Jam menunjukkan pukul tiga petang, Waktunya untuk pulang. Sore ini Candra sengaja menjemputku. Dia bilang dia akan jadi sopir pribadiku mulai sekarang.Kulihat Candra melambaikan tangan dari kejauhan ketika melihatku keluar dari kantor."Udah lama?" Tanyaku setelah menghampirinya."Baru juga nih." Jawabnya.Candra segera membuka pintu mobilnya untukku. Senyuman mengembang diwajahnya ketika menatapku."Jangan menatap gitu Ndra, bikin aku salah tingkah nih." Kataku.Candra hanya tersenyum, kemudian menutup pintu mobil setelah aku masuk."Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" Tanya Candra."Lumayan capek Ndra. Banyak berkas yang harus ku periksa." Jawabku."Semangat Reina." Katanya seraya mengangkat genggaman tangannya."Tumben manggil Reina?" Kataku heran. Tidak biasanya dia memanggilku dengan sebutan itu."Gak papa Wul. Mulai sekarang aku panggil kamu Reina aja. Itu kan nama panggilan aslimu?" Tanya Candra.Aku hanya mengangguk. Candra beberapa kami menoleh dan melihatku dengan senyumannya.
Setelah mendengar perkataan Desi semalam, aku semakin yakin dengan keputusanku. Aku merasa lega jika Rendi juga sudah bisa merelakanku. Candra yang sekarang menjadi penjemput setiaku sudah menunggu di depan. "Reina langsung pamit ya Bu." Kataku setelah sarapan." "Iya Re. Hati hati." Jawab Ibu."Salam buat Candra." Lanjut Bapak. Candra sengaja tidak mampir dulu karena sudah siang. Dia takut jika mampir akan membuatku terlambat sampai dikantor."Baik Pak." Jawabku lalu keluar meninggalkan Bapak juga Ibu yang masih meneruskan sarapannya."Maaf hari ini aku datang agak siang Re." Kata Candra."Iya gak papa Ndra. Ini juga baru jam setengah tujuh lewat sedikit. Masih ada beberapa menit lagi kok." Jawabku."Ya udah yuk langsung berangkat aja." Ajakku kemudian.Dalam mobil Candra menanyakan tentang Bu Serli."Apa Kak Serli menghubungimu lagi?" "Tidak Ndra. Dia belum menghubungiku. Mungkin hari ini?" Kataku."Jawab seperti yang aku katakan ya Re. Aku gak mau Kak Serli bertindak terlalu j
Sore harinya ketika aku hendak pulang, kulihat Rendi berdiri di dekat pintu keluar. Dia seperti sedang menunggu seseorang. Mungkinkah Desi yang dia tunggu?Aku berjalan melewatinya, ku sapa dia seperti biasa."Hai Ren." Sapaku."Em, ada yang mau ku tanyakan sama kamu!" Kata Rendi serius."Ada apa?" Tanyaku."Apa kamu benar benar akan menikah?" Tanya Rendi."Iya Ren. Kamu udah tau ya?" Tanyaku."Mudah sekali bagimu untuk berpaling Re! Kata Rendi."Kecewa aku pernah mengenalmu!" Lanjutnya kemudian pergi."Ren. Maaf jika ini melukaimu." Kataku.Rendi tidak peduli dengan apa yang ku ucapkan. Dia berjalan terus meninggalkanku, semakin jauh." Awalnya aku takut kamu akan terluka, namun setelah aku tau kamu udah dapat penggantiku, itu membuatku sedikit lebih lega." Sambungku.Rendi yang sudah berjalan, kemudian berbalik arah. Dia kembali menghampiriku."Apa kamu bilang?! Dapat penggantimu!!!! Maaf Re, aku bukan orang sepertimu. Tidak mudah bagiku melupakan seseorang yang begitu berarti dihid
Fida menjemputku pagi ini, Dia sengaja ku telepon semalam karena Candra gak bisa menjemputku. Fida yang memang sudah lama tidak berangkat bareng, dia dengan senang hati mau menjemputku."Oke, besok ku jemput." Katanya semalam. Fida memintaku untuk mengirim alamat rumah Ibu. Pagi harinya.Tin tin. klakson mobil Fida beberapa kali berbunyi, itu tandanya dia sudah menungguku didepan."Wait!!! Teriakku yang belum selesai sarapan. Karena tidak ingin Fida menunggu lebih lama lagi, aku segera mengambil roti tawar yang sudah diisi selai lalu memasukkannya ke dalam mulutku."Maaf telat." Katanya."Gak telat kok Da." Jawabku seraya masuk ke mobil. Mulutku penuh dengan roti yang baru saja ku makan."Emang kamu lagi sarapan ya?" Tanya Fida."Iya. Baru makan dikit, eh kamu udah klaksoni mulu." "Aduh maaf dong. Aku kan gak tau kalau kamu lagi sarapan." Ujarnya."Nih aku bawa roti, mau gak?" Kataku seraya menyodorkan tupperware berisi roti tawar yang berisi selai itu."Gak usah. Aku baru sarapan
Hari ini hari sabtu, aku libur bekerja. Seperti yang sudah dikatakan Pak Hisyam kemarin, aku akan ikut dengannya juga Bu Serli.Aku menunggu dijalan yang biasanya untuk menunggu taksi. Pak Hisyam akan menjemputku disana.Selang berapa menit aku menunggu, ku lihat sebuah mobil berwarna merah berhenti. "Ayo Re!" Teriak suara dalam mobil, ternyata Pak Hisyam.Aku bergegas menghampiri lalu masuk ke mobilnya."Selamat pagi Bu." Sapaku yang juga melihat Bu Serli."Iya Pagi." Jawabnya Bete.Aku merasa sedikit tidak enak padanya, karena aku lebih memilih untuk menerima ajakan Pak Hisyam.Dalam mobil itu, suasana canggung sangat terasa. Aku bahkan tidak berani untuk berbicara sepatah katapun.Setengah jam kemudian, kami sampai dirumah Candra. Ku lihat rumahnya lebih luas dan lebih besar dari rumah Rendi. Sepertinya keluarga mereka lebih berada dari pada keluarga Rendi.Tante Eni yang melihat kedatangan kami segera menyambut dengan wajah sumringah. "Kamu ke sini juga Re?" Tanya Tante Eni ya
Karena tidak ingin membuatku canggung dengan Bu Serli, Candra menyuruhku untuk tinggal dulu seventar dirumahnya. Membiarkan Pak Hisyam dan Bu Serli untuk pulang terlebih dahulu."Ya udah kami duluan ya Re." Kata Pak Hisyam ramah. Sedang Bu Serli, dari tatapan matanya dia terlihat sangat marah. Dia langsung pergi tanpa berpamitan dulu dengan Tante Eni."Udah biarin aja Re. Memang seperti itu wataknya." Kata Tante Eni setelah bersalaman dengan Pak Hisyam.Usai Pak Hisyam pergi, Tante Eni menyuruhku untuk duduk sebentar dengannya. Candra membiarkan kami untuk ngobrol berdua."Jadi dia pernah nyuruh kamu buat bujuk Candra kembali padanya?" Tanya Tante Eni."Iya Tante. Kok Tante bisa tau?""Iya, Candra yang bilang. Besuk lagi gak usah dekat dekat dengan dia ya Re. Nanti sifat baikmu terpengaruh oleh sifat buruknya." Lanjut Tante Eni."Apa Bu Serli jarang ke sini Tante?" Tanyaku akhirnya."Bukan jarang lagi Re, hampir gak pernah. Mungkin dia menganggap orang tuanya sudah meninggal kali." Ki
Minggu Pagi Candra menjemputku tanpa sepengetahuanku. Dia tiba tiba sudah berada dirumah menikmati secangkir kopi bersama Bapak."Udah Bangun Re?" Tanya Candra melihatku yang baru keluar kamar."Loh kok?" Kataku kaget. Kenapa dia gak nelpon atau kirim pesan dulu jika mau datang?"Iya. Candra udah dari tadi disini. Bapak mau bangunin kamu katanya gak usah." Sahut Bapak."Loh ngapain datang pagi banget?" Tanyaku yang tidak mengetahui jam berapa itu."Coba kamu lihat jam dulu Re, baru mengatakan itu. Jangan bikin malu Bapak lah didepan Candra." Lanjut Bapak.Memang sekarang jam berapa? Kulihat jam dinding yang menempel tepat diatas pintu kamarku.Astaga, udah jam sembilan lebih. Malunya aku baru bangun. Kenapa Candra musti ada disini lagi."Em, Maaf. Habis tadi malam tidur agak larut, sengaja. Kan hari ini libur " Kataku lirih."Ya udah sana mandi. Katanya mau pergi sama Candra?" Kata Bapak.Pergi? Kemana? Bukankah kita gak ada janji pergi hari ini?"Bapak sendiri gak ke showroom tumben
Candra berpamitan pulang setelah mengantarkanku. Dia bahkan tidak bilang jika kami dari showroom. Bagaimana jika Ibu dan Bapak nanti kaget ketika mobilnya datang. Apa yang harus ku katakan?"Jalan jalan dari mana Re?" Tanya Ibu setelah Candra pulang."Dari_dari showroom Bu." Jawabku."Ngapain? Bukannya mobil candra masih bagus?" Tanya Ibu lagi."Iya Bu." "Lalu? Ke showroom cuma liat liat doang?""Em, sebenarnya_sebenarnya_""Sebenarnya Kak Reina dibeliin mobil sama Candra Bu." Sahut Diki tiba tiba yang entah dari mana asalnya."Beneran Re?!" Tanya Ibu serius."Bener gak Kak?" Tanya Diki.Dari mana dia tahu? Memangnya aku sudah memberitahunya?"Sok tau." Ujarku."Ya bisa saja kan." Lanjutnya.Sepertinya Diki memang belum mengetahui yang sebenarnya. Dia hanya asal menebak."Jangan deh Re. Kasian Bapakmu, malu nanti." Ujar Ibu."Kenapa malu Bu?""Ya karena kamu minta dibeliin mobil, padahal kalian belum resmi menikah." Sambung Ibu."Jika Candra yang memaksa gimana Bu?" Tanyaku."Jadi b
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken