Share

18. Tamu Tak Diundang

Penulis: Puspa Pebrianti
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kadang, bagian terberat dari perpisahan bukanlah melepaskan ... tapi, melupakan semua kenangan yang tercipta dari setiap detik yang dilalui bersama.

Berapa banyak orang yang gagal untuk melupa? Berapa banyak yang tetap mencintai dalam diam, meski raga sudah tak lagi bersama? Jawabannya, banyak, ada banyak. Mereka, tetap setia dengan ingatan-ingatan indah tentang orang-orang yang dikasihi.

Aku, sepertinya akan menjadi salah satu yang gagal dan menolak untuk lupa. Meskipun kata perpisahan itu keluar dari mulutku, tapi rasa cinta yang besar tak berkurang barang setitik pun. Vania, mungkin aku terlalu mencintainya. Salahkah? Kalian anggap aku lemah? Tidak apa-apa. Masalah perasaan, bukanlah hal sepele. Bahkan, seorang Napoleon pun bisa patah hati.

Mataku terpejam sesaat, tanpa menyadari bahwa aku sedang berada di atas motor menyusuri jalanan yang padat. Sepertinya, aku terlalu lelah. Tubuhku terasa seperti melayang. Ringan, seperti kapas. Ah, nyaman sekali. Biarlah kupejamkan saja mata.

K
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   19. Dua Pencuri

    Wajah Vania pucat pasi. Sedangkan Mama salah tingkah dan tampak gelisah. Aku dan Kak Fitri menghalangi pintu kamar. Jangan sampai mereka coba-coba kabur. Beberapa detik kemudian, Mama menyembunyikan tangan di belakang badannya yang tambun."Apa yang kalian ambil?" tanyaku sambil memandang kedua orang itu tajam."A–apa? Vania cuma ambil baju, kok!" jawab Vania berkilah. Dia pikir aku bodoh. Kak Fitri tergelak."Baju? lantas apa yang disembunyikan Mama di tangannya?" Aku mendekat. Mama dengan cepat mundur, merapatkan badannya ke dinding."Ti–tidak ada apa-apa! Jangan mendekat kamu, Dani!" usir Mama. Aku tak menggubris."Kalau tidak mau diapa-apakan, cepat serahkan apa yang sudah Mama ambil!" titahku. Vania melirik Mama, lalu mengangguk. Wajahnya mengisyaratkan sesuatu."Tidak, tidak akan kuserahkan!" tolaknya."Oh, begitu? Mau kupaksa, Ma?" kataku sambil terus mendekat."Jangan kurang ajar kamu, Dani! Awas kalau berani menyentuhku, akan kulaporkan ke polisi!" ancam Mama.Aku seketika te

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   20. Kabar Baik

    Setelah mengobrol, ternyata kami tahu bahwa Kak Fitri adalah kakak tingkat sekaligus teman satu kosan dengan Tyas, saat mereka kuliah di Padang. Keduanya sangat dekat dan aktif terlibat dalam organisasi yang sama.Setelah kehilangan kontak selama bertahun-tahun, ternyata takdir masih mempertemukan mereka. Siapa sangka dunia begitu sempit? Seperti kata Pak Wira dulu. Kalau Tuhan sudah berkehendak, ikan yang berada di lautan akan bertemu dengan kera yang berada di gunung. Kira-kira begitulah.Aku dan Pak Wira akhirnya meneruskan obrolan di kursi teras, sementara para wanita kasak kusuk di belakang. Entah apa yang mereka bicarakan, sekali-kali terdengar tawa renyah mereka. Heboh sekali."Mas Dani, istrinya kok gak kelihatan?" tanya Pak Wira tiba-tiba. Mungkin ia heran karena sedari tadi tak ada wanita yang kuperkenalkan sebagai istri.Aku terdiam sejenak, lantas tersenyum miris. Teringat Vania, rasanya dadaku kembali nyeri dan tersayat."Istri saya ... saya kembalikan kepada orang tuanya

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   21. Harapan Seorang Ibu

    (PoV Mama)Semua orang tua di dunia ini, pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Tak ada satu pun orang tua yang mau melihat anaknya hidup susah. Termasuk aku, ingin melihat anak-anakku bahagia dan sukses. Aku akan senang dan bangga jika hidup anakku bergengsi dan bergelimang harta. Hidup itu keras, kamu harus memilih agar mendapatkan kehidupan yang layak dan mudah. Sudah tidak jaman hidup susah dan kerja keras. Jika bisa hidup senang dengan mengandalkan orang lain, kenapa tidak?Aku pun, sejak muda sudah pilih-pilih suami. Begitulah tuntutan menjadi perempuan. Karena dibesarkan dari keluarga miskin, akhirnya aku muak dan bertekad untuk tidak lagi hidup susah di masa depan. Dulu, aku adalah kembang desa. Banyak pemuda yang berusaha merebut hatiku. Beberapa di antaranya merupakan juragan atau pun pengusaha.Namun entah mengapa, hatiku tercantol pada seorang abdi negara dengan gaji pas-pasan. Yah paling tidak, aku bisa hidup sederhana meskipun tidak mewah. Kadang terbersit rasa

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   22. Tingkah Vania Semakin Menjadi

    Dengan sedikit malas, kubuka pesan WA dari nomor baru tersebut. [Dan, ini aku, Bella. Maaf, cuma mau tanya. Kamu benar-benar sudah cerai sama Vania?]Aku mengernyitkan dahi. Drama apa lagi, ini? Tadi Mama, sekarang Bella. Aku tak yakin harus menjawab apa? Bella hanyalah orang asing, walaupun ia berteman dengan Vania. Bagiku, tak terlalu penting untuk memberitahunya masalah rumah tangga kami.[Kenapa memangnya, Bell?]Kubalas juga pesan itu, walau hanya sekadar saja. Masih belum tahu maksud pembicaraan Bella ini ke mana. Beberapa detik kemudian, tak ada jawaban.[Ya ... soalnya Vania bilang sudah cerai sama kamu. Sekarang sering wira-wiri sama Nathan. Aku gak mau ada masalah lagi. Aku udah sering mengingatkan dia loh, Dan. Kalau ada apa-apa, kamu jangan cari aku!] Pesan balasan darinya masuk.Dadaku berdebar membaca balasan Bella. Jadi, tingkah istriku semakin menjadi? Haruskah aku benar-benar menjatuhkan talak tiga? Padahal aku hanya mengikuti saran Papa untuk sama-sama mendinginkan

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   23. Perlahan Move On

    Tak terasa sudah dua minggu berlalu, sejak aku terakhir kali bercakap dengan Vania melalui WA. Yang artinya, sudah sebulan lebih status kami menggantung. Aku bukannya tak ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja, sikap Vania benar-benar sudah jauh berubah.Tak jarang, kudapati ia mengunggah foto-foto bersama Nathan di story WA. Harga diriku sebagai laki-laki, benar-benar sudah tercabik. Entah apa lagi yang harus aku perbuat.Sudah satu minggu ini pula, aku mulai bekerja lagi. Dengan proyek baru bersama Pak Wira, aku menjadi semakin bersemangat. Selama itu pula, aku masih menumpang di rumah Kak Fitri.Dengan pekerjaan yang baru ini, otomatis pikiranku cukup teralihkan. Saat siang sibuk bekerja, saat malam cepat tertidur karena kelelahan. Tak ada waktu untuk memikirkan hal yang tidak penting.Aku baru saja menuntaskan menyantap makan siang, saat Pak Wira mendekat. Sosoknya terlihat gagah, untuk seorang yang sudah berumur.“Gimana Mas, seneng gak dengan kerjaan proyek kali ini?” tanyanya d

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   24. Pertemuan Dua Keluarga

