Share

Bima. 100

Author: Naimatun Niqmah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

POV Bima

*************************

"Lalu, pekerjaan apa yang ingin kamu tawarkan, selain tukang kebun?" tanyaku untuk lebih memastikan lagi. Aku sudah cukup banyak bicara. Sudah waktunya aku tahu, pekerjaan apa yang akan ia berikan. Semoga saja lebih layak lagi. Biar aku bisa segera bangkit dari keterpurukan ini.

"Sabar! Tenang! Sellow!" jawabnya seolah meledek. Sialan memang! Kalau nggak karena aku butuh, sebenarnya malas banget. Ya, karena aku butuh saja, makanya aku turuti semua keinginan dia.

Sabar Bima! Sabar! Yakinlah, kalau Ali akan memberikan kamu pekerjaan yang sangat layak. Jadi kamu bisa membungkam mulut orang-orang yang sekarang meremehkan dan merendahkanmu.

"Ok," hanya itu tanggapan dariku. Terserah dialah maunya bagaimana. Aku turuti saja dulu. Biar dia puas dengan permainan yang sedang ia jalankan.

Permainan? Ya, aku sangat yakin memang dia sedang menjalankan suatu permainan. Aku ikuti saja. Ikuti dengan pasti! Ya, pelan tapi pasti.

"Ikut denganku!" pinta Ali. Kenin
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Akhirnya. 101

    Bab 101Akhirnya"Kalau itu memang keputusan kalian, saya juga tak hak untuk melarang," ucapku akhirnya. Setelah sekian menit terdiam. Karena memang sedang mencerna. Mereka ngomong baik-baik, maka aku juga harus menanggapinya dengan baik-baik juga. Biar tak ada hati yang saling terlukai. Karena lidah itu lebih tajam dari pada pedang. Sebenarnya mendengar Azkia mau dimasukan ke asrama, aku kurang setuju. Karena sebenernya aku sangat ingin Azkia ikut satu rumah denganku. Tapi, jelas mereka ngomong seperti itu, sudah mereka rundingkan dan pikir matang-matang. Karena mereka tetap menginginkan yang terbaik buat Azkia. Tetap mereka memikirkan yang terbaik untuk semuanya. Mungkin sudah panjang mereka mencerna dan menimbang. Aku lihat Ratih dan Mas Maftuh saling beradu pandang sejenak. Aku sangat yakin mau menyampaikan ini pun mereka juga berat. Pasti juga memaksakan diri untuk berani bicara. Aku yakin itu, karena aku sangat tahu bagaimana mereka. "Ibu tak marah?" tanya Ratih. Mungkin dia

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   jebakan. 102

    Bab 102Jebakan"Di ruangan itu kamu akan tahu," ucap Ali seraya menunjuk. Mataku segera mengikuti tangan Ali menunjuk. Cukup membuatku semakin penasaran. Hingga aku gigit bibir bawah ini, agar tetap terlihat santai. "Emm ....""Ayok masuk! Biar kamu tahu! Dari situ lah kamu akan tahu, pekerjaan apa yang akan aku berikan padamu," ucap Ali. Ku tarik kuat-kuat napas ini, kemudian mengembuskan pelan. Nggak tahu kenapa, rasa penasaran semakin menyeruak, tapi rasa deg-degan juga semakin menjadi. Semoga bukan pekerjaan yang akan menggiringku untuk masuk penjara lagi. Aku benar-benar harus waspada. Karena hati ini sudah merasa tak nyaman. Entahlah!Ali terlihat melangkahkan kaki lagi. Karena biar tak penasaran, akhirnya aku juga mengikuti langkah kaki Ali lagi. Ingin tahu apa sebenarnya isi ruangan yang telah dibuka itu. Ingin tahu juga aku harus bekerja sebagai apa. Saat kaki ini sudah berada di ambang pintu, Ali membentangkan ke dua tangannya dengan gagahnya. Aku hanya bisa terdiam denga

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Next 103

    "Aku tahu, tapi biarkan itu menjadi urusanku," jawabku untuk lebih meyakinkan. "Ok, kalau memang itu keputusanmu. Tapi ingat! Jangan sampai orang di luar sana tahu. Kalau sampai ada tahu, apalagi polisi, kamu orang pertama yang akan aku cari!" ucap Ali, seolah dengan nada mengancam. Kuulas bibir ini sejenak. "Kamu tenang saja! Aku akan tutup mulut. Tapi ingat cepat atau lambat bau bangkai pasti akan tercium juga," balasku. Dia terlihat menyeringai kecut. Kemudian mengangkat kedua bahunya. Entah apa maksudnya. "Aku sudah lama menjalan kan bisnis ini, selama ini akan. Tapi setelah aku bawa kamu ke sini dan kalau sampai ada yang tahu, berarti kamu pelakunya," balas Ali dengan nada santainya. Tenang! Tenang! Tenang! Aku yakin ini hanya gertakan dia saja. Tenang! Santai! Jangan terbawa alur! Dia itu berarti sudah bukan Ali yang polos dulu! Kalau dia berani menjalankan bisnis ini, berarti dia licik! "Ok, terimakasih! Aku mau pulang dulu!" pamitku kemudian beranjak. Sengaja aku jawab se

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Keputusan Akhir. 104

    Bab 104Keputusan Akhir"Di mana?" tanya Mas Budi dari seberang. Ya, tumben kakak lelakiku ini nelpon aku. Bisanya juga sangat jarang sekali. Kalau telpon pasti ada hal penting yang akan dia sampaikan. "Di rumah, kenapa, Mas?" jawab dan tanyaku balik. "Aku mau ketemu, ada yang mau aku omongkan," jawab Mas Budi. Cukup membuat kening ini melipat. Nada suaranya terdengar sangat serius. Cukup membuat deg-degan saja. "Tentang apa?" tanyaku penasaran. "Azkia," jawabnya singkat. Astaga ... tentang Azkia? Ya memang dia tak aku ajak rundingan masalah Azkia. Apa dia sakit hati karena dengar dari Emak atau Lastri? Atau ada hal lain selain memindahkan Azkia? Entahlah!"Owh ... ok," jawabku santai. Lebih tepatnya sok santai. Karena mendengar nada suara Mas Budi dia sangat serius sekali. "Ada siapa di rumah?" tanya Mas Budi. "Komplit. Anak-anak dan suami ada di rumah semua," jawabku. Ya memang saat ini komplit. Mereka semua ada di rumah. "Bagus kalau gitu. Aku siap ke sana," ucap Mas Budi.

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Next 105

    Mas Maftuh diam saja. Kurasa dia juga merasakan apa yang aku rasakan. Dia juga terlihat menunduk terus. "Tak masalah. Emm ... sudah kamu urus surat pindahnya?" tanya Mas Budi lagi. Nampaknya dia tak marah. Tapi nggak tahu juga bagaimana isi hatinya. "Belum. Niatnya besok," jawabku. Ya, karena besok aku berniat ingin memindahkan Azkia. "Kalau menurutku tak usah dipindahkan," ucap Mas Budi. Cukup membuat keningku melipat. Mencerna lebih dalam lagi. Belum paham apa maksudnya. "Kenapa?" tanyaku penasaran. Aku dan Mas Maftuh saling beradu pandang sejenak. "Kamu memindahkan Azkia gara-gara apa?" tanya balik Mas Budi. Kutelan ludah ini sejenak. Jika ditanya seperti itu, rasanya tak enak sekali mau menjelaskan. Karena intinya ingin bapak kandungnya tak mendekat. Kalau didengar memang tak pas. Aku tahu itu. Aku memang tak mau jika Mas Bima mendekati Azkia. Aku tahu mereka bapak dan anak kandung. Kalau di dengar memang jahat sekali. Tapi memang aku tak rela jika Azkia dekat dengan Mas Bim

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   TAMAT.

    EndingSatu tahun kemudianRencana hanya tinggal rencana. Pusing memikirkan jalan keluar suatu masalah, ternyata Allah telah mempersiapkan jalan keluar itu dengan mudahnya. Jalan keluar yang tak pernah terlintas sama sekali dalam pikiranku. Saat aku tahu Mas Bima keluar dari penjara, hati dan pikiranku kacau balau. Aku takut jika dia mendekati Azkia maka akan berdampak sangat buruk. Entahlah, mungkin benar kata orang, aku terlalu lebay. Aku terlalu mencemaskan anak perempuanku. Tapi biarlah lebay, karena faktanya satu tahun yang lalu, itu yang aku cemaskan, itu yang aku khawatirkan. Aku sudah bingung mencarikan jalan keluar demi kebaikan Azkia, sampai berniat ingin memindahkannya ke Malaysia. Ternyata itu semua hanya rencana, tapi Allah berkehendak lain. Allah ternyata tetap menginginkan Azkia tinggal bersama dan tetap dalam pengawasanku. Saat mendengar dan memastikan kalau Mas Bima masuk penjara lagi, seketika hati ini sakit tapi juga lega. Sakit, karena bagaimanapun dia tetap a

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Season 3 (Bab 1)

    "Aku udah muak dengan semua ini!""Kamu pikir kamu aja yang muak, aku nggak muak? Hah? Aku juga muak!""Kamu tuh kebiasaan selalu menjawab ucapan suami!""Terus aku suruh diam? Aku nggak boleh jawab ucapan kamu? Aku harus jadi seperti patung gitu?""Diam!""Kalau aku nggak mau diam Kenapa?""Dasar Istri durh4ka!""Kamu itu suami yang durh4ka!"Plak!Satu tamparan mendarat ke pipi mama begitu saja. Cukup keras, aku yakin itu pasti sangat sakit. Cukup membuatku terkejut. Seperti inilah kehidupanku setiap hari. Selalu melihat pertengkaran kedua orang tuaku. Mereka yang bertengkar, aku yang merasakan sakitnya. Hati ini sangat sakit sekali. "Tampar lagi! Biar kamu puas! Kenapa cuma nampar sekali? Ayo tampar lagi!" Mama menyodorkan pipinya dengan tatapan menyalang. Seolah pipi itu emang sudah terbiasa ditampar oleh tangan papa. Jadi mungkin sudah tak terasa sakit. Walau aku sangat yakin, kalau itu sangat sakit sekali. Sungguh sakit sekali hati ini. Kedua orang tuaku memang masih lengkap.

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 2

    "Orang tuamu berantem lagi?" tanya Azkia. Aku memilih keluar dari rumah dan bertemu dengan Azkia. Padahal aku belum cerita apa-apa, tapi Azkia sudah bertanya lebih dulu. Lebih tepatnya dia menerka. Tapi memang seperti itulah, Azkia sudah tahu bagaimana keluargaku. Jadi, jika ekspresiku bersedih dia pasti langsung menduga ke situ. Semuanya sudah aku ceritakan pada Azkia. Aku anggukkan dengan malas kepala ini. Azkia kemudian mengusap punggung ini. Diusap seperti itu oleh Azkia, bukannya tenang tapi malah semakin membuat hati ini sesak luar biasa. Air mata yang tadinya sudah berhenti, kini bergulir begitu saja. "Aku iri sama kamu Azkia." Isakku sesenggukan. Aku melihat kening Azkia melipat. "Kamu iri sama aku?" Azkia mengulang kata itu mungkin hanya untuk memastikan lagi apa yang ia dengar dari mulutku ini. Aku usap pipi ini dengan tangan gemetar. "Iya. Aku sangat iri sama kamu. Hidup kamu bahagia, hidup kamu sempurna, sangat berbeda dengan hidupku." Azkia terlihat menganga. Kemudian

Latest chapter

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   TAMAT

    "Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 41

    "Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 40

    Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 39

    Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 38

    "Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 37

    "Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 36

    "Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 35

    "Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 34

    "Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda

DMCA.com Protection Status