Komunikasi terputus, aku yang memutuskan. Dapat panggilan dari Emak terasa bingung, tapi emang harus segera di jelaskan. Segera aku merapikan diri. Segera menuju ke ruang tamu, sambil menunggu Mas Maftuh pulang antar anak-anak ke sekolah. Ya, pesan Emak memang sangatlah pas. Karena jujur saja aku pun takut, jika ucapanku ini nanti, membuat hati Bu Putri sakit. Atau intinya terjadi salah paham gitulah diantara kami. Mudah-mudahan saja tidak tejadi salah paham atau yang lainnya. Amiin. ***************************"Sudah siap?" tanya Mas Maftuh. Dia baru saja sampai rumah. Aku duduk santai di ruang tamu. Sengaja memang menunggunya. "Sudah," jawabku. Karena memang aku sudah menunggu. Sudah siap meluncur ke rumah Bu Putri. Karena ingin segera membahas ini, biar hati ini sedikit lega. "Yok, berangkat!" ajak Mas Maftuh. "Yok!" balasku penuh semangat. Pokoknya kalau masalah anak, walau capek tetap semangat. Kemudian kami saling beranjak dan melangkah untuk menuju ke mobil. Siap untuk b
Bab 95Suatu kerjasama"Yakin mau kerja jadi tukang kebun?" tanya Ali, mungkin memastikan, atau memang mau merendahkan. Entahlah!"Iya, aku yakin," jawabku. Kalau benar-benar tak butuh pekerjaan, aku pun tak mau jadi tukang kebun. Tapi dari pada nanti aku dikejar-kejar Mami Marka lebih baik aku jadi tukang kebun dulu saat ini, tak masalah, yang penting aku dapat uang. "Ok! Sebelumnya kita ngobrol dulu sejenak!" ucapnya. Cukup membuat keningku melipat. "Ok," balasku sok santai. Ya, aku memang berusaha sesantai mungkin. Agar tak terlihat gugup. "Sebenarnya aku tak menawarkan kerjaan tukang kebun untukmu. Kala itu kita ada di warung makan, tak mungkin aku katakan yang sejujurnya di sana, yang penting kamu datang dulu," ucap Ali. Cukup membuatku semakin melipat kening. Karena bingung. "Lalu? Kerjaan apa yang akan kami berikan?" tanyaku penasaran. Dia terlihat mengulas senyum. Senyum yang tak bisa aku artikan. "Ya, aku sengaja menyebut tukang kebun, karena aku juga ingin tahu, kamu se
Ali terlihat memainkan rokoknya. Ya, habis makan kami memang merokok. Sungguh nikmat sekali rasanya. Andaikan setiap hari bisa seperti ini, aku tak akan mendekati dan mengemis untuk bisa dekat dengan Azkia. Kurang ajar memang si Ratih. Berani dia memisahkan aku dengan anak kandungku sendiri. Dosa besar sekali dia!"Katamu kan, kamu mantan narapidana. Dulu bisa masuk penjara gara-gara apa?" jelas Ali. Seketika bibir ini sedikit menganga. Owh ... ternyata ke situ arah pembicaraan ini. Mungkin dia mulai penasaran dengan hidupku yang tragis ini. Ya, masa laluku memang tragis, bahkan tragisnya sampai sekarang masih aku rasakan. "Panjang sekali kisahnya," jawabku singkat. Karena jujur saja aku malas jika disuruh untuk bercerita. "Panjang? Persingkat saja! Ceritakan intinya!" pinta Ali. Kuhela sejenak napas ini. Nampaknya dia memang benar-benar penasaran. Sudahlah aku ceritakan saja. Hitung-hitung ucapan terima kasih karena telah ngajak aku makan dengan lauk yang sangat enak sekali Hari i
Bab 97 Tersampaikan juga"Emak kok nggak diajak ke sini?" tanya Bu Putri setelah aku dan Mas Maftuh sudah sampai. Aku dan Mas Maftuh saling beradu pandang sejenak. Mungkin Bu Putri hanya basa-basi saja. Dari pada diam. He he he. "Nggak, Bu, Emak memang agak susah kalau diajak keluar," jawabku. Ya, memang Emak seperti itu faktanya. Kalau tak penting banget dia tak mau ikut. Kalau pun dia mau ikut, pasti dia minta ikut. Tapi tadi aku memang tak menawarkan agar Emak ikut. Badan Emak juga sudah tua. Jadi biarkan Emak di rumah saja. Naik mobil pun Emak kurang suka. Lebih baik naik motor. Karena sedikit kliyengan jika naik mobil. Kasihan juga. "Owh," jawabnya seraya manggut-manggut. "Duduk dulu!" pinta Bu Putri. Ya kami memang baru saja sampai. Belum sampai duduk, masih melangkah pelan menuju ke kursi ruang tamu. "Iya," jawabku sopan. Sesopan mungkin. Walau kami sangat dekat, tapi sopan santun tetap harus di jaga. Saling menghargai dan menghormati itu memang sangat penting. Biar hubun
"Emm ... gimana sudah ngurus surat pindah untuk Azkia?" tanya Bu Putri, setelah kami ngobrol hal nggak penting sebelumnya. Bahas hal-hal yang menarik dan cukup membuat ledak tawa. Biar tak hening dan tegang. Sambil menikmati apa yang disuguhkan. Ya, sambil menikmati minuman dingin dan camilan yang di sediakan Bu Putri, akhirnya beliau tanya hal itu. Karena cukup membuat bingung mau memulai. Tapi, akhirnya Bu Putri menanyakan hal itu juga. Jadi mungkin ini waktu yang pas dan tepat. Semoga saja seperti itu. Semoga saja sesuai dengan apa yang diharapkan. Tak meleset. Aku dan Mas Maftuh saling beradu pandang. Jujur saja jantungku ini berdegub nggak nyaman. Jika membahas Azkia pokoknya jantung ini merasa tak nyaman saja. Entahlah!"Kenapa?" tanya Bu Putri melihatku dan Mas Maftuh bergantian. Kutelan ludah ini sejenak. Seolah beliau sedang menilai ekspresi kami. "Nggak, Bu, kami ke sini niatnya memang mau membahas Azkia, membahas tentang sekolahnya," jawabku hati-hati. Bu Putri terlihat
Bab 99Ketinggalan Jaman"Kamu nggak ingin menemani Kakek di sini?" tanya Kakek padaku. Cukup membuatku bingung mau menjawab apa. Karena aku juga tak mungkin pisah sama Mama untuk saat ini. Aku sangat tahu bagaimana Mama. Tapi, sebenarnya juga kasihan sama Kakek. "Iya, Bran. Kasihan Kakek," sahut Mbak Lita. Kutelan ludah ini sejenak. Aku memang lagi keluar sekarang. Ingin membeli sepatu. Ditemani Mbak Lita dan Kakek. Sepatuku sebenarnya masih sangat bagus, tapi aku memang sengaja ingin beli baru. Hitung-hitung ingin keluar juga. Bosen di rumah terus. "Gibran masih harus menyelesaikan sekolah dulu," jawabku akhirnya. Kakek terlihat manggut-manggut. Kemudian dia mengulas senyum. Senyumnya sangatlah tulus. Cukup membuat nyaman sekali jika didekat Kakek. "Emm ... kalau sudah lulus sekolah, mau temani kakek?" tanya Kakek lagi. Nampaknya memang sangat berharap untuk aku tinggal di sini. Gantian aku yang mengulas senyum."Emm, insyallah, Kek, semoga kita diberi umur panjang ya, Kek," jaw
POV Bima*************************"Lalu, pekerjaan apa yang ingin kamu tawarkan, selain tukang kebun?" tanyaku untuk lebih memastikan lagi. Aku sudah cukup banyak bicara. Sudah waktunya aku tahu, pekerjaan apa yang akan ia berikan. Semoga saja lebih layak lagi. Biar aku bisa segera bangkit dari keterpurukan ini. "Sabar! Tenang! Sellow!" jawabnya seolah meledek. Sialan memang! Kalau nggak karena aku butuh, sebenarnya malas banget. Ya, karena aku butuh saja, makanya aku turuti semua keinginan dia. Sabar Bima! Sabar! Yakinlah, kalau Ali akan memberikan kamu pekerjaan yang sangat layak. Jadi kamu bisa membungkam mulut orang-orang yang sekarang meremehkan dan merendahkanmu. "Ok," hanya itu tanggapan dariku. Terserah dialah maunya bagaimana. Aku turuti saja dulu. Biar dia puas dengan permainan yang sedang ia jalankan.Permainan? Ya, aku sangat yakin memang dia sedang menjalankan suatu permainan. Aku ikuti saja. Ikuti dengan pasti! Ya, pelan tapi pasti. "Ikut denganku!" pinta Ali. Kenin
Bab 101Akhirnya"Kalau itu memang keputusan kalian, saya juga tak hak untuk melarang," ucapku akhirnya. Setelah sekian menit terdiam. Karena memang sedang mencerna. Mereka ngomong baik-baik, maka aku juga harus menanggapinya dengan baik-baik juga. Biar tak ada hati yang saling terlukai. Karena lidah itu lebih tajam dari pada pedang. Sebenarnya mendengar Azkia mau dimasukan ke asrama, aku kurang setuju. Karena sebenernya aku sangat ingin Azkia ikut satu rumah denganku. Tapi, jelas mereka ngomong seperti itu, sudah mereka rundingkan dan pikir matang-matang. Karena mereka tetap menginginkan yang terbaik buat Azkia. Tetap mereka memikirkan yang terbaik untuk semuanya. Mungkin sudah panjang mereka mencerna dan menimbang. Aku lihat Ratih dan Mas Maftuh saling beradu pandang sejenak. Aku sangat yakin mau menyampaikan ini pun mereka juga berat. Pasti juga memaksakan diri untuk berani bicara. Aku yakin itu, karena aku sangat tahu bagaimana mereka. "Ibu tak marah?" tanya Ratih. Mungkin dia
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda