"Jika hidupmu tidak semulus yang kamu inginkan, mungkin Tuhan ingin kamu berjuang lebih dari ini."
***
"Apa? Tidak mungkin ini bisa terjadi, coba cek kembali semua berkas yang ada!" titah Aditya Kesuma Agung, ayah Clara.
Kebangkrutan yang terjadi di perusahaan membuat hidup seolah berbalik 360 derajat. Bagaimana bisa perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 2000an itu harus kandas dalam waktu singkat. Papa tertipu oleh salah seorang investor asing, tergiur dengan nominal keuntungan, papa tidak berfikir panjang untuk mengambil tawaran kerjasama. Alhasil, untung tak dapat diraih, buntung tak dapat ditolak. Investor asing telah bekerjasama dengan aparat dalam negeri setempat, dan ini bukanlah aksinya yang pertama, pantas papa mudah terperangkap jeratan muslihatnya.
"Clara, terpaksa Mama dan Papa tidak bisa melanjutkan studimu, bahkan rumah ini juga akan tergadai, Nak. Kita harus pindah dari sini." Ucapan Mama kali ini berhasil membuatku terperangah. Bagaimana bisa semua aset hingga tabungan Papa juga habis tak tersisa. Ternyata investor asing yang menipu papa dan perusahaanya tidak hanya satu. Mereka bersekongkol terlihat seperti dua investor yang berbeda. Dan kali ini semua benar-benar tidak dapat diselamatkan.
"Kita mau kemana setelah ini, Ma, Pa?" sebisa mungkin aku bersikap tenang, karena apapun yang terjadi pasti memiliki jalan keluarnya sendiri.
"Kita akan ngontrak di sebuah kota yang jauh, Papa gak sanggup menahan malu saat ditanya oleh keluarga besar. Dengan kita pergi jauh dari sini, tidak ada yang mengenal kita, kita bisa hidup normal memulai semuanya dari nol lagi." Papa menjawab pertanyaanku sambil tertunduk menahan malu. Wajah menyesal papa terlihat jelas di depan mata, sambil terus mengacak rambut serta membongkar semua file yang ada, memastikan masih ada sisa harta yang kami punya.
***
"Silakan masuk, Pak, Bu. Inilah kondisi kontrakan saya, semoga Bapak dan Ibu betah ya." Sambutan hangat pemilik kontrakan baru mengubah sedikit suasana hati yang sudah seminggu dilanda kekeringan.
"Terima Kasih banyak, Mbak." Jawaban mama dengan sedikit senyuman terukir di ujung bibir.
Aku akui, meski Mama lahir dari keluarga terpandang, menikah dengan pengusaha besar, tidak membuat mama angkuh dan tinggi hati. Darinya aku belajar bagaimana tetap membumi, meski seperempat isi dunia telah ku jelajahi. Mama tampaknya tidak begitu frustasi menghadapi keadaan ini. Aku akui itulah sikap yang tepat untuk keadaan kami saat ini. Terlebih mama harus selalu menguatkan papa. Keadaan kami sungguh memprihatinkan, kedewasaan memaknai dan menjalani hidup menjadi poin penting, tak jarang di luar sana, dengan keadaan yang sama namun berakhir berbeda. Ada yang mengakhiri hidup sia-sia karena tak kuasa menahan malu, menatap dunia pun tak mampu.
" Clara, bantu mama beres-beres ya, Habis ini kita masak untuk makan siang."
"Iya, Ma."
Tatapan papa masih kosong, duduk di teras rumah dengan ukuran 6x6 ini. Menatap jalan sepi yang memang tak banyak lalu lalang di sini. Nampaknya perumahan ini tidak begitu ramai, bahkan ada beberapa unit rumah kosong tak berpenghuni, meski bangunan perumahaan ini terlihat masih baru, dengan sapuan cat yang masih cerah, tetap saja sebuah rumah tak berpenghuni menyisakan kesan sunyi. Akhirnya kami sekeluarga memilih tinggal di sebuah kecamatan kecil di Sumatera Utara. letaknya di pinggir kota besar. Akses menuju kota butuh waktu tiga puluh hingga empat puluh lima menit. Transportasi tidak begitu banyak melintasi daerah ini, menambah kesan sunyi namun damai karena suasana hijau dengan pepohonan rimbun masih berjejer di sekitar perumahan ini.
"Papa jangan sedih, Clara disini temani Papa dan Mama selalu, Clara akan cari kerjaan tambahan untuk kita." ku rengkuh punggung tangan papa, sesekali ku sapu air bening yang jatuh dari sudut matanya. Tak bisa aku pungkiri, seminggu ini papa sangat terpukul, pelukan hangat mama, kedewasaan mama serta kerelaan hatinya lah yang menopang hati papa yang rapuh.
"Papa mau minum apa? Clara buatin minum ya?" Ku peluk dengan hangat tubuh yang selama ini menemaniku, memberikan apapun yang aku mau, memanjakanku dengan seisi dunia. Kini aku lah yang harus memanjakannya.
"Papa mau minum teh manis dingin aja." Jawaban papa berhasil membuat sudut bibir ku merekah, kini wajahku tak henti memandanginya. "Tuhan, berilah kekuatan untuk kami. Kami yakin, semua tak lepas dari kuasaMU" Doaku lirih di dalam hati.
***
Dua pekan telah berlalu, Aku dan Mama membuka kios kecil di depan kontrakan sepetak ini, bermodalkan sisa tabungan yang ada, sekedar menyambung hidup sampai aku menemukan pekerjaan yang lebih baik. selama itu pula aku tak pernah mendengar mama mengeluh, kesabarannya berbuah manis, kini papa jauh lebih bersemangat. Setiap dua hari sekali papa akan pergi ke pasar untuk membeli barang apa saja yang sudah habis di kedai kecil kami. Kami menjual aneka jajanan, minuman ringan, sembako dan kebutuhan kering lainnya, Alhamdulillah semua berjalan lancar. semangat papa sudah kembali, bahkan papa sudah memiliki rencana apa saja kedepannya jika kami memiliki modal lebih besar lagi.
"Ma, ada lowongan kerja nih!" Jemariku lihai menunjuk ke salah satu kotak iklan di surat kabar yang aku beli tadi pagi, nampaknya aku sudah terbiasa mencari informasi lowongan kerja di semua surat kabar, hingga ketika melihat iklan lowongan kerja, mataku langsung tertuju kesana.
"Jadi penyiar radio? Apa kamu bisa, Nak?" Mama terlihat meragukanku, bukannya aku seorang mahasiswi semester lima jurusan Ilmu Komunikasi? Hal berat yang kami lalui nampaknya membuat mama melupakan itu.
"Ma, Clara kan mahasiswa ilmu komunikasi, apa mama lupa?" sahutku dengan tertawa lebar sontak membuat mama sadar ternyata gadis kecilnya sudah dewasa, sudah pintar menjawab kegundahan mama.
"Oh iya, Astagfirullah.. Mama lupa sayang. yaudah, kapan kamu mau antar lamarannya?"
"Besok, Ma. Inshaa Allah."
"Diantar papa ya besok. Anak papa harus dikawal nih, Ma." Suara papa terdengar dari depan pagar, papa baru selesai berbelanja kebutuhan kedai, sepertinya sedari tadi sudah di sana, menyimak obrolan dua wanita penting dalam hidupnya.
"iya dong. harus dikawal, entar kalau diculik gimana?" Tak mau kalah, seketika jawabanku mencairkan suasana kami bertiga. Ya, justru entah mengapa, keadaan kami yang baru membuat keluarga ini semakin hangat. Tidak seperti dulu, intensitas bertemu bisa di hitung hanya dengan sepuluh jari.
***
"Cantik banget sih anak gadis papa, pengusaha mana nih yang akan mempersuntingnya?" goda papa seketika membuat wajahku merona.
"Hahaha... papa ini bisa aja, belum mau nikah ah, masih muda gini."
"Kalau nanti ada yang godain kamu di tempat kerja, lapor papa ya, Clara." Ternyata godaan papa disambut baik oleh mama. Ah senang rasanya melihat keluarga ini. Ya Tuhan.. terima kasih Engkau masih berbaik hati pada kami. Terima kasih untuk pelajaran berharganya.
***
Setelah menempuh waktu perjalanan selama satu setengah jam, kini aku dan papa tiba di sebuah radio yang cukup ternama di kota ini.
"Selamat pagi, ada yang bisa di bantu pak?" sapaan petugas keamanan membuyarkan lamunanku tentang gedung berlantai empat ini.
"Mau antar surat lamaran pekerjaan, pak. Antar kemana ya?" Jawabku.
"Silakan mbak dan bapak masuk ya, lalu di dalam setelah pintu masuk, ada yang standby di sana, bagian personalia."
"Terima kasih, Pak"
Gegas aku dan papa masuk ke dalam gedung berlantai empat tempat di mana aku menaruh harapan besar di dalamnya. Bermodal instruksi petugas keamanaan, aku langsung menuju meja resepsionis untuk menyerahkan map cokelat yang kubawa.
"Eh maaf, sorry..sorry.. gak lihat ada cewek cantik duduk di sini." Permohonan maaf lelaki yang aku tau dia sengaja menyenggol kakiku yang sejak tadi diam saja. Setelah memberikan map cokelat ke bagian personalia yang berjaga di meja resepsionis, aku dan papa duduk di kursi tunggu.
Menggunakan blouse tangan panjang bewarna peach dengan bawahan rok plisket bewarna gradasi hitam dan abu, sepertinya dandananku menarik perhatian semua orang di sini sedari tadi. Salah satunya dia. Pria tinggi berkulit putih dengan jambang tipis di kanan dan kiri pipinya. Tampilannya sederhana, dengan jeans biru kaos abu. Sempurna untuknya karena kulit putihnya. Tapi.. kok attitudenya gak banget ya??
Kejadian tadi siang masih menyisakan rasa penasaran di dalam hatiku. Kenapa dia seolah sengaja melakukan itu? Apa ada yang salah denganku? Lagi, hatiku bertanya, pasalnya wajahnya seperti pernah kutemui, namun entah dimana. Apa aku dejavu? ***"Selamat sore mbak Clara, saya Agnes bagian personalia Love FM. Besok mbak ada waktu untuk interview?""Selamat sore, mbak. Ada mbak, kira-kira jam berapa ya mbak?" Tanyaku"Jam 9 pagi mbak, langsung bertemu dengan pak Hisyam Prayuda selaku HRD ya, mbak." imbuhnya"Baik, terima kasih." perbincangan pun berakhir dengan sebuah informasi bahwa besok aku akan langsung di interview dengan seorang HRD, itu artinya ini selangkah lebih maju. Tak kusangka, secepat ini progres map cokelat yang baru tadi siang kuberikan***Berbekal sedikit informasi dari internet seputar apa saja pertanyaan yang biasanya ditanyakan saat interview. Aku siap untuk menjawab semua pertanyaan dari mereka. Ini adalah kali pertama aku di interview sebuah perusahaan, karena jang
Pagi ini tepat satu bulan masa training ku di perusahaan yang setiap harinya memberi hiburan untuk banyak orang, Ya, Love FM memiliki jangkauan siar cukup jauh bahkan bisa dinikmati secara streaming atau online lewat link website yang selalu disampaikan. Dan aku mulai merasa betah bekerja di sini, banyak ilmu komunikasi yang tentu idak kudapatkan dibangku kuliah.Tidak ada hal yang menggangguku, semua terlihat aman terkendali, keuangan keluarga perlahan membaik seiring dengan melebarnya toko kedai depan rumah."Sudah makan siang?" suara berat nan dalam membuyarkan lamunanku."Belum, pak Hisyam.""Kalau begitu, ayok makan siang bareng! saya traktir kamu kali ini.""Tidak perlu, Pak. Makasih. Saya bawa bekal.""Yasudah, temani saya makan siang, kamu tetap makan bekal kamu."Perintah macam apa ini? huh!Bukan maksud ingin menjadi pembangkang, kesannya tetap enggak pas untuk seorang karyawan baru, baru aja selesai training satu bulan, sudah diajak makan siang bareng bos."Lain kali saja
Sejak semalam, wajahnya masih terbayang di benakku. Wajah sangat tak asing bagiku. Tetapi dimana aku berjumpa dengannya?"Silakan masuk." ujarku seraya menutup kembali map cokelat berisi data gadis berambut ikal sebahu di hadapanku. Hari ini ia sangat cantik dengan balutan dress selutut bewarna mint blue.Dadaku kian berdesir menyaksikan gadis ini berada di depanku, lamat-lamat ku perhatikan wajah manisnya yang sungguh tak asing bagiku."Clara Putri Aditya, Apa yang membuat Anda ingin bekerja di radio ini, menjadi seorang penyiar? Kelihatannya Anda bukan gadis biasa." ujarku.Pertanyaanku sontak membuatnya gugup, bisa ku lihat dari raut wajah cantiknya. Kendati rasa gugup sangat terasa dari dirinya, dia tetap anggun menjawab segala pertanyaan yang keluar dari mulutnya.Pemandangan ini sungguh indah, dia datang dalam kehidupanku seolah menjadi titik cerah supaya Ayah serta Bunda percaya bahwa aku punya pacar dan tidak lagi memaksa perjodohan konyol itu.Seminggu lalu Ayah memberikan ul
Hari ini aku memutuskan untuk tidak berangkat bekerja, seluruh badanku mengigil sejak subuh tadi, sepertinya ini efek semalaman aku tak dapat memejamkan mata, hingga ayam bu Broto-tetangga baru kami di komplek- berbunyi barulah mataku perlahan melemah dan terpejam, entah apa yang aku pikirkan, bahkan meski tugas kuliah menumpuk pun aku tidak pernah tidur sepagi ini."Sarapan dulu, Clara! Habis itu makan obatnya ya Sayang!" Titah mama saat masuk ke dalam kamarku membawa nampan berisi semangkuk bubur ayam, teh hangat dan juga obat pereda demam."Iya Ma, nanti Clara makan.""Kamu mikirin apa sih? sampai demam begini?""Enggak apa-apa, Ma. Mungkin kecapean aja." aku sendiri gak tahu, apakah benar badanku yang lelah atau pikiranku yang gundah"Mama tinggal ya, jangan lupa dimakan sarapan dan minum obatnya!" Mama berlalu keluar kamar menuju kedai kami. Seperti biasa, pagi hari kedai selalu diramaikan para ibu-ibu yang ingin berbelanja sayuran atau lauk pauk lainnya untuk disuguhkan saat sar
Sejak pertama aku berjumpa dengannya, wajahnya yang seperti pernah kutemui entah dimana, aku merasa ada sesuatu antara aku dan dia meski kami belum pernah bertemu. Apa aku dejavu?Saat matamu kini tajam menatapku, tubuhku serasa disengat listrik berkekuatan tinggi, ada desir yang tak dapat dihentikan. Kamu Cantik!Entah doa atau kebaikan apa yang aku berikan dan lantunkan, hingga Tuhan turunkan bidadari di depan mataku. Ya, aku jatuh cinta pada pandangan pertama.Ratusan gejolak bergelora di dada, seribu cara kucoba agar aku selalu bisa bersamamu, menutupi rasa gugupku, bahagiaku dengan segala tingkah konyolku, belum pernah aku merasa jatuh seperti ini, jatuh yang ingin berkali kali aku rasakan, Jatuh cinta padamu.Sebulan mengenalmu lewat masa training membuat hatiku makin tak karuan, aku dimabuk asmara. Kecantikanmu ternyata bukan sekedar polesan namun terpatri dari hatimu. Kamu begitu cantik luar dan dalam.Namun, kali ini aku tertampar, pemandangan siang ini bagai petir yang menya
Sepekan berlalu, Hamish tetap menghindar, Anehnya semakin lama ia menghindar rasa hatiku semakin berkecamuk, kusadari dia telah menempati sudut ruang hatiku, perlakuan absurdnya berhasil mengisi kekosongan hati yang terjaga. Sayangnya perasaan ini baru kusadari setelah sepekan dia mengabaikan kehadiranku. Kenyataan pahit seolah didukung oleh keadaan bahwa sekarang Hamish semakin dekat dengan Mbak Amel. Mereka selalu terlihat bersama di setiap kesempatan, bahkan Hamish terang-terangan menyatakan perasaanya pada Mbak Amel dua hari lalu. Berita itu aku dapati dari obrolan dua mahasiswa magang, dari penuturan mereka, Hamish mempersiapkan semuanya dengan romantis, hingga pujian serta anggukan pasti dari Mbak Amel pun di dapatkannya. Kurasa kini mereka sedang menikmati masa-masa indah merenda cinta layaknya sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk asmara. Semua berasa hanya mengontrak dan mereka pemiliknya! Hatiku berdesir mendengar obrolan mereka, mataku berkaca seketika, langsung kuseka s
