BAB 71
"Ini peninggalan apa, Bu?" tanyaku pelan.
Aku berkali-kali mengecek kalung itu, tidak ada yang istimewa sebenarnya. Lalu apa yang dibangga-banggakan? Dan kenapa menjadi barang peninggalan?
"Itu penting sekali, Nak. Bukan hanya soal harganya, tapi banyak sekali. Kamu simpan baik-baik, ya."
Baiklah. Aku menganggukkan kepala. Kami selanjutnya membahas hal lain. Sesekali aku tertawa mendengar perkataan Ibu. Sekarang, kami tidak lagi terlihat canggung. Aku melebarkan senyum ke Ibu.
"Lalu, kamu mau dapat harta warisa. Itu kan, Sayang? Sudah jelas kamu juga berhak atasnya."
Aku menggigit bibir, tapi kemudian menggelengkan kepala. Mau aku cucunya Nenek atau Kakek, apalah. Aku tidak mau pokoknya. Ibu terlihat sedih melihat jawab yang aku berikan.
"Biarlah diberikan pada yang membutuhkan bagian Nina, Bu. Nina tidak ingin me
BAB 72"Kamu gak mau gitu untuk mundur? Kenapa harus maju?" tanya Mas Reno lagi.Aku diam sejenak. Apa maksud dia? Kenapa seolah aku yang salah di sini?Ah, lucu sekali. Dia mau memohon-mohon begitu? Aku malah hendak tertawa mendengarnya. Itu lucu sekali."Kenapa perceraian ini harus dilanjutkan? Aku masih cinta sama kamu.""Cinta?" Aku tertawa pelan. "Apa yang kamu bilang cinta itu?""Nin—""Coba kamu pikir dulu ulang. Sebelum kamu sampai ada di sini. Siapa yang selalu semangatin kamu? Terus sekarang, kamu gak anggap aku ada? Udahlah, capek aku ngomong sama kamu." Dia bilang begitu.Aku tersenyum tipis. Apa yang dia lakukan untukku? Wow, bisa-bisanya mengaku seperti itu. Manusia tak tahu malu."Jangan lupa datang di jadwal segitu. Mau kamu membujukku sampai ber
BAB 73"Kenapa Mama baik sekali?" Mama mengulang pertanyaanku barusan.Beberapa detik, Mama kemudian menggelengkan kepala. Tersenyum kecil ke aku."Mama gak pernah merasa baik sekali, Sayang. Mama malah sering merasa kamu itu kurang ini, kurang itu. Mama gak seperti apa yang kamu pikirkan. Mama gak sebaik itu."Aku menelan ludah, menatap Mama yang tersenyum padaku, kemudian mengusap rambutku."Kamu anak Mama, Kafka juga, Bang Tirta juga. Kenapa Mama dibilang sebaik itu?""Karena Mama—""Udah. Mama gak sebaik apa yang kalian pikirkan.""Ma, udah selesai? Ada yang nelep9n, nih."Kami menoleh ke Papa. Wajah Papa terlihat meyakinkan sekali dengan ponsel di tangannya. Menunjukkan ada yang menelepon."Ah, baiklah. Sudah selesai bicaranya, Sayang.
BAB 74"Kamu gak mau gitu untuk mundur? Kenapa harus maju?" tanya Mas Reno lagi.Aku diam sejenak. Apa maksud dia? Kenapa seolah aku yang salah di sini?Ah, lucu sekali. Dia mau memohon-mohon begitu? Aku malah hendak tertawa mendengarnya. Itu lucu sekali."Kenapa perceraian ini harus dilanjutkan? Aku masih cinta sama kamu.""Cinta?" Aku tertawa pelan. "Apa yang kamu bilang cinta itu?""Nin-""Coba kamu pikir dulu ulang. Sebelum kamu sampai ada di sini. Siapa yang selalu semangatin kamu? Terus sekarang, kamu gak anggap aku ada? Udahlah, capek aku ngomong sama kamu." Dia bilang begitu.Aku tersenyum tipis. Apa yang dia lakukan untukku? Wow, bisa-bisanya mengaku seperti itu. Manusia tak tahu malu."Jangan lupa datang di jadwal segitu. Mau kamu membujukku sampai berlutut,
BAB 75"Disuruh ambil kunci malah ngobrol sama Rini. Aneh banget."Kami menoleh lagi. Bang Tirta sedang memarahi Kafka. Aku menghela napas pelan, sebenarnya apa yang terjadi di sini? Kenapa kesannya jadi menyebalkan sekali?"Lho, ini ngapain lagi di sini? Maaf, ya. Bukan pasar. Sana pergi. Ayo, Nina, Fajar.""Tapi, Bang-"Mereka berdua tidak akan bisa melawan Bang Tirta. Aku tertawa pelan ketika sudah masuk ke dalam mobil."Aneh-aneh aja." Fajar menggelengkan kepala. Kami mulai meninggalkan area rumah.Sesekali, aku melirik Fajar yang sedang memutar musik. Belum ada obrolan apa pun di antara kami."Udah bilang sama si Reno soal sidang itu?"Aku menoleh, kemudian menganggukkan kepala."Kenapa memangnya?" tanyaku pelan."Nanya a
BAB 76"Serius ngapain?""Ada sesuatu. Aku duluan, ya. Maaf gak bisa antar. Bang, maaf gak bisa anter Nina pulang."Kami sama-sama melongo. Sementara Fajar sudah tergesa-gesa pergi meninggalkan tempat ini."Kesambet apa anak itu?" tanya Bang Tirta pelan. Bingung dengan apa yang dilakukan oleh Fajar.Sama, aku juga bingung, tapi sepertinya itu masalah yang cukup besar. Aku menghela napas pelan, menoleh ke Bang Tirta dan Kafka yang masih diam saja."Mau pulang kapan?" tanyaku pelan."Sekarang aja. Ngantuk." Kafka beranjak. Aku juga mengikutinya."Tunggu, dong!"Kami melangkah meninggalkan pasar malam. Di dalam mobil, tidak berhenti aku menatap layar ponsel, berharap Fajar mengirimkan pesan sekarang, tapi sepertinya hanya harapan saja. Dia tidak ada memberi kabar sampai sekara
BAB 77"Mama sama Papa ngapain di sini?" tanyaku terkejut.Aku sampai berpandangan dengan Kafka. Kami sama-sama bingung akan menjelaskan apa kalau begini pada Mama dan Papa. Mereka mau ngapain kesini?Astaga, jangan sampai—Pandanganku teralih ke Kafka."Ya. Mau membahas keputusan Kafka, bukan?""Ma, Pa. Kafka—""Oke. Mama sama Papa paham dengan apa yang kamu pikirin, Kaf. Mari membicarakannya baik-baik." Mama memotong perkataan Kafka.Apakah bisa? Aku tidak yakin. Apalagi Kafka dengan segala pemikirannya yang luar biasa itu. Dia akan sulit dikalahkan oleh Mama dan Papa.Kafka berkali-kali menoleh ke aku. Meminta bantuan. Aku bisa bantu apa? Aku saja tidak bisa berkata-kata begini."Betul Kafka ingin menikahi Rini, hanya karena Rini hamil? Apa Kafka tid
BAB 78Statusku?Aku menatap Ibu. Tidak paham dengan apa yang dikatakannya barusan. Memangnya kenapa dengan statusku?"Ibu mau kamu bilang ke orang lain kalau kamu adalah anak Ibu."Lah, memangnya kenapa? Tumben sekali Ibu bikang begitu. Aku menggelengkan kepala. Menatap Ibu yang diam saja."Tapi bukannya Ibu—""Oke. Gak masalah kalau kamu gak mau."Bukan itu masalahnya. Aduh, aku pusing sekali.Ponselku berdering. Dari Mama. Aku melirik Ibu sekilas, kemudian mengangkat telepon."Halo, Ma. Kenapa?""Mama sama Papa ke luar kota dulu, ya, Sayang. Lagi ada yang mau diurusin sama perusahaan. Kamu bisa tinggal di rumah Mama atau di rumah Ibu aja."Aku menelan ludah. Bukankah ini seperti kebetulan?Mau sam
BAB 79"Ini apa maksudnya?" gumamku sambil mengusap dahi.Aku menelan ludah, menatap foto itu berkali-kali. Kenapa foto ini dicoret pakai tinta merah?Pintu kamarku diketuk. Aku menelan ludah, buru-buru memasukkan foto itu ke dalam kantong celana."Sayang, ayo makan dulu. Udah siap semua.""Oh iya, Bu. Em, sekalian nungguin Fajar bisa gak, Bu?" tanyaku pelan.Ibu diam sejenak. Beberapa detik, Bu Sari kemudian menganggukkan kepala. Dia tersenyum padaku."Boleh, dong. Nunggu di bawah aja, yuk. Sekalian Ibu mau ngobrol sama kamu."Aku menganggukkan kepala. "Ibu duluan aja. Nina mau beresin di dalam sebentar aja."Meskipun terlihat ada sesuatu yang berbeda dari wajah Ibu, tapi tetap mengangguk. Aku tersenyum tipis. Memperhatikan Ibu yang melangkah meninggalkan kamarku.
"Eh?! Bantu untuk memusnahkan wanita itu? Menyingkirkan nya?" Jujur saja, aku kaget sekali mendnegar permintaan wanita itu, aku kira dia akan minta sesuatu yang besar, harta misal nya. Nah ini kenapa malah aneh dan berbeda? Dia malah meminta bantuan aku untuk memusnahkan wanita itu. "Ya, kamu gak salah dengar. Aku minta bantuan kamu untuk memusnahkan wanita itu. Ada yang salah dari permintaan aku?" Memang gak ada yang salah, tapi benar-benar aneh. Kenapa dia tiba-tiba mendadak minta memusnahkan wanita itu? Memang nya dia ada hubungan apa dengan si Ayunda itu?"Ada apa memang nya? Pasti ada yang terjadi dengan wanita itu berhubungan dengan kamu, kan?"Dia akhir nya menganggukkan kepala. "Wanita itu yang membunuh suamiku."Kali ini, aku benar-benar terdiam. Membunuh suami nya? Wanita bernama Ayunda itu? Sungguh, aku tidak menyangka sih. Aku kira dia tidak akan bilang begini, eh malah meminta yang lain. Aku mengembuksan napas pelan, ternyata dia malah ingin memintaku membantu nya un
"Ada apa?" tanya nya sambil tertawa. "Kamu pasti kaget ketika melihat aku."Kayak nya aku salah orang deh. Gak mungkin kalau dia kan? Masa iya wanita yang mengajakku untuk bertemu adalah wanita ini sih?"Kayak nya aku salah orang deh, permisi ya." Aku tidak ingin menanggapi perkataan nya. "Iya ini aku, wanita yang mengajak kamu untuk bertemu. Kamu lagi gak salah orang kok."Aku terdiam, berusaha untuk mencerna semua ini Wanita itu adalah sepupu nya Mas Fajar yang tidak menyukai aku. Ya, sejak dulu bahkan dia tidak menyukai hubungan aku dan juga Mas Fajar. "Kamu mau bermain-main apa lagi denganku? Gak puas dengan kejadian dulu?" Aku jadi tambah kesal dengan wanita ini. "Ah oh ya? Kejadian masa lalu ya? Kamu masih ingat rupa nya." Dia tertawa pelan. Tentu saja aku masih ingat, kapan aku tidak ingat dengan ini semua? Apa lagi dia memang menyebalkan di masa lalu kami. Aku mengembuksan napas pelan, rasa nya enggan untuk mengingat nya kembali. "Sudah lah, lupakan saja dulu tentang masa
Oh ya? Apa kah aku bisa mempercayai pesan ini? Apa kah aku harus menemui wanita ini nanti malam? Hmm, mungkin menarik sih, nanti saja lah aku pikir kan. Mungkin saja aku akan datang ke sana nanti, tetapi aku juga tidak bisa gegabah mengambil keputusan. "Kamu kenapa bengong sayang? Itu pesan dari siapa?" tanya Mama nya Mas Fajar membuatku menoleh. "Eh?! Ini? Enggak, bukan dari pesan siapa pun kok, Ma. Mama tadi ditelepon sama Mas Fajar?" tanyaku pelan. Mama nya Mas Fajar menggelengkan kepala. Dia seperti nya tidak tau dari anak nya langsung. "Mama kamu tadi menghubungi Mama. Mama sama sekali gak tau tentang penyakit anak itu. Padahal harus nya Mama juga ikutan tau loh." "Sama Ma, mereka menyembunyikan semua nya dari Nina. Jadi nya, Nina juga gak tau. Mau menghubungi Mama juga kayak mana, gak ada informasi yang aku dapatkan." "Emm kayak gitu ya? Nanti Mama paksa saja dia bicara yang sejujur nya, atau sekalian kita temui dokter nya. Enak aja sakit tapi gak bilang ke Mama." Mama Ma
"Ya ampun, aku gak bermaksud kayak gitu, Sayang. Aku gak maksud." Mas Fajar tampak memohon. "Sudah lah, wanita keras kepala kayak gitu gak usah diurusin. Kasihan sama kesehatan kamu." Wanita itu akhir nya kembali lagi ikut dalam pembicaraan kami. Aku meremas pakaianku sendiri, berusaha untuk meredam emosi, jangan sampai aku menjambak wanita itu di sini. Sudah seperti pelakor dia, mana gak punya malu lagi. "Aku pergi ya, Mas. Mau pulang, lelah sekali kayak nya." Aku akhirnya mengalah. Ya sudah lah, biarkan saja apa yang mas Fajar lakukan di sini. Wajah Mas Fajar tampak sekali merasa bersalah. Sudah lah, aku sudah tidak mau lagi membahas apa pun pada Mas Fajar. Entah lah, aku sudah muak melihat nya. Banyak sekali janji Mas Fajar, tetapi tidak pernah dia tepati. Sudah lah, aku sudah paham dengan apa yang dia lakukan, dia juga tidak pernah memikirkan aku lagi sekarang. "Semoga cepat sembuh, Mas. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku aja, tadi ponsel kamu mati, aku gak bisa hubungi
"Iya, mereka sedang ke rumah sakit, Bu. Sebentar saja kata nya tadi, tapi sampai sekarang belum kembali juga."Astaga, apa yang keluargaku lakukan sih? Kenapa mereka tidak menghubungi aku sama sekali soal ini? Aku jadi tambah kesal. Aku tau sekali kalau mereka tidak menghubungi aku sama sekali. Kalau sudah, ponselku pasti berdering sejak tadi, tetapi ini tidak ada. Haduh, aku tidak paham dengan apa yang mereka pikir kan. "Bibi tau di mana rumah sakit nya? Atau rumah sakit keluarga kita biasa? Atau bibi tau sesuatu gitu?" tanyaku panik. "Enggak, Nyonya. Saya gak tau sama sekali rumah sakit nya dimana. Soal nya gak ngasih tau ke saya."Haduh, sudah lah. Aku buru-buru mengambil ponsel, berusaha untuk menghubungi Mas Fajar, nomor telepon nya tidak aktif. Aku mengembuskan napas kesal, menghubungi Mama. Terdengar nada sambung, aku harap-harap cemas. Berharap Mama mau mengangkat telepon dari aku. "Ya ampun, pada kemana sih gak ada yang mau ngangkat telepon aku." Aku bergumam kesal. Di s
"Wah, Mas Fajar gak beres lagi ini mah." Aku menggelengkan kepala, kesal sekali dengan perkataan Mas Fajar tadi. Apa kah dia tidak bisa berpikir kalau aku tidak suka dia menyembunyikan sesuatu dari aku, hah?! Kenapa sih selalu saja menganggap enteng semua nya?Memang nya Mas Fajar tidak lagi menganggap aku sebagai istrinya? Atau bagaimana ini? Aku gak paham sama sekali dengan apa yang dia lakukan. "Mama udah gak tau lagi harus kayak mana. Istri kamu semakin hari semakin curiga sama kamu. Mama mungkin bisa halangin dia sekarang, tapi kalau nanti? Mama gak tau bisa atau enggak." Terdengar suara Mamaku yang frustasi. "Sama, Mbak pasti curiga sama aku terus. Aku udah capek buat bohong, Mas gak bisa jujur saja sama Mbak? Lagi pula, Mbak gak akan marah kok."Apa sih yang mereka pikir kan? Apa kah mereka tidak kasihan padaku karena terus saja menebak-nebak apa yang mereka sembunyikan, hah?! "Maka nya itu, Mas gak mau nambahin beban Mbak kamu, meskipun Mas tau kalau dia gak akan marah. Ka
