Yasir menatap bingung, langkahnya perlahan datang mendekat kearah kami.
"Dokter ..." sapa riang gadis kecil itu."Hai cantik, sama siapa?" tanya Yasir, matanya melirikku, lalu melihat kearah Mas Daniel."Dok ..." sapa, Mas Daniel."Iya, Pak Daniel." balas Yasir dengan senyum ramah."Ada keperluan apa disini?" Mas Daniel bertanya, namun sorotnya dipenuhi kekhawatiran."Saya mau jemput, Fiona." jawab Yasir, sambil tersenyum kearahku."Oh ..." balas Mas Daniel, wajahnya semakin tak nyaman."Sudah siap?" tanya, Yasir padaku.Aku mengangguk pasti, lalu berjalan mendekatinya. Menatap matanya dalam, memamerkan senyum termanis lalu mengamit lengannya.Yasir, nampak sedikit terkejut dengan tingkahku yang sedikit agresif ini. Namun sedetik kemudian dia tersenyum lembut padaku."Perkenalkan, ini calon suami saya." ucapku dengan senyum yang teramat merekah dihadapan, Mas DaniMata Ayah masih menghadap Yasir, sorotnya tajam seolah menembus isi hati pujaanku. Kulihat Yasir hanya tersenyum, sesekali dia menundukan pandangannya. Ketara sekali Yasir terlihat sangat gugup, aku tahu betul bagaimana posisinya saat ini."Fiona," suara Ayah menyebut namaku, namun pandangannya masih tertuju pada, Yasir."Iya Ayah?" sahutku cepat."Apa yang membuatmu yakin dengan laki-laki yang ada didepanmu ini?" tanyanya dengan sorot tajam menatapku. Lalu kembali menelisik, Yasir."Dia bisa membuat Fiona lebih baik dari sebelumnya." jawabku mantap. Mataku menatap Yasir dengan lekat, senyum tipis menghiasi bibirnya saat aku menyelesaikan kalimat."Lebih baik?" Ayah nampak berfikir."Ya ... Yasir bisa membuat Fio berhenti memikiran rasa sakit, dan dia bisa membuat Fio kembali bersemangat." ucapku mengingat akhir-akhir ini setelah melewati hari dengannya."Hanya itu?" tanya Ayah dengan sinis."Ya
Sepanjang perjalanan kerumah, bibirku selalu tersenyum. Hati terasa ditumbuhi bunga-bunga yang bermekaran. Aku menoleh pada Yasir, memandanginya yang sedang fokus menatap jalan."Biasa saja dong lihatnya," ucapnya tanpa menoleh.Aku tertawa geli, lalu melempar pandang keluar jendela. Tangan Yasir tiba-tiba ada dikepala lalu mengacak-acak rambutku dengan gemas."Ish ... berantakan tahu," cebikku, namun suka.Yasir terkekeh lalu kembali fokus pada jalan.Ah ... kamu manis sekali sih Mas, berantakin aku secepatnya dong Mas. Ish!"Ehm ... senyum-senyum saja dari tadi, sudah tak sabar yah aku hallalkan?" godanya sambil menjawil pipiku, membuat wajah memanas. Kembali aku melempar pandang, menyembunyikan wajah yang sudah seperti kepiting saus padang ini.Setelah mengantarku sampai rumah, Yasir langsung memutar mobil. Seminggu kedepan Yasir kerja malam, dia ingin memejamkan matanya terlebih dahulu.
Aku terpaku ditempat, mengamati gerakan Yasir saat menelisik gaun yang menurutku sangat biasa itu. Yasir menoleh, lalu memasang senyum diwajahnya."Aku terserah kamu saja Fi ... pakai apapun kamu pasti cantik." ucapnya dengan anggukan kepala."Begitukah?""Yap!" sahutnya seraya tersenyum.Aku menganggukan kepala, lalu kembali mengagumi kebaya dan gaun yang indah nan mempesonan ini. "Aish ... cantik-cantik sekali kalian." ucap kagum, sambil menyentuh patung manekin yang memakai gaun pengantin."Untuk ijab qobul, aku memakai yang ini saja ya. Bagaimana menurutmu?" ucapku sambil memamerkan kebaya cantik didepannya.Yasir berjalan mendekat, kemudian memperhatikan kebaya yang aku pilih."Maaf ... aku rasa dibagian ini terlalu rendah." ucapnya seraya menunjuk bagian atas kebaya."Bukankah tadi, kamu bilang terserah aku. Dan aku rasa gaun ini yang paling cantik," ucapku sambil mencocokan kebaya berwarna
Kaki menginjak pada pasir putih, sorotku menatap mentari, yang hanya dalam hitungan detik akan tenggelam diufuk barat. Yasir menggenggam jemari ini, senyum yang membuatku berdebar kembali dia pamerkan dihadapanku.Terasa damai, rasa nyaman langsung menyelusup kedalam jiwa."Mau berenang?" tanyanya. Perlahan dia melepaskan pegangan lalu berjalan menuju air laut yang menghembuskan ombak."Sini ..." ucapnya sedikit teriak, tangannya melambai mengisyaratkan agar aku segera mendekat. Yasir kembali menerobos air laut, sesekali dia menoleh padaku dengan lambaian tangannya. "Sini Fi ..." suaranya lantang, mengalahkan suara bising air laut dan deburan ombak.Aku tersenyum riang, perlahan kaki melangkah menginjak air laut yang terasa hangat.Aneh, bukankah matahari sudah menghilang cukup lama. Mengapa air dilautan masih terasa hangat?Kembali aku melangkah, namun Yasir seolah semakin jauh dari gapaianku. Yasir terlihat senang,
Mata mengejrap lemah, selang oksigen terpasang dihidungku. Aku mendesah lelah, melihat tangan yang sudah tertusuk jarum.Fikiran kembali menerawang, ruangan putih khas rumah sakit seperti menatapku dengan iba. Terdengar suara knop pintu diputar, setelahnya terlihat Nadia dibalik pintu membawa plastik makanan."Fiona ..." lirihnya saat melihatku, aku hanya terdiam memandanginya yang berjalan mendekat.Nadia menaruh plastik berisi makanan diatas meja. "Aku bawain kamu makanan, dimakan yah," ucapnya tanpa melihatku. Tangannya sibuk membuka kotak makan."Alhamdulillah ... Dokter sudah memberi pertolongan pada calonmu." ucapnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan."Makan yah ... isi tenagamu, kamu belum makan dari pagikan?"Ahh ... aku bahkan lupa, belum makan apapun. Selain roti tawar dan teh hijau sebelum dirias tadi pagi.Selain hati, perut pun begitu perih. Pantas saja aku begitu lemas.Kupanda
Pov Daniel.Sisa hujan semalam masih terasa dingin menembus kulit, tubuhku terpaku didepan jendela kaca, dengan pandangan lurus kedepan.Kenangan indah menari-nari diingatan, terbayang senyum wanita termanis pernah aku miliki. Kenikmatan sesaat membutakan fikiran, rasa menyesal selalu meresap kedalam hati dan relung jiwa.Ahh ... andai aku tidak melakukan kesalahan. Saat ini, mungkin aku masih menjadi pemilik senyum manis itu.Rasa perih selalu merenggut hatiku, tangis kesendirian seolah menjadi teman sehari-hari."Dan ..." suara Mamih membuyarkan lamunan. Aku hanya menoleh sesaat, lalu kembali menatap keluar jendela.Suara hela nafas berat, terdengar dari wanita yang sudah melahirkanku. Wajah sedih terlihat, saat semakin dekat dengan ragaku."Carilah istri lagi, kau terlalu menyiksa diri."Parau suaranya, membuat hati semakin perih. Hidup dalam penyesalan memang sangat menyiksa.Empat
Mobil menepi diluar halaman rumah, Dokter Yasir. Kuraih kacamata hitam serta topi yang ada didalam ransel. Langkah menuruni mobil, lalu berjalan kecil membaur dengan keramaian.Kuperhatikan dengan jeli disekitar rumahnya. Yasir dan tiga orang yang kutaksir keluarganya memakai mobil pribadi, satu bus besar dan tiga mini bus menyusul dibelakangnya.Aku kembali memasuki mobil, memberi arahan pada dua penjahat yang sudah sangat sigap menjalankan tugas dan menunjuk mobil yang didalamnya terdapat, Yasir."Dibu-nuh atau dicelakai saja?" tanya Anto yang duduk dibelakangku."Bu-nuh ..." jawabku dengan senyum menyerigai. Laki-laki berjembros lebat disampingku menatap lekat, lalu mengangguk saat melihat keseriusan pada wajahku."Pakai ini," ucapku sambil menyerahkan pis-tol yang terbungkus dengan kain hitam kearah, Kenoy."Barang mahal ..." ucap Anto yang sudah merebut pis-tol itu dari tangan Kenoy. Tangannya menelisik pis-tol d
Pov FionaMenghela nafas lelah dengan panjang, mata menatap sendu sosok yang terbaring lemah diatas bangkar. Perlahan tangan menyentuh jemarinya lalu menggenggamnya penuh cinta.Pesan misterius kembali teringat, hati menebak satu nama, siapa yang sudah mengirim pesan itu. Aku menundukan pandangan, dengan air mata yang mengalir dipipi."Maaf ..." lirihku sambil terisak, rasa bersalah menyelusup jiwa. Mengingat aku yang menyebabkan dia menjadi korban.Aku tergugu perih, hati ingin menjerit, mengumpat dan mencekik orang yang sudah melukai kekasih hatiku ini.Daniel ... apa ini ulahmu?"Fi ..." suara lirih terdengar ditelinga, dengan cepat aku menghapus air mata lalu mendongkakkan wajah."Ibu ..." ucapku sambil menatapnya yang
"Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."
"Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam
Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk
"Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik
Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak fikiran. Bebaskan saja, jangan dipendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berfikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak fikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu be
"Mati saja kau, Bu. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ..."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru mel
"Mas ..."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf, su