Segelas teh hangat dengan asap mengepul menjadi pemandanganku pagi ini. Setelah menyelesaikan tugasku di ruang studio, aku memilih beranjak menuju kantin untuk menenangkan pikiran, segelas teh hangat menjadi pilihan di saat penat. Kupandangi kantin dengan tata ruang yang tidak begitu padat, hanya ada beberapa kursi serta meja bagi para pengunjung sepertiku dan beberapa display makanan yang menjajakan makanan khas kantin. Sudut mataku menangkap seseorang berjalan mengarah pada sebuah meja dengan jarak yang tidak cukup jauh dari tempatku berada, aku duduk di sebuah meja yang hanya berjarak lima puluh meter dari pintu akses keluar masuk kantin sehingga dengan mudah menangkap siapa pun yang datang menuju kantin ini. Seseorang yang berjalan tadi kini menghampiri seseorang yang sudah menunggunya di sudut kantin. Aku masih tidak bergeming karena tak mengenal siapa yang baru saja datang, dengan posisi dudukku membelakangi mereka, ku yakin mereka juga tidak melihat keberadaanku. "Hamish, b
Pagi ini aku kembali bertugas sebagai host acara talkshow bersama para tenaga kesehatan membahas masa pandemi yang masih bertengger di negeri ini. Sejenak melupakan peristiwa menyahat hati antara aku dan Hamish, aku berusaha tampil seprofesional mungkin. Jika Hamish telah memutuskan untuk tidak dapat memperjuangkan cintanya, lalu untuk apa kukumpulkan benih cinta untuknya.Talkshow akhirnya selesai, dan sepertinya aku bisa istirahat sejenak, menepi, menetralkan hati yang masih saja berkecamuk. Benar kata orang, melupakan tidak semudah yang diucapkan.Kulangkahkan kakiku menuju mushollah, saat ini masih pukul sembilan pagi, ada kebiasaan baru yang jarang bahkan tak pernah aku tunaikan dulu, ya.. menunaikan ibadah shalat dhuha. Saat menuju tempat whudu, sorot mataku terpaku pada seorang lelaki yang telah kupatahkan hatinya beberapa hari lalu-Hisyam.Aku memilih bungkam dan fokus pada tujuan. Aku tidak mau ibadahku terganggu hanya karena urusanku dengannya tak menemukan titik temu. Setel
Dengan langkah gontai, aku keluar menemui Mama, Papa dan juga Hamish. Jantungku berdegup kencang, tapak kakiku seperti tidak menyentuh tanah. Sejauh ini Mama dan Papa sepertinya belum melihat foto itu, tapi ah ... bisa saja mereka sudah melihatnya karena Hamish yang memberitahu. Apapun itu, hatiku remuk, foto mesra Hamish dengan wanita lain melintas kembali dalam ingatanku. "Clara, selesaikan masalah kalian berdua, ya. Mama dan Papa keluar sebentar. Ini lah ujian pertama kalian, kalian harus ingat, yang namanya membina rumah tangga itu tidak segampang dan semanis yang kamu tonton di drakor-drakor kamu. Dua kepala, dua kebiasaan juga masa lalu kalian harus dapat diatasi bersama, bukan malah kabur-kaburan begini. Tidak akan selesai masalah jika kamu kabur." Nasehat Papa yang kali ini terasa menusuk hatiku, menyadarkan aku bahwa aku dan Hamish bukan lagi sedang pacaran, tetapi menikah. Pernikahan tidak bisa dibuat main-main. Pernikahan itu sakral! Hanya anggukan yang aku berikan dengan
Dengan langkah tergesa, Hamish melesat maju menuju area parkir rumah mereka. Bisa gila Hamish jika kesalahpahaman ini membuat rencana pernikahan mereka batal begitu saja. "Mau kemana Hamish?" tanya Melati pada anak kesayangannya yang terlihat tergesa. "Ada urusan sebentar, Ma." balas Danish dengan lambaian tangan tanda pamit dari Hamish yang Melati lihat dari kejauhan. tidak biasanya Hamish berlaku seperti ini. Apa ada sesuatu yang terjadi pada anak bungsunya itu? Dalam diam Melati melantunkan doa-doa kebaikan untuk sang putra. Semoga Tuhan senantiasa menjaganya. *** Hamish kini sudah berada di depan rumah Clara dan orang tuanya. Terlihat dengan jelas segala persiapan jelang pernikahan mereka telah banyak terjadi di rumah sang mempelai wanita. Hati Hamish teriris, ia meremas ponsel miliknya dalam genggaman. Bagaimana mungkin sudah sejauh ini persiapan pernikahannya dengan Calara harus kandas karena beberapa orang yang sengaja ingin menggagalkan. Hamish berjalan tergesa memasu
