Meneguk kembali minuman kaleng yang tersisa sedikit. Dengan langkah gontai, aku menaiki tangga menuju kamarku. Meninggalkan Mas Daniel, yang tergolek lemah dimeja makan.Biarlah ... semoga ini yang terbaik. Semoga tidak ada yang mengganggu, jalan kema--tianmu, Mas!Menutup pintu dengan rapat lalu menguncinya. Berjalan menuju toilet, mengisi air dalam bathtub bersiap menenggelamkan tubuh lelahku didalamnya. Biasanya perasaanku menjadi lebih baik setelahnya.Membuka jendela kamar lebar-lebar. Seketika udara segar menyerang wajah dan indra penciuman. Melihat langit, banyak bintang yang berkelip indah dengan sang bulan disisinya.Lihatlah ... bahkan bulan selalu setia menemani bintang. Hah, hatiku kembali perih. Mengingat suamiku yang tidak setia.Pandanganku beralih pada pagar rumah yang terbuka setengah, tidak biasanya seperti itu. Apa Pama
"Mas, aku boleh minta tolong?" tanya Fiona saat aku keluar dari toilet. "Kenapa sayang?" jawabku sambil mengambil kemeja di dalam lemari, lalu memakainya. "Tolong setor uang ini ke bank yah .. hari ini aku sibuk banget," ucapnya sambil menunjuk amplop coklat besar. Semenjak pegawai terpercayanya, membawa lari uang penjualan mobil. Kini Fiona sendiri yang turun tangan mengurus semuanya. Dia bahkan lebih sibuk di banding aku. "Boleh ... apa sih yang enggak buat istri tercinta," sahutku sambil menerkam manja tubuhnya. Fiona tergelak melihat tingkahku, dengan gemas aku menciumi setiap inci wajahnya. Manatap dalam mata indah milik Fiona perlahan bibir kami berpagut dalam buaian syahdu. Walau pernikahan kami sudah memasuki usia lima tahun, rasa cinta tidak pernah ber
Terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku tersentak saat mendapati Anitta melingkari tangannya ditubuhku. "Apa yang terjadi!" teriakku panik, membuat Anitta menggeliat dari tidurnya. Anitta tersenyum dengan mata yang setengah terbuka. "Kau menjebakku!" seruku murka saat mendapati badanku hanya terlilit selimut yang sama dengannya. "Aku tidak menjebakmu, kau sendiri yang memohon untuk ini." ucapnya santai. "Arghh ... dasar brengsek!" Dengan sekali hentak, aku langsung bangkit mengambil kemeja dan celanaku yang tercecer di lantai. Dengan cepat ku pakai semua pakaianku lalu berjalan keluar kamar membanting pintu dengan keras. Memasuki mobil, tangan memukuli stir membabi buta. Merutuki
Sentuhan Anitta, kini bagai candu untukku. Sesuatu yang tidak bisa aku dapetkan dari Fiona. Anitta tau apa yang aku butuhkan, mengerti apa yang aku inginkan.Hubungan kami bahkan semakin lengket, hampir setiap hari bertemu. Memadu kasih.Tidak terasa hubungan terlarang ini memasuki bulan ke empat, dengan senyum genit Anitta menyodorkan alat tes kehamilan dengan garis dua."Selamat sayang, kamu akan jadi Ayah," ucapnya dengan suara mendesah."Ini.. beneran anak aku?" Tanyaku memastikan.Anitta memajukan bibir sensualnya. Mendekap dada dengan kedua tangannya, lalu memunggungiku"Fikirmu ini anak setan," ucapnya dengan suara ketus.Kurengkuh tubuh indah yang mampu membuatku berpaling. Lalu mencium tengkuk lehernya, membuat dia mendelik seketika.
Fiona menatapku dengan wajah dingin terkulum senyum, namun senyum itu terasa mengerikan. Membuat aku takut melihat wajahnya.Rasa aneh saat mata kami beradu tatap. Jelas mata itu mengisyaratkan kepedihan. Namun Fiona pandai menutupi itu semua.Apa yang harus aku lakukan. Fiona.. maafkan aku, aku benar-benar menyesal.Jeritan Anitta sangat jelas ditelinga, beberapa kali suara pukulan seirama dengan teriakannya. Rasa khawatir menyelisip dihati berharapa Anitta baik-baik saja, walau bagaimana pun kini dia telah mengandung anakku.Sebenarnya Fiona tidak mandul. Hanya sebelum meminangnya, Fiona mengajukan syarat. Dia mau menikah denganku, namun ia tidak mau memiliki anak. Saat kutanya alasannya dia menjawab."Aku tak ingin terbebani. Seorang anak, hanya akan menghambat masa depanku."Tegas sekali ucapannya kala itu
Samar-samar terdengar suara Mamih membicarakan sesuatu, seperti menyebut-nyebut namaku. Aku yakin, sekarang akulah yang menjadi bahan ocehannya. Kembali menutup pintu, malas jika harus beradu urat ditempat ini.Berjalan dalam hening kehampaan, menyesal mengikuti kata hati. Daniel sudah terjerat dalam perangkap Anitta, mungkin akan sulit untuk terlepas.Melihatnya terlalu gigih dalam membujuk hatiku belakangan ini, membuat hati sedikit terbuka. Beribu sesak menjejal direlung hati, meminta untuk ditumpahkan. Entah pada siapa aku berbagi kepiluan ini."Kak, Fiona?" Suara tidak asing mengusik lamunanku."Ngapain bengong disini?" Ucapnya lagi."Dara?" Sahutku saat menoleh kesumber suara.Seorang gadis berusia 20 tahun menggendong ransel besar, tersenyum manis kearahku."Udah lama ga ket
"Ehm ..." kukeraskan suara, berjalan dengan anggun menuju sofa mahal yang diduduki Mamih.Suara yang semula riuh mendadak sunyi. Kini semua mata tertuju padaku, kubalas dengan senyum termanis yang kupunya."Permisi ... silahkan bangun dari tempat duduk saya," ucapku saat berhenti disofa tunggal yang Mamih duduki.Mamih mencebik mendengar ucapanku, dengan hentakan kaki dia bangkit dari duduknya."Lihat istrimu Dan, sama mertua tidak ada sopan-sopannya." rungutnya sambil menghempaskan bokong disamping Papih.Takku hirau kan ocehan dan tatapan sinis itu, aku mengambil sapu tangan didalam tas, mengebuti sofa dengan expresi jijik. Lalu duduk diatasnya dengan kaki menyilang."Ada perlu apa, tumben sekali kalian menyambangi rumahku berbarengan seperti ini?" ucapku sambil melempar sapu tangan di sembarang tempat.
Bik Inah datang membawa nampan berisi beberapa camilan. Sebelum meletakan itu semua diatas meja. Aku langsung bangkit dari sofa."Tak perlu Bik, bawa kembali makanan itu. Mereka sudah mau pulang," ucapku sambil mengipas tangan diudara.Bik Inah menatapku dengan alis mengkerut. Dia melihat semua orang diruangan ini, sadar suasana tegang menyelimuti kami semua. Bik Inah menggangguk saat pandangannya berhenti kearahku."Bukan begitu, Mam?" tanyaku sambil melengkungkan bibir."Kau mengusir kami?" balas Mamih dengan bibir mengencang."Kurasa, tidak ada lagi yang harus di bahas."Dengan sekali hentak Mamih bangkit dari duduknya, disusul Papih juga Arina."Dasar menantu tidak tahu diri, menyesal aku menikahkan kau dengan Daniel!" sungutnya sambil mencebik kearahku.Aku terkekeh ringan mendengar ocehannya. Kutantang mata tua, yang dulu selalu kusegani."Bik Inah!" teriak Mamih."I..
"Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."
"Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam
Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk
"Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik
Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak fikiran. Bebaskan saja, jangan dipendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berfikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak fikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu be
"Mati saja kau, Bu. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ..."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru mel
"Mas ..."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf, su