Kedekatan Dika dan Tika semakin menjadi. Bahkan kini Tika tidak lagi pulang ke rumahnya karena Dika memintanya untuk tetap tinggal di rumahnya. Kedua sepasang anak manusia itu tidak lagi memikirkan tentang ikatan yang ada, yang mereka peningkatan adalah bagaimana cara mereka menghabiskan waktu bersama. Seperti sekarang ini, Dika dan juga Tika berniat untuk berjalan-jalan. Keduanya sudah merencanakan semua itu sedari tadi malam. "Kenapa lama sekali?" Dika bergumam gusar karena Tika yang tidak juga datang. Padahal dirinya sudah menunggu wanita itu selama setengah jam.Sementara itu, di dalam kamarnya Tika sedang mencari baju yang cocok untuk digunakannya sekarang. "Ke mana baju-bajuku, kenapa tidak ada yang cocok untuk kupakai sekarang?" Tika memekik, karena dirinya tidak juga menemukan pakaian yang menurutnya cocok untuk dirinya pakai. Setelah sekian lama, akhirnya Tika menemukan baju yang menurutnya sedikit cocok. Sebuah dress berwarna biru muda, dengan sneaker berwarna pu
Usai makan dan jalan-jalan bersama, Daniel dan Nuri memutuskan untuk segera pulang. Hubungan keduanya pun sudah semakin dekat. Baik Nuri maupun Daniel, keduanya merasa nyaman saat sedang bersama. Maka dari itu, keduanya semakin sering pergi dan menghabiskan waktu bersama. Semua yang telah dirinya dan Daniel lalui membuat Nuri sedikit lupa akan bagaimana pernikahannya dan Dika yang kandas. Bersama Daniel, Nuri merasa begitu terhibur, dia merasa begitu dihargai dan diistimewakan. Hal itu yang semakin lama membuat Nuri nyaman dan tidak ingin jauh dari Daniel. Di perjalanan pulang, Nuri dan Daniel saling diam. Keduanya sama-sama tengah memikirkan sesuatu yang selama ini menjadi beban bagi keduanya. Bagaimana tidak, orang tua Daniel masih tetap kekeh untuk menjodohkan laki-laki dengan seorang gadis kaya bernama Angel. Sedangkan saat ini Daniel sedang menjalin hubungan dengan Nuri. Bahkan Daniel pun begitu mencintai Nuri. Apalgi setelah mengetahui Nuri resmi menjanda, pasti peluang un
"Nuri, kamu belum menceritakan perceraian kamu pada Bu Fatma?" tanya Bu Widya saat wanita itu mengantar Nuri balik ke rumah. Nuri menggeleng."Saya sudah titip Willy, Ma. Willy yang akan bercerita pada ibu nanti, saat mereka sudah selesai mengurus kepindahan di sana." Bu Widya mengangguk paham. Sungguh luar biasa, saat sebuah perceraian bisa ditutupi dari orang tua. Untunglah semua dapat bekerja sama dengan baik, sehingga Bu Fatma benar-benar tidak tahu. Nura pun sama, adiknya itu juga belum mengetahui perihal perceraian. Nura hanya tahu, bahwa kakaknya dan Dika tidak terlalu akur. Tidak mesra ataupun manis seperti rumah tangga baru di luaran sana, tetapi untuk perceraian adiknya itu sama sekali belum tahu. "Jadi, kamu nanti akan tinggal di mana? Rumah Nura akan direnovasi dan kamu belum ada tempat tinggalkan?""Mama baik banget mengkhawatirkan saya. InsyaAllah hari ini, sore saya akan pindah, Ma. Gak jauh kok, dekat tempat kerja." Bu Widya menoleh dengan kaget. Ia tidak tahu sejak
"Mas kapan akan cerita ke Bu Widya tentang hubungan kita?" tanya Tika saat ia tengah menemani Dika makan malam. "Saya belum sempat ke sana, tapi pasti saya akan cerita. Saya gak mungkin terlalu terburu-buru, apalagi akta cerai saya mungkin baru minggu depan bisa diambil." Tika menghela napas. Ia ingin buru-buru dikenalkan sebagai wanita spesial Dika, tetapi pria di depannya ini sangat lamban dan terlalu hati-hati. "Kalau memang Mas niat serius, pacaran kita jangan lama-lama. Saya ingin segera dihalalkan.""Tentu saja saya serius, Tika. Saya juga mau menikahi kamu, tetapi semuanya gak bisa buru-buru. Sabar ya, Sayang." Tika masih cemberut, padahal hatinya saat ini tengah berbunga-bunga dengan panggilan sayang yang Dika ucapkan. Gadis itu masih penasaran dengan khasiat jampe Mirna. Apakah bisa membuat Dika bucin berat seperti kerbau dicucuk hidung? "Jadinya kapan?" tanya Tika lagi. "Sabar, saya makan aja belom selesai, kamu ajak saya bicara terus, tunggu ya, Tika." Dengan wajah sem