"Kamu mikirin apa, Clara?" Suara Mama terdengar mendekat ke arahku. Kini, wanita paling kucinta itu telah duduk di sampingku. "Enggak ada kok, Ma," jawabku memelas. Mana mungkin aku bisa berbohong dari Mama. Mataku kosong menatap lurus. Aku masih bertanya-tanya perihal ketidaktahuan Hisyam akan rencana pernikahanku dan Hamish, terlebih dengan rencana kepulangan orangtuanya hari ini. "Ma, apakah tidak aneh jika salah seorang anggota keluarga tidak mengetahui ada agenda besar yang akan dilakukan oleh keluarganya sendiri?" tanyaku memulai pembicaraan. "Sudah Mama duga, kamu pasti memikirkan hal itu. Mama paham kenapa kamu kepikiran, apalagi melihat kedekatan Hisyam ke kamu beberapa bulan lalu." Aku mengangguk setuju. Mama paling paham apa yang aku rasakan. Dengan lembut Mama membelai kepala dan rambutku, "Jodoh, maut dan rejeki sudah Allah atur sedemikian rupa, Clara. Keluarga Yudha juga tahu kok kalau Hisyam memiliki rasa padamu. Namun, yang terpenting saat ini adalah kesembuhan H
POV : Hisyam dan Amel"Aku enggak akan ngebiarin Clara dan Hamish bersatu," seru Hisyam dengan tangannya yang mengepal, memandang ke arah luar dari balik jendela kaca."Kamu gila ya, Syam?" tanya Amel yang siang ini datang ke ruangan Hisyam atas permintaan Hisyam. "Aku serius, Mel. Kalau dulu rencana kita sempat gagal menjauhkan Clara dan Hamish, kali ini aku gak mau gagal lagi. Segala cara harus kita coba!" "Aku enggak ikut-ikutan ya, Syam. Kamu enggak mikir gimana keadaan Hamish? Keadaan Hamish lah yang terpenting.""Aku enggak peduli, sejak Ibuku meninggal, Mama dan Ayah tidak pernah menuruti apa yang Aku mau, tapi kalau Hamish? ha! semua yang diinginkan anak itu langsung dikabulkan. Ini enggak adil, Mel. Enggak adil!" bentaknya."Ini artinya kamu enggak benar-benar mencintai Clara, Syam. Kamu hanya dendam pada Hamish. Lagi pula bukan salah Hamish kalau Mama dan Ayah kamu menuruti semua maunya, kamu ada di posisi enak seperti sekarang juga pasti setelah melewati banyak pertimbang
Kabar pernikahan Hamish dengan Clara terdengar santer hingga ke Medan dan seluruh karyawan, penyiar LOVE FM. Tidak terkecuali Hisyam. Beberapa teman sesama penyiar di LOVE FM memberikan ucapan kepadaku, salah satunya kak Amel. Meski ia sudah tidak lagi bekerja di LOVE FM. Banyak teman-teman yang tetap saling bertukar kabar guna tetap terjalin silaturahim. "Selamat ya Clara. Akhirnya cinta kalian bersatu. Aku senang sekali mendengarnya. Semoga apa yang kalian citakan dapat terwujud." Pesan singkat itu mendarat ke ponselku pagi ini juga ucapan selamat dari teman-teman lainnya, memenuhi aplikasi berlogo hijau besutan Kanada ini. Diantara semua pesan yang masuk, ada sebuah pesan yang mengusik pikiranku. "Clara. Aku tahu keputusan kamu atas permintaan Papa dan Mama. Bagaimanapun juga, aku akan tetap menunggumu. Mengharapkanmu." Pesan dari nomor Hisyam tertera jelas. Apa yang sebenarnya ingin dia dapatkan? bukankah lebih penting kesehatan adiknya sendiri? ***"Clara, Mama senang sekal
