"Kau ini bicara apa?""Hanya bercanda," jawabnya sambil tergelak dan masuk ke mobilnya.Mobil membelah jalanan ramai, udara sore yang sedikit sejuk di tambah sinar mentari yang masih cerah sesaat membuat hati ini sedikit bahagia, namun kebahagiaan itu sedikit kurang sempurna dengan adanya kegelisahan akibat masalah rumah tanggaku. Jika bisa, aku ingin hidup tentram dan damai, aku ingin mendapatkan ketenangan batinku dan menyempurnakan hidup yang berharga ini dengan meraih semua mimpiku dan msmgantar kedua putriku menuju kesuksesan, hanya itu yang aku inginkan."Mudah-mudahan setelah masalah ini berakhir aku bisa hidup tenang," batinku sambil menghela napas pelan."Ada apa kamu?" tanya sahabatku itu."Tidak ada, sedang berfikir saja," jawabku."Apa yang sedang kamu pikirkan memangnya?""Diri sendiri."Sesaat ia mengernyit pelan, "Ada apa?" tanyanya."Tidak ada, aku hanya berdoa, semoga setelah semua ini selesai aku bisa membuka lembaran baru dan membenahi hidupku.""Amin," jawabnya s
Satu setengah bulan berlalu,Kujalani hidupku seperti semula dengan damai. Atas inisiatif ingin menenangkan diri aku membeli sebuah rumah yang agak jauh dari pusat kota agar aku bisa tenang dan tidak lagi terkenang pada kehidupan pernikahanku sebelumnya.Kedua anakku juga terlihat lebih bahagia seiring berjalannya waktu. Hidup kami nyaris sempurna karena kini kami lebih punya banyak waktu luang untuk bersama. Biasanya di akhir pekan kami akan pergi jalan-jalan dan menghabiskan quality time dengan belanja dan makan dan kedua anakku selalu antusias untuk itu.Seperti sore ini, setelah puas berjalan jalan kami menikmati angin laut yang bertiup menyejukkan di bangku cafe sembari menikmati senja."Mama, aku senang karena saat ini Mama lebih ceria dan bahagia, kuharap kita sungguh berada dalam damai saat ini.""Amin, ya Allah, kita akan saling mendukung ya, Nak," ujarku."Oh ya, Ma, Om Didit sahabat Mama baik juga ya," ujar Imel."Iya, dia memang baik, " balasku sambil tersenyum."M
Ketika asyik duduk menikmati suasana malam sambil mendengarkan musik dan membaca majalah, tiba-tiba pintu rumah diketuk."Masuk," suruhku tanpa beranjak dari kursi.Seorang wanita berperawakan sedang datang, duduk di hadapanku sambil mengusap sudut mata."Apa yang terjadi?""Aku minta maaf, aku ingin memohon ampun atas semua kesalahan saya karena membela Letkol Yadi.""Oh, ya, memangnya apa yang terjadi?""Suami saya terancam dipecat karena saya terlibat pada masalah Ibu," jawabnya."Lalu apa yag bisa saya lakukan? Semuanya sudah terjadi dan tidak bisa diperbaiki, meski saya mengampuni kamu proses peradilan tetap berjalan, dan Dika suamimu, tetap akan mendapat hukuma karena perbuatan istrinya," jawabku."Mohon bantu saya, apapun yang terjadi minimal dia jangan dipecat, kami punya anak yang harus kami hidupi," balasnya."Aku tak berwenang atas itu, Novita. Lagipula jika itu sungguh terjadi, maka itu di luar kendaliku. Kamu juga salah,itu akibat perbuatanmu mengkhianati orang yang tul
Sepulangnya dari persidangan Mas Yadi, aku langsung masuk ke dalam rumah, lalu merebahkan diri di kamar dan melepas penat.Aku menerawang sambil berbaring pada dinding dan langit-langit kamar lantas memindai keadaan ruangan ini yang masih sama seperti dulu, masih ada foto pernikahan kami dan foto ketika mendampinginya sesudah acara kenaikan pangkat.Entah kenapa aku belum menyingkirkan bingkai itu dari dinding, mungkin karena terlalu sibuk atau belum sempat melakukannya namun aku merasa lucu mendapati gambar mengamabadikan momen kebahagiaan usang kami.Kuhela napasku berkali-kali hingga di dalam dada merasa sedikit lebih baik. "Inikah suratan takdir yang Kau gariskan untukku ya Allah. Aku tak menyangka," desahku pelan.Siapa yang mengira pernikahan langgeng dan mesra kami akan berakhir begitu saja oleh orang ketiga. Kupikir kami sudah punya pondasi yang kuat berupa cinta dan kepercayaan satu sama lain tapi ternyata itu semua hanya ilusi semata. Dan pada akhirnya aku harus melepas
Hari Minggu yang cerah ketika sinar mentari berpendar dengan begitu hangatnya.seusai berolahraga dan membantu meringankan tugas si Bibi sejenak, kami lalu menikmati sarapan dan bersantai di taman belakang."Selamat pagi," sapa suara yang familiar kudengar akhir akhir ini."Oh, Kompol Didit selamat pagi," sapaku sambil tersenyum.Kami sekeluarga lantas menyambut Pak Wakapolres bersama putrinya dan mempersilakan ia duduk di kursi yang tersedia."Kelihatannya kalian sedang bersantai," ucapnya ketika sudah di posisi duduk."Iya, nih, kalian dari mana?""Aku dan Bella habis berolahraga dan menikmati udara pagi, karena merasa dekat aku jadi mampir kemari. Jadi bagaimana kabar kalian anak-anak.""Baik, Om. Bella gimana kabarnya?" tanya Imel pada anak Sahabatku itu."Baik, Kak." Gadis itu terlihat pendiam dan agak pemalu."Sebaiknya kamu aja Bella masuk dan kalian bisa mengobrol dengan gembira di depan TV," suruhku."Oh, oke, Ma." Mereka pun bangkit dan pergi mengobrol ke dalam rumah sambil
Saat iringan jenasah di bawah ke tanah pemakaman aku masih melihat sudut mata Mas Yadi sembab. Sejak menyaksikan tubuh ayahnya yang terbaring kaku, tidak ada satu katapun yang mampu terucap dari bibirnya selain hanya diam sembari menyeka air mata dengan kedua ujung jari.Jenazah diturunkan ke liang lahat, kedua anakku berdiri diikuti oleh anak anak mantan mertuaku yang ikut mengantarkan prosesi pemakaman dan menunaikan bakti untuk terakhir kalinya kepada ayah mereka.Taburan bunga, lantunan doa tercurah untuk Mayor Siswanto dan aku turut serta menaburkan bunga sebagai penghormatan terakhir.Ketika membungkuk kerudungku terjatuh dan Kompol Didit membantu membenahinya ke atas kepalaku. Adegan demikian membuat letkol Suryadi amat geram dan mendelik kesal.Mungkin dia berpikir sempat sempatnya aku menunjukkan kedekatan di momen orang lain sedang berduka. Namun, aku tahu persis bahwa niatku tidak begitu.Ketika prosesi selesai dan satu persatu mulai meninggalkan tanah pekuburan, Mas Yadi y
"Kenapa diam aja?""Canggung," jawabku dnegan wajah yang memanas."Hahaha, kau jujur sekali, aku suka," balasnya sambil menjawil kecil pipiku."Sudahlah, nanti aku akan berubah pikiran, ayo jalan."Ia tersenyum dan tanpa banyak bicara lagi ia mengantarku pulang ke rumah.**Sore hari yang damai,Aku duduk di teras belakang menikmati angin sepoi-sepoi, segelas jus dingin sembari menatap cincin yang melingkar cantik di jariku."Tidak kusangka, akan begini," gumamku sambil tersenyum menatap benda itu yah memendarkan cahaya ungu kemerahan itu.Masih dalam ketidak-percayaan bahwa sahabatku melamarku dengan caranya, ia memaksa dan membuatku tak mampu menjawab apa-apa.Bagaimana bisa menolak jika pesona dan kebaikannya sudah menyita perhatianku. Seolah kini dia adalah pusat semesta, tanpa kusadari perlahan tumbuh sebuah rasa untuknya dan ia tanpa sadar juga ia sudah mengalihkan semua pikiranku.Selagi menikmati waktu santaiku, tiba-tiba seseorang berdiri di belakangku, dan langsung mengambil
Sudah berkebaya rapi dengan sanggul Cepol sederhana ditambah sedikit aksesoris membuatku merasa lebih muda ketika berdiri di depan kaca."Mama terlihat cantik," bisik si sulung yang mendekat sambil tersenyum."Terima kasih, tanpa izinmu dan adik, mama tidak akan melangkah sejauh ini," ujarku sembari menggenggam tangannya lembut."Mama akan bahagia setelah ini," ujarnya sambil memelukku."Makasih ya, Sayang."**Pukul sepuluh pagi, acara akad dimulai, aku duduk disandingkan dengan pak polisi berwajah tampan dan punya senyum manis itu. Seulas gambaran tipis tersungging di bibirnya ketika tatapan kami beradu."Kau cantik sekali menggunakan kebaya, " ucapnya setengah berbisik."Terima kasih," balasku."Aku ingin menggenggam tanganmu, tapi aku tahu waktunya tidak tepat," lanjutnya."Acara akan di mulai, berhentilah bicara," ujarku sambil mengisyaratkan kedatangan wali dan penghulu.*"Saya terima nikahnya Sakinah Binti Prayitno dengan Mas Kawin seperangkat alat shalat dan emas seberat se
Ketika mereka membalikkan badan, Kartika dan pria itu terkejut, bukan main kaget, sampai salha tingkah, sedang aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan, menyembunyikan rasa terpana yang tidak terkira. Aku tak tahu apa harus marah atau menangis dengan pemandangan miris di depan sana, bersamaan dengan rasa iba pada Mas Yadi."Astaghfirullah, apa-apaan kamu Kartika?!' Mas yadi menggeram, mengepalkan tangan dan mendekat, ia maju dan bersiap memukul pria yang jadi pasangan selingkuh Kartika."Beraninya kau menggoda istriku," ujar Mas Yadi sambil melayangkan pukulan."Kau juga sedang bersama istriku, kau telah mempengaruhinya!" Balas pria yang jijik kusebut suami itu."Keterlaluan kau Didit, apa hubunganmu dengan istriku?""Tidakkah harusnya aku yang bertanya apa hubungan yang kau bangun dengan kantan istrimu?!" Mas Yadi membalikkan badan dan terkejut melihatku di belakangnya."Sakinah .....""Apa kau mau mengelak sekarang?" Pria jahat itu terkekeh sinis."Kartika teganya kamu, buru b
"Jadi kau izinkan aku pergi?""Begini saja, pergilah kau sendiri menemui istrimu aku akan memindahkan anak-anak bersama si Bibi ke perkebunan, anak buah Bendi akan mengawal mereka dan memastikan mereka selamat. Kurasa itu adalah jalan terbaik daripada harus mengikuti kau kesana kemari sementara mereka juga harus menjalani aktivitas belajar dan ujian mereka.""Kurasa masuk akal juga apa yang kau katakan, aku akan pergi kalau begitu," ujar pria itu sambil mengambil tasnya.Sebelum sempat keluar dari kamar, ia mendekat dan tanpa aba-aba dia mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningku."Terima kasih masih menyimpan pakaianku," bisiknya lembut.Detik berikutnya, pria itu meninggalkanku begitu saja di dalam kamar ini, kamar yang dulu begitu penuh cinta dan aroma kerinduan. Aku jatuh terduduk di atas ranjang, meremas sprei yang dulu pernah menjadi saksi, betapa kami saling mencintai."Pada akhirnya sebagai suami, dia harus tetap bertanggung jawab kepada wanita yang sudah dia terima nika
