Willy mengendarai mobil Dika untuk membawa kakaknya itu ke rumah sakit. Dika tidak bisa banyak bicara karena pria itu benar-benar sakit. Jangankan bicara, sejak Willy menemukan kakaknya terkapar di tempat tidur, Dika hanya bisa merintih kesakitan. Pria itu memegang perutnya sambil merasakan suhu tubuh yang tinggi. "Sabar, Mas, dikit lagi kita sampai," kata Willy mencoba menenangkan Dika yang masih merintih sakit. Mobil pun berhenti di depan lobi IGD sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari rumah Dika. Dengan bantuan kursi roda dan salah satu staf keamanan rumah sakit, Dika dibawa masuk ke ruangan IGD, sedangkan Willy membetulkan parkir mobilnya terlebih dahulu, barulah ia menyusul masuk ke ruangan IGD. Kring! Kring! "Halo, Sayang.""Halo, kamu di mana? Katanya mau pilih souvenir.""Sayang, aku lagi bawa Mas Dika ke IGD, apakah Mbak Nuri udah pulang dari pengadilan?""Apa? Pulang dari pengadilan? Siapa?" Willy menepuk keningnya dengan kuat. Ia sudah keceplosan pada Nura. Calon istrin
"Terima kasih kamu mau menjaga saya di rumah sakit dalam tiga hari ini, Nuri. Kalau kamu lelah, pulang dulu gak papa. Kondisi saya sudah baikan kok." Dika berujar sambil tersenyum pada Nuri. Senyuman yang sejak awal menikah, tidak pernah ia dapatkan dari suaminya. Nuri ikut tersenyum sambil menggeleng. "Tanggung, Mas. Gak papa saya tungguin saja sampai kamu boleh pulang ke rumah." Nuri memasukkan pakaian kotor suaminya ke dalam tas jinjing yang akan diambil oleh Udin untuk dibawa langsung ke laundry. "Ya sudah, baiknya kamu saja. Berarti kamu libur kursus?" tanya Dika lagi. Pria itu lebih banyak bicara dan bertanya sejak Nuri dengan penuh sabar mengurus serta merawatnya di rumah sakit. "Iya, gak papa. Ujian baru selesai dan anggap saja ini bakti saya sebelum status kita sudah tidak suami istri lagi." Dika mengangguk pelan. "Saya harap, setelah kita bercerai nanti, kita masih tetap bisa silatirahim." Kali ini, Nuri yang mengangguk. "Saya minta maaf ya, Nuri," kata Dika lagi dengan
Aroma bunga segar mengguar di seisi taman ini. Beberapa riasan dan dekorasi mempercantik tempat yang akan dijadikan sebagai ruang pernikahan Nura dan Willy. Nuansa indah dan mewah yang akan membuat semua tamu undangan berdecak kagum.Saat ini Nuri dan Fatma sudah datang. Dia hendak menghampiri Nura yang sedang bersiap dan tengah dirias. "Hati-hati, Bu," ucap Nuri sembari memapah ibunya saat turun dari mobil. Fatma tersenyum melihat tempat pernikahan anaknya yang tampak bagus di Taman Mini. Ini sangat luar biasa, karena Bu Fatma berpikir Nura tidak akan merasakan lagi pernikahan yang indah, setelah ditinggal oleh suaminya. "Wah, bagus sekali dekorasinya. Ini pasti pilihan Nura."Nuri hanya tersenyum saja menanggapi ucapan ibunya. Mereka pun berjalan untuk menemui Nura yang belum selesai dirias. "Oh iya, Nuri. Ke mana suamimu? Kenapa dia tidak datang?" tanya Bu Fatma membuat Nuri terdiam.Wanita itu langsung merasa sedih mendengar pertanyaan dari Bu Fatma. Itu karena rumah tangganya
Berbeda dengan Dika, pria itu malah terdiam memandangi sosok Nura yang sekarang begitu cantik dengan gaun pengantin. Dulu dia sengaja mendekati Nuri dan menikahi Nuri untuk bisa berdekati dengan Nura. Dia pikir setelah suami Nura meninggal Dika punya kesempatan emas untuk mendekati Nura, sayangnya Willy telah mendahuluinya dan dia tidak bisa mendapatkan apa pun selain pernikahan yang dijalani tanpa cinta. Karena dia tidak jadi naik jabatan dan perasaammya pada Nuri tidak juga berubah, maka dari itu Dika memutuskan untuk setuju bercerai dengan Nuri. Mungkin ini sangat menyakitkan bagi Nuri, tetapi akan lebih menyakitkan lagi kalau dia terus-terusan menjalin pernikahan dengan penuh kepura-puraan. Tetapan Dika teralihkan kepada wanita yang ada di sampingnya sekarang. Secara agama dan negara, sebentar lagi dia bukan lagi istri Dika, tetapi Dika juga tidak mau hubungannya dengan Nuri berakhir dengan buruk, apalagi mereka pernah hidup bersama dan satu atap dan dengan pernikahan Nura dan
