Waktu bergulir dengan cepat, sampai tidak terasa sudah menjelang sore. Sekarang resepsi pernikahan tengah digelar. Semua kerabat, keluarga pun berganti pakaian, terutama Nura dan Willy. Pengantin wanita itu tampak berdebar saat dirinya satu kamar dengan Willy. Padahal mereka hanya ingin berganti pakaian saja.Sesekali Willy mencuri pandang kepada Nura, sementara itu perias malah menggoda kedua pengantin itu, membuat Nura menunduk malu. "Nggak begitu juga lihatnya, dong, Mas. Tenang, masih ada nanti malam. Sekarang fokus dulu sama acaranya, ya?" ucap seorang pria yang berlagak dengan gemulai. Willy yang ternyata tertangkap basah melihat Nura pun berdehem sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Wajahnya pun memerah, tampak sekali kalau pria itu tengah menahan malu. "Ya, itu hak saya dong. Dia kan sudah jadi istri saya," ucap Willy menjawab, membuat dua perias yang tengah menangani Nura pun terkekeh. "Pengantin prianya ternyata cinta mati nih, sama pengantin wanita. Bener ngga
Keesokan harinya, Nuri sudah bersiap dan rapi. Dia akan menghadiri sidang perceraiannya dengan Dika. Namun saat dia keluar, tiba-tiba saja Fatma menghentikan langkah Nuri."Nuri, kamu mau ke mana? Pagi-pagi gini sudah rapi pula. Apa mau kursus?" tanya Fatma sembari meneliti penampilan anaknya. Wanita paruh baya itu merasa ada yang aneh dengan Nuri, terlebih akhir-akhir ini sering terdiam dan melamun sendiri. Walaupun Nuri berkata tidak ada apa-apa dan baik-baik saja, tetapi firasatnya sebagai seorang ibu mengatakan kalau saat ini Nuri sedang menghadapi masalah besar. "Oh iya, kebetulan mau ketemu sama temen, Bu sebelum kursus. Ada hal penting yang mau kami bicarakan. Tidak lama, kok. Sebelum sore, aku sudah pulang," jawab Nuri berbohong. Dalam hati dia merutuki diri dan memohon ampun kepada Tuhan, karena sudah berani berbohong kepada ibunya sendiri. Namun bagaimana lagi? Hanya ini cara satu-satunya untuk menyembunyikan perceraiannya dengan Dika. Entah bagaimana reaksi ibunya jika t
"Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Daniel kepada Nuri. Setelah mereka keluar dari pengadilan, keduanya sedang berjalan-jalan di taman kota. Ini sesuai dengan tawaran Daniel kepada Nuri. Awalnya Nuri ingin segera pulang dan mengurung diri di kamar, mengeluarkan sisa-sisa perasaan kesal dan sedihnya kepada Dika. Namun, ajakan Daniel juga menggiurkan, karena mungkin dia bisa melepas beban di taman dengan melihat berbagai macam tanaman dan menghirup aroma segar dari udara yang bersih."Kamu mau jawaban yang jujur atau bohong?" tanya Nuri sengaja mancing kekesalan Daniel. Dari tadi, mantan kekasihnya itu terus saja mengucapkan hal-hal yang membuat Nuri kesal dan tidak habis pikir. Daniel mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu, seperti tengah memikirkan sesuatu. "Kalau begitu yang bohongnya saja dulu, deh," jawab Daniel membuat Nuri menaikkan sebelah alisnya. "Sebenarnya, aku bahagia karena bisa terbebas dari Dika," terang Nuri membuat Daniel terdiam, bahkan pria itu menghentikan
Siang hari, matahari terlihat begitu terik. Dika yang sedang duduk santai di ruang keluarga pun mengernyit heran saat mendengar pintu utama rumahnya diketuk. Pasalnya, dirinya tidak memiliki janji dengan siapa pun. Dan memang hari ini dirinya sedang berada di rumah karena hari libur. Di rumah yang cukup besar ini pun, Dika sendirian. Tidak ada Nuri ataupun anggota keluarganya, seperti mamanya. Perceraian yang ia lakukan dengan Nuri, membuat mamanya kecewa karena ia tidak bisa mempertahankan Nuri. Kalau memang tidak cinta, maka memang sangatlah susah untuk memulai semuanya dari awal. Ia dan Nuri sudah sama-sama selesai dan perpisahan mereka dilakukan dengan baik dan atas kesadaran masing-masing. Masalah pakaian mantan istrinya itu yang masih ada di lemari pakaian, tidak terlalu ia ambil pusing. Seteleh Bu Fatma nanti ikut Willy, maka ia bisa mengantar pakaian mantan istrinya itu.Dengan segera, Dika berdiri dan menggelengkan kepalanya saat ingatan itu kembali teringat di pikirannya
