"Habis dari mana? Lama banget." Mas Reno berdiri dari kursi ketika aku keluar dari mobil.
Kami baru saja kembali dari rumah Mama dan Papa. Membahas banyak soal rencana untuk besok. Aku menatap Mas Reno, Mamanya, dan si Rini yang sudah tidur di kursi.
"Bukan urusanmu." Aku menjawab pendek.
Aku membuka pintu rumah, menyuruh Kafka langsung membawa Raja ke kamar. Sementara Bang Tirta masih diam di mobil.
"Bangunin Mama dulu." Mas Reno menahan tanganku.
"Kok aku?"
"Iyalah. Siapa lagi, coba kamu gak pergi atau kunci rumah gak dibawa. Pasti kita bisa masuk, gak tidur di luar kayak gini."
Hampir saja aku tertawa, konyol.
"Terus? Bangunin sendiri."
Setelah mengatakan itu, aku langsung masuk ke dalam rumah. Enak saja dia menyuruhku untuk membangunkan keluarganya. Lebih ba
"Mereka udah bangun?" tanya Bang Tirta sambil menoleh ke aku.Kami sudah siap-siap. Aku menggelengkan kepala. Mereka belum bangun sama sekali. Ini juga sudah siang.Aku melirik jam di dinding. Ponselku, berdering. Dari Gita. Kenapa dia menelepon pagi-pagi?"Kamu di mana, Nin? Kok belum keliatan gerak di sini. Eh, katanya suami kamu belum kelihatan sampai sekarang. Kemana? Kok belum datang? Tamunya udah nunggu semua.""Masih tidur," jawabku singkat."Eh? Seriusan? Gak pake alarm? Kok kayak pikun gitu."Mendengar itu, aku tertawa pelan, kemudian menggelengkan kepala. "Ada, deh. Kamu di saja juga?""Iya. Minta undangan sama si Mawar. Udah di sini.""Oke."Terdengar keributan di depan. Sepertinya, Mas Reno dan sekeluarga sudah bangun. Aku melirik Bang Tirta yang menganggukkan kepala.
"Mana mobilnya?" tanya Bang Tirta sambil menoleh sejak tadi.Aku juga harap-harap cemas. Jangan sampai kami datang terlambat. Itu sepertinya tidak lucu."Sebentar lagi. Sabar aja." Suara Mawar juga terdengar gelisah."Nah itu." Bang Tirta menunjuk mobil pick up yang membawa kue pernikahan. Aku menganggukkan kepala. Yang membawa mobil itu adalah teman Mawar. Kami bisa menebeng di sana.Buru-buru Bang Tirta keluar dari mobil. Menyetop mobil itu, membawa ponselku juga."Ayo, angkut, Nin."Aku mengangguk, Kafka membantuku membawa beberapa barang masuk ke dalam pick up itu. Kami akan sedikit aman nanti."Abang ngomong apa tadi?" tanyaku sambil menolehnya."Mawar yang ngomong."Kami melewati pemeriksaan sebenarnya, tapi karena mobil sudah terlambat, jadi dibebaskan. Aku menganggukkan kepala, ini lebih seru."Asik gak, Nin?" tanya Bang Tirt
"Oalah, jadi yang mau dinikahin itu istri kedua?""Astaga, Nina berani banget. Salut sama kehebatan dia.""Pasti malu itu. Kasih dulu karung atau apa, biar bisa nugupin malu."Beberapa tertawa sambil menggelengkan kepala melihat semua yang terjadi. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Seolah menantang Mas Reno untuk semua ini.Tayangan video kembali terputar. Masa-masa kamu berdua dan ada foto bayiku juga. Sekarang, Mas Reno malah ingin menikah dengan wanita lain."Sebenarnya, dia itu pria miskin yang gak pernah sama sekali kasih nafkah ke saya. Sekarang, sok-sokan mau nikah sama wanita lain?"Aku menatap wajah Delia yang memerah. Namun, tatapannya juga terhenti ke Bang Tirta. Aku tahu, dia memang mencintai Bang Tirta.Sejak dulu. Pasti Delia menunggu Bang Tirta sejak dulu, tapi tidak kunjung datang. Akhir
"Surat perjanjian ini, kan, Delia?" teriak Bang Tirta dari jauh.Aku dan Kafka saling berpandangan, kami kemudian berlari menyusul Bang Tirta. Sementara aku sesekali memperhatikan Mas Reno.Wajah Mas Reno juga ikutan terkejut.Ah, ternyata isinya hampir sama dengan surat perjanjianku dulu. Mas Reno sepertinya ingin mempermainkan kami. Aku tersenyum tipis.Bukan Delia yang salah sebenarnya. Mas Reno. Sudah aku bilang sejak awal kalau dia itu rakus dan tamak.Terbukti sekarang. Aku menggelengkan kepala. Delia ikut berlari pelan. Dia membaca sebentar surat itu. Kemudian menganggukkan kepala. Benar suratnya dan asli.Aku tersenyum tipis. Bang Tirta merobeknya. Terdengar seruan Mas Reno."Aku membatalkan pernikahan ini!" teriak Delia kencang. Sudah bisa dilihat, kalau dia mencintai Bang Tirta sekali. M
"Hah?!"Ponselku terlepas dari tangan. Aku gemetar menoleh ke Bang Tirta, kemudian ke Kafka. Jantungku berdetak kencang sekali.Aku menelan ludah, berusaha mencerna kembali. Bang Tirta gemetar mengambil ponsel dari tanganku. Dia kembali berbicara dengan saudara kami."Iya. Serius. Kalian kesini sekarang, ya.""Bang, jangan." Kafka langsung menahan Bang Tirta yang hampir saja melempar ponselku.Kalau tidak ada ponsel itu, kami tidak akan bisa mengetahui info selanjutnya. Aku menutup mulut, masih tidak percaya dengan semua kabar yang aku dengar."Ra—Raja." Aku menutupi wajah. Terisak."Abang bisa bawa mobil? Biar Kafka aja kalo gak bisa."Bang Tirta mengangguk. Dia tidak tahan mendengar semuanya. Dadaku naik turun, berusaha menahan isak tangis, tapi tidak bisa juga. Akhirnya pec
"Serius?" tanya Bang Tirta dengan kemarahannya.Aku memilih kening. Dari mana juga Kafka bisa menebak itu semua? Sedikit tidak masuk akal kalau kataku."Oke. Mbak gak percaya? Mama sama Papa percaya atau enggak?" tanya Kafka yakin.Mama dan Papa saling berpandangan, tapi tidak menjawab apa pun. Mereka menunggu penjelasan dari Kafka."Bisa Mbak lihat sendiri. Ini masih siang. Sementara Raja sudah mandi tadi pagi. Mandi ala apa seperti ini? Bayi lagi.""Eh?" Bang Tirta terdengar tidak percaya."Masuk akal." Papa menyahut."Kita lihat seluruhnya. Meskipun memang bisa dibilang tidak ada keterlibatan sama sekali, tapi ini mengganjal."Kafka membenarkan posisi duduknya. Dia memegang tanganku, menatapku lembut. Adikku itu tersenyum, dia tidka terlihat sedih, tapi dari matanya dia ben
"Mbak tidur duluan aja," kata Kafka sambil melirikku. Kami sedang mencari berbagai bukti."Mau ikut nyari juga.""Nanti sakit." Bang Tirta juga ikut membujukku.Sementara ini, kami tinggal di rumah Mama dan Papa. Kalau di rumah lama, bisa-bisa kenangan itu kembali terputar. Kenangan bersama Raja.Aku terdiam. Menatap pakaian bayi yang biasanya dipakai oleh Raja. Maafkan Mama, Nak. Mama gagal menjagamu. Aku menghela napas pelan, menatap Bang Tirta dan Kafka yang sedang sibuk dengan laptop mereka.Terdengar pintu kamar diketuk. Kami bertiga menoleh, kemudian saling bertatapan."Siapa yang ngetik pintu?" tanya Bang Tirta pelan."Ini Mama sama Papa. Bukain pintunya!"Kafka mendengkus pelan, dia membuka pintu, mempersilakan Mama dan Papa masuk."Kenapa gak dari
"Gimana, gimana? Drama tadi? Lucu? Maksudnya gimana, Kaf?" tanya Bang Tirta penasaran.Adikku itu mengangkat bahu. Dia belum memberitahukan lebih lanjut. Orang suruhan Bang Tirta datang, memberikan ponsel."Makasih, ya.""Sama-sama, Bang. Saya pergi dulu," katanya sambil menyalami kami bertiga."Ayo cerita. Kayaknya dari kemarin kamu yang paling cermat di antara kita, Kaf.""Kebawa sama drama tadi? Drama murahan. Bisa kelihatan. Dia gak pintar sebenarnya.""Iya. Jelasin dulu coba. Mbak sama Abang pengen tau."Meskipun Kafka yang paling muda, memang dia yang paling pintar. Aku menatapnya yang terlihat serius, tapi juga terlihat bodo amat."Sini ponselnya."Bang Tirta memberikan ponsel untuk merekam tadi pada Kafka. Dia menunjukkan beberapa bagian yang menurutnya aneh. Apalagi pas
"Eh?! Bantu untuk memusnahkan wanita itu? Menyingkirkan nya?" Jujur saja, aku kaget sekali mendnegar permintaan wanita itu, aku kira dia akan minta sesuatu yang besar, harta misal nya. Nah ini kenapa malah aneh dan berbeda? Dia malah meminta bantuan aku untuk memusnahkan wanita itu. "Ya, kamu gak salah dengar. Aku minta bantuan kamu untuk memusnahkan wanita itu. Ada yang salah dari permintaan aku?" Memang gak ada yang salah, tapi benar-benar aneh. Kenapa dia tiba-tiba mendadak minta memusnahkan wanita itu? Memang nya dia ada hubungan apa dengan si Ayunda itu?"Ada apa memang nya? Pasti ada yang terjadi dengan wanita itu berhubungan dengan kamu, kan?"Dia akhir nya menganggukkan kepala. "Wanita itu yang membunuh suamiku."Kali ini, aku benar-benar terdiam. Membunuh suami nya? Wanita bernama Ayunda itu? Sungguh, aku tidak menyangka sih. Aku kira dia tidak akan bilang begini, eh malah meminta yang lain. Aku mengembuksan napas pelan, ternyata dia malah ingin memintaku membantu nya un
"Ada apa?" tanya nya sambil tertawa. "Kamu pasti kaget ketika melihat aku."Kayak nya aku salah orang deh. Gak mungkin kalau dia kan? Masa iya wanita yang mengajakku untuk bertemu adalah wanita ini sih?"Kayak nya aku salah orang deh, permisi ya." Aku tidak ingin menanggapi perkataan nya. "Iya ini aku, wanita yang mengajak kamu untuk bertemu. Kamu lagi gak salah orang kok."Aku terdiam, berusaha untuk mencerna semua ini Wanita itu adalah sepupu nya Mas Fajar yang tidak menyukai aku. Ya, sejak dulu bahkan dia tidak menyukai hubungan aku dan juga Mas Fajar. "Kamu mau bermain-main apa lagi denganku? Gak puas dengan kejadian dulu?" Aku jadi tambah kesal dengan wanita ini. "Ah oh ya? Kejadian masa lalu ya? Kamu masih ingat rupa nya." Dia tertawa pelan. Tentu saja aku masih ingat, kapan aku tidak ingat dengan ini semua? Apa lagi dia memang menyebalkan di masa lalu kami. Aku mengembuksan napas pelan, rasa nya enggan untuk mengingat nya kembali. "Sudah lah, lupakan saja dulu tentang masa
Oh ya? Apa kah aku bisa mempercayai pesan ini? Apa kah aku harus menemui wanita ini nanti malam? Hmm, mungkin menarik sih, nanti saja lah aku pikir kan. Mungkin saja aku akan datang ke sana nanti, tetapi aku juga tidak bisa gegabah mengambil keputusan. "Kamu kenapa bengong sayang? Itu pesan dari siapa?" tanya Mama nya Mas Fajar membuatku menoleh. "Eh?! Ini? Enggak, bukan dari pesan siapa pun kok, Ma. Mama tadi ditelepon sama Mas Fajar?" tanyaku pelan. Mama nya Mas Fajar menggelengkan kepala. Dia seperti nya tidak tau dari anak nya langsung. "Mama kamu tadi menghubungi Mama. Mama sama sekali gak tau tentang penyakit anak itu. Padahal harus nya Mama juga ikutan tau loh." "Sama Ma, mereka menyembunyikan semua nya dari Nina. Jadi nya, Nina juga gak tau. Mau menghubungi Mama juga kayak mana, gak ada informasi yang aku dapatkan." "Emm kayak gitu ya? Nanti Mama paksa saja dia bicara yang sejujur nya, atau sekalian kita temui dokter nya. Enak aja sakit tapi gak bilang ke Mama." Mama Ma