Waktu bergulir dengan cepat, sampai tidak terasa sudah menjelang sore. Sekarang resepsi pernikahan tengah digelar. Semua kerabat, keluarga pun berganti pakaian, terutama Nura dan Willy. Pengantin wanita itu tampak berdebar saat dirinya satu kamar dengan Willy. Padahal mereka hanya ingin berganti pakaian saja.Sesekali Willy mencuri pandang kepada Nura, sementara itu perias malah menggoda kedua pengantin itu, membuat Nura menunduk malu. "Nggak begitu juga lihatnya, dong, Mas. Tenang, masih ada nanti malam. Sekarang fokus dulu sama acaranya, ya?" ucap seorang pria yang berlagak dengan gemulai. Willy yang ternyata tertangkap basah melihat Nura pun berdehem sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Wajahnya pun memerah, tampak sekali kalau pria itu tengah menahan malu. "Ya, itu hak saya dong. Dia kan sudah jadi istri saya," ucap Willy menjawab, membuat dua perias yang tengah menangani Nura pun terkekeh. "Pengantin prianya ternyata cinta mati nih, sama pengantin wanita. Bener ngga
Keesokan harinya, Nuri sudah bersiap dan rapi. Dia akan menghadiri sidang perceraiannya dengan Dika. Namun saat dia keluar, tiba-tiba saja Fatma menghentikan langkah Nuri."Nuri, kamu mau ke mana? Pagi-pagi gini sudah rapi pula. Apa mau kursus?" tanya Fatma sembari meneliti penampilan anaknya. Wanita paruh baya itu merasa ada yang aneh dengan Nuri, terlebih akhir-akhir ini sering terdiam dan melamun sendiri. Walaupun Nuri berkata tidak ada apa-apa dan baik-baik saja, tetapi firasatnya sebagai seorang ibu mengatakan kalau saat ini Nuri sedang menghadapi masalah besar. "Oh iya, kebetulan mau ketemu sama temen, Bu sebelum kursus. Ada hal penting yang mau kami bicarakan. Tidak lama, kok. Sebelum sore, aku sudah pulang," jawab Nuri berbohong. Dalam hati dia merutuki diri dan memohon ampun kepada Tuhan, karena sudah berani berbohong kepada ibunya sendiri. Namun bagaimana lagi? Hanya ini cara satu-satunya untuk menyembunyikan perceraiannya dengan Dika. Entah bagaimana reaksi ibunya jika t
"Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Daniel kepada Nuri. Setelah mereka keluar dari pengadilan, keduanya sedang berjalan-jalan di taman kota. Ini sesuai dengan tawaran Daniel kepada Nuri. Awalnya Nuri ingin segera pulang dan mengurung diri di kamar, mengeluarkan sisa-sisa perasaan kesal dan sedihnya kepada Dika. Namun, ajakan Daniel juga menggiurkan, karena mungkin dia bisa melepas beban di taman dengan melihat berbagai macam tanaman dan menghirup aroma segar dari udara yang bersih."Kamu mau jawaban yang jujur atau bohong?" tanya Nuri sengaja mancing kekesalan Daniel. Dari tadi, mantan kekasihnya itu terus saja mengucapkan hal-hal yang membuat Nuri kesal dan tidak habis pikir. Daniel mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu, seperti tengah memikirkan sesuatu. "Kalau begitu yang bohongnya saja dulu, deh," jawab Daniel membuat Nuri menaikkan sebelah alisnya. "Sebenarnya, aku bahagia karena bisa terbebas dari Dika," terang Nuri membuat Daniel terdiam, bahkan pria itu menghentikan
Siang hari, matahari terlihat begitu terik. Dika yang sedang duduk santai di ruang keluarga pun mengernyit heran saat mendengar pintu utama rumahnya diketuk. Pasalnya, dirinya tidak memiliki janji dengan siapa pun. Dan memang hari ini dirinya sedang berada di rumah karena hari libur. Di rumah yang cukup besar ini pun, Dika sendirian. Tidak ada Nuri ataupun anggota keluarganya, seperti mamanya. Perceraian yang ia lakukan dengan Nuri, membuat mamanya kecewa karena ia tidak bisa mempertahankan Nuri. Kalau memang tidak cinta, maka memang sangatlah susah untuk memulai semuanya dari awal. Ia dan Nuri sudah sama-sama selesai dan perpisahan mereka dilakukan dengan baik dan atas kesadaran masing-masing. Masalah pakaian mantan istrinya itu yang masih ada di lemari pakaian, tidak terlalu ia ambil pusing. Seteleh Bu Fatma nanti ikut Willy, maka ia bisa mengantar pakaian mantan istrinya itu.Dengan segera, Dika berdiri dan menggelengkan kepalanya saat ingatan itu kembali teringat di pikirannya
Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift
Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu
"Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad
Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can
"Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang
115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin
Dika tidak bisa melupakan kata-kata mamanya kemarin. Tentu saja tentang Nuri, bukan tentang Tika. Kalau hal yang berhubungan dengan Tika, Dika sudah tidak heran lagi. Ia sudah menyaksikan sendiri betapa menjengkelkannya sang istri. "Apakah aku harus datang sendiri untuk memastikannya?" Dika bertanya kepada dirinya sendiri. Tanpa bisa dipungkiri, Dika merasa iba kepada Nuri kalau memang mantan istrinya itu diperlakukan seperti babu oleh keluarga suaminya. Padahal saat masih menjadi istrinya dulu, setidaknya Dika tidak pernah melihat mamanya memperlakukan Nuri dengan buruk. "Iya, sepertinya aku memang harus datang ke sana," tekad Dika. Berbekal alibi mereka adalah ipar, Dika pun nekat ingin menemui Nuri di rumah Daniel. Ia sengaja tidak memberitahukan hal tersebut kepada ibunya, apalagi kepada Tika. Bisa-bisa Tika guling-guling di depannya kalau sampai ia meminta izin untuk hal yang satu itu. "Din, saya minta alamat Nuri dong!" pinta Dika ketika menemui Udin. "Loh, buat apa, Pak?"
"Aduh, kenapa halaman depan masih banyak daun jatuh, ya, Nuri? Bukannya saya udah sempat nyuruh kamu bersihin, ya? Kalau sampai ada tamu penting yang datang bagaimana? Mereka bisa ilfeel melihatnya!" Mendapati pertanyaan seperti itu saat sedang sarapan, membuat Nuri kesusahan menelan air yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Untung saja cairan itu tidak menyembur ke wajah Bu Cici. "Maaf, Ma. Saya sudah bersihkan halaman semalam, kok. Namanya juga ada pohon hidup, Ma. Wajar kalau ada daun yang jatuh lagi," jawab Nuri setelah berhasil menelan minumannya. "Berarti harusnya kamu inisiatif, dong, bersihin subuh-subuh. Jadi waktu saya bangun, halamannya sudah bersih. Saya kan jadi tidak perlu buang-buang waktu buat negur kamu." Nuri menghela napas panjang. Ingin membalas ucapan sang Mertua, tetapi malas berdebat. Alhasil, ia pun mengalah. "Baik, Ma. Setelah sarapan saya bersihkan halamannya.""Ya, udah, yang cepat sarapannya. Jangan sengaja lama-lamain karena malas mengurus rumah!" Nuri
Tika sedang berada di boncengan motor suaminya. Seperti biasa, Tika memeluk tubuh Dika terlalu erat, sehingga pria itu tidak nyaman. Napasnya terasa sesak, sehingga mengakibatkan Dika tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak begitu saja polisi tidur, hingga Tika terguncang. "Mas, pelan dong!" protesnya. "Kamu juga jangan kuat-kuat peluk saya. Napas saya jadi sesak. Saya gak fokus bawa motor!" omel Dika balik. "Bukannya lelaki itu suka kalau dipeluk erat istri, ini malah protes!" Dika menghentikan motornya di pinggir trotoar. Lalu pria itu menoleh ke belakang dengan wajah marah. "Sekali lagi kamu balikin ucapan saya, kamu turun di jalan! Kita mau ke dokter, jadi jangan rusak suasana!" Tika terdiam sambil menunduk. Di dalam hatinya masih sangat kesal dengan Dika, tetapi justru ia juga semakin cinta. Apalagi setelah melihat senjata suaminya secara tidak sengaja yang seguede timun suri. Membayangkan benda itu masuk ke miliknya, membuat Tika bergetar, sekaligus bergi