Keesokan harinya, aku membatalkan permohonan cutiku. Hari ini aku tetap akan bekerja seperti biasa. Biar urusan ke kantor polisi menjadi tugas Candra dan juga Bapak, aku percaya dengan mereka berdua. Karena hari ini kita menginap dirumah ibu, jadi sarapan sudah tersedia walaupun aku tidak bangun pagi. Ibu selalu menjadi best mom buat anak anaknya, walaupun anaknya sudah sebesar ini, namanya Ibu tetap akan memanjakannya.Hari ini Bapak tidak akan pergi ke showroom, karena mereka berniat untuk ke kantor polisi pagi pagi sekali. Selesai sarapan Candra mengantarku pergi ke kantor seperti biasanya, setelah itu baru menjemput Bapak, karena kantor polisi dan tempat kerjaku yang memang tidak searah jadi tidak bisa sekalian berangkat bersama. “Hati hati ya, tetap fokus dalam pekerjaan. Jangan pikirkan hal yang lain ya,” pesan Candra saat kita sudah sampai dikantor.“Iya siap boss, segera kabari ya jika sudah mendapat informasi,” pintaku.Candra lalu mengangkat tangannya ke kepala, layaknya
Fikiran kadang mempengaruhi kesehatan tubuh seseorang, begitu juga denganku. Terlalu memikirkan tentang Ratna namun tidak punya bukti kuat untuk menjebloskannya ke penjara lagi membuat badanku sakit. Aku harus ijin kerja dulu hari ini. “Periksa ke dokter yuk,” Kata Candra melihat kondisiku yang makin lemah.“Enggak ah, ini demam biasa aja kok, ntar juga turun sendiri,” jawabku.“ayolah Re, setidaknya biar ditangani oleh ahlinya,” ucao Candra.“Aku nggak papa Ndra, beneran. Nanti juga turun sendiri kok,” jawabku kekeh.“Ya udah, ini minum obatnya, aku udah beliin obat diapotik,” terangnya.Jangan terlalu dipikirkan soal Ratna, dia pasti akan mendapat balasannya juga kok nantinya, sekarang mah Allah masih mau melihat dia berbuat jahat lagi aja biar nanti hukumannya lebih pedih,” Candra berusaha menghiburku.“Iya Ndra. Kamu cari tahu tentang dia dong, dimana dia tinggal apa pekerjaannya,”“Kamu masih ingin cari tahi tentang dia. Kalau saran aku sih ikhlasin aja, paling nggak dia udah ng
Dalam perjalanan, tiba tiba ponsel Candra berbunyi. Sebuah telepon masuk ke nomernya. Dia segera menjawab telepon itu, siapa tahu penting.“Halo, iya dengan saya sendiri,” jawab Candra.“Oh begitu, ibu tertarik dengan tulisan saya? Jadi Ibu ingin menawarkan kerja sama dengan sama begitu Bu?”“Tentu Bu, saat ini saya sedang menggarap novel ke tiga saya, tapi masih baru bab bab awal Bu, Apa Ibu tidak keberatan menunggu novel ini selesai?”“Baik Bu nanti saya telepon Ibu lagi, terimakasih.”Candra lalu mengatakan jika yang menelepon adalah direksi dari sebuah penerbitan buku. Dia menawarkan kerja sama dengan Candra. Dia menyukai tulisan Candra.“Berarti bentar lagi bakalan launching buku ketiga dong Ndra?” tanyaku.“Belum sih Re, masih lama. Aku juga baru dapat beberapa ide kok, namun belum kutuang dalam sebuah tulisan,” jawabnya.“Trus? Apa dia mau menunggu selama itu?” tanyaku.“Yups, dia bilang bakalan menunggu tulisan ketigaku, tapi nanti akan kita bicarakan lagi kok,” jawabnya.“Bai
Jam menunjukkan pukul sepuluh lebih. Malam ini, kita tidak tidur awal karena harus menyusun rencana untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan Ratna. Jika polisi tidak bisa membuatnya menderita dengan cara menahannya, makan kita akan gunakan cara kita sendiri.Dua jam lebih rencana baru tersusun setengah, tapi mata ini benar benar sudah tidak bisa ditahan lagi kantuknya. Candra menyuruhku untuk tidur dahulu, dia tahu jika aku tidak terbiasa begadang sampai malam sseperti ini. Lagi pula pekerjaanku dikantor membutuhkan kejelian mata. Berbeda dengan pekerjaan suamiku. Dia bekerja dengan cara bersantai, karena dengan cara seperti itu inspirasi cerita akan muncul. Tidak membutuhkan waktu lama, aku langsung tertidur. Entah apa yang dilakukan Candra setelah itu. Akupun sudah tidak tahu. Jam setengah enam pagi aku baru saja siuman. Sedang Candra, dia sudah tidak berada di ranjang. Kemanakah dia? Apakah dia pergi pagi pagi sekali? Namun ternyata prasangkaku salah. Dia tengah berada di
