"Mbak gak percaya, kan? Sama, Kafka juga."
"Terus gimana?" tanyaku pelan.
Meskipun aku masih kesal dengan keluarga Mas Reno, tapi aku juga tidak bisa membiarkan Rini dalam jurang yang salah. Anak itu tidak bisa dibiarkan.
Kafka mengangkat bahu, membuatku ingin melemparkan sesuatu padanya. Aku kesal sekali dengan Kafka.
"Gak gimana-gimana. Biarin ajalah. Dia yang mau kerja kayak gitu, kenapa kita yang repot?"
Astaga, Rini bekerja itu untuk apa? Disuruh Mama Mas Reno? Atau bagaimana?
Aku justru merasa bersalah sekarang. Ah, ini benar-benar tidak lucu. Aku menggigit bibir. Kenapa juga tadi aku mengantarkan si Rini ke gedung itu? Harusnya aku tidak menebenginya tadi.
"Kenapa, sih, Mbak? Kayak cacing kepanasan. Gerah lihatnya."
Mataku melirik jam dinding. Sudah hampir pukul dua belas malam. Namun, M
"Hamil? Kamu hamil?" tanyaku tersentak.Aku menelan ludah, memperhatikan tubuh Rini yang memang sudah terlihat berubah. Sungguh, dia terlihat tidak sama seperti dulu."Cuma Mbak yang tau. Gak ada yang tau selain Mbak." Rini terisak. Dia berusaha memelukku.Apa yang aku takuti terjadi juga. Soal pekerjaan Rini beberapa minggu lalu. Padahal, aku sedang menunggu surat pembalikan aset keluar.Keluarga Mas Reno memang benar-benar. Kalau aku tebak, mereka pasti menghabiskan uang yang dihasilkan oleh pekerjaan Rini. Pekerjaan yang aku tentang habis-habisan.Rini masuk ke kamarnya. Aku hanya memperhatikan, tidak sanggup mengatakan apa pun."Ini hasil tes kehamilan Rini, Mbak. Mbak jangan bilang siapa-siapa, ya. Rini mohon." Dia menyandarkan punggungnya ke dinding, masih terisak."Terus?" tanyaku pelan. Ma
"Gak mungkin gimana? Kamu cek sana ke dokter. Jangan cuma mau uang aja."Aku beranjak. Malas berbicara dengannya lagi. Ketika baru masuk, aku berpapasan dengan Rini yang tampak pucat. Sebal juga lama-lama mengurusi keluarga Mas Reno.Sungguh, aku tidak peduli. Aku melewati Rini begitu saja. Tidak peduli."Mbak bilang ke kakak?" tanyanya sukses membuatku menghentikan langkah."Kenapa?""Jangan sok peduli denganku, Mbak.""Terserah.""Aku gak butuh dikasihani, Mbak. Kasian Kak Reno dan Mama gak ada uang untuk makan. Juga gak ada uang buat belanja. Kasian." Rini mengatakan itu, membuatku sedikit terhenyak mendengar perkataannya tadi.Apakah dia hanya memikirkan keluarganya? Sementara ada janin tidak bersalah di sana. Ah, aku tidak peduli lagi. Sungguh.Biarkan keluarga a
"Buset. Ini serius?" tanyaku pelan."Betulan. Aku lagi nyuruh temanku yang dikasih undangannya kesini, sih. Ngecek keaslian undangan itu. Kalo bohong, mungkin si Delia lagi bohongin kita."Aku mengetuk-ngetukkan jemari ke meja. Menganggukkan kepala, tapi entah kenapa menurutku undangan itu asli.Ponsel Gita berdering. Aku diam, menunggu Gita mengangkay teleponnya."Oke. Aku buka pintu sekarang.""Gimana?" tanyaku padanya."Aman. Dia mau bukain pintu. Eh, kamu beneran harus lihat undangannya nanti. Tenang aja, dia gak bakalan kasih tau ke siapa-siapa, kok. Ada di pihak kita."Gita berdiri. Dia melangkah membukakan pintu."Nah, ini namanya Nina. Dia sebenarnya istri Reno. Orang yang undangannya kamu kirim tadi."Wajah teman Gita tampak terkejut. Aku beranjak, meny
"Hah?! Serius? Buset, kabar yang gak pernah kepikiran, sih."Aku menoleh ke Kafka yang melongo. Beberapa detik, Kafka terpingkal. Aku dan Bang Tirta saling berpandangan. Sepertinya, dia kemasukan atau apa.Kenapa Kafka malah tertawa? Memangnya ada yang lucu dengan kalimatku tadi?"Ngapain ketawa gitu? Gak ada yang lucu." Aku melotot ke Kafka."Ya, lucu aja, Mbak." Tawa Kafka perlahan terhenti. "Dia sok-sokan mau nikah dua kali? Yang ini aja gak dinafkahi. Apalagi yang satunya."Benar juga. Aku menganggukkan kepala. Perkataan Kafka barusan masuk akal sekali."Kamu tau dari mana dia mau nikah?" tanya Bang Tirta sambil menoleh ke aku.Dengan cepat, aku mengeluarkan undangan dari dalam tas. Adik dan Abangku langsung melihat undangan itu. Mereka saling tatap-tatapan."Buset, dua hari lagi." Kafka ge
"Enggak. Undangan apa? Memangnya ada undangan di atas meja tadi, Bang?" tanyaku sambil menoleh ke Bang Tirta."Gak ada undangan apa pun." Bang Tirta menggelengkan kepala."Bagus, deh." Suara Mas Reno terdengar lega. Aku tersenyum tipis, menoleh ke Bang Tirta mengacungkan kedua jempolnya."Kamu cuma mau bilang itu?""Iya. Hati-hati di jalan, Sayang. Dah."Aku mematikan telepon. Menoleh ke Bang Tirta yang tertawa pelan. Kalau kami kompak begini terus, semuanya akan selesai dengan cepat.Mobil terus melaju. Aku menatap ponsel, foto Mas Reno dan Delia bertebaran di sini. Mereka memang harusnya lebih pintar lagi."Kamu mau tau gak, Nin. Tadi pas Abang baru datang, wajah si Reno itu kayak minta ditinju."Mendengarnya, aku tertawa. Bang Tirta memegang lenganku dengan sebelah tangannya yang bebas
"Kayaknya si Delia suka sama Abang, deh, Nin."Eh? Aku menoleh ke Bang Tirta, mengerjapkan mata mendengar perkataannya barusan. Apa katanya? Delia menyukainya?Apakah Bang Tirta sedang bergurau?"Enggak. Ini serius," katanya setelah melirikku.Kami sedang di perjalanan pulang. Aku mengusap dahi, kemudian kembali menoleh ke dia. Apa maksudnya tadi? Si Delia suka?"Bisa kelihatan dari wajah dan sikap dia tadi. Kelihatan banget, kan?" tanya Bang Tirta.Memang benar, tadi si Delia terlihat malu-malu begitu, tapi kenapa dia memilih Mas Reno untuk menjadi pasangannya menikah?Kalau aku lihat-lihat, sepertinya sejak dulu Delia menyukai Bang Tirta. Entahlah, ini cukup aneh."Nah, kapan-kapan kita coba lagi. Kita harus persiapan buat datang ke acara pernikahan mereka. Ini pasti bakalan seru banget
"Mau kemana?" tanyaku pada Mas Reno yang sudah siap.Dia terlihat rapi sekali, sepertinya karena mau bertemu dengan calon mertuanya. Aku menatapnya yang terlihat gugup."Emm, aku mau ke—""Ayo, Reno."Kami menoleh ke Mama Mas Reno yang sedang mencari sesuatu di dalam tasnya. Dia langsung menatapku, tapi kemudian berpindah pandangan ke Mas Reno."Mana Rini, Ma?""Rini di rumah aja, deh. Lagi gak enak badan.""Ah, banyak alasan aja kamu itu." Mas Reno seperti memberi kode. "Cepat siap-siap."Rini terlihat berdecak, aku tahu, dia pasti sedang berusaha menyembunyikan mualnya. Aku menoleh ke Mas Reno. Kemudian melangkah masuk ke kamar."Gimana? Betulan jadi pergi mereka?"Aku mengangguk mendengar pertanyaan Bang Tirta. Mengambil pakaian, kemudian
"Habis dari mana? Lama banget." Mas Reno berdiri dari kursi ketika aku keluar dari mobil.Kami baru saja kembali dari rumah Mama dan Papa. Membahas banyak soal rencana untuk besok. Aku menatap Mas Reno, Mamanya, dan si Rini yang sudah tidur di kursi."Bukan urusanmu." Aku menjawab pendek.Aku membuka pintu rumah, menyuruh Kafka langsung membawa Raja ke kamar. Sementara Bang Tirta masih diam di mobil."Bangunin Mama dulu." Mas Reno menahan tanganku."Kok aku?""Iyalah. Siapa lagi, coba kamu gak pergi atau kunci rumah gak dibawa. Pasti kita bisa masuk, gak tidur di luar kayak gini."Hampir saja aku tertawa, konyol."Terus? Bangunin sendiri."Setelah mengatakan itu, aku langsung masuk ke dalam rumah. Enak saja dia menyuruhku untuk membangunkan keluarganya. Lebih ba
"Eh?! Bantu untuk memusnahkan wanita itu? Menyingkirkan nya?" Jujur saja, aku kaget sekali mendnegar permintaan wanita itu, aku kira dia akan minta sesuatu yang besar, harta misal nya. Nah ini kenapa malah aneh dan berbeda? Dia malah meminta bantuan aku untuk memusnahkan wanita itu. "Ya, kamu gak salah dengar. Aku minta bantuan kamu untuk memusnahkan wanita itu. Ada yang salah dari permintaan aku?" Memang gak ada yang salah, tapi benar-benar aneh. Kenapa dia tiba-tiba mendadak minta memusnahkan wanita itu? Memang nya dia ada hubungan apa dengan si Ayunda itu?"Ada apa memang nya? Pasti ada yang terjadi dengan wanita itu berhubungan dengan kamu, kan?"Dia akhir nya menganggukkan kepala. "Wanita itu yang membunuh suamiku."Kali ini, aku benar-benar terdiam. Membunuh suami nya? Wanita bernama Ayunda itu? Sungguh, aku tidak menyangka sih. Aku kira dia tidak akan bilang begini, eh malah meminta yang lain. Aku mengembuksan napas pelan, ternyata dia malah ingin memintaku membantu nya un
"Ada apa?" tanya nya sambil tertawa. "Kamu pasti kaget ketika melihat aku."Kayak nya aku salah orang deh. Gak mungkin kalau dia kan? Masa iya wanita yang mengajakku untuk bertemu adalah wanita ini sih?"Kayak nya aku salah orang deh, permisi ya." Aku tidak ingin menanggapi perkataan nya. "Iya ini aku, wanita yang mengajak kamu untuk bertemu. Kamu lagi gak salah orang kok."Aku terdiam, berusaha untuk mencerna semua ini Wanita itu adalah sepupu nya Mas Fajar yang tidak menyukai aku. Ya, sejak dulu bahkan dia tidak menyukai hubungan aku dan juga Mas Fajar. "Kamu mau bermain-main apa lagi denganku? Gak puas dengan kejadian dulu?" Aku jadi tambah kesal dengan wanita ini. "Ah oh ya? Kejadian masa lalu ya? Kamu masih ingat rupa nya." Dia tertawa pelan. Tentu saja aku masih ingat, kapan aku tidak ingat dengan ini semua? Apa lagi dia memang menyebalkan di masa lalu kami. Aku mengembuksan napas pelan, rasa nya enggan untuk mengingat nya kembali. "Sudah lah, lupakan saja dulu tentang masa
Oh ya? Apa kah aku bisa mempercayai pesan ini? Apa kah aku harus menemui wanita ini nanti malam? Hmm, mungkin menarik sih, nanti saja lah aku pikir kan. Mungkin saja aku akan datang ke sana nanti, tetapi aku juga tidak bisa gegabah mengambil keputusan. "Kamu kenapa bengong sayang? Itu pesan dari siapa?" tanya Mama nya Mas Fajar membuatku menoleh. "Eh?! Ini? Enggak, bukan dari pesan siapa pun kok, Ma. Mama tadi ditelepon sama Mas Fajar?" tanyaku pelan. Mama nya Mas Fajar menggelengkan kepala. Dia seperti nya tidak tau dari anak nya langsung. "Mama kamu tadi menghubungi Mama. Mama sama sekali gak tau tentang penyakit anak itu. Padahal harus nya Mama juga ikutan tau loh." "Sama Ma, mereka menyembunyikan semua nya dari Nina. Jadi nya, Nina juga gak tau. Mau menghubungi Mama juga kayak mana, gak ada informasi yang aku dapatkan." "Emm kayak gitu ya? Nanti Mama paksa saja dia bicara yang sejujur nya, atau sekalian kita temui dokter nya. Enak aja sakit tapi gak bilang ke Mama." Mama Ma
"Ya ampun, aku gak bermaksud kayak gitu, Sayang. Aku gak maksud." Mas Fajar tampak memohon. "Sudah lah, wanita keras kepala kayak gitu gak usah diurusin. Kasihan sama kesehatan kamu." Wanita itu akhir nya kembali lagi ikut dalam pembicaraan kami. Aku meremas pakaianku sendiri, berusaha untuk meredam emosi, jangan sampai aku menjambak wanita itu di sini. Sudah seperti pelakor dia, mana gak punya malu lagi. "Aku pergi ya, Mas. Mau pulang, lelah sekali kayak nya." Aku akhirnya mengalah. Ya sudah lah, biarkan saja apa yang mas Fajar lakukan di sini. Wajah Mas Fajar tampak sekali merasa bersalah. Sudah lah, aku sudah tidak mau lagi membahas apa pun pada Mas Fajar. Entah lah, aku sudah muak melihat nya. Banyak sekali janji Mas Fajar, tetapi tidak pernah dia tepati. Sudah lah, aku sudah paham dengan apa yang dia lakukan, dia juga tidak pernah memikirkan aku lagi sekarang. "Semoga cepat sembuh, Mas. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku aja, tadi ponsel kamu mati, aku gak bisa hubungi
"Iya, mereka sedang ke rumah sakit, Bu. Sebentar saja kata nya tadi, tapi sampai sekarang belum kembali juga."Astaga, apa yang keluargaku lakukan sih? Kenapa mereka tidak menghubungi aku sama sekali soal ini? Aku jadi tambah kesal. Aku tau sekali kalau mereka tidak menghubungi aku sama sekali. Kalau sudah, ponselku pasti berdering sejak tadi, tetapi ini tidak ada. Haduh, aku tidak paham dengan apa yang mereka pikir kan. "Bibi tau di mana rumah sakit nya? Atau rumah sakit keluarga kita biasa? Atau bibi tau sesuatu gitu?" tanyaku panik. "Enggak, Nyonya. Saya gak tau sama sekali rumah sakit nya dimana. Soal nya gak ngasih tau ke saya."Haduh, sudah lah. Aku buru-buru mengambil ponsel, berusaha untuk menghubungi Mas Fajar, nomor telepon nya tidak aktif. Aku mengembuskan napas kesal, menghubungi Mama. Terdengar nada sambung, aku harap-harap cemas. Berharap Mama mau mengangkat telepon dari aku. "Ya ampun, pada kemana sih gak ada yang mau ngangkat telepon aku." Aku bergumam kesal. Di s
"Wah, Mas Fajar gak beres lagi ini mah." Aku menggelengkan kepala, kesal sekali dengan perkataan Mas Fajar tadi. Apa kah dia tidak bisa berpikir kalau aku tidak suka dia menyembunyikan sesuatu dari aku, hah?! Kenapa sih selalu saja menganggap enteng semua nya?Memang nya Mas Fajar tidak lagi menganggap aku sebagai istrinya? Atau bagaimana ini? Aku gak paham sama sekali dengan apa yang dia lakukan. "Mama udah gak tau lagi harus kayak mana. Istri kamu semakin hari semakin curiga sama kamu. Mama mungkin bisa halangin dia sekarang, tapi kalau nanti? Mama gak tau bisa atau enggak." Terdengar suara Mamaku yang frustasi. "Sama, Mbak pasti curiga sama aku terus. Aku udah capek buat bohong, Mas gak bisa jujur saja sama Mbak? Lagi pula, Mbak gak akan marah kok."Apa sih yang mereka pikir kan? Apa kah mereka tidak kasihan padaku karena terus saja menebak-nebak apa yang mereka sembunyikan, hah?! "Maka nya itu, Mas gak mau nambahin beban Mbak kamu, meskipun Mas tau kalau dia gak akan marah. Ka
"Hah?! Soal penyakit? Tentang dia?" Aku bergumam pelan. Apa maksud dari pesan ini? Buru-buru aku memfoto pesannya, kemudian kembali menyembunyikan ponselku ketika Mas Fajar berganti posisi tidur. Pasti ini adalah jawaban dari semua ini. Aku mengembuskan napas pelan, sebenar nya aku pusing sekali sih memikirkan nya. "Apa yang sebenar nya kamu sembunyikan dari aku, Mas? Kenapa kamu gak jujur aja sama aku? Kenapa?" tanyaku pelan. Sungguh, aku ingin jawaban dari Mas Fajar, tetapi suamiku ini masih sakit, pasti Kafka dan juga Mama tau, tetapi bagaimana cara membujuk mereka agar mau menjawab nya? Ah, pasti mereka tidak akan mau menjawab pertanyaan dan juga kebingungan aku. Aku takut terjadi sesuatu pada Mas Fajar yang tidak aku ketahui, apa lagi anak yang akan aku kandung akan segera lahir ke dunia. "Sayang." Mama mengetuk pintu kamar. Aku mengembuskan napas pelan, melangkah menuju ke pintu rumah. "Ada apa, Ma?" tanyaku sambil membuka pintu, aku berusaha untuk menyembunyikan kesedih
"Mama serius? Mas Fajar pingsan kenapa, Ma?"Wajah Kafka juga langsung berubah panik. Aku menggigit bibir dalam-dalam. Astaga, apa yang terjadi pada suamiku?"Aduh, Mama juga gak tau Fajar pingsan kenapa. Kamu buruan ke sini, Mama udah minta bantuan beberapa tetangga tadi, juga minta bantuan tukang kebun dan pembantu."Aku menelan ludah, buru-buru menganggukkan kepala, aku khawatir sekali dengan kondisi Mas Fajar sekarang. Memang sih tadi Mas Fajar kelihatan pucat sekali, tetapi aku juga tidak tau kalau suamiku itu sedang sakit. Kenapa juga Mas Fajar tidak bilang padaku. Haduh, membuat pusing saja. "Kenapa, Mbak? Mas Fajar kenapa?" tanya Kafka juga ikutan panik. "Mbak juga gak tau, yang pasti, kata Mama, Mas Fajar pingsan." Aku mengusap wajah berkali-kali, mempercepat langkah. "Padahal tadi baik-baik aja kok. Kenapa sama Mas Fajar, ya, Mbak? Tadi pas masih sama aku, Mas Fajar sehat banget loh, Mbak."Ya kan beda kasus nya. Aku menggelengkan kepala mendnegar perkataan nya Kafka, ya
"Aku sudah selesai siap-siap. Maaf ya kalau aku sudah nyusahin Mbak dan yang lainnya. Juga menyusahkan Kafka."Adikku itu langsung memalingkan wajah nya mendnegar nama nya di sebut di belakang kalimat Rini. Aku mengembuksan napas pelan, Rini sudah menggeret koper nya. Aku bingung dengan mereka, aku bahkan tidak paham lagi dengan jalan pikiran adik dan juga suamiku itu. Entah apa yang mereka katakan soal Rini. Ah, bodo amat deh. Padahal kan Rini juga baru saja kehilangan Mama nya. Masa iya kami sudah mengusir dia dari rumah ini. "Sekali lagi maaf kalau kesannya kami malah mengusir kamu, Rini. Tenang saja, semua biaya hidup kamu, biar kami yang tanggung. Kalau ada apa-apa, langsung kabarin aja." Mas Fajar mengatakan itu. Kami sudah sampai di rumah yang memang kosong, tetapi ini dulu memang dijadikan sebagai rumah orang kantor Mas Fajar yang rumah nya jauh, karena masuk pagi, maka nya menginap sebentar. Tidak mungkin orang kantor nya Mas Fajar menginap di rumah kami. "Aku yang makas