PENANGKAPANBAB 70Bismillah ....Bayangan Mbak Ratih kritis sangat menghantui pikiranku. Tapi, justru itu aku berani dan bertekad untuk mencari Pak Revando dan Pak Haikal. Pokoknya mereka harus ketemu, entah bagaimana caranya.Kaki ini terus melangkah menuju masuk gerbang panti jompo Harapan. Melangkah seorang diri, dengan komunikasi yang sudah terhubung ke Pak Aksa. Sudah ada pengawalan ketat di luar sana. Aku yakin semua pasti akan baik-baik saja.“Mencari siapa, Pak?” tanya perempuan muda, dengan memakai seragam panti jompo Harapan ini. Mungkin ia salah satu pekerja panti jompo ini. Ia terlihat mengulas senyum tipis. Mungkin yang melihat aku celingukan menimbulkan penasaran baginya.Ya, aku celingukan karena memang mencari keberadaan Pak Revando dan ibunya. Tapi, mata ini belum menemukan mereka.“Emm, atas nama Bu Jumarni, apa masih di sini?” tanyaku. Perempuan muda itu, terlihat melipat kening sejenak.“Maaf, Bapak ini siapa?” tanyanya lagi. Mungkin dia pekerja baru, karena dulu
Penggerebekan di MakamBAB 71.......................“Tak kusangka Pak Revando tega mengkhianati anak saya,” ucap Pak Aksa. Kami masih di dalam mobil. Melucur ke makam. Nggak tahu kenapa hati ini berdegub nggak menentu. Aku hanya takut Pak Revando lepas lagi, dan akhirnya tak mengetahui di mana keberadaannya.“Sama, Pak, saya juga,” balas Pak Bisri. Aku masih fokus menyetir dan di belakang kami ada mobil Polisi yang mengawal. Lagi, Pak Aksa meminta mereka untuk tak menyalakan sirine mobil Polisi.“Sekarang dalam kondisi buronan, ibunya meninggal. Pasti hatinya hancur,” ucap Pak Aksa.“Iya, Pak. Tapi apapun itu, ia telah bersalah, percobaan pembunuhan. Bahkan Bu Melisa terkena imbasnya,” balas Pak Bisri.“Iya, bapak benar. Emmm, sekarang kita juga tak tahu di mana Haikal, menantu sialan tak tahu diri,” sungut Pak Aksa. Aku lihat dari kaca spion atas, ia menempelkan gawainya di telinga.“Hallo ... Radit!” ucap Pak Aksa, owh ... dia sedang menelpon Pak Radit. Walau sudah menjadi mantan
AKHIRNYABAB 72“Ada apa?” tanya Pak Aksa padaku. Setelah aku matikan panggilan telpon dari Bu Putri. Dengan keadaan hati yang tak bisa aku jelaskan, tanganku terasa bergetar saat mau memasukan gawai ke dalam saku.Karena saking gemetarnya, gawai yang harusnya masuk ke dalam saku terjatuh begitu saja.“Om, baik-baik saja?” tanya Lita, padahal dia sendiri masih sesenggukan.“Pak Maftuh baik-baik saja?” tanya Pak Aksa juga, segera aku raih ponselku yang jatuh itu. Kemudian segera aku masukan lagi ke dalam saku. Badan ini semakin terasa melemas. Keringat dingin semakin terasa bercucuran dengan derasnya.“Kita harus ke rumah saki, Bu Ratih ....” dengan gemetar aku menyampaikan kata. Itu pun tak kuasa aku untuk melanjutkan kata.“Ada apa dengan Ratih?” tanya Pak Aksa lagi. Kutelan ludah yang terasa sangat susah.“Pak, nampaknya jangan di tanya lagi. Pak Maftuh nampaknya pucat sekali. Lebih baik kita langsung ke rumah sakit saja,” sahut Pak Bisri.“Baiklah,” jawab Pak Aksa seraya mengangguk
ENDINGBAB 73Saat mata ini terbangun, aku melihat sosok perempuan yang telah berjuang nyawa melahirkanku, ada di dekatku.“Mak,” sapaku lirih. Tenggorokan terasa kering.“Alhamdulillah ... alhamdulillah ... Nduk ... kamu bangun? Alhamdulillah ....” ucap Emak dengan suara penuh isakan dan sesenggukan. Terus mengucapkan kata hamdallah.Sedikit kuedarkan pandang. Ada dua orang berseragam putih, layaknya dokter dan suster juga sedang menatapku. Aku ingin bangun, tapi ... “aow ...” punggungku terasa nyeri, sakit dan ngilu. Ada apa ini?“Jangan banyak gerak dulu, ya!” Pinta seseorang yang menggunakan jas putih. Aku kenapa? Kumencoba mengingat kembali. Kupejamkan mata sejenak, karena rasa ngilu di punggungku sangat mengganggu.Seingatku, sebelum semua gelap, aku di gendong Pak Maftuh. Ya allah ... iya, bagaimana dia? Kala itu aku dan dia sedang di kejar pembunuh bayaran Bu Sukma.“Nduk, jangan memejamkan mata lagi. Bangun, Nduk!” ucap Emak nampak nada suaranya cemas dan khawatir.Apa aku te
EKSTRA PARTAku sudah pulang sekarang. Walau kondisiku belum sembuh benar, Bu Putri tetap menginginkanku di apartemennya. Beliau yang merawatku.Sekarang apartemen ini ramai dengan adanya dua anak kecil. Gibran dan Azkia. Ah, berharap kelak mereka berjodoh. Tapi, kalau pun tak berjodoh juga tak apa. Asal saat mereka dewasa kelak, bisa saling akur layaknya saudara. Itu sudah lebih dari cukup bagiku.“Makan dulu, Tih!” pinta Bu Putri. Aku mengulas senyum. Aku sudah kuat duduk sendirian tanpa bantuan.Bu Putri, selama aku sakit, sampai rela membayar suster jaga di apartemen ini. Jadi jika aku ngerintih sakit atas luka di punggungku, langsung ada penanganan.Sungguh, Bu Putri sungguh baik sekali. Emak juga sering nginap di sini. Abah tetap memutuskan pulang ke rumah. Karena ada pekerjaan yang tak bisa Abah tinggal.Lastri hampir setiap hari video call denganku. Dia harus istirahat total atas kehamilan pertamanya itu. Selain mabok parah, kata dokter kandungannya juga lemah. Jadi untuk trim
EKSTRA PART 2Mobil ini melaju dengan santai. Aku tak tahu mau di bawa kemana. Pokoknya nurut saja. Karena aku yakin lelaki ini, lelaki baik.Sesekali aku melirik Mas Maftuh. Lelaki yang dulu aku panggil 'Pak' kini telah berubah menjadi 'Mas'. Sampai detik ini pun, aku seolah masih belum percaya, jika akan menikah dengannya.Diawal pertemuan dulu, aku sempat mikir ia sudah punya istri. Karena wajahnya yang sudah terlihat sangat berumur.Ternyata dugaanku salah. Bahkan kata Bu Putri, lelaki ini pernah mengalami patah hati yang mendalam. Hingga susah untuk bangkit dalam keterpurukannya. Bukan karena di khianati, tapi karena Allah belum meridhoi, untuk mereka menikah, hingga Allah mengambil kekasihnya.Siapa sangka, lelaki yang nampak selalu tegas dan terlihat berwibawa itu, ternyata memiliki kisah sedih, yang sangat mendalam seperti itu?Semoga kali ini, Allah meridhoi, untuk kami saling memiliki.Aamiin.**************"Pakai kursi roda?" tanya Mas Maftuh. Saat mobil sudah berhenti."N
Ekstra Part 3satu Tahun KemudianHidup ini memang penuh dengan lika liku. Banyak sekali cobaan. Tapi, dari cobaan itulah, kita bisa belajar arti dari sebuah kehidupan. Pengalaman adalah guru terbaik, aku menyetujui itu.Aku sempat lelah dengan hidupku, sempat lelah dengan kemelutnya rumah tanggaku di masa lalu. Cacian, makian, bentakan, tak adanya rasa pengertian, bahkan pengkhianatan dari lelaki bergelar suami, sudah semuanya aku rasakan.Sakit? Jelas! Jelas sakit sekali. Tapi, yasudahlah! Sudah menjadi jalan takdirku.Kini rasa sakit itu sudah berlalu. Sudah jauh hari aku move on dari kenangan masa laluku. Asak anak semata wayangku selalu bersama denganku, jelas aku sangat bahagia. Karena dia adalah harta terindahku yang aku punya.Tak terasa, kejadian yang cukup menggores hati itu, sudah satu tahun berlalu. Bahkan tepat hari ini, aku dan Mas Maftuh akan mengikrarkan janji suci pernikahan. Alhamdulillah akhirnya.Kala itu, ketok palu resmi untuk menyandang status janda, aku rasakan
SEASON 2BAB 1"Ratih, bangun!" Samar-samar aku mendengar suara Mas Maftuh. Suara berisik di rumah ini terdengar sangat kuat di telinga, semakin menambah rasa sesak. "Mas," lirihku. Nada suara terasa tercekat di tenggorokan. Mas Maftuh meremas pelan tangan ini. Saat mata ini benar-benar terbuka, aku melihat matanya berkaca-kaca. Tak berselang lama bergulir begitu saja. "Astagfirullah ... Abah ...." teriakku hingga seketika beranjak begitu saja. "Tenang, Dek! Tenang!" ucap Mas Maftuh, suamiku. Ia seketika memeluk badan ini. Tangisku semakin pecah. Sesenggukan aku dalam pelukan lelaki halalku ini. "Abah, Mas .. Abah! Abah mana?" teriakku begitu saja. Mas Maftuh menenggelamkan kepala ini di dadanya. Mengusap kepalaku pelan. "Sabar! Sabar! Sabar!" hanya itu yang suamiku katakan. Semakin menjadi rasa sesak di dalam sini. Sungguh sesak sekali."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un, Abah ... hu hu hu," tangisku semakin menjadi. Sungguh semakin pecah begitu saja. Mas Maftuh juga aku merasak
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda