Nuri mencebik saat membaca pesan dari Dika, tentu saja tanpa niat membalasnya. Ia menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celana kulitnya, tersenyum pada Luna yang saat ini sedang menikmati makan siang buatannya. "Keasinan gak, Luna?" tanya Nuri. Luna tak langsung menjawab, gadis itu masih adik terus mengunyah makanan Nuri hingga tandas tak bersisa. "Sempurna, Tante dan mulai besok, setiap ada jadwal kursus, Luna catering sama Tante Nuri aja. Sekalian buat makan sore Luna dan papa ya, Tante. Papa pasti setuju. Masalah bayaran, nanti bisa cincai. Ya, mau ya?" wajah Luna memelas penuh harap."Saya gak pandai masak, Luna. Kalau hari ini rasanya pas, itu kebetulan saja." Nuri tidak ingin GR dengan pujian Luna tetapi ia cukup lega karena masakannya pagi ini tidak keasinan. "Pokoknya, besok mau makan masakan Tante!" Nuri menghela napas. Ingin bersikeras menolak, tetapi tidak tega. Apalagi Luna sampai menjilati jari-jemarinya untuk menghabiskan sisa makanan darinya."Oke, tapi kalau besok
"Buang, Nuri!""Tidak mau, Mas Dika!" Nuri melebarkan bola matanya, lalu bergerak turun dari ranjang. Wanita itu mengambil bunga mawar yang sudah rapi ia tata di atas meja rias, lalu ia bawa keluar kamar. Satu-satunya tempat yang paling aman ia menaruh bunga itu adalah di kamar kerjanya. Dika hanya bisa berdecak kesal melihat Nuri tergolong keluar dari kamar. "Kamu baik-baik di sini dulu ya. Pak Bos lagi datang bulan, jadi labil." Nuri bicara pada bunga mawar yang sudah berada di atas meja kerjanya. Nuri kembali mengunci pintu kamar kerja itu, lalu bergegas ke dapur untuk menghangatkan sayur yang pagi tadi ia masak. Lalu ia juga menyiapkan teh untuk suaminya. Meskipun Dika bersikap semaunya, tetapi sebagai istri, ia harus tetap melayani. "Mas mau langsung makan atau mau mandi dulu?" tanya Nuri sambil membawakan teh ke dalam kamar. "Di mana kamu taruh bunga itu? Sudah kamu buangkan?" hanya Dika lagi. "Saya simpan. Sayang bunga mahal kalau dibuang. Apalagi yang ngasihnya tulus. Suda
"Oke, kalau Mas gak mau jawab, berarti saya yang harus mengalah di sini." Nuri berlari naik ke kamarnya. Ia mengunci pintu agar suaminya tidak bisa masuk ke dalam kamar. Segera ia berkemas memasukkan pakaian lamanya, bukan pakaian yang dibelikan oleh suaminya atau pakaian yang ia beli dengan uang suaminya. Perhiasan, buku nikah, buku tabungan, dan uang simpanan ia bawa. Tidak ada air mata yang tumpah, karena hatinya seakan mati untuk merasakan kesedihan. Dika sudah membuat semua cinta dalam dirinya pergi begitu saja. Setelah semua yang ia perlukan masuk ke dalam tas, Nuri melemparkan tasnya dari balkon kamar. Dengan gagah, Nuri ikut lompat dari balkon. Jaman di kampung, ia senang memanjat pohon tinggi, lalu melompat dari atas pohon tersebut. Ia juga suka lompat dari jembatan, lalu tercebur ke sungai. Jadi, tidak masalah baginya untuk lompat dari balkon lantai dua rumah suaminya, karena ia sudah terbiasa. Hanya luka lecet pada telapak tangan saja.Nuri menunggu ojek online di dekat po
Jadi berputar-putar di sekeliling komplek sampai dengan perempatan jalan besar rumahnya, tetapi tetap tidak menemukan Nuri. Ia mengira, Nuri akan berjalan seorang diri sambil membawa tas, tanpa tahu arah tujuan, seperti kebanyakan wanita-wanita melow di drama yang pernah ia saksikan, tetapi sepertinya Nuri berbeda, sudah jauh ia mengendarai motor, malam pun semakin pekat, tetapi ia belum menemukan istrinya. Dika memutuskan menepikan motor di sebuah cafe kopi untuk membeli minuman kopi dingin. Tenggorokannya kering dan juga angin malam tak mampu menghilangkan rasa gerahnya. Dika memesan kopi dingin cappucino untuk melegakan tenggorokan, sekaligus menenangkan pikirannya. Sambil menunggu, Dika memeriksa ponselnya. Ia menekan kontak Nuri untuk menelepon istrinya, tetapi hanya nada sambung saja yang terdengar, tetapi tidak diangkat. Sampai dengan kopi selesai diracik, Nuri tidak kunjung mengangkat teleponnya. Kamu ke mana, Nuri? Apa kamu pulang ke rumah orang tua kamu? Batin Dika. Pria
"Nuri, buka pintunya, kita perlu bicara!" Dika sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Begitu mendengar perkataan mamanya tentang gugatan cerai, Dika pun panik dan bersikeras harus bicara dengan Nuri malam ini juga. Hatinya berdebar tidak tenang dan dapat dipastikan ia tidak bisa tidur."Nuri, buka, aku janji tidak akan lama bicaranya," bujuk Dika lagi."Kamu pulang saja! Jangan ganggu Mama dan Nuri, malam ini biar Nuri tidur di sini." Bu Widya menarik lengan putranya agar menjauh dari pintu. Namun, Dika tidak mau."Dika gak mau pulang, Ma, Dika mau di sini saja. Gak papa kalau malam ini memang Nuri ingin menenangkan diri dulu. Mama bantu Dika untuk ....""Males! Udah tiada kesempatan kedua bagimu!" Bu Widya menatap sinis Dika, lalu masuk ke kamar. Dika tidak punya pilihan lain selain tidur di sofa ruang tengah. Willy pasti tidak akan menginjinkannya untuk tidur seranjang karena Willy pun pasti kecewa dengannya saat ini.Di dalam kamar, Nuri masih belum bisa memejamkan matanya. Wanita
"Mas pasti tidak bisa, karena yang ada di otak Mas itu adalah Nura, tetap Mas juga gak tega dengan yang namanya Tika. Oleh karena itu, sepertinya Mas memang lebih cocok dengan Tika. Karena Nura sebentar lagi akan menikah dengan Willy. Sudah, kita jangan berdebat di depan orang tua!" Nuri kini menoleh pada mertuanya. "Saya siap-siap dulu, Ma." Bu Widya mengangguk. Wanita itu berjalan cepat masuk ke dalam kamar, tanpa diketahui olehnya, Dika pun ikut di belakang Nuri."Saya mau ambil baju di dalam," alasannya saat Nuri hendak menutup pintu, lalu ditahan oleh lengannya. Terpaksa Nuri memberikan tempat dan juga waktu, tetapi ia tidak mau masuk ke dalam kamar yang sama dengan Dika. Lebih baik ia menjauh, karena ia sudah tidak mau berdekatan dengan Dika. "Nuri, apa hubungan ini tidak bisa diperbaiki?" tanya Dika lagi dengan wajah lesunya. "Gak bisa, Mas, batas sabar saya udah sampai di titik paling akhir. Kita jalani hidup masing-masing ya. Kita masih bisa berteman kok. Bagaimanapun kit
"Oh, baik Pak Dika. Saya sebagai kakak dari Tika meminta maaf kalau selama bekerja di sini, adik saya banyak kurangnya. Itu karena dia memang tidak sekolah dan jarang bergaul. Terima kasih sudah memberikan tempat untuk Tika mendapatkan pengalaman kerja lebih dari setahun." Pria bernama Budi itu menatap Dika dengan perasaan campur aduk. Perasaan malu yang lebih mendominasi karena kelakuan adiknya yang tidak tahu terima kasih."Gak papa, saya harap Tika bisa dapat kerjaan lebih baik setelah dari sini. Oh, iya, ini ada sedikit biaya untuk mengobati sakit Tika. Semoga cukup ya. Maaf, saya gak bisa kasih banyak juga, karena sekarang saya sudah punya istri. Pengeluaran yang tidak biasanya, tentu saja harus saya laporkan pada istri saya." Dika merasa kalimatnya sangat menggelikan. Sejak kapan pula ia begitu nampak manis dan bertanggung jawab terhadap pernikahannya, khususnya pada sang Istri. "Aamiin, makasih, Pak Dika. Kalau begitu saya dan Tika pamit dulu." Budi melihat ke depan rumah Dika
"Jadi, Tante Nuri beneran gak datang ya?" tanya Daniel pada putrinya saat mereka sudah berada di jalan raya menuju pulang. "Iya, Pa, padahal Tante Nuri itu gak pernah ijin sebelumnya. Mungkin memang lagi ada urusan dengan suaminya." Daniel mengangguk. Namun, ia tidak yakin urusan yang dimaksud oleh Nuri dan yang ditangkap oleh pemahaman anaknya. Nuri adalah wanita yang pandai menutupi kesulitannya. Ia wanita kuat dan tidak cengeng. Meskipun saat ini ia tengah menghadapi masalah, tidak mungkin Nuri mau bercerita. "Pa, kenapa dulu gak sama Tante Nuri sih?" tanya Luna penasaran. Sejak kemarin ia bertanya, tetapi jawaban papanya selalu ambigu. Tidak pernah mau menceritakan secara detail. "Pa, cerita dong! Luna penasaran tahu," desak Luna. Daniel menghela napas dengan pandangan masih fokus pada jalan raya di depannya. "Papa gak disetujui sama Mbah kamu. Karena Tantu Nuri dari keluarga sederhana. Mbah takut, Tante Nuri mau sama Papa karena uangnya saja. Apalagi saat itu Papa mahasiswa,
Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift
Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu
"Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad
Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can
"Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang
115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin
Dika tidak bisa melupakan kata-kata mamanya kemarin. Tentu saja tentang Nuri, bukan tentang Tika. Kalau hal yang berhubungan dengan Tika, Dika sudah tidak heran lagi. Ia sudah menyaksikan sendiri betapa menjengkelkannya sang istri. "Apakah aku harus datang sendiri untuk memastikannya?" Dika bertanya kepada dirinya sendiri. Tanpa bisa dipungkiri, Dika merasa iba kepada Nuri kalau memang mantan istrinya itu diperlakukan seperti babu oleh keluarga suaminya. Padahal saat masih menjadi istrinya dulu, setidaknya Dika tidak pernah melihat mamanya memperlakukan Nuri dengan buruk. "Iya, sepertinya aku memang harus datang ke sana," tekad Dika. Berbekal alibi mereka adalah ipar, Dika pun nekat ingin menemui Nuri di rumah Daniel. Ia sengaja tidak memberitahukan hal tersebut kepada ibunya, apalagi kepada Tika. Bisa-bisa Tika guling-guling di depannya kalau sampai ia meminta izin untuk hal yang satu itu. "Din, saya minta alamat Nuri dong!" pinta Dika ketika menemui Udin. "Loh, buat apa, Pak?"
"Aduh, kenapa halaman depan masih banyak daun jatuh, ya, Nuri? Bukannya saya udah sempat nyuruh kamu bersihin, ya? Kalau sampai ada tamu penting yang datang bagaimana? Mereka bisa ilfeel melihatnya!" Mendapati pertanyaan seperti itu saat sedang sarapan, membuat Nuri kesusahan menelan air yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Untung saja cairan itu tidak menyembur ke wajah Bu Cici. "Maaf, Ma. Saya sudah bersihkan halaman semalam, kok. Namanya juga ada pohon hidup, Ma. Wajar kalau ada daun yang jatuh lagi," jawab Nuri setelah berhasil menelan minumannya. "Berarti harusnya kamu inisiatif, dong, bersihin subuh-subuh. Jadi waktu saya bangun, halamannya sudah bersih. Saya kan jadi tidak perlu buang-buang waktu buat negur kamu." Nuri menghela napas panjang. Ingin membalas ucapan sang Mertua, tetapi malas berdebat. Alhasil, ia pun mengalah. "Baik, Ma. Setelah sarapan saya bersihkan halamannya.""Ya, udah, yang cepat sarapannya. Jangan sengaja lama-lamain karena malas mengurus rumah!" Nuri
Tika sedang berada di boncengan motor suaminya. Seperti biasa, Tika memeluk tubuh Dika terlalu erat, sehingga pria itu tidak nyaman. Napasnya terasa sesak, sehingga mengakibatkan Dika tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak begitu saja polisi tidur, hingga Tika terguncang. "Mas, pelan dong!" protesnya. "Kamu juga jangan kuat-kuat peluk saya. Napas saya jadi sesak. Saya gak fokus bawa motor!" omel Dika balik. "Bukannya lelaki itu suka kalau dipeluk erat istri, ini malah protes!" Dika menghentikan motornya di pinggir trotoar. Lalu pria itu menoleh ke belakang dengan wajah marah. "Sekali lagi kamu balikin ucapan saya, kamu turun di jalan! Kita mau ke dokter, jadi jangan rusak suasana!" Tika terdiam sambil menunduk. Di dalam hatinya masih sangat kesal dengan Dika, tetapi justru ia juga semakin cinta. Apalagi setelah melihat senjata suaminya secara tidak sengaja yang seguede timun suri. Membayangkan benda itu masuk ke miliknya, membuat Tika bergetar, sekaligus bergi