Selesai dengan kegembiraannya karena berhasil untuk kembali bekerja di rumah Dika, Tika segera masuk ke dalam rumah Dika. Rumah yang beberapa waktu lalu sebenarnya sudah pernah dirinya tempati. Namun, tentu saja sebagai seorang pembantu dan kini pun sama. Dirinya kembali ke rumah itu dengan status pembantu rumah tangga. Dalam hati, Tika terus menyemangati dirinya jika tidak lama lagi dirinya akan menjadi seseorang yang penting dalam rumah ini. Ya, Tika bertekad untuk itu. Dirinya akan melakukan apa pun untuk mendapatkan sesuatu yang dirinya inginkan. Terlebih dirinya sudah mendapatkan sesuatu yang akan membantu rencananya itu. Tika menghampiri Dika yang sedang duduk santai di depan televisi. Dan entah untuk keberapa kalinya, Tika mengagumi ketampanan majikannya itu. Di mata Tika, Dika benar-benar mempesona. Tika pun selalu ingin menatap wajah tampan itu. Namun, lagi-lagi dirinya disadarkan oleh kenyataan di mana dirinya hanya seorang pembantu. Sedangkan Dika adalah majikann
Sungguh, Tika merasa jatuh cinta berlipat-lipat setelah melihat senyuman lebar dan kekehan Dika. Tika merasa jika semua yang terjadi padanya adalah mimpi. Mimpi yang membuatnya merasa begitu beruntung dan jika bisa meminta maka dirinya akan lebih memilih untuk tetap tertidur agar bisa melihat senyuman lebar milik Dika itu secara terus-menerus. "Kamu cantik, Tika." Dika memuji Tika, tangan kekarnya bahkan mengelus lembut pipi Tika. "Ya Tuhan, aku tidak sedang bermimpi." Tika berbisik dalam hati. Tadinya dirinya memang mengira jika semua yang terjadi adalah bunga tidurnya. Namun, setelah mendapatkan ucapan lembut di pipinya, Tika sadar jika semua yang terjadi adalah nyata. Tika benar-benar tidak menyangka jika reaksi yang akan ditimbulkan ramuan itu terjadi secepat ini. Tika tersenyum senang, perjuangannya untuk datang ke kampung halamannya tidak sia-sia. Karena sekarang ini, Dika menatap diirnya penuh rasa. "P-pak Dika? Teh hangatnya silakan diminum. Em, kalau begitu saya
Kedekatan Dika dan Tika semakin menjadi. Bahkan kini Tika tidak lagi pulang ke rumahnya karena Dika memintanya untuk tetap tinggal di rumahnya. Kedua sepasang anak manusia itu tidak lagi memikirkan tentang ikatan yang ada, yang mereka peningkatan adalah bagaimana cara mereka menghabiskan waktu bersama. Seperti sekarang ini, Dika dan juga Tika berniat untuk berjalan-jalan. Keduanya sudah merencanakan semua itu sedari tadi malam. "Kenapa lama sekali?" Dika bergumam gusar karena Tika yang tidak juga datang. Padahal dirinya sudah menunggu wanita itu selama setengah jam.Sementara itu, di dalam kamarnya Tika sedang mencari baju yang cocok untuk digunakannya sekarang. "Ke mana baju-bajuku, kenapa tidak ada yang cocok untuk kupakai sekarang?" Tika memekik, karena dirinya tidak juga menemukan pakaian yang menurutnya cocok untuk dirinya pakai. Setelah sekian lama, akhirnya Tika menemukan baju yang menurutnya sedikit cocok. Sebuah dress berwarna biru muda, dengan sneaker berwarna pu
Usai makan dan jalan-jalan bersama, Daniel dan Nuri memutuskan untuk segera pulang. Hubungan keduanya pun sudah semakin dekat. Baik Nuri maupun Daniel, keduanya merasa nyaman saat sedang bersama. Maka dari itu, keduanya semakin sering pergi dan menghabiskan waktu bersama. Semua yang telah dirinya dan Daniel lalui membuat Nuri sedikit lupa akan bagaimana pernikahannya dan Dika yang kandas. Bersama Daniel, Nuri merasa begitu terhibur, dia merasa begitu dihargai dan diistimewakan. Hal itu yang semakin lama membuat Nuri nyaman dan tidak ingin jauh dari Daniel. Di perjalanan pulang, Nuri dan Daniel saling diam. Keduanya sama-sama tengah memikirkan sesuatu yang selama ini menjadi beban bagi keduanya. Bagaimana tidak, orang tua Daniel masih tetap kekeh untuk menjodohkan laki-laki dengan seorang gadis kaya bernama Angel. Sedangkan saat ini Daniel sedang menjalin hubungan dengan Nuri. Bahkan Daniel pun begitu mencintai Nuri. Apalgi setelah mengetahui Nuri resmi menjanda, pasti peluang un
Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift
Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu
"Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad
Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can
"Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang
115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin
Dika tidak bisa melupakan kata-kata mamanya kemarin. Tentu saja tentang Nuri, bukan tentang Tika. Kalau hal yang berhubungan dengan Tika, Dika sudah tidak heran lagi. Ia sudah menyaksikan sendiri betapa menjengkelkannya sang istri. "Apakah aku harus datang sendiri untuk memastikannya?" Dika bertanya kepada dirinya sendiri. Tanpa bisa dipungkiri, Dika merasa iba kepada Nuri kalau memang mantan istrinya itu diperlakukan seperti babu oleh keluarga suaminya. Padahal saat masih menjadi istrinya dulu, setidaknya Dika tidak pernah melihat mamanya memperlakukan Nuri dengan buruk. "Iya, sepertinya aku memang harus datang ke sana," tekad Dika. Berbekal alibi mereka adalah ipar, Dika pun nekat ingin menemui Nuri di rumah Daniel. Ia sengaja tidak memberitahukan hal tersebut kepada ibunya, apalagi kepada Tika. Bisa-bisa Tika guling-guling di depannya kalau sampai ia meminta izin untuk hal yang satu itu. "Din, saya minta alamat Nuri dong!" pinta Dika ketika menemui Udin. "Loh, buat apa, Pak?"
"Aduh, kenapa halaman depan masih banyak daun jatuh, ya, Nuri? Bukannya saya udah sempat nyuruh kamu bersihin, ya? Kalau sampai ada tamu penting yang datang bagaimana? Mereka bisa ilfeel melihatnya!" Mendapati pertanyaan seperti itu saat sedang sarapan, membuat Nuri kesusahan menelan air yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Untung saja cairan itu tidak menyembur ke wajah Bu Cici. "Maaf, Ma. Saya sudah bersihkan halaman semalam, kok. Namanya juga ada pohon hidup, Ma. Wajar kalau ada daun yang jatuh lagi," jawab Nuri setelah berhasil menelan minumannya. "Berarti harusnya kamu inisiatif, dong, bersihin subuh-subuh. Jadi waktu saya bangun, halamannya sudah bersih. Saya kan jadi tidak perlu buang-buang waktu buat negur kamu." Nuri menghela napas panjang. Ingin membalas ucapan sang Mertua, tetapi malas berdebat. Alhasil, ia pun mengalah. "Baik, Ma. Setelah sarapan saya bersihkan halamannya.""Ya, udah, yang cepat sarapannya. Jangan sengaja lama-lamain karena malas mengurus rumah!" Nuri
Tika sedang berada di boncengan motor suaminya. Seperti biasa, Tika memeluk tubuh Dika terlalu erat, sehingga pria itu tidak nyaman. Napasnya terasa sesak, sehingga mengakibatkan Dika tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak begitu saja polisi tidur, hingga Tika terguncang. "Mas, pelan dong!" protesnya. "Kamu juga jangan kuat-kuat peluk saya. Napas saya jadi sesak. Saya gak fokus bawa motor!" omel Dika balik. "Bukannya lelaki itu suka kalau dipeluk erat istri, ini malah protes!" Dika menghentikan motornya di pinggir trotoar. Lalu pria itu menoleh ke belakang dengan wajah marah. "Sekali lagi kamu balikin ucapan saya, kamu turun di jalan! Kita mau ke dokter, jadi jangan rusak suasana!" Tika terdiam sambil menunduk. Di dalam hatinya masih sangat kesal dengan Dika, tetapi justru ia juga semakin cinta. Apalagi setelah melihat senjata suaminya secara tidak sengaja yang seguede timun suri. Membayangkan benda itu masuk ke miliknya, membuat Tika bergetar, sekaligus bergi