Di hari yang sama, Nuri bangun pagi-pagi sekali. Ia membuat sarapan roti yang diolesin selai saja untuk mengganjal perut. Ia tidak sempat memasak yang lebih rumit karena hari ini ia harus pergi ke pasar. Masih ada beberapa bahan yang harus ia siapkan sebelum hari sabtu nanti ia pembukaan warung baso miliknya. Bu Widya tidak bisa mengantar Nuri belanja hari ini karena suaminya sedang tidak enak badan dan juga pembantu di rumahnya sedang pulang kampung. Bagi Nuri tidak masalah, karena kemarin Bu Widya sudah mengantarnya berbelanja perabotan masak. Tok! Tok! "Assalamu'alaikum, Mbak Nuri!" Suara lelaki yang menyeru namanya, membuat Nuri dengan cepat menghabiskan rotinya. "Wa'alaykumussalam, tunggu!" Jawaban Nuri dengan mulut penuh. Ia bergegas membukakan pintu untuk Udin. "Alhamdulillah udah datang. Kamu udah sarapan, Din?" tanya Nuri sambil mempersilakan Udin masuk. "Udah, Mbak, sarapan lontong isi oncom pakai sambal kacang. Ini saya bawakan dua potong untuk Mbak Nuri, berikut samb
"Siapa, Mbak? Penunggu rumah mantan ya? Yang rambutnya panjang, bau bawang, ada tahi lalat gede di bawah bibir?" tanya Udin saat Nuri baru saja menutup sepihak panggilan dari Tika. "Iya, si Kecentilan itu." Nuri cemberut. "Bagus kalau Mbak berani balas. Lagi deket sama Pak Dika ya?" Nuri menoleh kaget. Dari mana Udin tahu? Apa Udin pernah melihat Dika dengan Tika? Kalau begitu, apa Bu Widya juga sudah tahu. "Kamu tahu dari mana? Jangan asal bicara, Din!" balas Nuri masih mencoba menutupi. Padahal seharusnya ia tidak peduli dengan apa yang mau dilakukan Dika dan Tika, tetapi rasanya memang belum ikhlas seratus persen. "Anak-anak di laundry yang bilang. Pertama, dia anter pakaian untuk disetrika ke laundry. Biasanya hanya pakaian Pak Dika saja, ini ada pakaian dia juga di tumpukan kain itu. Segala sempak udah pada melar kainnya maunya disetrika. Kedua, anak-anak pernah melihat Pak Dika membonceng wanita angker itu. Dipeluk erat gitu, kayak orang kampung. Idih, lihat fotonya juga jij
Sejak kemarin Nura sudah tiba di Australia, tepatnya di Canberra yaitu ibu kota Australia yang terletak di Australian Capital Teritory atau 300km sebelah barat Sydney. Canberra adalah kota terbesar ketujug di Australia, meskipun luasnya masih tidak lebih besar dari Jakarta, tetapi tetap saja bagi seorang Nura dan ibunya yang tidak pernah ke mana-mana, tinggal di luar negeri itu berat. Istilah jetlag pun masih dirasakan oleh pengantin baru itu. Nura masih tidur sepanjang hari karena cuacanya begitu dingin. Di rumah yang mereka tinggali memang ada tungku api unggun, tetapi tetap saja rumah terasa dingin. Penghangat ruangan juga ada, tetapi masih tetap terasa dingin bagi Nura dan Bu Fatma. Mungkin Willy lebih siap karena sudah terbiasa ke luar negeri. Perbedaan waktu empat jam lebih cepat Australia dari Jakarta, membuat Nura benar-benar harus menyesuaikan diri. "Mas, kalau di sini udah jam sepuluh malam, di Jakarta jam berapa?" tanya Nura pada suaminya, Willy. Mereka tengah duduk di a
Obat ini harus aku segera berikan pada Dika, biar kami bisa bercinta dan akhirnya Dika bisa menikahi ku dengan cepat. Jika aku hamil, maka Bu Widya tidak mungkin tidak setuju. Satu-satunya penghalang utama saat ini adalah calon mertuaku, oleh karena itu, aku harus bergerak cepat. Batin Tika yang saat ini tengah memandangi wajah Dika yang tengah serius menonton acara televisi. "Sayang, tadi saya beresin lemari baju, terus masih ada baju Nuri di sana. Kenapa gak dikembalikan saja atau di buang mungkin?" tanya Tika saat tengah menemani kekasihnya menonton televisi. Dika menoleh kaget. "Dibuang? Saya belinya bukan pakai bulu idung, tapi pakai duit, Sayang. Lagian baju yang ada di lemari itu, belum pernah dipakai Nuri. Kalau kamu mau pakai, pakai saja!" Jawab Dika santai. Namun, bagi Tika, jawaban dari Dika lagi-lagi melukai hatinya. "Oh, gitu, kenapa gak dibawain aja sekalian, kenapa masih ditinggalin di lemari." Dika yang nampak sebal, menekan remot TV hingga akhirnya padam. "Lupa, a
Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift
Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu
"Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad
Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can
"Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang
115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin
Dika tidak bisa melupakan kata-kata mamanya kemarin. Tentu saja tentang Nuri, bukan tentang Tika. Kalau hal yang berhubungan dengan Tika, Dika sudah tidak heran lagi. Ia sudah menyaksikan sendiri betapa menjengkelkannya sang istri. "Apakah aku harus datang sendiri untuk memastikannya?" Dika bertanya kepada dirinya sendiri. Tanpa bisa dipungkiri, Dika merasa iba kepada Nuri kalau memang mantan istrinya itu diperlakukan seperti babu oleh keluarga suaminya. Padahal saat masih menjadi istrinya dulu, setidaknya Dika tidak pernah melihat mamanya memperlakukan Nuri dengan buruk. "Iya, sepertinya aku memang harus datang ke sana," tekad Dika. Berbekal alibi mereka adalah ipar, Dika pun nekat ingin menemui Nuri di rumah Daniel. Ia sengaja tidak memberitahukan hal tersebut kepada ibunya, apalagi kepada Tika. Bisa-bisa Tika guling-guling di depannya kalau sampai ia meminta izin untuk hal yang satu itu. "Din, saya minta alamat Nuri dong!" pinta Dika ketika menemui Udin. "Loh, buat apa, Pak?"
"Aduh, kenapa halaman depan masih banyak daun jatuh, ya, Nuri? Bukannya saya udah sempat nyuruh kamu bersihin, ya? Kalau sampai ada tamu penting yang datang bagaimana? Mereka bisa ilfeel melihatnya!" Mendapati pertanyaan seperti itu saat sedang sarapan, membuat Nuri kesusahan menelan air yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Untung saja cairan itu tidak menyembur ke wajah Bu Cici. "Maaf, Ma. Saya sudah bersihkan halaman semalam, kok. Namanya juga ada pohon hidup, Ma. Wajar kalau ada daun yang jatuh lagi," jawab Nuri setelah berhasil menelan minumannya. "Berarti harusnya kamu inisiatif, dong, bersihin subuh-subuh. Jadi waktu saya bangun, halamannya sudah bersih. Saya kan jadi tidak perlu buang-buang waktu buat negur kamu." Nuri menghela napas panjang. Ingin membalas ucapan sang Mertua, tetapi malas berdebat. Alhasil, ia pun mengalah. "Baik, Ma. Setelah sarapan saya bersihkan halamannya.""Ya, udah, yang cepat sarapannya. Jangan sengaja lama-lamain karena malas mengurus rumah!" Nuri
Tika sedang berada di boncengan motor suaminya. Seperti biasa, Tika memeluk tubuh Dika terlalu erat, sehingga pria itu tidak nyaman. Napasnya terasa sesak, sehingga mengakibatkan Dika tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak begitu saja polisi tidur, hingga Tika terguncang. "Mas, pelan dong!" protesnya. "Kamu juga jangan kuat-kuat peluk saya. Napas saya jadi sesak. Saya gak fokus bawa motor!" omel Dika balik. "Bukannya lelaki itu suka kalau dipeluk erat istri, ini malah protes!" Dika menghentikan motornya di pinggir trotoar. Lalu pria itu menoleh ke belakang dengan wajah marah. "Sekali lagi kamu balikin ucapan saya, kamu turun di jalan! Kita mau ke dokter, jadi jangan rusak suasana!" Tika terdiam sambil menunduk. Di dalam hatinya masih sangat kesal dengan Dika, tetapi justru ia juga semakin cinta. Apalagi setelah melihat senjata suaminya secara tidak sengaja yang seguede timun suri. Membayangkan benda itu masuk ke miliknya, membuat Tika bergetar, sekaligus bergi