    [Persiapkan diri kamu, akhir pekan ini Abang akan datang bersama Kak Fitri dan Bang Tamrin. Bukan untuk menjemputmu, tapi untuk memberi kado ulang tahun. Abang akan berikan apa yang sudah lama ini kamu inginkan. Perceraian.]Kukirimkan sebuah pesan kepada Vania, wanita yang segera akan menjadi mantan istriku. Aku yakin saat ini perasaannya berbunga-bunga. Dia akan bebas pergi dengan siapa pun yang ia mau tanpa beban. Sedangkan aku, tak terlalu merasakan apa pun lagi. Tak sedih atau pun senang, hanya ada rasa yang entahlah, sulit untuk kujelaskan. Dua hari lagi, statusku sebagai seorang suami akan berubah kembali menjadi lajang.Kubuka folder di ponsel yang berisi kenangan-kenangan bersama Vania. Foto-foto dan video yang menangkap momen bahagia. Dengan mengucap bismillah, perlahan kuhapus semua itu satu persatu. Cincin yang tadi tersemat di jari manis, kulepaskan dan letakkan di atas meja. Selamat tinggal, kenangan. Pernikahan seumur jagungku, sungguh harus direlakan.Tak ada balasan d

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   25. Tau Mau Cerai

    Ruang tamu yang kami tempati, tiba-tiba terdengar riuh. Masing-masing kami saling bergumam dan berbicara. Entah suara siapa yang harus didengarkan. Semua tampak kebingungan.“A-apa katamu, Van? Kamu sudah gila? Kamu gak mau cerai dari Dani?!” Suara Mama melengking. Kami semua seketika bungkam. Kak Fitri mendekap Adelia yang tampak sedikit ketakutan. Sementara Vania, hanya terdiam sambil terus menatapku.“Van, apa kamu serius dengan ucapanmu?” tanya Papa. Wajahnya tampak pias, dalam ketidak percayaan.“Vania … gak mau bercerai, dari Bang Dani,” ucap wanita di depanku lirih. Aku meyakinkan diri kalau barusan, tidak salah mendengar ucapannya.“Vania, sadar, Sayang! Kamu apa-apaan, sih? Bukannya ini adalah sesuatu yang sudah lama kita idam-idamkan!” Mama mengguncang tubuh Vania, seolah-olah ingin membangunkannya dari mimpi.“Ma, biarkan Vania berpikir dan berbicara sendiri. Jangan terus mendiktenya!” sergah Papa. Ia terlihat kesal. Mama mendelik tak suka.Vania menunduk. Tangannya mengusa

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   26. Tak Yakin

    “I-itu, saya, benar-benar sudah sadar akan kesalahan saya. Saya tahu saya masih sangat mencintai Bang Dani. Yang jelas, saya gak mau pisah,” jawab Vania tergagap-gagap. Entah kenapa, terdengar tak meyakinkan. Bang Tamrin pun, tampaknya kurang puas dengan jawaban Vania yang terdengar klise.Bang Tamrin memberiku kode untuk mendekat. Aku menggeser pantatku ke dekatnya.“Kita ngobrol di luar sebentar,” bisiknya. Aku mengangguk.“Maaf, kami mau bicara di luar sebentar.” Aku pamit kepada mereka bertiga yang ada di ruangan. Tanpa basa-basi, Bang Tamrin sedikit menyeretku keluar.Kami berdiri di dekat pagar, sedikit menjauh dari rumah. Sementara Kak Fitri yang berada di mobil bersama Adel, langsung keluar saat melihat kami.“Ada apa?” tanyanya dengan kedua alis yang bertaut.“Abang yakin ada yang tidak beres. Kemarin-kemarin dia bersikukuh mau bercerai dari kamu. Sekarang malah ngotot tidak mau bercerai,” ujar Bang Tamrin. Aku mendesah.“Betul, Dan. Terus, kamu lihat lagi penampilannya. Kusu

Bab terbaru

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   42. Permintaan Pak Wira

    Kunikmati makan siang kali ini dengan sensasi yang berbeda. Bukan karena menunya yang sangat nikmat, tapi karena kejadian tadi pagi yang selalu terbayang di pelupuk mata.Aku duduk berdampingan dengan Pak Wira yang hampir menghabiskan bekalnya. Sementara aku, menghayati dan menikmati setiap kunyahan dengan sepenuh hati.“Kenapa Mas Dani, makanannya kurang enak? Kok ngunyahnya pelan-pelan gitu?” selidik Pak Wira sambil memandangiku.Aku tersenyum malu. “Eng-enggak kok, Pak. Justru sebaliknya. Ini makanan yang paling nikmat yang pernah saya makan!” jawabku sambil menyendokkan nasi dan potongan ayam bakar.“Halah, masa sih, Mas? Bukannya udah sering makan masakan istri saya?” kata Pak Wira sambil tertawa lebar.Ah, andai Pak Wira tau apa yang aku rasakan. “Iya sih, Pak. Tapi, kali ini ada yang berbeda saja.” Aku melanjutkan makanku.Pak Wira geleng-geleng sambil tersenyum menampakkan deret gigi putihnya yang masih lengkap.“Ngomong-ngomong, makasih ya Mas, sudah mau mampir ke rumah ngamb

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   41. Calon Istri?

    “Kak, tolong!” pintaku sambil menyerahkan ponsel ke tangannya.Kak Fitri sedikit gelagapan dengan tindakanku. Dahinya mengkerut seraya membaca nama yang tertera. Sejurus kemudian, ia paham dengan situasi. Tak lama, panggilan ia angkat. Tak lupa ia aktifkan pula pengeras suaranya, agar aku bisa mendengar percakapan.“Halo, Assalamu’alaikum!” ucap Kak Fitri datar. Untuk beberapa saat, tak ada jawaban. Hening.“Halo?” ucap Kak Fitri lagi.“Halo, mana si Dani sialan itu, hah? Dia apakan Vania tadi sore? Kenapa anak saya menangis setelah ketemu dia? Dasar mantan menantu tak tahu diri!” maki Mama tanpa ampun. Ya ampun, untung bukan aku yang menjawab teleponnya tadi.“Lah. Kok, Ibu nyalahin adik saya terus? Salahin anak perempuan Ibu sendiri, dong! Sudah bercerai, kok, masih maksa-maksa minta ketemu! Gak punya malu namanya!” balas Kak Fitri sengit. Aku memperhatikan bibirnya yang maju lima senti. Ternyata kakakku galak juga, bisikku dalam hati.“Halah, alasan saja! Paling si Dani tuh yang ma

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   40. Wanita Gila

    “Ah, ma-maaf, Bang! Vania gak sadar kalau air mata sudah meleleh.” Ia menghapus air matanya dengan hati-hati menggunakan tisu yang tersedia di meja.“Kalau sudah tak ada yang dibicarakan lagi, aku pamit pulang.”‘Sebentar Bang, sebentar!” cegahnya.“Apa lagi?” tanyaku sedikit gusar. Sekarang sudah hampir jam enam. Seharusnya aku sudah sampai di rumah sejak tadi. Rasa lelah dan lapar semakin mendera, membuatku mudah terpancing emosi.Vania tampak sedikit ragu-ragu untuk berkata. Wajahnya terlihat sangat gelisah. Apa sih, maunya dia? Aku mulai tak sabaran.“Bang … ayo kita menikah lagi, Bang!” Kalimat itu berhasil lolos dari bibirnya. Aku seakan tak percaya dengan yang baru saja kudengar.“Vania … apa kamu tidak tahu, kalau kita sudah tidak bisa menikah lagi? Kecuali kalau kamu menikah dahulu dengan orang lain, lalu kemudian bercerai?” tanyaku dengan nada tajam.“A-apa iya, Bang? Vania … benar-benar gak tahu!” cicitnya.“Sekarang kamu sudah tahu. Jadi, tak usah bicara aneh-aneh lagi! Ki

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   39. Pengakuan Vania

    Tak terasa, sudah berbulan-bulan aku resmi bercerai dari Vania. Sidang berjalan mulus, meskipun mantanku itu harus hadir dengan kondisi yang masih kurang fit. Kuanggap tak ada lagi kemelut di antara kami berdua.Setelah terakhir kali bersalaman dengannya, Papa, Mama, dan Bang Roby, hatiku benar-benar merasakan kelegaan. Status duda pun sudah resmi kudapatkan.Hari-hari kujalani dengan perasaan optimis. Pekerjaan yang sekarang, benar-benar aku tekuni. Rencananya, aku akan kembali tinggal di rumah warisan yang dulu aku tempati bersama Vania. Tak enak rasanya, sudah terlalu lama merepotkan Bang Tamrin dan Kak Fitri.Niat itu, akan kusampaikan pada mereka malam ini. Kudekati kedua orang yang sedang fokus menonton TV. Mereka berdua duduk berdempetan, seperti sedang berpacaran.“Ehem!” Aku berdehem. Mereka berdua menoleh.“Apa, Dan? Kakak pikir kamu sudah tidur.” Kak Fitri menaikkan alisnya.“Bang, Kak, sepertinya … Dani harus kembali tinggal di rumah lama,” ujarku. Kedua kakakku itu terdia

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   38. Keanehan Pak Wira

    “Si Roby semalem WA, nyuruh Dani tanggungjawab bayarin biaya rumah sakit Vania. Ditambah ganti rugi, katanya,” aduku kepada Bang Tamrin dan Kak Fitri saat kami sedang menyantap sarapan. Wajah mereka tampak terkejut.“Hah? Gak salah, tuh? Enak banget, minta-minta,” timpal Kak Fitri.“Iya, bener, Kak. Dia bilang begitu. Dani lawan aja. Paling nanti kalau ada rejeki, Dani sisihkan sedikit untuk membantu Papa,” terangku.“Kamu gak ngasih, juga gak apa-apa. Toh, Vania sudah bukan tanggungjawabmu.” Bang Tamrin ikut bersuara.“Iya, Bang. Kalau pun Dani memberi, anggap saja sedekah.”“Nah, itu Kakak setuju. Tak apa kamu membantu, tapi tak ada paksaan juga. Emang dasar sih, keluarga mantanmu itu kok matre!” umpat Kak Fitri. Aku terkekeh.“Tapi ngeri juga ya, si Vania berani nekat gitu,” sambung Bang Tamrin sambil mengelap mulutnya dengan tisu.“Dani juga kaget, Bang. Gak nyangka kalau dia sampai begitu.” Bayangan Vania yang berlari kencang ke arah jalan raya, kembali melintas. Aku memejamkan m

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   37. WA Bang Roby

    “Bukan main si Dani, Dek!” kelakar Bang Tamrin saat kami sampai di rumah. Senyumnya terus-terusan mengembang sejak tadi.“Kenapa dia, Bang?” tanya Kak Fitri sambil membuka bungkusan sate.“Ituuuuu, sejak dari rumah sakit tadi sering senyum-senyum sendiri! Kayak orang gila!” Wajah jenaka Bang Tamrin serasa ingin kutabok.“Apaan sih, Bang!” protesku sambil pura-pura sibuk menatap layar ponsel.“Lah, kepalanya habis terbentur paling?” sahut Kak Fitri asal.“Iya kayaknya, terbentur sama si Kacamata!” ledek Bang Dani. Dia kemudian tertawa puas sambil meninggalkan ruangan menuju kamar mandi. Awas saja dia. Aku sampai salah tingkah dibuatnya.“Maksud abangmu apa sih, Dan? Kakak gak ngerti!” Kak Fitri dan Adel tanpa basa basi menyantap sate yang tadi kubawa.“Mana Dani tahu. Suami kakak tuh, konslet!” Aku menggendikkan bahu.“Heh, kamu tuh! Ini satenya kok cuma tiga? Kan, kita berempat?” Duh, kakakku ini benar-benar banyak tanya.“Kan, Dani gak makan, Kak,” jawabku.“Lah, kok, malah dibeli?”

