Bab 89Pekerjaan Itu"Eh, Bima!!! Mau ke mana kamu?" telinga ini tiba-tiba mendengar suara perempuan dengan nada lantang. Segera aku menoleh ke asal suara, ternyata Mami Marka. Astaga ... ini kan belum ada sebulan? Kenapa dia sudah mencariku? Apa dia mau menagih? Ah, kalau ketemu Mami Marka memang bawaannya horor banget. "Eh, Mami Marka," ucapku basa basi hanya untuk menanggapinya saja seraya menggaruk kepalaku yang tak gatal sebenarnya. Dia terlihat melangkah mendekat. Seperti biasa dia ke mana-mana selalu dilindungi oleh bodyguardnya. Bikin serem saja. Aku sekarang sedang di jalan. Jalan kaki mau ke pangkalan ojek. Mau naik ojek ingin segera ke rumah Ali. Seperti yang sudah aku pikirkan, aku iyakan dulu saja pekerjaan dari Ali. Dari pada nggak ada kerjaan dan aku bingung mau makan apa jika uang ini habis. Setidaknya ikut Ali, aku sudah tak mikir makan lagi. Gaji pun utuh. Hanya untuk batu lompatan saja. "Mau ke mana?" tanya Mami Marka ketus. Kutelan ludah ini sejenak. Melihat B
"Owh ... Bos Ali kebetulan ada di dalam. Apakah sebelumnya sudah ada janji?" tanyanya tegas. Kutelan ludah ini sejenak. Buat janji? Sudah kayak orang penting saja si Ali. Hem ... tapi ok lah ... mungkin memang Ali sangatlah sukses. Satpam ini memanggil Ali dengan sebutan Bos Ali? Keren banget hidup Ali. Benar-benar diluar dugaanku pokoknya. Nampaknya dia juga sangat dihormati sekali. Pokoknya benar-benar diluar dugaanku. "Sudah kemarin," jawabku santai. Ya singkat begitu saja. Kalaupun satpam ini nelpon Ali, pasti Ali nggak kaget aku datang ke sini. "Bentar, saya telpon Bos Ali dulu. Siapa nama anda?" tanya balik satpam itu. Kan, benar dugaanku, pasti satpam ini akan telpon Ali. Itu artinya rumah ini, tak boleh asal masuk orang. Benar-benar penjagaan ketat. "Bima!" jawabku tegas. Hem ... udah kayak ketemu sama presiden saja rasanya. Harus ada janji dan harus di pastikan siapa yang datang. Kerenlah pokoknya. "Bos, ini ada orang bernama Bima, mau ketemu sama Bos!" ucap satpam itu.
Bab 91Jawab TelponTapi tumben Bu Putri tak angkat telpon dariku. Biasanya walau ngantuk pun, tetap saja dia angkat. Karena Bu Putri orangnya gampang sekali bangun dari tidur. Tak susah. Intinya gampang sekali bangun. Mudah-mudahan Bu Putri baik-baik saja. Tak ada yang terjadi apa-apa dengan beliau. Dreet! Dreet! Dreet!Gawaiku terasa bergetar. Tak berselang lama berbunyi. Segera aku meraih gawaiku ini. "Mungkin dari Bu Putri," ucap Mas Maftuh. Setelah gawai ada di tangan segera aku cek. Ternyata benar. Memang dari Bu Putri. "Iya, Mas, Memang telpon dari Bu Putri," ucapku. Mas Maftuh terlihat mengulas senyum. Segera aku mengangkat telpon dari Bu Putri. "Hallo ... Tih?" terdengar suara khas Bu Putri dari seberang. "Iya, Bu," balasku singkat. "Ada apa tadi nelpon? Aku lagi ...." Bu Putri menghentikan suaranya. Cukup membuat kening ini melipat. Kenapa dia menghentikan ucapannya? Benar-benar tak seperti biasanya. "Emm, Bu Putri lagi sibuk?" tanyaku untuk lebih memastikan. Karena
Komunikasi terputus, aku yang memutuskan. Segera aku meletakkan gawai di tempat semula. Kuhela panjang napas ini. Kemudian aku mendekat ke arah Mas Maftuh. Mas Maftuh sendiri terlihat membenahi posisi. Nampaknya juga terlihat bingung. Bingung? Ya, terlihat dari raut wajahnya. Aku pun juga. Apalagi mendengar nada suaranya yang sangat bahagia itu. Ya Allah ...."Sumpah aku nggak tega, Mas," ucapku. Mas Maftuh terlihat menghela napas panjang. "Kita tidur dulu saja, ya! Kita bahas besok lagi, ya! Badan kita juga butuh istirahat," pinta Mas Maftuh. Sebenarnya aku sangat ingin membahas ini. Tapi, aku juga tak bisa memaksa. Karena ucapannya ada benarnya juga. Karena memang sudah waktunya untuk istirahat. Badan juga sudah terasa lelah. Bukan hanya badan saja yang lelah, tapi pikiran juga. "Ok. Kita istirahat dulu," balasku akhirnya. Walau hati ini berkemelut hebat, tapi aku juga tak bisa memaksakan kehendak. Karena aku juga tak mau ada keributan adu mulut gara-gara ini. Ya Allah ... sem
Bab 93RejekiPagi ini Mas Maftuh yang antar anak-anak ke sekolah. Mudah-mudahan tak ketemu dengan Mas Bima. Kalau sampai ketemu, entah apa yang akan terjadi. Kalau Mas Bima nekad, bisa saja tetap kekeuh ingin ketemu lagi dengan Azkia. Tapi kalau dia kemarin hanya cari simpati saja, mungkin hari ini tak ke sekolahan Azkia lagi. Cari simpati? Ya, seperti itulah aku menilai Mas Bima. Entahlah, mau dia jujur sekali pun, hati ini sudah terlanjur tak percaya. Jadi memang sudah sangat susah membuat hati ini, untuk bisa saling percaya lagi dengan semua ucapannya.Bagiku semuanya yang terlihat baik, menurutku hanya mencari simpati saja, untuk mendapatkan keuntungan dan kebaikan untuk dirinya sendiri. Bukan untuk kebaikan Azkia. Aku yakin itu. Aku sendiri sudah bersiap. Ya, karena pesan Mas Maftuh tadi, memang aku dimintanya bersiap, mumpung dia yang antar anak-anak sekolah. Jadi aku bersiap terlebih dahulu, karena memang aku yang lumayan lama bersiap-siap dibandingkan dia jika mau pergi.
Komunikasi terputus, aku yang memutuskan. Dapat panggilan dari Emak terasa bingung, tapi emang harus segera di jelaskan. Segera aku merapikan diri. Segera menuju ke ruang tamu, sambil menunggu Mas Maftuh pulang antar anak-anak ke sekolah. Ya, pesan Emak memang sangatlah pas. Karena jujur saja aku pun takut, jika ucapanku ini nanti, membuat hati Bu Putri sakit. Atau intinya terjadi salah paham gitulah diantara kami. Mudah-mudahan saja tidak tejadi salah paham atau yang lainnya. Amiin. ***************************"Sudah siap?" tanya Mas Maftuh. Dia baru saja sampai rumah. Aku duduk santai di ruang tamu. Sengaja memang menunggunya. "Sudah," jawabku. Karena memang aku sudah menunggu. Sudah siap meluncur ke rumah Bu Putri. Karena ingin segera membahas ini, biar hati ini sedikit lega. "Yok, berangkat!" ajak Mas Maftuh. "Yok!" balasku penuh semangat. Pokoknya kalau masalah anak, walau capek tetap semangat. Kemudian kami saling beranjak dan melangkah untuk menuju ke mobil. Siap untuk b
Bab 95Suatu kerjasama"Yakin mau kerja jadi tukang kebun?" tanya Ali, mungkin memastikan, atau memang mau merendahkan. Entahlah!"Iya, aku yakin," jawabku. Kalau benar-benar tak butuh pekerjaan, aku pun tak mau jadi tukang kebun. Tapi dari pada nanti aku dikejar-kejar Mami Marka lebih baik aku jadi tukang kebun dulu saat ini, tak masalah, yang penting aku dapat uang. "Ok! Sebelumnya kita ngobrol dulu sejenak!" ucapnya. Cukup membuat keningku melipat. "Ok," balasku sok santai. Ya, aku memang berusaha sesantai mungkin. Agar tak terlihat gugup. "Sebenarnya aku tak menawarkan kerjaan tukang kebun untukmu. Kala itu kita ada di warung makan, tak mungkin aku katakan yang sejujurnya di sana, yang penting kamu datang dulu," ucap Ali. Cukup membuatku semakin melipat kening. Karena bingung. "Lalu? Kerjaan apa yang akan kami berikan?" tanyaku penasaran. Dia terlihat mengulas senyum. Senyum yang tak bisa aku artikan. "Ya, aku sengaja menyebut tukang kebun, karena aku juga ingin tahu, kamu se
Ali terlihat memainkan rokoknya. Ya, habis makan kami memang merokok. Sungguh nikmat sekali rasanya. Andaikan setiap hari bisa seperti ini, aku tak akan mendekati dan mengemis untuk bisa dekat dengan Azkia. Kurang ajar memang si Ratih. Berani dia memisahkan aku dengan anak kandungku sendiri. Dosa besar sekali dia!"Katamu kan, kamu mantan narapidana. Dulu bisa masuk penjara gara-gara apa?" jelas Ali. Seketika bibir ini sedikit menganga. Owh ... ternyata ke situ arah pembicaraan ini. Mungkin dia mulai penasaran dengan hidupku yang tragis ini. Ya, masa laluku memang tragis, bahkan tragisnya sampai sekarang masih aku rasakan. "Panjang sekali kisahnya," jawabku singkat. Karena jujur saja aku malas jika disuruh untuk bercerita. "Panjang? Persingkat saja! Ceritakan intinya!" pinta Ali. Kuhela sejenak napas ini. Nampaknya dia memang benar-benar penasaran. Sudahlah aku ceritakan saja. Hitung-hitung ucapan terima kasih karena telah ngajak aku makan dengan lauk yang sangat enak sekali Hari i
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda