"Siapa, Mbak? Penunggu rumah mantan ya? Yang rambutnya panjang, bau bawang, ada tahi lalat gede di bawah bibir?" tanya Udin saat Nuri baru saja menutup sepihak panggilan dari Tika. "Iya, si Kecentilan itu." Nuri cemberut. "Bagus kalau Mbak berani balas. Lagi deket sama Pak Dika ya?" Nuri menoleh kaget. Dari mana Udin tahu? Apa Udin pernah melihat Dika dengan Tika? Kalau begitu, apa Bu Widya juga sudah tahu. "Kamu tahu dari mana? Jangan asal bicara, Din!" balas Nuri masih mencoba menutupi. Padahal seharusnya ia tidak peduli dengan apa yang mau dilakukan Dika dan Tika, tetapi rasanya memang belum ikhlas seratus persen. "Anak-anak di laundry yang bilang. Pertama, dia anter pakaian untuk disetrika ke laundry. Biasanya hanya pakaian Pak Dika saja, ini ada pakaian dia juga di tumpukan kain itu. Segala sempak udah pada melar kainnya maunya disetrika. Kedua, anak-anak pernah melihat Pak Dika membonceng wanita angker itu. Dipeluk erat gitu, kayak orang kampung. Idih, lihat fotonya juga jij
Sejak kemarin Nura sudah tiba di Australia, tepatnya di Canberra yaitu ibu kota Australia yang terletak di Australian Capital Teritory atau 300km sebelah barat Sydney. Canberra adalah kota terbesar ketujug di Australia, meskipun luasnya masih tidak lebih besar dari Jakarta, tetapi tetap saja bagi seorang Nura dan ibunya yang tidak pernah ke mana-mana, tinggal di luar negeri itu berat. Istilah jetlag pun masih dirasakan oleh pengantin baru itu. Nura masih tidur sepanjang hari karena cuacanya begitu dingin. Di rumah yang mereka tinggali memang ada tungku api unggun, tetapi tetap saja rumah terasa dingin. Penghangat ruangan juga ada, tetapi masih tetap terasa dingin bagi Nura dan Bu Fatma. Mungkin Willy lebih siap karena sudah terbiasa ke luar negeri. Perbedaan waktu empat jam lebih cepat Australia dari Jakarta, membuat Nura benar-benar harus menyesuaikan diri. "Mas, kalau di sini udah jam sepuluh malam, di Jakarta jam berapa?" tanya Nura pada suaminya, Willy. Mereka tengah duduk di a
Obat ini harus aku segera berikan pada Dika, biar kami bisa bercinta dan akhirnya Dika bisa menikahi ku dengan cepat. Jika aku hamil, maka Bu Widya tidak mungkin tidak setuju. Satu-satunya penghalang utama saat ini adalah calon mertuaku, oleh karena itu, aku harus bergerak cepat. Batin Tika yang saat ini tengah memandangi wajah Dika yang tengah serius menonton acara televisi. "Sayang, tadi saya beresin lemari baju, terus masih ada baju Nuri di sana. Kenapa gak dikembalikan saja atau di buang mungkin?" tanya Tika saat tengah menemani kekasihnya menonton televisi. Dika menoleh kaget. "Dibuang? Saya belinya bukan pakai bulu idung, tapi pakai duit, Sayang. Lagian baju yang ada di lemari itu, belum pernah dipakai Nuri. Kalau kamu mau pakai, pakai saja!" Jawab Dika santai. Namun, bagi Tika, jawaban dari Dika lagi-lagi melukai hatinya. "Oh, gitu, kenapa gak dibawain aja sekalian, kenapa masih ditinggalin di lemari." Dika yang nampak sebal, menekan remot TV hingga akhirnya padam. "Lupa, a
"Wa'alaykumussalam, Pak Hendri. Wah cepat sekali, Pak. Alhamdulillah, terima kasih atas bantuan Bapak.""Sama-sama, Bu, kami yang terima kasih karena sudah diinformasikan bahwa ada pasangan bukan muhrim tinggal dalam satu rumah.""Ya, Pak, sama-sama. Semoga Tika tidak nekat kembali lagi ya, Pak. Saya titip mantan suami saya, Pak. Meskipun sudah mantan, tapi saya dan Dika masih silaturahmi.""Baik, Bu Nuri, saya akan pastikan Mbak Tika gak akan kembali ke rumah Pak Dika sebelum mereka halal.""Baik, Pak, sekali lagi terima kasih."Nuri tersenyum puas setelah menutup panggilan dari Pak Hendri. Akhirnya malam ini ia bisa tidur nyenyak karena Tika sudah tidak berada di rumah Dika. Cemburu? Aku cemburu? Ya ampun, bukan itu. Aku tahu Tika itu orang yang nekat dan terakhir kali insiden Dika hampir mengambil kegadisanku, pria itu begitu liat dan tidak terkendali. Ia sempat menuduh aku yang kasih obat perangsang pada minumannya, padahal aku ini wanita sederhana yang amat bolos dengan hati dan
