Hilir mudik di depan ruang operasi dimana Elma sedang berusaha diselamatkan oleh para dokter, Alan tak bisa tenang, ia terus saja resah dengan keadaan ini, rasa takut terus saja mendera, bahkan Alan belum sempat mengganti pakaiannya, padahal kemeja berwarna putih yang dikenakan Alan terdapat bercak merah darah Elma.
Seorang wanita yang berparas mirip dengan Alan berlari mendekat pada anak dan sahabatnya yang nampak cemas menunggui oprasi Elma."Sayang, maafkan mamah baru datang," ucap Lia ibu dari Alan mendekat dan memeluk anaknya yang nampak berantakan itu.Kemudia Lia beralih pada Ratna sahabatnya yang duduk sambil bersandar di bahu Hans sang suami. Melihat kedatangan Lia, Ratna makin berkaca kaca dan menyambar tubuh yang perawakannya hampir sama dengan dirinya."Anakku Lia, aku takut."Tangis Ratna makin tak terbendung lagi kala melihat wajah sahabatnya yang nampak ikut cemas itu. Dengan lembut ia memeluk dan mengusap punggung Ratna dengan sayang. Kedua wanita yang sudah bersahabat sejak SMA itu menangis tersedu.Awalnya ingin berusaha menenangkan Ratna, tapi nyatanya Lia malah ikut larut dalam kesedihan. Elma sudah dianggap seperti anaknya sendiri meskipun ia baru bertemu lima tahun terakhir dengan calon menantu nya itu."Berdo'a Na, semua akan baik baik saja, Elma anak yang kuat, dia tidak akan tega meninggalkan kita," gumam Lia begitu lirih sambil memeluk Ratna dengan erat."Benar, Elma sangat sayang padaku, dia tidak akan tega meninggalkan ku bukan."Saat ini, hanya kata penyemangat yang bisa menenangkan ibu yang sedang Rapuh itu. Hans pun ikut mengusap punggung istrinya yang bergetar menahan tangis dalam pelukan Lia sahabat sang istri.Alan hanya memandang interaksi sedih orang tuanya, dalam hati ia bergumam, 'Bukan hanya mereka yang akan sedih El, aku juga akan gila jika terjadi sesuatu yang buruk sama kamu, kamu harus bertahan El, aku baru mendapatkan mu, kamu malah membuatku cemas seperti ini,' gumam Alan dalam hati.Alan begitu terluka dengan keadaan Elma, sudah bertahun tahun ia berjuang mendapatkan gadis keras kepala ini, selangkah lagi mereka akan merajut kisah cinta mereka dalam mahligai rumah tangga, takdir malah menguji Alan kembali. Apakah Alan harus berjuang kembali, entahlah hanya waktu yang bisa menentukan.Hanya menatap dengan sendu pintu ruang oprasi yang masih tertutup, tubuh Alan lelah namun ia takut sekedar untuk memejamkan matanya barang beberapa menit, hanya sesekali mengintip di balik pintu yang berkaca buram kemudian duduk kembali sambil meremas rambutnya yang sudah acak acakan itu.Lia begitu prihatin dengan keadaan anak pertamanya itu, kemudian Lia bergeser pada Alan, memberikan air minum kemasan yang sebelumnya ia beli untuk semua orang."Minum dulu sayang, tenangkan diri kamu, Elma pasti baik baik saja jangan khawatir," lirih Lia berusaha menenangkan anaknya.Alan menatap ibunya sejenak dengan mata berkaca kaca, kemudian menyambar air minum yang sudah ada di depan matanya, dengan cepat ia meneguk air tersebut. Ternyata dirinya merasa begitu haus setelah berjam jam mengalami kepanikan, mondar mandir kesana kemari. Air itu begitu melegakan dahaga yang sejak tadi tak ia rasakan.Setelah memastikan anaknya meminum air yang ia bawa, kemudian ia menyentuh bahu anaknya yang nampak masih menegang, ia lalu berkata, "Sekarang waktunya kamu berdo'a, semuanya pasti baik baik saja," ucap Lia yang sering kali dipanggil oleh Alan sebagai mamah itu.Alan menganggukan kepalanya, dalam hati ia terus memohon semoga Elma baik baik saja.Tak lama dari itu, tiba tiba pintu Ruangan oprasi terbuka, nampak perawat yang membantu jalannya oprasi berlarian, semua orang yang menunggu Elma ikut berdiri merasa ikut panik dengan keadaan yang tiba tiba itu. Kemudian Ratna mendekat pada perawat yang tadi berlari keluar sedangkan di belakang perawat tersebut sepertinya ada dokter lain yang tergesa masuk ke ruang oprasi."Suster, apa yang terjadi, anak saya kenapa?" tanya Ratna begitu khawatir."Tidak apa apa bu, dimohon tunggu sebentar, tetap terus berdo'a untuk keberhasilan operasi ini ya bu," ucap sang perawat berusaha tersenyum menenangkan orang orang yang ikut menatap dirinya.Kemudian perawat tersebut bergegas ikut masuk mengikuti dokter yang sebelumnya masuk terlebih dahulu.Semua orang tertegun, makin mencekam saja suasana depan ruang operasi. Bagi seorang ibu, Ini lebih menyakitkan dibandingkan ditikam belati didada, melihat anak semata wayangnya sedang berjuang didalam sana, ibu mana yang bisa kuat.Ratna kemudian berlari tergesa gesa membuat semua orang panik, Hans sang suami segera menyusul kepergian Ratna yang entah akan kemana."Bun mau kemana?" tanya Hans sambil berlari menyusul Ratna."Bunda harus minta sama Tuhan yah, biar Elma selamat, Bunda ngga tau harus bagaimana, Huhuhu," tergesa Ratna berkata pada suaminya yang telah berhasil menyamai langkahnya."Baiklah, Ayah temani Bun, kita berdo'a sama sama."Pada akhirnya, suami istri itu menyerahkan segalanya pada yang maha Kuasa, memohon keselamatan pada tuhannya yang memiliki jiwa dan raga anaknya itu.Sedangkan Alan begitu lemas di kursi tunggu depan ruang oprasi, semakin ketar ketir saja keadaan pria yang biasanya arogan itu, lemah di hadapan ketidak pastian ini, benar benar menyesakkan, ingin rasanya Alan mendobrak pintu berwarna hijau yang tertutup rapat itu, ingin rasanya melihat keadaan Elma saat ini, Alan begitu tak suka dengan keadaan ini.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya Lampu ruang oprasi yang tadi menyala kini telah redup, beberapa dokter dan suster yang menangani oprasi Elma keluar satu persatu. Diluar ruangan oprasi mereka telah disambut oleh Alan dan yang lainnya."Dok, bagaimana oprasi nya? " sergah Alan ingin segera mengetahui keadaan Elma.Anggota keluarga lainnya pun segera mendekat pada dokter yang terlihat lelah itu. Melihat wajah wajah cemas dihadapannya kemudian Dokter tersebut tersenyum."Oprasinya sukses, meskipun tadi sempat mengalami sedikit kesulitan, sebentar lagi pasien akan di pindahkan, kami akan melakukan observasi untuk malam ini, besok baru kita bisa pindahkan ke ruang perawatan jika pasieun sudah stabil ya, tetap berdoa untuk kesembuhan pasien," ucap Dokter tersebut menepuk bahu Alan berusaha menenangkan pria yang sejak beberapa jam lalu tak sedikitpun meninggalkan pasiennya."Baik dok, Terima kasih."Lia mendekat pada anaknya, kemudian ia mengusap bahu Alan dengan sayang, sepertinya ketegangan Alan sejak tadi sudah sedikit berkurang, ia prihatin sekali dengan anaknya itu."Sayang, kamu bersihkan dulu tubuh kamu, operasi Elma sudah sukses," pinta Lia.Alan lalu melihat pakaiannya, Mamahnya benar saat ini ia begitu kacau, memang ia perlu membersihkan diri, lagi pula ia harus menunggui Elma sampai ia siuman bukan. Tidak mungkin Ia bertemu dengan Elma dalam keadaan lusuh seperti ini.Kedua orang tua Elma pun mengangguk setuju dengan usul Lia, kepanikan dan kekhawatiran Alan pada Elma sampai melupakan kondisi dirinya sendiri, sungguh orang tua Elma merasa begitu terharu melihat kesungguhan Alan dalam menyayangi anaknya itu."Al, makasih udah jagain Elma, maafin bunda sempat marah dan berkata kasar sama kamu," sesal Ratna saat melihat Alan pergi untuk membersihkan diri."Alan mengerti Bun, tidak masalah," ucap Alan sambil lalu meninggalkan ketiga orang tua itu.Setelah selesai mengganti bajunya, Alan kemudian menarik ponselnya untuk menghubungi seseorang."Halo, cari orang yang menabrak Elma, seret dia ke hadapanku segera, cari tahu apakah Nindi ada hubungannya dengan kecelakaan ini," ucap Alan dengan suara rendah penuh Amarah."Benturan dikepala cukup keras, sehingga pasien mengalalami gegar otak cukup parah. Sebenarnya operasi ini berjalan lancar tetapi tetap saja harus dilakukan observasi lanjutan untuk memastikan jika tidak ada efek samping yang terjadi," tutur dokter menjelaskan pada Hans. Hening sesaat, ternyata setelah operasi berhasil dilakukan, Mereka belum bisa bernafas dengan lega. Hans hanya menunduk lesu mendapat kabar dari dokter. Putrinya benar benar malang. "Lakukan apapun yang diperlukan Dok.""Pasti Pak, kami akan berusaha melakukan yang terbaik demi kesembuhan pasien."Setelah mendapatkan penjelasan dari dokter, Hans kemudian keluar dari Ruangan dokter tersebut. Ia kemudian menuju ruangan dimana Elma dirawat. Di depan kamar yang terdapat dinding kaca yang menembus ke dalam dimana Elma berada. Kini Ratna, Lia dan Alan sedang duduk menunggui Elma yang tak bisa ditemani langsung di dalam. Hans berjalan mendekar pada istrinya lalu ikut duduk bersebelahan dengan Ratna. Kini atensi semua or
Alan sudah tak tahan, pada akhirnya ia memutuskan untuk mengambil tanggung jawab ini. "Ayah, Bunda. Izinkan saya untuk menikahi Elma sekarang juga," pinta Alan begitu yakin. Kedua orang tua Elma begitu tak menyangka jika Alan mengatakan hal yang tak terduga ini, Ratna sampai membulatkan mata sempurna saking kagetnya mendengar permintaan calon menantunya. "Maksud kamu apa Al? kamu mau menikahi Elma dalam keadaan Elma seperti ini? jangan bercanda!," geram Hans pada Alan yang menatapnya lurus. "Saya tidak bercanda, Saya sadar dan serius dengan apa yang saya ucapkan," jujur Alan dengan yakin. "Apa alasan kamu mau menikahi Elma sekarang? kenapa tidak menunggu sampai Elma sadar dan sehat saja?"Sorot mata pria paruh baya itu tajam saat melontarkan pertanyaan pada pria yang nampak percaya diri dengan keinginannya itu, ia merasa permintaan Alan terlalu konyol. Pernikahan ini bukan hal yang bisa untuk main main, memang Hans akui jika Alan tampak begitu mencintai anaknya, tetapi cinta dari
Duduk bersandar sembari netra memandang kosong jendela di sampingnya, Elma tak bergeming sedikitpun. Hari ini di luar begitu cerah, tak begitu panas namun begitu indah. Tapi sayang, indahnya suasana pagi ini tak membuat bahagia perasaan Elma, dirinya merasa bingung, apa yang terjadi? Dalam ingatan Elma, seharusnya hari ini ia berada di rumahnya sedang menunggu perayaan ulang tahunnya yang ke 17, tapi kenapa tiba tiba dirinya terbaring di rumah sakit? Elma menyentuh kepalanya yang dibalut perban, kepalanya sudah tak memiliki rambut, seketika matanya berkaca kaca, rambut indahnya kini tak ada lagi, padahal Elma begitu suka rambut panjangnya. Pintu kamar yang sebelumnya tertutup itu kemudian perlahan terbuka, menampakkan sosok Ratna, ibunya yang biasa ia panggil bunda itu mendekat perlahan. "Kamu baik baik saja sayang?" tanya Ratna berusaha setenang mungkin. Mata Elma kini terasa berembun, tak bisa menahan perasaan bergejolak yang timbul kala pertanyaan sederhana itu terucap dari s
Beberapa menit berlalu seperti menunggu seharian bagi Alan. Duduk di kursi tunggu yang terletak persis di luar kamar yang di tempati Elma menunggu sambil menahan emosi. Lengannya terkepal dan matanya tajam menatap pintu yang tertutup seperti ingin merobohkan pintu yang tak berdosa itu. Beberapa waktu lalu sebelum Alan diusir oleh Ratna dari kamar yang ditempati Elma, Alan nyaris saja mengamuk dan akan menghajar Erwan yang begitu menempel pada Elma. Sebenarnya bukan mau Erwan berdekatan dengan Elma, rasa sakit yang mendera pada kepala Elma membuat Elma tanpa sadar erat memegang Erwan, hingga Erwan tak tega jika dirinya mengikis jarak dengan Elma. "Alan, Ayo kita tunggu diluar, biarkan Erwan memeriksa Elma," ajak Ratna pada menantunya itu sambil sedikit menarik lengan Alan. "Engga bisa bun, Alan harus nungguin Istri Alan," tolak Alan. Ia sengaja mempertegas panggilannya pada Elma agar Erwan tahu diri dan menjauh dari Elma. Tapi sayang, keinginan Alan untuk Erwan menjauhi Elma tak di
Sekian lama tak menginjakkan kaki di tempat bernuansa temaram dan remang remang yang dipenuhi hingar bingar pesta. Malam ini Alan malah berada disini, tersesat duduk sendirian menenggak berbotol botol minuman memabukkan hampir memenuhi meja yang bisa membuatnya lupa diri. Ia sedang mengalami kekacauan karena tak bisa melakukan apa yang ingin ia lakukan. Tubuh tegap nya yang selalu gagah dan ditakuti banyak orang itu kini bersandar lemah tak berdaya karena kalah oleh keadaan, rasa melayang tak bisa ia kontrol, pusing yang mendera sengaja ia buat, ingin ia tak sadarkan diri agar lupa sejenak akan keadaan Elma yang hilang ingatan, sialnya lagi hanya dirinya yang tak ada dalam memori Elma. Mulutnya meracau tak jelas mengumpati keadaan yang menurutnya sialan itu, namun racauannya tenggelam oleh suara musik yang menghentak hentak mengiringi semua pengunjung club malam yang sedang asik berpesta. Meski dalam pengaruh alkohol, Alan tetap mengingat perkataan Erwan tadi siang agar sejenak dir
Mata kabur dipengruhi alkohol, membuat Alan mengira sosok yang telah ia kungkung di bawahnya adalah wanita yang ia inginkan. Kekuatannya kembali, kala menyentuh kulit mulus yang telah membuka pakaian bagian atasnya itu menggoda dirinya dengan sentuhan sensual, namun hasratnya lebih menguasai dibandingkan akal warasnya. Ditambah pencahayaan yang redup membuat ia makin tak jelas dengan sosok wanita yang menempel terus menerus padanya ini."Al, aku merindukanmu."Bisikan sensual itu membuat gerakan Alan yang sedang mencumbui kulit halus itu terhenti. Otak warasnya berangsur angsur ditarik dari kegilaan karna minuman memabukkan itu. Suara itu sangat jelas, wanita di bawah lingkungannya ini bukan Elma istrinya, bukan wanita yang ia inginkan. Alan menjauhkan diri dengan kasar, menghentak tubuhnya agar menjauh dari wanita yang telah ia sadari adalah Nindi. "Sial," umpat Alan. Lengan Nindi kehilangan, tubuh setengah telanjangnya kini merasakan terpaan hawa dingin AC kamarnya, hasratnya me
Tengah malam, setelah dirinya tersadar dari pengaruh obat bius yang membuatnya tertidur sepanjang hari. Elma mengedarkan mata bulatnya mencari keberadaan seseorang, entah itu kedua orang tuanya ataupun Erwan. Sayangnya nihil, tak ada tanda tanda seseorang akan menemaninya untuk melalui malam ini. Elma jadi sedikit takut dengan ruangan luas ini.Kamar inap ini memang terasa nyaman karena Alan sengaja menempatkan Elma di kamar VVIP yang fasilitasnya seperti hotel, namun tetap saja Elma merasa amat kesepian. "Kemana semua orang?" gumam Elma setelah beberapa saat menunggu dan tetap tak ada orang yang datang. Pada akhirnya Elma hanya berbaring sambil menatap langit kamar yang berwarna putih tanpa corak, tak ada yang bisa ia lakukan, sungguh sangat bosan. Merenungkan apa yang telah terjadi pada dirinya, bertanya bagaimana bisa ia terbaring degan kondisi mengenaskan seperti ini, dengan rambut yang dipangkas habis, bahkan kedua orang tuanya dan Erwan tampak berbeda. Terlebih ada seorang p
Ego memuncak kala hal berharga miliknya ada yang berani menyentuh, melupakan logika dan menolak semua alasan, yang dia tahu hanyalah tak ada pria yang boleh lancang menyentuh wanitanya meskipun seorang dokter sekalipun. Alan bukanlah pria biasa, saat dirinya mengklime sesuatu maka itu adalah miliknya, jiwa posesif nya menakutkan bahkan bisa menjadi bencana.Berdiri menatap Erwan dengan sorot permusuhan yang begitu kental, melupakan semua orang yang berkumpul didalam sana, terasa mencekam namun Erwan tak perduli, dirinya malah asik bercengkrama dengan kedua orang tua Elma yang baru saja tiba. Sebelum kedatangan orang tua Elma, Alan dan Erwan sempat berdebat sengit, Erwan menatap sinis kedatangan Alan dengan penampilan Alan yang mengejutkannya, pakaiannya sudah rapih dan terlihat masih gagah memang, namun yang mengesalkan adalah terdapat beberapa tanda kemerahan yang terpampang nyata di lehernya. Erwan seperti dikhianati karena telah menyerahkan gadis kecilnya pada Alan. "Rupanya kau
Denting jam berbunyi begitu nyaring, waktu sudah menunjukan pukul 12 tengah malam. Hujan diluar masih mengguyur begitu deras dengan petir yang terus menyambar, mungkin malam ini hujan tak akan berhenti hingga pagi. Rumah megah kediaman Bagaskara sudah mulai sepi, para penghuni rumah sudah mulai terbuai oleh mimpi mereka, bahkan para pelayanan sudah masuk ke kamar masing masing. Namun, tidak dengan dua pria yang berstatus Ayah dan anak ini. Setelah Nindi dan Lucas pamit untuk pulang ke rumahnya satu jam yang lalu, Bagas pun ikut undur diri kembali ke apartemennya, ia tak ingin menjadi bulan bulanan Ayah dan anak yang memiliki wajah dan karakter yang sama itu. Dua orang yang memiliki paras tampan dengan usia berbeda itu sama sama keras dan tak mungkin bisa dibantah. Jadi, Bagas memilih untuk menyelamatkan nyawanya saja, biarlah esok ya esok saja. "Aku sudah menikahi Elma," ucap Alan mengakui perbuatannya yang sangat terburu buru itu. Tristan hanya melipat lengannya di da
Wajah Alan muram, bahkan terkesan gelap penuh dengan Amarah. Alan sudah muak dengan tingkah Nindi yang terus menerus menggangu dirinya. Bagas yang sedang mengemudi pun menjadi ikut kesal juga, padahal dirinya baru hari ini melihat bos sekaligus sahabatnya itu ceria sepeti barusan. Hujan tiba tiba mengguyur begitu derasa, guntur pun sampai menyambar memekakan telinga, seakan merasakan kekesalan yang kini tengah Alan rasakan. Tiba tiba Alan teringat pada Elma. Ia lihat waktu sudah menunjukan pukul 10 malam, sepertinya Elma sudah terlelap mengingat kebiasaan Elma tak pernah bergadang "Apakah Elma sudah tidur?" gumamnya bertanya pada diri sendiri. Ah.. sepertinya Alan semakin tergila gila dengan istrinya itu. Ban mobil yang berdecit bergesekan dengan aspal basah yang tengah diguyur hujan itu kini telah sampai di sebuah komplek mewah. Komplek elit yang biasa dihuni oleh keluarga konglomerat berpenghasilan milyaran rupiah setiap bulannya sudah pasti tak semua orang bisa t
Baru saja Alan berpisah dengan Elma, tapi dirinya sudah begitu rindu, apalagi harus beberapa hari tak melihat wajah wanita yang baru ia persunting itu. Sepertinya Alan akan sangat merasa kesulitan, apalagi harus meninggalkan Elma yang sudah pasti akan sering bertemu dengan Erwan. Sungguh hati tak rela. "El, Aku mohon, jangan terlalu dekat dengan Erwan, dia sepupuku dan aku tak suka jika kamu terlalu dekat dengannya," pinta Alan sebelum meninggalkan Elma. "Kami tidak ada apa apa ka, Kenapa kaka sangat tak suka dengan Ka Erwan, padahal Ka Erwan temanku sejak dulu," jawab Elma untuk kesekian kalinya. "Menurut lah El, aku suamimu, dan seorang istri harus mematuhi apa yang suaminya katakan."Huft... Lelah rasanya Elma mendengar perintah Alan, ia sangat tahu apa yang harus dilakukan oleh seorang istri, meskipun ingatannya ada pada usia 17 tahun, tapi setidaknya dia sudah belajar banyak tentang hal termasuk kewajiban seorang i
"Kenapa menjadi rumit seperti ini?" gerutu Alan turun dari mobilnya. Awalnya Alan hanya berniat melihat istrinya sebentar saja sebelum dirinya menemui sang Ayah di kediaman keluarga Bagaskara. Namun sayang, sikap Hans memicu kemarahan pada diri Alan. Ia tak Terima dijauhkan dengan istrinya meskipun oleh mertuanya sendiri. Alan segera turun dari mobilnya lalu melangkah tergesa memasuki halaman rumah mertuanya itu. Ingin segera mengetahui apa yang dilakukan atau lebih tepatnya diberikan oleh Nindi pada Hans hingga memicu kemarahan pada pria baik itu. Saat Alan membuka pintu Rumah berwarna coklat yang ukurannya cukup besar itu, ia telah disambut oleh sang mertua dengan wajah tak ramah tak seperti biasa dan tak bersahabat tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dagunya terangkat dan melirik sini keberadaan Alan lalu melangkah mendahului seperti mengajak Alan untuk berbicara ditempat yang lebih privat. Ruangan kerja sang mertua tepatnya, tempat yang biasa dipakai oleh Hans berkutat denga
Tak akan mudah bagi Alan menahan diri, melihat Nindi menantang dirinya apalagi dihadapan banyak orang di lobi perusahaan yang berlaku lalang. Beruntung disana ada Bagas yang siap siaga menjadi pengawal. "Apa yang kau lakukan?" tanya Alan sambil menggeram marah, matanya melotot seakan ingin menelan dan menghancurkan wanita iblis bermuka malaikat ini. "Aku?" Nindi tersenyum sebelum melanjutkan provokasinya, "Hanya mengirimkan momen kebersamaan kita yang indah, bukankah mertuamu itu sangat baik? dia pasti ikut bahagian dengan kebahagiaan kita bukan?""Kau memang-" "Hentikan bos, jangan sampai anda menghancurkan reputasi anda hanya karena provokasi nona Nindi disini," ujar Bagas menghentikan Alan sebelum Bos nya itu membuat kekacauan karena tidak bisa mengontrol emosi. Bagas tahu betul jika Alan adalah pria luar biasa cerdas dalam mengambil langkah untuk memenangkan pertempuran, namun jika sudah diprovokasi oleh Nindi, sering kali Alan akan hilang kendali. Entahlah, wanita yang sudah
Rapat yang digelar jajaran petinggi Antana Group telah selesai digelar, meninggalkan perasaan kesal pada diri Alan. Kini wanita yang selalu ingin menghancurkan hubungannya dengan Elma itu sedang tersenyum manis pada Tristan, mebuat image sempurna agar menarik simpati pria nomor satu di Antana group itu. Wajah cantiknya seperti mengejek Alan yang berdiri tepat disamping sang Ayah. Sekali kali Nindi akan melempar pertanyaan yang akan membuat Alan mendengus sebal. "Benar benar wanita penjilat," gumamnya dalam hati. "Ajari Nindi dengan baik Al, kalian akan menjadi partner sempurna dalam mengembangkan perusahaan kita ini," ucap Tristan sambil merangkul bahu Nindi yang duduk tepat di sampingnya. "Tentu mereka akan menjadi partner terbaik, bukankah mereka sudah sangat dekat," ucap Lucas. Kini, Nindi duduk ditengah dua pria yang punya pengaruh penting di perusahaan, menjadikan dirinya seperti diapit oleh dua gunung yang begitu kuat dan akan melindungunya. Alan tak berkomentar, tak mung
Ratna masuk kedalam kamar saat dua pria beda usia yang kini berstatus menantu dan mertua itu berdiri berhadapan saling menantang, saling menatap sengit satu sama lain. "Ada apa ini?" tanya Erwan heran. Mertua dan menantu itu memutus tatapan dan mengalihkan perhatian mereka pada kedatangan Ratna "Bunda, segera berkemas kita pulang sekarang," ucap Hans. Kebingungan pun tercetak di wajah Ratna melihat suaminya yang tiba tiba sikapnya berubah itu, Berubah tak ramah dan seperti ingin mengusir keberadaan menantunya dengan tatapan tak menyenangkan. "Dan kau Alan, pergi dari sini, aku tak ingin melihatmu berdekatan dengan anakku," lanjutnya. Seketika Semua orang yang ada di ruangan itu kaget, tak menyangka Hans memiliki keberanian mengusir putra dari Tristan Bagaskara yang sebelumnya begitu ia takuti hingga merelakan anaknya dinikahi meskipun dalam keadaan tak sadarkan diri. Hans kini tak peduli, jikapun Alan akan menghancurkan perusahaan percetakan nya yang sudah ia bangun susah payah
"Ada orang yang melihatmu masuk ke apartemen Nindi, dan memotrernya." "Urus orang yang mendapatkan foto itu, pastikan jangan sampai ada yang tahu," ucap Alan lalu memutus sambungan telpon sepihak tanpa menunggu jawaban dari Bagas. Sejenak Alan termangu, memikirkan masalah yang begitu bertubi tubi yang ditimbulkan oleh Nindi. Wanita itu memang begitu gigih, bergerak tanpa bisa Alan membaca langkahnya. Anak dari salah satu investor perusahaannya itu benar benar menyulitkan. Netra bening yang sibuk memperhatikan wajah Alan disampingnya itu seperti lupa berkedip, mengagumi wajah rupawan Alan, merasakan kegusaran dari pria yang telah menjadi suaminya itu. "Apakah ada masalah?" tanya Elma tiba tiba. Alan begitu terkejut dengan pertanyaan Elma, ia kira Elma sudah tidur, ternyata sejak tadi dirinya mperhatikan Alan yang tengah menelpon. Jangankan Alan, bahkan Elma sendiri merasa terkejut dengan perhatian kecil yang ia lakukan. Elma tak percaya, seperti dirinya terbiasa melakukan interak
"Bisakah aku tinggal dengan orang tua ku?" cicit Elma takut takut. Netra Alan menelisik, sudah menyagka jika keinginan ini yang akan terlontar dari mulut istrinya. Sepertinya Perlu sedikit perjuangan lagi untuk benar benar mendapatkan Elma, dengan kondisinya saat ini, tak cukup hanya dengan mempertegas status Elma sebagai seorang istri. Alan ingin marah dengan keadaan, tapi Alan tahu ini semua salahnya, akibat kecerobohannya. "Tentu, untuk sementara kita bisa tinggal di rumah orang tua mu," jawab Alan. Netra jernih itu membulat, menciptakan kilatan bahagia dan kelegaan. Elma ingin merasakan bahagia bersama orang tuanya, mengingat janji Sang bunda yang tak akan meninggalkan dirinya lagi seperti sebelumnya. "Terima kasih ka," ucap Elma tulus. Alan hanya tersenyum singkat lalu menarik tubuh Elma mendekat padanya. Namun sayang secara refleks Elma menjauh dan menepis uluran tangan Alan membuat Alan menggeram tak suka. Netra kelamnya terlihat kecewa, padahal Elma sudah menjadi istrin