"Ya ampun, aku gak bermaksud kayak gitu, Sayang. Aku gak maksud." Mas Fajar tampak memohon. "Sudah lah, wanita keras kepala kayak gitu gak usah diurusin. Kasihan sama kesehatan kamu." Wanita itu akhir nya kembali lagi ikut dalam pembicaraan kami. Aku meremas pakaianku sendiri, berusaha untuk meredam emosi, jangan sampai aku menjambak wanita itu di sini. Sudah seperti pelakor dia, mana gak punya malu lagi. "Aku pergi ya, Mas. Mau pulang, lelah sekali kayak nya." Aku akhirnya mengalah. Ya sudah lah, biarkan saja apa yang mas Fajar lakukan di sini. Wajah Mas Fajar tampak sekali merasa bersalah. Sudah lah, aku sudah tidak mau lagi membahas apa pun pada Mas Fajar. Entah lah, aku sudah muak melihat nya. Banyak sekali janji Mas Fajar, tetapi tidak pernah dia tepati. Sudah lah, aku sudah paham dengan apa yang dia lakukan, dia juga tidak pernah memikirkan aku lagi sekarang. "Semoga cepat sembuh, Mas. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku aja, tadi ponsel kamu mati, aku gak bisa hubungi
"Iya, mereka sedang ke rumah sakit, Bu. Sebentar saja kata nya tadi, tapi sampai sekarang belum kembali juga."Astaga, apa yang keluargaku lakukan sih? Kenapa mereka tidak menghubungi aku sama sekali soal ini? Aku jadi tambah kesal. Aku tau sekali kalau mereka tidak menghubungi aku sama sekali. Kalau sudah, ponselku pasti berdering sejak tadi, tetapi ini tidak ada. Haduh, aku tidak paham dengan apa yang mereka pikir kan. "Bibi tau di mana rumah sakit nya? Atau rumah sakit keluarga kita biasa? Atau bibi tau sesuatu gitu?" tanyaku panik. "Enggak, Nyonya. Saya gak tau sama sekali rumah sakit nya dimana. Soal nya gak ngasih tau ke saya."Haduh, sudah lah. Aku buru-buru mengambil ponsel, berusaha untuk menghubungi Mas Fajar, nomor telepon nya tidak aktif. Aku mengembuskan napas kesal, menghubungi Mama. Terdengar nada sambung, aku harap-harap cemas. Berharap Mama mau mengangkat telepon dari aku. "Ya ampun, pada kemana sih gak ada yang mau ngangkat telepon aku." Aku bergumam kesal. Di s
"Wah, Mas Fajar gak beres lagi ini mah." Aku menggelengkan kepala, kesal sekali dengan perkataan Mas Fajar tadi. Apa kah dia tidak bisa berpikir kalau aku tidak suka dia menyembunyikan sesuatu dari aku, hah?! Kenapa sih selalu saja menganggap enteng semua nya?Memang nya Mas Fajar tidak lagi menganggap aku sebagai istrinya? Atau bagaimana ini? Aku gak paham sama sekali dengan apa yang dia lakukan. "Mama udah gak tau lagi harus kayak mana. Istri kamu semakin hari semakin curiga sama kamu. Mama mungkin bisa halangin dia sekarang, tapi kalau nanti? Mama gak tau bisa atau enggak." Terdengar suara Mamaku yang frustasi. "Sama, Mbak pasti curiga sama aku terus. Aku udah capek buat bohong, Mas gak bisa jujur saja sama Mbak? Lagi pula, Mbak gak akan marah kok."Apa sih yang mereka pikir kan? Apa kah mereka tidak kasihan padaku karena terus saja menebak-nebak apa yang mereka sembunyikan, hah?! "Maka nya itu, Mas gak mau nambahin beban Mbak kamu, meskipun Mas tau kalau dia gak akan marah. Ka
"Hah?! Soal penyakit? Tentang dia?" Aku bergumam pelan. Apa maksud dari pesan ini? Buru-buru aku memfoto pesannya, kemudian kembali menyembunyikan ponselku ketika Mas Fajar berganti posisi tidur. Pasti ini adalah jawaban dari semua ini. Aku mengembuskan napas pelan, sebenar nya aku pusing sekali sih memikirkan nya. "Apa yang sebenar nya kamu sembunyikan dari aku, Mas? Kenapa kamu gak jujur aja sama aku? Kenapa?" tanyaku pelan. Sungguh, aku ingin jawaban dari Mas Fajar, tetapi suamiku ini masih sakit, pasti Kafka dan juga Mama tau, tetapi bagaimana cara membujuk mereka agar mau menjawab nya? Ah, pasti mereka tidak akan mau menjawab pertanyaan dan juga kebingungan aku. Aku takut terjadi sesuatu pada Mas Fajar yang tidak aku ketahui, apa lagi anak yang akan aku kandung akan segera lahir ke dunia. "Sayang." Mama mengetuk pintu kamar. Aku mengembuskan napas pelan, melangkah menuju ke pintu rumah. "Ada apa, Ma?" tanyaku sambil membuka pintu, aku berusaha untuk menyembunyikan kesedih
"Mama serius? Mas Fajar pingsan kenapa, Ma?"Wajah Kafka juga langsung berubah panik. Aku menggigit bibir dalam-dalam. Astaga, apa yang terjadi pada suamiku?"Aduh, Mama juga gak tau Fajar pingsan kenapa. Kamu buruan ke sini, Mama udah minta bantuan beberapa tetangga tadi, juga minta bantuan tukang kebun dan pembantu."Aku menelan ludah, buru-buru menganggukkan kepala, aku khawatir sekali dengan kondisi Mas Fajar sekarang. Memang sih tadi Mas Fajar kelihatan pucat sekali, tetapi aku juga tidak tau kalau suamiku itu sedang sakit. Kenapa juga Mas Fajar tidak bilang padaku. Haduh, membuat pusing saja. "Kenapa, Mbak? Mas Fajar kenapa?" tanya Kafka juga ikutan panik. "Mbak juga gak tau, yang pasti, kata Mama, Mas Fajar pingsan." Aku mengusap wajah berkali-kali, mempercepat langkah. "Padahal tadi baik-baik aja kok. Kenapa sama Mas Fajar, ya, Mbak? Tadi pas masih sama aku, Mas Fajar sehat banget loh, Mbak."Ya kan beda kasus nya. Aku menggelengkan kepala mendnegar perkataan nya Kafka, ya
"Aku sudah selesai siap-siap. Maaf ya kalau aku sudah nyusahin Mbak dan yang lainnya. Juga menyusahkan Kafka."Adikku itu langsung memalingkan wajah nya mendnegar nama nya di sebut di belakang kalimat Rini. Aku mengembuksan napas pelan, Rini sudah menggeret koper nya. Aku bingung dengan mereka, aku bahkan tidak paham lagi dengan jalan pikiran adik dan juga suamiku itu. Entah apa yang mereka katakan soal Rini. Ah, bodo amat deh. Padahal kan Rini juga baru saja kehilangan Mama nya. Masa iya kami sudah mengusir dia dari rumah ini. "Sekali lagi maaf kalau kesannya kami malah mengusir kamu, Rini. Tenang saja, semua biaya hidup kamu, biar kami yang tanggung. Kalau ada apa-apa, langsung kabarin aja." Mas Fajar mengatakan itu. Kami sudah sampai di rumah yang memang kosong, tetapi ini dulu memang dijadikan sebagai rumah orang kantor Mas Fajar yang rumah nya jauh, karena masuk pagi, maka nya menginap sebentar. Tidak mungkin orang kantor nya Mas Fajar menginap di rumah kami. "Aku yang makas