Tika seperti dibakar api cemburu setelah berpapasan dengan Nuri dan Daniel. "Pak! Kita sudah ke mall, loh. Masa cuma lihat-lihat doang, nih. Mubazir banget waktu saya, tuh!" rajuk Tika dengan kesal. Di pelupuk matanya masih terbayang-bayang adegan Nuri yang membawa paperbag. Sudah pasti itu berisi pakaian-pakaian mahal dan bagus seperti yang Tika lihat sejak pertama kali memasuki pusat perbelanjaan besar itu. Andika menghela napas. "Kan, kita ke mall cuma mau benerin laptop, Tika. Bukan mau belanja.""Halah! Bilang saja Bapak pelit sama pacar sendiri! Masa kalah sama mantan!" "Apa maksudmu, Tika?" Andika menatap tajam ke arah pacarnya. "Enggak, enggak penting! Saya enggak bicara apa-apa!" ketus Tika. Dia tak mau salah ngomong yang membuat Dika jadi kesal. Tapi terlambat. Andika merasa kesal dengan rajukan kekasihnya. Tika pasti cemburu dengan Nuri yang bisa berbelanja banyak pakaian bagus di mall. Sedangkan dirinya bukan tak ingin membelikan untuk Tika. Akan tetapi, keuangannya
"Pak, ayo, dong kita jalan-jalan dulu, nanggung udah main ke mall, masa cuma main di sini doang." Melihat banyak orang berjalan sambil bergandengan tangan dengan pasangan masing-masing Tika jadi iri dan ingin merasakan juga. "Ya udah, kita naik ke sana, tapi janji, ya, lihat-lihat aja.""Iya, Tika janji." Tika tersenyum membuat Andika merasa tenang dan mengabulkan keinginannya untuk jalan-jalan ke lantai atas. Dengan percaya diri Andika menggandeng Tika yang bergelayut manja di pergelangan tangannya. Mereka menaiki eskalator yang membuat Tika tiba-tiba mendapatkan ide. "S-saya saya takut naik tangga berjalan, Pak.""Jangan takut, pegang tangan saya." Andika tersenyum bangga karena berasa menjadi pahlawan di depan kekasihnya. Sontak hal itu menerbitkan senyum kemenangan di wajah Tika. “Kalau gini ‘kan enak, mesra gitu kek orang-orang,” batinnya senang."Jangan lepasin, Pak. Gimana nanti pindah ke lantainya." Lagi-lagi Tika melanjutkan aksi pura-pura saat Dika mulai mengendurkan pe
Musim dingin di Canberra terasa menggigit kulit. Salju sedang turun membuat semua orang malas keluar rumah. Meski tubuh dibalut dengan syal atau pakaian tebal dan berlapis, tetap tak bisa mengusir rasa dingin. Jaket tebal hanya sebatas penghangat, tetapi tidak menghilangkan rasa dingin yang menyergap tubuh.Nura keluar dari dapur setelah berjibaku dengan semua pekerjaannya. Usai memasak menu untuk baby Liam, dia menyiapkan sup ayam untuk keluarganya. Nura juga menggoreng risoles frozen yang ia dapatkan dari minimarket Asia sebagai hidangan pelengkap. “Nah sudah matang, silakan dinikmati,” ujar Nura seraya meletakkan piring berisi risoles yang masih panas.Willy dan Bu Fatma tengah bersantai di ruang tamu, langsung menyambut menikmati hidangan yang sudah disiapkan oleh Nura. Secangkir kopi menemani sore yang dingin. "Gini kalau musim dingin, semua serba susah. Nanti kalau kita pulang ke Indonesia, kita jalan-jalan ke Bali dan menikmati matahari sepuasnya, ya?" ucap Willy pada baby Li
Di tengah-tengah kepanikannya, Nura mencoba menghubungi Nuri. Namun, berkali-kali dihubungi tidak ada jawaban dari pemilik nomor. Mungkin Nuri sedang sibuk, pikir Nura. Nura menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas, ia akan menghubungi kembali nanti. Sementara ia fokus dengan kondisi sang ibu yang tengah ditangani oleh dokter. Tak henti-hentinya Nura berdoa, semoga ibunya baik-baik saja.Ditemani Willy, Nura duduk sembari memangku putranya yang tertidur di pangkuan. Perasaannya diserang kecemasan yang teramat besar, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika mertuanya sampai kenapa-kenapa."Kamu tenang, ya. Berdoa saja, semoga Mama bisa sehat lagi," ucap Willy mencoba menenangkan Nura yang tak berhenti menatap pintu kamar di mana Bu Fatma tengah ditindaklanjuti.Seketika Nura mengangguk pelan seraya tersenyum, setidaknya ia tidak sendiri melewati masa tegang ini. Selang dua hari, kondisi Fatma sudah lebih baik. Meski ia masih harus dirawat untuk pemulihan, ada beberapa hal yang me
"Nuri lagi sakit, dia lagi banyak pikiran dan mungkin kecapekan. Sudah mama suruh untuk periksa, dia tidak mau, bilangnya nanti juga sembuh sendiri." Bu Widya menyambut kedatangan Dika dengan pemberitahuan tentang kondisi Nuri."Sejak kapan sakitnya?" Dika merespon pemberitahuan balik bertanya."Mulai kemarin. Mama sudah lihat keadaannya dan cari tahu dia sakit apa, dia bilang tidak parah, tapi kemarin badannya panas banget. Sudah mama bujuk supaya ke dokter, tapi dia nggak mau."Dika berjalan melewati Bu Widya lalu menghilang dibalik tirai pintu ruang tengah.Beberapa saat kemudian Dika keluar rumah, mengeluarkan lagi motornya. Melihat itu buru-buru Bu Widya menyusul dan bertanya kepada putranya." Mau kemana?"" Ke rumah Nuri. Mau lihat apa dianya baik-baik saja.""Mama ikut. Nggak tenang juga di rumah kalau belum lihat keadaannya hari ini. Lagian kamu juga belum tahu ‘kan alamat Nuri sekarang?"“Tapia pa Nuri nanti nggak marah kalau lihat Dika kesana sama mama?” " Udah ayo, beran
Bu Widya menengok ke arah Dika dan Daniel yang sedang berbincang di teras ruangan rumah sakit. Semakin lama Bu Widya semakin gelisah karena mendengar nada bicara Dika yang semakin meninggi, begitu juga dengan Daniel. Mama Dika itu bergegas keluar menegur anaknya. “Dika, ini rumah sakit, bukan stadion. Ngapain teriak-teriak gitu?”“Dia yang mulai duluan, Ma. Mama tadi lihat,kan, sebelum dia datang ruangan ini aman sentosa, sesuai sama nama rumah sakitnya. Lah, tiba-tiba dia datang ngajak rebut,masa nggak dilayani, mubazir, Ma.”“Hush, kamu ini!” Bu widya menoyor kepala Dika. “Siapa tadi namanya?” Bu Widya menunjuk wajah Daniel. “Saya Daniel, kekasih Nuri,” ucap Daniel bangga memperkenalkan diri.“Oh, kekasih,” sahut Bu Widya sambil mengangkat alis. Dia sengaja menekan kata ‘kekasih’ supaya putranya mendengar langsung. “Jadi itu yang kalian perdebatkan. Nak Daniel silakan masuk dan menemani Nuri, saya dan Dika mau ngobrol sebentar di sini.”“Baik, Bu. Sekali lagi terima kasih karen
"Untuk apa kamu membawa roti sebanyak ini?” tanya Nuri sembari memandang kantong berlogo merk roti ternama. Kantong itu cukup besar, setidaknya ada lebih dari sepuluh roti yang masuk di dalamnya. “Memangnya salah, ya?” Dika menggaruk-garuk kepalanya. Dia punya niat baik, kenapa musti dicurigai? Bukannya biasa aja menengok pasien dengan membawa oleh-oleh, buah misalnya. Kalau sekarang dia membawa roti, sah-sah saja, dong.“Kamu kayaknya alergi banget, sih, ketemu saya?” tanya Dika saat melihat wajah Nuri yang seperti tak mengharapkan kedatangannya.“Bukan gitu, cuma enggak enak aja dilihat orang.” Nuri menjawab sebisanya.“Kita ‘kan saudara ipar, emangnya nggak boleh menjenguk saudara ipar?”Nuri terkekeh, ia menertawakan kekonyolan Dika. Pasti itu alasannya saja untuk dekat-dekat dengannya.“Untuk menjaga privacy dan kenyamanan masing-masing, sebaiknya kamu nggak datang ke sini lagi,” cetus Nuri sembari pura-pura mengecek ponsel dengan tangan kirinya. Dika jadi merasa serba salah. I
“Hai, Nuri! Kau terlihat cantik hari ini.”Daniel datang menjenguk Nuri pagi-pagi sekali membawa senyuman lebar, memamerkan deretan gigi yang kilaunya mengalahkan bintang iklan Pepsodent. Melihat Daniel, Nuri jadi terhibur dengan pemandangan pria tampan di hadapannya itu. Sebelumnya dia sudah mati gaya karena menghabiskan terlalu banyak waktu sendirian, terjebak di dinding serba putih rumah sakit, bertemu dengan perawat-perawat berseragam yang berwajah muram dan membosankan. Tetapi, sengaja dia sembunyikan perasaan senangnya itu dan mulai merajuk.“Apanya yang cantik.” Bibir Nuri mencebik. “Rambut lepek, wajah pucat, saya rindu ingin healing ke salon.”“Sabar, Sayang. Dua hari lagi kau boleh keluar dari sini. Lihat, apa yang saya bawa?” Daniel mengeluarkan tangannya yang sejak tadi ada di balik punggungnya. “Apa itu?” Mata Nuri berbinar-binar melihat tangan Daniel yang terkepal seperti sedang menggenggam sesuatu. Jantungnya berdebar kencang, menebak-nebak apa yang ada di dalam kepala
Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift
Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu
"Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad
Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can
"Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang
115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin
Dika tidak bisa melupakan kata-kata mamanya kemarin. Tentu saja tentang Nuri, bukan tentang Tika. Kalau hal yang berhubungan dengan Tika, Dika sudah tidak heran lagi. Ia sudah menyaksikan sendiri betapa menjengkelkannya sang istri. "Apakah aku harus datang sendiri untuk memastikannya?" Dika bertanya kepada dirinya sendiri. Tanpa bisa dipungkiri, Dika merasa iba kepada Nuri kalau memang mantan istrinya itu diperlakukan seperti babu oleh keluarga suaminya. Padahal saat masih menjadi istrinya dulu, setidaknya Dika tidak pernah melihat mamanya memperlakukan Nuri dengan buruk. "Iya, sepertinya aku memang harus datang ke sana," tekad Dika. Berbekal alibi mereka adalah ipar, Dika pun nekat ingin menemui Nuri di rumah Daniel. Ia sengaja tidak memberitahukan hal tersebut kepada ibunya, apalagi kepada Tika. Bisa-bisa Tika guling-guling di depannya kalau sampai ia meminta izin untuk hal yang satu itu. "Din, saya minta alamat Nuri dong!" pinta Dika ketika menemui Udin. "Loh, buat apa, Pak?"
"Aduh, kenapa halaman depan masih banyak daun jatuh, ya, Nuri? Bukannya saya udah sempat nyuruh kamu bersihin, ya? Kalau sampai ada tamu penting yang datang bagaimana? Mereka bisa ilfeel melihatnya!" Mendapati pertanyaan seperti itu saat sedang sarapan, membuat Nuri kesusahan menelan air yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Untung saja cairan itu tidak menyembur ke wajah Bu Cici. "Maaf, Ma. Saya sudah bersihkan halaman semalam, kok. Namanya juga ada pohon hidup, Ma. Wajar kalau ada daun yang jatuh lagi," jawab Nuri setelah berhasil menelan minumannya. "Berarti harusnya kamu inisiatif, dong, bersihin subuh-subuh. Jadi waktu saya bangun, halamannya sudah bersih. Saya kan jadi tidak perlu buang-buang waktu buat negur kamu." Nuri menghela napas panjang. Ingin membalas ucapan sang Mertua, tetapi malas berdebat. Alhasil, ia pun mengalah. "Baik, Ma. Setelah sarapan saya bersihkan halamannya.""Ya, udah, yang cepat sarapannya. Jangan sengaja lama-lamain karena malas mengurus rumah!" Nuri
Tika sedang berada di boncengan motor suaminya. Seperti biasa, Tika memeluk tubuh Dika terlalu erat, sehingga pria itu tidak nyaman. Napasnya terasa sesak, sehingga mengakibatkan Dika tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak begitu saja polisi tidur, hingga Tika terguncang. "Mas, pelan dong!" protesnya. "Kamu juga jangan kuat-kuat peluk saya. Napas saya jadi sesak. Saya gak fokus bawa motor!" omel Dika balik. "Bukannya lelaki itu suka kalau dipeluk erat istri, ini malah protes!" Dika menghentikan motornya di pinggir trotoar. Lalu pria itu menoleh ke belakang dengan wajah marah. "Sekali lagi kamu balikin ucapan saya, kamu turun di jalan! Kita mau ke dokter, jadi jangan rusak suasana!" Tika terdiam sambil menunduk. Di dalam hatinya masih sangat kesal dengan Dika, tetapi justru ia juga semakin cinta. Apalagi setelah melihat senjata suaminya secara tidak sengaja yang seguede timun suri. Membayangkan benda itu masuk ke miliknya, membuat Tika bergetar, sekaligus bergi