Hari ini hari sabtu dan aku libur bekerja. Walaupun libur bekerja namun hari ini kita akan pergi ke acara pernikahan Rendi. Acaranya jam sepuluh jadi kita akan berangkat sekitar jam setengah sepuluh. Candra sudah bersiap dari jam sembilan lebih, sedangkan aku masih bingung memilih gaun mana yang akan ku pakai. Sampai sampai Candra yang tadinya menunggu diteras akhirnya masuk ke kamar karena menungguku terlalu lama. "Kamu belum siap juga Re?” "Belum Ndra, bentar ya. Menurutmu aku lebih bagus menggunakan baju yang mana?” tanyaku seraya memperlihatkan beberapa baju padanya. Melihatku yang kebingungan memilih baju malah membuatnya tertawa. "Kenapa tertawa? Apanya yang lucu?”"Kayaknya Reina yang ku kenal tuh nggak ribet kaya gini deh, dia tuh selalu sederhana. Apa karena ini nikahan mantan jadi kamu ingin terlihat menarik didepannya?” ucap Candra sambil menahan tawa."Apasih kamu, ya enggak lah. Aku kan Cuma pengen memakai baju yang cocok dibadanku,” kataku beralasan. Namun sebenarny
Malam harinya, Candra mengajakku untuk pergi ke pasar malam. Sudah lama juga aku tidak pernah pergi ke tempat dimana keraimaian orang serta jajanan itu digelar. Karena merasa bosan juga dirumah, akhirnya aku setuju dengan ajakan suamiku.Selesai bersiap kita segera berangkat. Selain untuk mencari makanan, ini juga malam minggu, bisa dibilang waktunya kita berpacaran. Sesampai di pasar malam kita segera memarkir mobil lalu selanjutnya kita berjalan bergabung dengan orang orang. Candra menggandeng tanganku, bisa dibayangkan betapa romantisnya pasangan ini. "Menurutmu baiknya kita punya anak berapa ya Re?” tanya Cabdra tiba tiba.“Hah? Anak?” jawabku agak kaget. Dia sudah ngomongin masalah anak, itu artinya mungkin dia sudah pengin punya anak."Iya anak, kenapa kamu kaget gitu? Emang kamu nggak pengen?” Entah kenapa tapi aku masih belum berfikir untuk punya anak lagi. Mungkin karena trauma atas kehilangan Reza atau entah karena alasan lain. Mendengar Candra bertanya demikian lalu
Lega juga rasanya melihat orang yang paling ku benci selama ini sudah mendapatkan hukuman setimpal. Kini saatnya aku memulai kehidupan baru. Melupakan semua yang pernah terjadi dimasalalu dan menjalani kehidupan kedepannya dengan lebih baik.Hari ini aku akan mengajukan surat resign dari kantor, seperti apa yang pernah disarankan oleh mertuaku. Candra terlihat senang dengan keputusanku ini. Kali ini aku tidak boleh egois, aku harus memikirkan perasaan pasangan dan juga keluargaku. Surat pengunduran diri sudah ku buat semalam. Hari ini akan ku serahkan kepada Pak Ridwan langsung dengan harapan Pak Ridwan akan langsung bisa memberi tahu Pak Hisyam. Dengan begitu semoga pak Hisyam bisa mengerti.“Hati hati,” kataku setelah turun dari mobil.“Iya kamu juga,” jawab Candra sebelum akhirnya dia pergi bersama dengan mobilnya.Aku segera pergi ke ruangan Pak Ridwan untuk menaruh surat pengunduran diriku. Karena hari memang masih pagi dan Pak Ridwan belum datang, kutaruh saja surat itu dia
Untuk merayakan ulang tahun Ibu mertuaku, kita berencana untuk kumpul keluarga saja. Menyambung silaturohmi juga mempererat tali persaudaraan. Esok harinya, bapak dan Ibuku juga datang, tak lupa Diki juga dibawa sekalian. Aku belum memberitahu ibu dan Bapak soal pengunduran diriku, kuharap mereka tidak keberatan. “Kamu nginep sini Re?” tanya Bapak."Iya Pak,” jawabku. "Kamu cuti?” tanya Ibu.Aku segera memberi tahu mereka jika sebenarnya aku sudah resign dari kantor. Bukannya kaget mereka justru senang mendengarnya. Ternyata mereka juga sepemikiran dengan kedua orang tua Candra, hanya saja tidak pernah mereka sampaikan."Bagus dong, biar kita cepat dapat cucu,” ujar Ibu.Tante Eni juga terlihat setuju dengan perkataan Ibu. Mereka benar benar selalu kompak dalam hal apapun. "Butik bakalan terurus nih kayaknya,” celetuk Diki."Ya pasti, kan sekarang punya banyak waktu luang,” kata Om Dika.Semua orang tertawa mendengarnya. Diki Cuma cengengesan saat kupelototi wajahnya. Awas saja ya
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken