Sesampainya aku dirumah, Bapak dan Ibu terlihat sengaja menungguku untuk meminta penjelasanku kenapa terlambat pulang. Kali ini kulihat wajah mereka serius."Kenapa baru pulang Re? Gak biasanya pulang terlambat." Tanya Ibu setelah aku duduk bergabung bersama mereka."Maaf Pak, Bu. Tadi Reina ke butik dulu. Lihat perkembangan butik." Jawabku."Kamu sengaja menghindari Candra ya? Kenapa ke butiknya harus hari ini, Kan bisa besuk." Kata Bapak."Reina baru buka pesan dari Ibu ketika sedang berjalan ke butik. Sayang aja kalau harus berbalik arah udah hampir sampai soalnya. Lagian kata Ibu, Candra bersedia menunggu Reina sampai Reina pulang." Jelasku."Iya tadinya memang mau menunggu, tapi dia tiba tiba ada urusan mendadak." Sahut Ibu.Haruskah aku menanyakan nama lengkapnya sekali lagi pada Bapak? Mungkin kali ini dia sudah tau nama lengkapnya. Tapi apa ini ide yang baik? Jika mungkin Candra yang dimaksud adalah Candra temanku, Bapak pasti akan senang karena kami sudah saling mengenal se
"Malam ini Candra akan ke sini Re." Kata Ibu setelah melihatku pulang."Kenapa gak bilang Reina dulu Bu?"Kataku sedikit kesal."Kamu selalu menghindar jika Ibu bilang. Nanti malam Candra akan datang bersama orang tuanya." Kata Bapak menimpali.Berarti Candra akan benar benar kesini. Berarti Ibu dan Bapak juga akan tau jika yang kemarin datang bukan Candra, melainkan orang suruhan Candra."Kamu siap siap dulu, mandi sana." Kata Ibu.Karena tidak ingin membuat Ibu atau Bapak merasa kecewa, akhirnya ku turuti juga kemauan mereka. Selesai mandi, aku segera membantu Ibu didapur. Memasak cemilan yang akan dihidangkan untuk Candra dan kekuarganya."Sini Reina bantuin, Bu." Kataku yang melihat Ibu sibuk didapur."Itu kamu goreng kacang aja Re, biar ibu yang masak ikan." Lanjut Ibu.Ibu terlihat bahagia menyambut kedatangan keluarga Candra. Semoga Ibu tidak kecewa jika melihat Candra yang asli datang, pikirku.Setelah semua makanan siap, kami lalu menunggu kedatangan mereka. Tak lama kami men
Setelah kedatangan Candra malam tadi, kulihat Bapak dan Ibu berwajah sumringah pagi ini. Sebuah asa telah didapatkan mereka kembali."Bagaimana menurutmu Za, Om Candra?"Tanya Ibu ketika kami tengah sarapan."Om Candra baik Nek. Lebih baik dari Om Candra yang sebelumnya." Terang Reza.Ibu dan Bapak hanya tertawa mendengar perkataan polos Reza. Dia masih mengira bahwa Candra ada dua."Reza seneng kan kalau dia jadi Papa baru Reza?" Kini Bapak juga mengeluarkan suara."Reza akan seneng jika lihat Mama juga seneng." Jawabnya membuatku terharu."Terimakasih sayang." Kataku seraya memeluknya. Air mataku hampir saja tumpah."Mama seneng kan jadi istri Om Candra?" Tanya Reza kini. Aku tidak ingin membuat putraku itu sedih. Ku anggukkan kepalaku tanda setuju dengan ucapannya.Cinta akan datang seiring berjalannya waktu, Pikirku. Seperti pepatah bahasa jawa Witing tresno jalaran seko kulino, yang berarti Cinta akan tumbuh karena terbiasa. Kali inj Aku sungguh mempercayainya."Ya udah Mama beran
Jam menunjukkan pukul tiga petang, Waktunya untuk pulang. Sore ini Candra sengaja menjemputku. Dia bilang dia akan jadi sopir pribadiku mulai sekarang.Kulihat Candra melambaikan tangan dari kejauhan ketika melihatku keluar dari kantor."Udah lama?" Tanyaku setelah menghampirinya."Baru juga nih." Jawabnya.Candra segera membuka pintu mobilnya untukku. Senyuman mengembang diwajahnya ketika menatapku."Jangan menatap gitu Ndra, bikin aku salah tingkah nih." Kataku.Candra hanya tersenyum, kemudian menutup pintu mobil setelah aku masuk."Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" Tanya Candra."Lumayan capek Ndra. Banyak berkas yang harus ku periksa." Jawabku."Semangat Reina." Katanya seraya mengangkat genggaman tangannya."Tumben manggil Reina?" Kataku heran. Tidak biasanya dia memanggilku dengan sebutan itu."Gak papa Wul. Mulai sekarang aku panggil kamu Reina aja. Itu kan nama panggilan aslimu?" Tanya Candra.Aku hanya mengangguk. Candra beberapa kami menoleh dan melihatku dengan senyumannya.
Setelah mendengar perkataan Desi semalam, aku semakin yakin dengan keputusanku. Aku merasa lega jika Rendi juga sudah bisa merelakanku. Candra yang sekarang menjadi penjemput setiaku sudah menunggu di depan. "Reina langsung pamit ya Bu." Kataku setelah sarapan." "Iya Re. Hati hati." Jawab Ibu."Salam buat Candra." Lanjut Bapak. Candra sengaja tidak mampir dulu karena sudah siang. Dia takut jika mampir akan membuatku terlambat sampai dikantor."Baik Pak." Jawabku lalu keluar meninggalkan Bapak juga Ibu yang masih meneruskan sarapannya."Maaf hari ini aku datang agak siang Re." Kata Candra."Iya gak papa Ndra. Ini juga baru jam setengah tujuh lewat sedikit. Masih ada beberapa menit lagi kok." Jawabku."Ya udah yuk langsung berangkat aja." Ajakku kemudian.Dalam mobil Candra menanyakan tentang Bu Serli."Apa Kak Serli menghubungimu lagi?" "Tidak Ndra. Dia belum menghubungiku. Mungkin hari ini?" Kataku."Jawab seperti yang aku katakan ya Re. Aku gak mau Kak Serli bertindak terlalu j
Sore harinya ketika aku hendak pulang, kulihat Rendi berdiri di dekat pintu keluar. Dia seperti sedang menunggu seseorang. Mungkinkah Desi yang dia tunggu?Aku berjalan melewatinya, ku sapa dia seperti biasa."Hai Ren." Sapaku."Em, ada yang mau ku tanyakan sama kamu!" Kata Rendi serius."Ada apa?" Tanyaku."Apa kamu benar benar akan menikah?" Tanya Rendi."Iya Ren. Kamu udah tau ya?" Tanyaku."Mudah sekali bagimu untuk berpaling Re! Kata Rendi."Kecewa aku pernah mengenalmu!" Lanjutnya kemudian pergi."Ren. Maaf jika ini melukaimu." Kataku.Rendi tidak peduli dengan apa yang ku ucapkan. Dia berjalan terus meninggalkanku, semakin jauh." Awalnya aku takut kamu akan terluka, namun setelah aku tau kamu udah dapat penggantiku, itu membuatku sedikit lebih lega." Sambungku.Rendi yang sudah berjalan, kemudian berbalik arah. Dia kembali menghampiriku."Apa kamu bilang?! Dapat penggantimu!!!! Maaf Re, aku bukan orang sepertimu. Tidak mudah bagiku melupakan seseorang yang begitu berarti dihid
Fida menjemputku pagi ini, Dia sengaja ku telepon semalam karena Candra gak bisa menjemputku. Fida yang memang sudah lama tidak berangkat bareng, dia dengan senang hati mau menjemputku."Oke, besok ku jemput." Katanya semalam. Fida memintaku untuk mengirim alamat rumah Ibu. Pagi harinya.Tin tin. klakson mobil Fida beberapa kali berbunyi, itu tandanya dia sudah menungguku didepan."Wait!!! Teriakku yang belum selesai sarapan. Karena tidak ingin Fida menunggu lebih lama lagi, aku segera mengambil roti tawar yang sudah diisi selai lalu memasukkannya ke dalam mulutku."Maaf telat." Katanya."Gak telat kok Da." Jawabku seraya masuk ke mobil. Mulutku penuh dengan roti yang baru saja ku makan."Emang kamu lagi sarapan ya?" Tanya Fida."Iya. Baru makan dikit, eh kamu udah klaksoni mulu." "Aduh maaf dong. Aku kan gak tau kalau kamu lagi sarapan." Ujarnya."Nih aku bawa roti, mau gak?" Kataku seraya menyodorkan tupperware berisi roti tawar yang berisi selai itu."Gak usah. Aku baru sarapan
Hari ini hari sabtu, aku libur bekerja. Seperti yang sudah dikatakan Pak Hisyam kemarin, aku akan ikut dengannya juga Bu Serli.Aku menunggu dijalan yang biasanya untuk menunggu taksi. Pak Hisyam akan menjemputku disana.Selang berapa menit aku menunggu, ku lihat sebuah mobil berwarna merah berhenti. "Ayo Re!" Teriak suara dalam mobil, ternyata Pak Hisyam.Aku bergegas menghampiri lalu masuk ke mobilnya."Selamat pagi Bu." Sapaku yang juga melihat Bu Serli."Iya Pagi." Jawabnya Bete.Aku merasa sedikit tidak enak padanya, karena aku lebih memilih untuk menerima ajakan Pak Hisyam.Dalam mobil itu, suasana canggung sangat terasa. Aku bahkan tidak berani untuk berbicara sepatah katapun.Setengah jam kemudian, kami sampai dirumah Candra. Ku lihat rumahnya lebih luas dan lebih besar dari rumah Rendi. Sepertinya keluarga mereka lebih berada dari pada keluarga Rendi.Tante Eni yang melihat kedatangan kami segera menyambut dengan wajah sumringah. "Kamu ke sini juga Re?" Tanya Tante Eni ya
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken