalau tidak sabar, coba di tespack saja Pak," saran Dokter Murni."Oh iya Dokter, trimakasih," sahut Mas Yas dengan wajah sumringah."Saya permisi ya, Ibu Fiona." ucapnya seraya tersenyum kearahku.
Ayah tidak bisa menyembunyikan wajah harunya, sorot tajam itu bahkan terlihat berkaca-kaca."Selamat, Fi ..." gumamnya pelan, namun masih bisa aku dengar."Iya Ayah, trimakasih." jawabku haru. Mas Yas memelukku lalu menghadiahkan kecupan hangat dikening ini.Suara ketukan pintu terdengar dari luar, setelahnya pintu terbuka lalu masuk Suster yang biasa merawatku."Permisi ... dengan keluarga, Ibu Galih?" tanyanya memastikan."Iya sus, saya anaknya," jawab Mas Yas antusias."Pasien sudah mulai merespon, saat ini Ibu Galih sudah sadarkan diri." jelasnya disambut ucapan syukur oleh kami semua."Silahkan jika ada yang ingin menjenguk. Tapi hanya untuk satu orang ya, yang lain bisa bergantian nanti," sambung suster dengan senyum ramah. Tanpa membuang waktu Mas Yas langsung pamit mengekori langkang suster dari belakang."Alhamdulillah ... trimakasih Tuhan," ucapku penuh syukur dengan tetesan hangat yang
Dua minggu pasca siuman, keadaan Ibu semakin membaik. Hari ini Ibu sudah di perbolehkan pulang oleh, Dokter. Tak henti kami mengucap syukur atas nikmat dan keajaiban yang telah diberikan oleh, Tuhan.Sengaja aku dan Mas Yas merahasiakan kehamilanku pada Ibu, aku ingin membuat kejutan untuk Ibu. Aku yakin, Ibu akan senang mendengar kabar baik ini."Makasih ya, Fi ... sudah menjaga Ibu," ucap Ibu tulus, matanya di penuhi oleh genangan air."Sama-sama, Ibu. Kalau perlu sesuatu, jangan sungkan ya. Bilang saja sama Fio," balasku sambil mengulas senyum."Gimana kabar, Ayahmu Fi? Kamu sudah mengabari hari ini akan pulang, khawatir Ayahmu datang, kami semua sudah tidak ada disini.""Oh iya ... Fio telpon sekarang," aku langsung merogoh saku depan, mengambil ponsel.Suara panggilan terdengar, namun belum juga di respon dari, Ayah. Sejak kepergian Ayah saat itu, Ayah sudah tidak lagi datang menjengukku. Sepertinya Ayah masih ma
Tanpa menunggu persetujuanku, Ayah langsung memutuskan panggilan. Membuat aku menangis tergugu pilu, hati ini sakit melebihi sakitnya di khianati. Nafasku kembali sesak, pandanganku menjadi buram. Perlahan semua pandangan menjadi gelap seketika.***OfdKepala berdenyut ngilu, perlahan mata terbuka pelan. Di sampingku sudah ada, Ibu dengan raut begitu khawatir. Belaian tangannya menyentuh rambutku dengan lembut."Buk ..." lirihku bersuara."Iya, Nak. Kamu baik-baik saja?" tanyanya cemas.Aku hanya mengangguk, seraya memegangi kepala."Kalau kecapaian besok di batalkan saja acaranya ya." ucap Ibu.Aku menggelengkan kepala, mencoba untuk bangkit. Dengan sigap Ibu membantu, mengambil bantal di sampingku dan menaruhnya di belakang punggungku."Minum, Fi ..." Ibu mendekatkan gelas berisi air putih dibibirku. Aku meneguk pelan, lalu menyenderkan tubuh."Lemas?" tanya Ibu. Aku mengangguk pelan. "Ya sudah Fio istirahat, Ibu sudah
Tubuhku bergetar, air mata mengalir saat Ayah memeluk tubuhku kedalam dekapannya."Kenapa menangis, apa Ayah sudah terlambat?"Aku tak bisa berkata, lidahku kelu. Kueratkan pelukkan, membakar rasa rindu dan bersalah diwaktu yang bersamaan."Cup ... cup, sudah ah." Ayah melonggarkan pelukkan, menyentuh dagu dan mengangkat kepalaku."Kenapa?" tanyanya."Maaf ... maafkan Fiona kalau ada salah sama Ayah," sahutku disela isak tangis. Tubuhku begitu lemas, Ayah menuntunku berjalan menuju sofa. Kulihat Ibu tersenyum haru, dengan mata yang sudah berkaca-kaca."Istirahat, sudah jangan menangis kasihan yang ada di dalam perut," ucap Ayah berusaha menenangkanku. Mas Yasir mendekat dan mencium tangan, Ayah."Buatkan minuman hangat untu
Ayah tersenyum miring lalu menggelengkan kepalanya. "Jangan terlalu percaya diri. Aku kesini demi anak dan cucuku. Kau tidak termasuk didalamnya," jawab Ayah dengan sinis.Ibu memejamkan mata, wajahnya sungguh dipenuhi binar kepedihan dan penyesalan.Aku hanya menghela nafas, terdiam ditempat. Tak tahu harus berbuat apa setelah mengetahui masalah mereka yang sebenarnya."Andai saat itu kau berhasil mengusik Fiona, sudah aku pastikan kau tidak akan hidup dengan tenang. Bagiku harta bukan segalanya, yang terpenting Fiona masih disisiku. Itu lebih dari cukup," ucap Ayah terdengar perih ditelinga. Aku tersenyum getir, terharu, Ayah memang sangat menyayangiku.Yah ... aku jadi mengingat ucapan Ibu kemarin, yang mengatakan ingin membawa aku ikut pergi dengannya."Pergilah ... sebelum aku lepas kendali.
Pov Ayah Gunadi.Lima tahun sebelumnya.***Suara ketukan pintu terdengar bertubi-tubi, seirama dengan suara bel yang bersahut-sahutan.Dengan terpaksa aku membuka mata yang baru saja terpejam, karna suara gaduh itu membuat kepalaku berdenyut ngilu.Sambil mengucak mata, aku membuka pintu sosok laki-laki berbadan kekar berkulit sawo matang berdiri tegap dibalik pintu."Tuan.""Hm ... masuk Jef," ucapku sambil melebarkan pintu memberinya jalan lalu duduk disofa ruang tamu."Ada apa Jef?" tanyaku sambil menguap."Tuan ... Non Fiona.""Fiona kenapa?" sahutku tak sabar, Jefry seolah ragu untuk meneruskan kalimat.Jefry menatap lekat kearahku, seakan meyakinkan dirinya sendiri."Apa!" sentakku. Tidak tahu kepala lagi pusing, bikin marah saja."Non Fiona ditahan di sel tahanan, Tuan," jelasnya kemudian."Ditahan?" Jefry menganggukkan kepala."Di penjara maksudnya?" tanyaku memastikan.
Tercenung seorang diri, memandangi sekumpulan ikan mas koi yang berenang bebas di dalam kolam. Suara gemericik air menenangkan fikiran, hembusan angin alam menampar wajah dengan lembut.Pelan aku menghembuskan nafas, rasa sesak masih terasa meski aku coba melupakan segalanya. Ucapan Fiona selalu terngiang-ngiang dikepala. Yang mengatakan Ibu mertua adalah, Ibu kandungnya.Sekonyol itu Dunia. Tak habis fikir, sosok itu kembali hadir bahkan dia menjelma sebagai besanku. Benar-benar gilak!Memaafkannya sama saja dengan mengoyak harga diriku. Biarlah seperti ini terus, tidak berguna pula berbaik hati dengan perempuan murahan itu."Permisi, Tuan ..." Bik Ijah datang membawa nampan beraroma kopi menggugah selera.Aku hanya menoleh, lalu mengangkat dagu."Ini kopinya," ucapnya seraya menaruh kopi beserta singkong rebus pesananku."Tuan ....""Mm?" sahutku sambil meraih singkong rebus yang ma
"Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."
"Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam
Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk
"Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik
Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak fikiran. Bebaskan saja, jangan dipendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berfikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak fikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu be
"Mati saja kau, Bu. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ..."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru mel
"Mas ..."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf, su