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   36. Debaran Aneh

    “Dan, Dani!” panggil Kak Fitri setengah berteriak saat tak ada jawaban dariku.“I-iya, Kak! Nanti Dani antar Mbak Tyas pulang!” Aku akhirnya menjawab.“Ya sudah, kamu pastikan dia pulang dengan selamat. Antar dia sampai depan pintu rumahnya. Awas ya, kalau kamu lalai!” titah Kak Fitri dibarengi ancaman. Sepertinya Kak Fitri sayang sekali dengan adik tingkatnya itu.Setelah bertukar salam, aku memutuskan panggilan. Tyas tampak sedang mengunyah pelan biskuit yang tadi kubelikan.“Ehem!” Aku sengaja berdehem untuk menarik perhatiannya.“Mas Dani, mau?” Ia mengacungkan bungkus biskuit yang berada di genggamannya.“Nggak, kok. Mbak Tyas habiskan saja. Emm, tadi Mbak Tyas ke sini naik apa?” tanyaku sedikit grogi.Ia menyempatkan untuk meneguk air mineral sebelum menjawab. “Tadi naik ojek online. Motor saya lagi dipinjam sama Ibu. Kalau bawa mobil saya belum berani. Kenapa, Mas?” Alis tebalnya bertaut.“Oh … ya sudah, kalau begitu, Mbak Tyas pulangnya bareng saya dan Bang Dani saja, ya!” aja

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   35. Perintah Kak Fitri

    “Tanyakan sendiri pada Vania nanti, ketika dia sudah sadar! Kalau tidak, tanya saja pada Mama kebenarannya. Jangan langsung menyalahkanku. Lagi pula, ke mana saja Abang selama ini?” sindirku.Ia tampak tak terima. Kedua tinjunya mengepal erat, mungkin merasa ingin memukul lagi seperti tadi.“Berdoa saja adikku akan bangun dan sehat seperti sedia kala lagi. Kalau tidak, akan kubuat perhitungan denganmu!” ancamnya. Aku menghembuskan napas kasar. Tak ada guna lagi meladeninya.“Ya, sebaiknya berdoa saja dari pada mengoceh tak karuan!” timpalku asal. Kusenderkan punggung ke dinding rumah sakit yang dingin. Waktu terasa berjalan begitu lamban.Mama dan Papa akhirnya keluar dari ruangan itu. Ekspresi mereka sulit untuk ditebak. Aku benar-benar ingin tahu apa yang mereka bicarakan di dalam.“Gimana Ma, Pa?” Bang Roby berdiri menghampiri mereka. Kedua orangtua itu duduk sembari menghembuskan napas berat.“Sukurlah Vania tidak pendarahan dalam otak. Darahnya disebabkan oleh retak tengkorak saj

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   34. Selalu Disalahkan

    Aku bangkit lalu mengusap bibirku yang terasa sedikit basah oleh darah.“Hei, apa-apaan kamu!” hardik Bang Tamrin kepada Bang Roby.“Kamu gak usah ikut campur!” desis Bang Roby sambil menunjuk muka Bang Tamrin. Sungguh tak ada akhlaknya mantan Kakak iparku itu. Kemana saja dia selama ini? Kenapa baru datang sekarang seperti pahlawan kesiangan? Sungguh memuakkan.Tanpa ba bi bu, aku mendekat ke arahnya dan memberikan balasan telak. BUK! BUK! Dua bogem juga mendarat mulus di wajahnya yang pongah itu. Bang Roby tampak kehilangan keseimbangan. Beberapa pasien yang sedang berada di ruangan, menjerit melihat yang baru saja terjadi.“Dan, cukup, Dan! Jangan kamu ladeni! Jangan bikin keributan di sini!” Bang Tamrin memegangiku yang sudah siap untuk melancarkan pukulan lagi. Rugi sekali kalau aku tidak membalas.“Kurang ajar kamu!” raung Bang Roby sambil memegangi pipinya yang membengkak. Aku menyeringai ke arahnya.“Kalau kamu mau nyawa adikmu diselamatkan, jangan coba-coba menyentuhku lagi s

DMCA.com Protection Status