Sesampainya di depan rumah berlantai dua milik kami, Bendi memasukkan mobilnya ke garasi dan langsung menurunkan rolling door garasi dengan rapat.Aku dan Mas Didit saling pandang namun tak berani banyak bertanya, dia lalu meminta Imel untuk menarik cat mobil yang merupakan tempelan untuk membantunya sehingga mobil yang tadi berwarna biru gelap sudah berubah menjadi putih.Setelah selesai ia mengganti pakaiannya dan masuk kembali ke mobil."Kamu gak mampir dulu?" tanya Imel."Aku harus pergi, sebelum polisi tahu bahwa kekacauan di tol tadi adalah perbuatanku," balasnya."Kau akan baik-baik saja?" untuk pertama kalinya pria itu terlihat mengkhawatirkan orang."Iya, Pak, saya akan baik baik saja.""Oh, aku lupa kau punya banyak pengawal," balas Mas Yadi.Pria itu hanya menggeleng pelan sambil tersenyum lalu berpamitan denganku dan anak perempuanku."Hati-hati ya," ujar Imel."Kenapa kau tidak menambahkan kata sayang di belakang kalimat hati-hati?" tanya pemuda itu mengulum senyum mem
"Itu Papa!" Seru anakku gembira dia membuka mobil dan langsung berlari ke arah papanya.Anak gadisku begitu gembira dan langsung menghambur memeluk papanya, pria itu juga bahagia dan langsung memeluk putrinya."Akhirnya Papa kelur juga, aku rindu," kata Imel, "tapi kenapa tangan dan kaki papa? Kenapa Papa jalannya pincang?"Tanya Imel yang mengomentari gerakan tubuh Mas Yadi, untungnya dia tak tahu bahwa pria itu habis tertembak dua minggu lalu."Apa kabar, Mas?" Sapaku sambil mengulurkan tangan menyalaminya, tanpa kuduga ia memelukku lalu menepuk belakang punggungku perlahan."Alhamdulillah aku baik sekarang," jawabnya tersenyum, sedang aku terbengong dengan sikapnya."Oh be-begitu ya, ba-baguslah." Sial, aku gugup dan canggung, sementara Bendi dan Imel saling melirik dan tersenyum."Kalo begitu ayo kita pulang," ajak Bendi."Lho, kamu siapa?" tanya Mas Yadi pada Bendi."Dia adalah orang yang sudah menolongku dan Imel dari penyekapan Mas, dia juga sering menjengukku ke rumah sakit d
Setelah mengambil semua surat menyurat yang sudah dibuat ulang dari kantor kuasa hukum kami, aku segera mengajak Bendi untuk pergi menjemput Mas Suryadi ke gerbang Rutan Pondok kopi.Mobil kami meluncur di jalan aspal yang mulus lalu berputar di lingkar Selatan dan menuju pinggir kota dimana pusat lembaga pemasyarakatan itu berada."Kamu yakin bahwa papa akan keluar jam 1 siang?""Iya mah begitu informasi yang aku dengar dari Pak Efendy dan petugas sipir yang menelponku," balasnya."Mudah-mudahan lancar ya," gumamku sembari berharap semoga berita tentang kebebasan Mas Yadi bukan hanya lobi semata antara polisi dan TNI, sementara pada kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi."Apa semuanya akan aman bendi?""Kita harus tetap waspada nyonya, anda pun sekarang berada dalam incaran," balasnya."Apa? Apa maksudnya?""Lihat mobil Chevrolet hitam yang sedang mengikuti di belakang kita? Sejak dari rumah sakit tadi mobil itu terus mengikuti dan mengawasi, aku rasa mereka memang sudah mengi
Kubenahi rambut dan wajahku yang berantakan, aku merutuk karena pria itu menyakiti rahangku, demi Tuhan aku akan bersumpah bahwa dia akan membayarnya.Kini aku harus mencatat daftar panjang orang-orang yang akan aku tuntut dengan pembalasan. Ada William, Didit, Heri, dan sinoembuat masalah Kartika. Mereka bertiga sahabat yang harus dihancurkan.Tiba tiba muncul sesuatu dalam benakku, ide untuk mengadu domba mereka semua dan membuat mereka saling berselisih paham dan saling mencurigai. Perlahan kepercayaan satu sama lain akan tergerus dan hancur tak bersisa, lalu setelahnya, kuhancurkan mereka semua secara hukum juga.Tapi sejujurnya aku pun belum tahu akan memulai dari mana, sulit menentukan mana orang yang benar-benar bisa dipercaya dan mana yang tidak, mana yang tulus dan mana yang hanya modus, mana yang kawan mana yang berpura-pura menjadi kawan lalu menusuk."Aku harus segera menghubungi pengacaraku," batinku sambil meraih ponselku.Tak lama sambungan terhubung, pria yang sudah