Nuri sampai menahan napas cukup lama saat Bu Widya mencicipi baso buatannya. Wanita paruh baya itu mengunyah pelan dan nampak begitu menikmati. Bu Widya mengangkat wajahnya menatap Nuri, tapi tanpa berkata-kata. Wanita itu menyantap baso tanpa gangguan dan tanpa komentar. Nuri menunggu dengan sabar sampai isi mangkuk habis, berikut dengan kuahnya. "Nuri ini.... " wajah Nuri mulai pias. Apakah masakannya tidak enak? Apakah gagal? Apa yang harus ia lakukan jika gagal? Bu Widya mengulurkan mangkuk baso kosong pada Nuri. "Ma, maaf kalau tidak enak." Nuri sekuat tenaga menahan tangis. "Kata siapa tidak enak? Justru Mama mau minta tambah. Satu mangkuk lagi ya!" Nuri terdiam dengan mulut setengah terbuka. Ia tidak percaya Bu Widya malah minta nambah. "Eh, kenapa bengong? Ayo, cepat, Mama mau makan lagi basonya. Kalau kamu masak banyak, Mama beli deh, bungkusin dua belas. Masing-masing baso empat biji saja kalau cukup. Mama mau latihan qosidah nanti malam, biar Mama bawakan untuk teman-t
"Mas pokoknya harus cerita hari ini sama Bu Widya kalau Mas sedang dekat dengan saya!" "Iya, Tika, setelah meeting, saya akan ke rumah mama untuk bercerita tentang hubungan kita.""Bagus, terima kasih, Mas. Saya tunggu kabar baik dari, Mas. Hati-hati di jalan ya.""Oke." Dika memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia pun naik ke atas motor dan siap berkendara menuju rumah sang Mama. Ia baru saja selesai meeting sore di sebuah restoran yang sangat kebetulan sekali berjarak tidak jauh dari rumah Bu Widya. Rumah mamanya sedang ramai orang. Ia bisa melihat dari kejauhan pintu gerbang yang terbuka, serta pukulan pada alat musik rebana yang mengalun merdu serta nyaring berasal dari rumahnya. Merasa sungkan karena mamanya sedang banya tamu, Dika melewati begitu saja rumah orang tuanya. Motornya malah diarahkan rumah Nura. Ia akan numpang beristirahat sejenak di sana sambil menunggu acara mamanya selesai. Namun, Dika terkejut saat mendapati di depan rumah Nura, ada tumpukan pasir, sert
Saat adzan subuh berkumandang, Bu Widya membangunkan Dika. Emosi tadi malam belum tuntas, justru api amarah itu masih menumpuk di dadanya. Ia harus meminta penjelasan detail dari Dika, tentang hubungan putranya itu dengan Tika. Tidak akan bisa tidur nyenyak dirinya jika Dika benar-benar terjerat Tika. "Dika, bangun! Solat subuh dulu!" Bu Widya mengguncang tubuh Dika. Pria itu bukannya membuka mata, malah ia berbalik badan dan semakin erat memeluk guling. "Dika, bangun!" Kali ini diiringi tepukan di lengan putranya. Dika membuka mata dengan terkejut. "Ada apa, Ma? Udah siang ya?" tanya Dika sambil menggosok matanya. "Masih subuh. Bangun, mandi, dan solat. Kamu semalam tidur masih dalam keadaan kotor dari pulang kerja. Mandi dan solat subuh dulu!" Titah Bu Widya dengan setengah memaksa. Ya, dirinya harus memaksa Dika untuk bersujud pada Tuhannya agar jika memang ada sihir yang mempengaruhi alam bawah sadar putranya, sihir itu bisa segera pergi. "Ayo!" Bu Widya menarik tangan anakny
"Memangnya kamu sudah jadian sama Tika?" tanya Bu Widya "Iya, Ma." Dika menunduk malu. Bu Widya pun terbahak, merasa kecolongan dengan Tika. Jika saja sejak awal pembantu itu ada di rumah putranya dan ia keberatan, pasti tidak akan terjadi hal menjijikkan seperti ini."Ma, biar Dika yang jelaskan pada Tika. Mama jangan menemui Tika karena nanti malah jadi ramai. Mama percaya saya kan?" Dika memohon. "Nggak percaya. Kamu bilang ingin menikahi Nuri dengan alasan sudah jatuh cinta pada dia, tetapi apa, kamu masih tetap saja tidak bisa berpaling pada Nura. Padahal jelas Nura tidak mengetahui perasaan kamu. Lalu sekarang kamu menjalin hubungan dengan keset kamar mandi itu, terus bilang kamu mau beresin? Gak bakalan Mama percaya. Biar Mama yang beresin kesetnya. Pokoknya kamu tidak boleh memiliki hubungan dengan gadis itu, titik! Ayo, kita berangkat!" Bu Widya bergegas mengambil tas selempangnya di kamar. Dika pun akhirnya pasrah. Ia tidak bisa menghubungi Tika untuk memberitahu agar Tika
Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift
Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu
"Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad
Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can
"Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang
115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin
Dika tidak bisa melupakan kata-kata mamanya kemarin. Tentu saja tentang Nuri, bukan tentang Tika. Kalau hal yang berhubungan dengan Tika, Dika sudah tidak heran lagi. Ia sudah menyaksikan sendiri betapa menjengkelkannya sang istri. "Apakah aku harus datang sendiri untuk memastikannya?" Dika bertanya kepada dirinya sendiri. Tanpa bisa dipungkiri, Dika merasa iba kepada Nuri kalau memang mantan istrinya itu diperlakukan seperti babu oleh keluarga suaminya. Padahal saat masih menjadi istrinya dulu, setidaknya Dika tidak pernah melihat mamanya memperlakukan Nuri dengan buruk. "Iya, sepertinya aku memang harus datang ke sana," tekad Dika. Berbekal alibi mereka adalah ipar, Dika pun nekat ingin menemui Nuri di rumah Daniel. Ia sengaja tidak memberitahukan hal tersebut kepada ibunya, apalagi kepada Tika. Bisa-bisa Tika guling-guling di depannya kalau sampai ia meminta izin untuk hal yang satu itu. "Din, saya minta alamat Nuri dong!" pinta Dika ketika menemui Udin. "Loh, buat apa, Pak?"
"Aduh, kenapa halaman depan masih banyak daun jatuh, ya, Nuri? Bukannya saya udah sempat nyuruh kamu bersihin, ya? Kalau sampai ada tamu penting yang datang bagaimana? Mereka bisa ilfeel melihatnya!" Mendapati pertanyaan seperti itu saat sedang sarapan, membuat Nuri kesusahan menelan air yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Untung saja cairan itu tidak menyembur ke wajah Bu Cici. "Maaf, Ma. Saya sudah bersihkan halaman semalam, kok. Namanya juga ada pohon hidup, Ma. Wajar kalau ada daun yang jatuh lagi," jawab Nuri setelah berhasil menelan minumannya. "Berarti harusnya kamu inisiatif, dong, bersihin subuh-subuh. Jadi waktu saya bangun, halamannya sudah bersih. Saya kan jadi tidak perlu buang-buang waktu buat negur kamu." Nuri menghela napas panjang. Ingin membalas ucapan sang Mertua, tetapi malas berdebat. Alhasil, ia pun mengalah. "Baik, Ma. Setelah sarapan saya bersihkan halamannya.""Ya, udah, yang cepat sarapannya. Jangan sengaja lama-lamain karena malas mengurus rumah!" Nuri
Tika sedang berada di boncengan motor suaminya. Seperti biasa, Tika memeluk tubuh Dika terlalu erat, sehingga pria itu tidak nyaman. Napasnya terasa sesak, sehingga mengakibatkan Dika tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak begitu saja polisi tidur, hingga Tika terguncang. "Mas, pelan dong!" protesnya. "Kamu juga jangan kuat-kuat peluk saya. Napas saya jadi sesak. Saya gak fokus bawa motor!" omel Dika balik. "Bukannya lelaki itu suka kalau dipeluk erat istri, ini malah protes!" Dika menghentikan motornya di pinggir trotoar. Lalu pria itu menoleh ke belakang dengan wajah marah. "Sekali lagi kamu balikin ucapan saya, kamu turun di jalan! Kita mau ke dokter, jadi jangan rusak suasana!" Tika terdiam sambil menunduk. Di dalam hatinya masih sangat kesal dengan Dika, tetapi justru ia juga semakin cinta. Apalagi setelah melihat senjata suaminya secara tidak sengaja yang seguede timun suri. Membayangkan benda itu masuk ke miliknya, membuat Tika bergetar, sekaligus bergi