"Hah?! Soal penyakit? Tentang dia?" Aku bergumam pelan. Apa maksud dari pesan ini? Buru-buru aku memfoto pesannya, kemudian kembali menyembunyikan ponselku ketika Mas Fajar berganti posisi tidur. Pasti ini adalah jawaban dari semua ini. Aku mengembuskan napas pelan, sebenar nya aku pusing sekali sih memikirkan nya. "Apa yang sebenar nya kamu sembunyikan dari aku, Mas? Kenapa kamu gak jujur aja sama aku? Kenapa?" tanyaku pelan. Sungguh, aku ingin jawaban dari Mas Fajar, tetapi suamiku ini masih sakit, pasti Kafka dan juga Mama tau, tetapi bagaimana cara membujuk mereka agar mau menjawab nya? Ah, pasti mereka tidak akan mau menjawab pertanyaan dan juga kebingungan aku. Aku takut terjadi sesuatu pada Mas Fajar yang tidak aku ketahui, apa lagi anak yang akan aku kandung akan segera lahir ke dunia. "Sayang." Mama mengetuk pintu kamar. Aku mengembuskan napas pelan, melangkah menuju ke pintu rumah. "Ada apa, Ma?" tanyaku sambil membuka pintu, aku berusaha untuk menyembunyikan kesedih
"Mama serius? Mas Fajar pingsan kenapa, Ma?"Wajah Kafka juga langsung berubah panik. Aku menggigit bibir dalam-dalam. Astaga, apa yang terjadi pada suamiku?"Aduh, Mama juga gak tau Fajar pingsan kenapa. Kamu buruan ke sini, Mama udah minta bantuan beberapa tetangga tadi, juga minta bantuan tukang kebun dan pembantu."Aku menelan ludah, buru-buru menganggukkan kepala, aku khawatir sekali dengan kondisi Mas Fajar sekarang. Memang sih tadi Mas Fajar kelihatan pucat sekali, tetapi aku juga tidak tau kalau suamiku itu sedang sakit. Kenapa juga Mas Fajar tidak bilang padaku. Haduh, membuat pusing saja. "Kenapa, Mbak? Mas Fajar kenapa?" tanya Kafka juga ikutan panik. "Mbak juga gak tau, yang pasti, kata Mama, Mas Fajar pingsan." Aku mengusap wajah berkali-kali, mempercepat langkah. "Padahal tadi baik-baik aja kok. Kenapa sama Mas Fajar, ya, Mbak? Tadi pas masih sama aku, Mas Fajar sehat banget loh, Mbak."Ya kan beda kasus nya. Aku menggelengkan kepala mendnegar perkataan nya Kafka, ya
"Aku sudah selesai siap-siap. Maaf ya kalau aku sudah nyusahin Mbak dan yang lainnya. Juga menyusahkan Kafka."Adikku itu langsung memalingkan wajah nya mendnegar nama nya di sebut di belakang kalimat Rini. Aku mengembuksan napas pelan, Rini sudah menggeret koper nya. Aku bingung dengan mereka, aku bahkan tidak paham lagi dengan jalan pikiran adik dan juga suamiku itu. Entah apa yang mereka katakan soal Rini. Ah, bodo amat deh. Padahal kan Rini juga baru saja kehilangan Mama nya. Masa iya kami sudah mengusir dia dari rumah ini. "Sekali lagi maaf kalau kesannya kami malah mengusir kamu, Rini. Tenang saja, semua biaya hidup kamu, biar kami yang tanggung. Kalau ada apa-apa, langsung kabarin aja." Mas Fajar mengatakan itu. Kami sudah sampai di rumah yang memang kosong, tetapi ini dulu memang dijadikan sebagai rumah orang kantor Mas Fajar yang rumah nya jauh, karena masuk pagi, maka nya menginap sebentar. Tidak mungkin orang kantor nya Mas Fajar menginap di rumah kami. "Aku yang makas