Kedatangan orang itu memang mengejutkan, dia yang pernah melayani keluargaku dengan baik dan sempat berkonflik denganku karena membela Suryadi kini sudah berdiri di sini menyapa sopan lalu mengambil tempat duduk."Apa kabar Ibu?""Baik, Hendra, aku tak pernah menyangka kau akan datang, entah harus senang atau heran, tapi aku bersyukur atau kemurahan hatimu," balasku pelan."Saya merasa prihatin atas kabar yang terdengar terakhir kali, terlebih mengetahui bahwa Ibu yang sedang hamil disakiti," jawabnya."Terima kasih atas perhatianmu, bagaimana kabar istri anakmu?" tanyaku."Baik, Nyonya.""Oh, syukurlah."Sesaaat suasana menjadi hening dan kaku, aku dan Hendra sama sama diam, tak tahu harus membahas apa."Bagaimana kabar Letkol Suryadi sekarang?""Dia masih ditahan di kantor polisi," balasku."Bukannya beliau sudah bebas?""Iya, tapi ditahan lagi, itu juga karena aku," jawabku menerawang jauh."Pak Yadi tidaklah jahat, dia hanya salah langka karena menyukai Nyonya Kartika, Tapi saya
"Aku kenal seorang polisi korup, dia cukup dekat dengan Kapolda, jika Nyonya mau, mungkin aku bisa menjaminkan Suryadi dengan menemuinya." Pria itu terlihat memicingkan mata meminta pendapatku."Itu ide bagus, tidakkah mereka curiga kenapa seorang preman mau menjamin Suryadi?""Kenapa tidak, memangnya Anda pikir aku akan menggunakan identitas asli, sebagai seseorang yang kerap menjadi buruan polisi, Aku tidak bisa hidup tanpa menggandakan identitas Nyonya," bisiknya sambil tertawa miring."Kau benar, kadang aku pun ngeri dengan berurusan denganmu, salah langkah atau kurang uang selembar saja resikonya jauh lebih mengerikan daripada penjara," balasku tertawa."Sebetulnya aku melakukan bisnis ini demi uang namun ada beberapa hal yang tidak aku lakukan untuk keuntungan semata," jawabnya sambil mengedarkan pandangan ke segala arah."Jika begitu, lakukan apa yang menurutmu baik," balasku.Tiba tiba dari monitor kamera koridor yang terlihat dari balik panel kaca kamarku, kami dapat mel
"Tante ... aku cariin Tante sejak pertama kali Tante gak pulang, kemana aja," ujarnya sambil menangis."Aku ada masalah dengan Papamu," jawabku."Papa?" Gadis itu langsung menghentikan tangisannya dan nampak amat terkejut."Iya, dia yang sudah membuatku terbaring di sini, nyaris melumpuhkan dan membunuhku," "Ta-tapi kenapa? Bukankah Tante istrinya Papa, lalu kenapa bisa begitu?""Entahlah, hanya dia dan Allah yang tahu.""Aku menyayangi Tante seperti Mamaku, kenapa Papa harus berbuat setega itu?""Memang dia bilang apa denganmu tentangku?""Dia bilang Tante ssakit, tapi aku curiga karena Imel dan Siska ikut menghilang sannpergi dari rumah, balasnya mengusap air mata."Mungkin kita tak bisa serumah lagi, Nak,," ujarku sambil menggenggam tangannya."Kenapa, Tante sama Papa mau cerai?""Iya, dia bahkan hendak memenjarakannaku tanpa alasan andai tidak ada yang turun tangan menegaskan masalah ini, sekali aku minta maaf karena kita tak akan bersama lagi," balasku sambil mengusap wajahnya