Makan siang kami berjalan dalam kebisuan, aku lebih memilih menuntaskan makan siangku dengan segera tanpa banyak bicara. Sebuah pesan masuk, terlihat nama Mama tertera sebagai pengirimnya. Gegas aku membacanya, mungkin ada kaitannya dengan kabar Hamish, semoga."Hamish sudah siuman, dia ingin bertemu denganmu."Sebuah kalimat istimewa yang kutunggu sejak tadi. "Hamish sudah siuman," ucapku pada Hisyam disambut dengan ekspresi terkejutnya. Aku melambaikan tangan tanda untuk pelayan agar membawakan bill-nya untuk kami. ***Tidak ada lagi Mama, Papa serta orangtua Hamish yang berdiri di luar ruang UGD. Mereka pasti sudah berkumpul dan bertemu Hamish. Di ruangan UGD dengan kapasitas hanya untuk tiga orang saja aku melihat Hamish tergeletak di atas dipan rumah sakit dengan wajah yang lebih segar, tidak lagi pucat seperti tadi. "Clara, Hamish sudah siuman, Alhamdulillah," ucap Tante Melati.Dengan mata berbinar, kuhampiri Hamish yang tersenyum padaku."Abang harus kuat, ya. Abang harus
Kealpaanku menatap Hamish yang sedari tadi mencoba mendekatiku ternyata mengikis rasa empatiku, aku lupa penyakit ini sangat mematikan, aku panik, gerakanku semakin tidak beraturan mengarah menuju pintu memanggil siapa saja yang bisa dimintai pertolongan. Kali ini aku tidak boleh kehilangan Hamish. Aku mencintainya."Bang, Kak! Bisa tolong panggil ambulance? tolong cepat, Kak!" titahku Hisyam terlihat panik namun tetap menjaga kewarasannya dan meminta kayu putih dariku untuk membantu Hamish agar segera sadar, setelah beberapa kali minyak beraroma eucalytups itu di usap usap pada kepala dan hidungnya namun tak kunjung membuahkan hasil, akhirnya Hisyam memintaku membantunya membawa tubuh Hamish naik ke atas sofa yang ada di ruangannya.Tidak butuh waktu lama, beberapa perawat ditambah beberapa karyawan masuk ke ruangan Hisyam membawa Hamish untuk di letakkan di atas dipan ambulance. ***Hisyam memintaku menemani Hamish selama di dalam ambulance menuju rumah sakit. Hisyam memilih untuk
[Everybody knew you're lier, everybody knew you're player, everybody knew you're never serious..]"Clara, yuk opening!" Mas Bagas menghentikan lamunanku, aku sampai tidak sadar satu lagu yang dibawakan Citra Skolastika jebolan pencarian bakat di salah satu stasiun tv swasta telah habis diperdengarkan sebagai satu tembang pembuka acaraku hari ini."104,2 Love FM, musiknya bikin kamu jatuh cinta. Balik lagi sobat Love bareng aku Clara yang akan nemenin siang harinya kamu dengan lagu - lagu cinta terbaik di Indonesia."Setelah membuka segmen acara siang ini, aku meminta Mas Bagas untuk memutarkan beberapa lagu, sebuah panggilan masuk dengan nama seseorang yang tak kusangka dia akan menghubungiku siang ini. Apakah kegelisahanku tadi malam sampai kepadanya? Aku permisi dengan Mas Bagas lalu keluar untuk menjawab panggilan ini."Assalamualaikum.." ucap Hamish di ujung sana. Aku masih diam terpaku sejenak menetralisir debaran hati, mencoba bersikap seolah tidak mengetahui apapun kebohonganny
Pertanyaan yang aku ajukan pada Hisyam tidak mendapatkan jawaban, hingga sampai di parkiran gedung Love FM Hisyam masih membisu dan beberapa kali mengalihkan pertanyaanku dengan hal lain. Aku juga tidak berusaha untuk bertanya lebih apalagi memaksa, bagiku seseorang mau menjawab atau tidak adalah hak yang tidak bisa aku paksakan meski sebenarnya aku ingin sekali mendengar fakta sebenarnya.Kulajukan sepeda motor matic ini dengan lambat, perjalanan pulang memerlukan atensi ekstra karena jarak pandang tidak sejelas siang hari, ditambah minus pada mataku sepertinya semakin parah faktor kecapean dan stres karena kini setiap Sabtu dan Minggu aku mengambil kelas karyawan di salah satu universitas swasta setelah pulang kantor. Dari kaca spion motor matic ini dapat ku lihat mobil Hisyam yang selalu menemaniku melewati jalanan yang mulai sepi, dia menepati janjinya..Aku berhenti di sebuah rumah tipe 36 dengan pagar setengah badan bewarna hitam, ku matikan motorku lalu bergerak membuka pagar n