"Apa itu, Mbak?" tanya Kafka sambil mendekat padaku. Dia sepertinya penasaran dengan apa yang aku pegang.
"Foto." Aku menjawab pendek.
Beberapa menit, aku berusaha mengingat tentang foto itu. Tentangku, juga seorang pria yang pernah mengisi hariku.
Ah, namanya Angkasa. Pria tampan dulu di sekolahku. Namun, dia ternyata pergi lebih cepat.
Entah kenapa, aku juga lupa dulu. Sudah lama sekali kejadiannya, apalagi masih remaja, labil. Yang pasti, aku ingat sekali. Bukan aku yang membuatnya meninggal.
"Kok mirip si Rian?" tanya Bang Tirta mengagetkan kami berdua.
Aku menghela napas pelan, mengusap wajah berkali-kali.
Angkasa memang mirip Rian. Sangat mirip, apa jangan-jangan ....
"Siapa namanya, Nin? Bukan si Rian, kan?"
"Angkasa, Bang. Dia dulu teman satu SMP-k
"Maaf, siapa, ya?" tanyaku lumayan penasaran.Sebenarnya, aku tau siapa yang menelepon. Apalagi suaranya tidak asing di telinga. Juga bukan Fajar.Siapa lagi, pasti dia."Rian. Masa lupa.""Jangan basa-basi. Kita selesaikan nanti," kataku sambil mematikan telepon.Ketika aku menoleh, Bang Tirta dan Kafka menatapku penasaran. Aku nyengir saja, tidak menjawab pertanyaan mereka sama sekali."Siapa, sih, Mbak?" tanya Kafka penasaran."Kepo," kataku membuatnya mendelik.Aku sudah selesai. Membantu Kafka dan Bang Tirta yang masih terlihat sibuk."Udah selesai semua." Kafka menunjukkan barang-barang yang sudah selesai dirapikan. Aku menganggukkan kepala, melirik jam dinding. Sudah pukul segitu ternyata."Ayo, berangkat."
"Sudahlah. Ayo pulang."Tanganku langsung ditahan ketika mengajak Bang Tirta, juga Kafka untuk pulang. Aku menatap pria itu sambil melotot. Kenapa juga dia pegang-pegang tanganku?"Tunggu, Nin. Masih banyak yang perlu kita bahas.""Bahas apalagi? Udah jelas kamu itu pembunuh, tinggal lapor ke pihak berwajib. Semoga dapat hukuman setimpal. Apa kata kamu kemarin? Nyawa dibalas dengan nyawa? Semoga saja pihak berwajib memberikan hukuman itu.""Oke. Aku gak peduli mereka mau kasih hukuman apa, tapi tolong dengerin dulu. Masih banyak yang perlu dibahas."Aku tidak peduli. Sejak tadi berusaha melepaskan pegangan tangannya."Kita bahas tentang kematian Angkasa. Kamu dulu mencintainya, kan?"Kali ini, aku terdiam. Tidak memberontak sama sekali. Kafka menarik tanganku pelan, dia tersenyum. Menyuruh duduk.Ah,
"Ya. Mama dan Papamu. Aku minta maaf soal semuanya. Aku justru belum tau itu kemarin. Aku kira—" "Oke. Cukup. Aku ngerti perasaan kamu dan apa pun itu." Aku menghela napas pelan. Semua ini. Malah membuatku bingung akan maju untuk melaporkan Rian ke penjara atau tidak. Apalagi kronologinya seperti itu. Jelas saja dendam itu muncul. Siapa pelaku sebenarnya? "Tapi siapa pelaku sebenarnya, Ri?" tanyaku sambil menoleh pada pria itu. "Dua orang pria misterius itu. Orang suruhan Mama dan Papa kamu." Astaga. Jantungku langsung berdetak kencang, aku menoleh ke Kafka dan Bang Tirta yang sama terkejutnya. Kami benar-benar tidak menyangka kalau Mama dan Papa yang sebenarnya ada di balik semua ini. "Mereka tidak senang kamu dekat dengan Angkasa. Si anak kecil yang dekil dan miskin dulu."
"Masa tega banget mau laporin Mama sama Papa juga."Aku saling bertatapan dengan Kafka. Bang Tirta baru saja mengatakan itu. Membuat kami kembali berpusing ria.Memikirkan itu, hanya membuatku kembali pusing. Aku menghela napas pelan, menoleh ke Bang Tirta."Apa pun nanti hasilnya, kita perlu bicarain sama Mama dan Papa, Bang. Kita juga harus tau kronologi dari Mama dan Papa. Gak bisa hanya dari satu cerita, kan," kataku sambil tersenyum pada Bang Tirta."Betul. Ayo pulang. Kita harus tau kronologinya dari Mama dan Papa."Kafka menggenggam tanganku. Kami melangkah keluar dari restoran setelah mengambil kamera yang merekam percakapan kami.Sepanjang perjalanan, aku hanya diam. Sementara Kafka sibuk dengan kameranya dan Bang Tirta menyetir mobil.Banyak sekali pikiran di kepalaku. Apalagi membahas soal kematian Angkasa yan
"Haduh, kenapa kamu pakai acara injak kaki Mama, sih?"Kami buru-buru membuka pintu, mendapati Mama Mas Reno, juga anaknya. Ngapain mereka ada di sini?"Eh, Nina. Maaf, ya, tadi kita lagi bersih-bersih, terus gucci-nya pecah."Gucci yang diletakkan di sana memang pecah. Aku menggelengkan kepala, mereka selalu saja membuat ulah.Aku menghela napas pelan. Mereka pasti penasaran dengan apa yang terjadi di dalam. Beberapa detik aku terdiam, Kafka menepuk pundakku. Dia membisikkan sesuatu."Em, apa yang kalian dengar di dalam?""Gak dengar apa-apa, kok.""Jawab yang jujur atau gak ada jatah makan nanti malam. Buat gantiin gucci itu aja makannya.""Eh?" Mereka berdua terdengar terkejut. "Udah kayak ibu tiri di sinetron aja kamu, Nin."Tidak lucu sama sekali. Aku menggelengkan kepala, masih m
"Gimana caranya manfaatin mereka? Kayaknya mereka gak ada manfaatnya sama sekali."Terdengar tawa pelan dari adikku. Aku menoleh, menatapnya yang menarik turunkan alis."Nanti aku cerita sama Mbak.""Bang, ayo. Ke kamar."Bang Tirta menoleh. Kemudian menganggukkan kepala. Dia beranjak. Aku masih menatap Mas Reno yang sesekali melirik ke arah kami."Mana si Rini?""Hadir, Bang." Rini muncul di sebelahku. Dia kemudian melangkah mendekati Bang Tirta."Tolong awasi mereka. Apa pun yang kalian dnegar di kamar Mama dan Papa tadi, saya harap gak terjadi apa pun."Mereka tidak menjawab perkataan Bang Tirta sama sekali. Aku melangkah duluan ke kamar. Menyalakan ponsel milik Kafka."Mbak mau mandi dulu, gak?""Iya, deh. Sekalian nanti langsung ketemuan sama Fajar. Malas kalau nanti-nanti."Setidaknya, aku sudah sedikit lega sekarang. Kami bisa tahu s
"Akhirnya!"Aku berseru senang. Membuka kertas itu, menyimak baik-baik. Beberapa hari lagi, aku akan melakukan sidang."Ah, ya. Si Reno itu, dia gak di rumahnya lagi, ya?" tanya Fajar membuatku menoleh."Di rumah Mama sama Papa sekarang." Kafka yang menjawab."Hah?!" Wajah Fajar terlihat terkejut sekali. "Kok bisa? Padahal kan gak boleh."Memang. Aku menggaruk ujung hidung. Lumayan bingung. Apa yang akan aku jawab pada Fajar?"Jadi, mereka itu udah tandatangan surat kerjasama, kok. Masalahnya cukup besar, sih. Maka nya, kami ikutan deh. Lumayan buat pembantu dir umah meskipun udah ada."Aku menganggukkan kepala, setuju dengan perkataan Kafka."Gimana ceritanya, sih?"Kafka menceritakan semuanya. Sesekali, aku memakan yang sudah disajikan."Oke-oke. Paham. Jadi, besok kalian mau ke rumah saksi itu?""Pasti kami besok ke sana."
"Buset orang itu." Kafka menggelengkan kepala melihat kondisi Bang Tirta.Aku menghela napas pelan. Kami salah menduga rupanya. Delia memang tidak ada baik-baiknya."Baru ditinggal sebentar, beberapa menit. Udah beraksi aja. Coba tadi Mbak lempar dia sekalian pakai barang apalah."Sejak tadi, Kafka mendumal. Sementara aku menepuk-nepuk pipi Bang Tirta. Dia tidak mau bangun juga.Untung saja belum terjadi apa-apa. Aku menghela napas pelan, menggelengkan kepala. Kondisi Bang Tirta buruk sekali sekarang."Bang, bangun." Aku menepuk pipinya kembali."Udahlah, Mbak. Orang ngeyel kayak Bang Tirta itu emang nyebelin.""Masalahnya, kita mau bilang apa ke Mama dan Papa kalau udah sampai rumah dan Bang Tirta masih dalam kondisi gini?" tanyaku ikutan kesal.Bang Tirta dikasih minum entahlah. Mungkin obat tidur atau malah obat mabuk? Aku juga tidak tahu.
"Eh?! Bantu untuk memusnahkan wanita itu? Menyingkirkan nya?" Jujur saja, aku kaget sekali mendnegar permintaan wanita itu, aku kira dia akan minta sesuatu yang besar, harta misal nya. Nah ini kenapa malah aneh dan berbeda? Dia malah meminta bantuan aku untuk memusnahkan wanita itu. "Ya, kamu gak salah dengar. Aku minta bantuan kamu untuk memusnahkan wanita itu. Ada yang salah dari permintaan aku?" Memang gak ada yang salah, tapi benar-benar aneh. Kenapa dia tiba-tiba mendadak minta memusnahkan wanita itu? Memang nya dia ada hubungan apa dengan si Ayunda itu?"Ada apa memang nya? Pasti ada yang terjadi dengan wanita itu berhubungan dengan kamu, kan?"Dia akhir nya menganggukkan kepala. "Wanita itu yang membunuh suamiku."Kali ini, aku benar-benar terdiam. Membunuh suami nya? Wanita bernama Ayunda itu? Sungguh, aku tidak menyangka sih. Aku kira dia tidak akan bilang begini, eh malah meminta yang lain. Aku mengembuksan napas pelan, ternyata dia malah ingin memintaku membantu nya un
"Ada apa?" tanya nya sambil tertawa. "Kamu pasti kaget ketika melihat aku."Kayak nya aku salah orang deh. Gak mungkin kalau dia kan? Masa iya wanita yang mengajakku untuk bertemu adalah wanita ini sih?"Kayak nya aku salah orang deh, permisi ya." Aku tidak ingin menanggapi perkataan nya. "Iya ini aku, wanita yang mengajak kamu untuk bertemu. Kamu lagi gak salah orang kok."Aku terdiam, berusaha untuk mencerna semua ini Wanita itu adalah sepupu nya Mas Fajar yang tidak menyukai aku. Ya, sejak dulu bahkan dia tidak menyukai hubungan aku dan juga Mas Fajar. "Kamu mau bermain-main apa lagi denganku? Gak puas dengan kejadian dulu?" Aku jadi tambah kesal dengan wanita ini. "Ah oh ya? Kejadian masa lalu ya? Kamu masih ingat rupa nya." Dia tertawa pelan. Tentu saja aku masih ingat, kapan aku tidak ingat dengan ini semua? Apa lagi dia memang menyebalkan di masa lalu kami. Aku mengembuksan napas pelan, rasa nya enggan untuk mengingat nya kembali. "Sudah lah, lupakan saja dulu tentang masa
Oh ya? Apa kah aku bisa mempercayai pesan ini? Apa kah aku harus menemui wanita ini nanti malam? Hmm, mungkin menarik sih, nanti saja lah aku pikir kan. Mungkin saja aku akan datang ke sana nanti, tetapi aku juga tidak bisa gegabah mengambil keputusan. "Kamu kenapa bengong sayang? Itu pesan dari siapa?" tanya Mama nya Mas Fajar membuatku menoleh. "Eh?! Ini? Enggak, bukan dari pesan siapa pun kok, Ma. Mama tadi ditelepon sama Mas Fajar?" tanyaku pelan. Mama nya Mas Fajar menggelengkan kepala. Dia seperti nya tidak tau dari anak nya langsung. "Mama kamu tadi menghubungi Mama. Mama sama sekali gak tau tentang penyakit anak itu. Padahal harus nya Mama juga ikutan tau loh." "Sama Ma, mereka menyembunyikan semua nya dari Nina. Jadi nya, Nina juga gak tau. Mau menghubungi Mama juga kayak mana, gak ada informasi yang aku dapatkan." "Emm kayak gitu ya? Nanti Mama paksa saja dia bicara yang sejujur nya, atau sekalian kita temui dokter nya. Enak aja sakit tapi gak bilang ke Mama." Mama Ma
"Ya ampun, aku gak bermaksud kayak gitu, Sayang. Aku gak maksud." Mas Fajar tampak memohon. "Sudah lah, wanita keras kepala kayak gitu gak usah diurusin. Kasihan sama kesehatan kamu." Wanita itu akhir nya kembali lagi ikut dalam pembicaraan kami. Aku meremas pakaianku sendiri, berusaha untuk meredam emosi, jangan sampai aku menjambak wanita itu di sini. Sudah seperti pelakor dia, mana gak punya malu lagi. "Aku pergi ya, Mas. Mau pulang, lelah sekali kayak nya." Aku akhirnya mengalah. Ya sudah lah, biarkan saja apa yang mas Fajar lakukan di sini. Wajah Mas Fajar tampak sekali merasa bersalah. Sudah lah, aku sudah tidak mau lagi membahas apa pun pada Mas Fajar. Entah lah, aku sudah muak melihat nya. Banyak sekali janji Mas Fajar, tetapi tidak pernah dia tepati. Sudah lah, aku sudah paham dengan apa yang dia lakukan, dia juga tidak pernah memikirkan aku lagi sekarang. "Semoga cepat sembuh, Mas. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku aja, tadi ponsel kamu mati, aku gak bisa hubungi
"Iya, mereka sedang ke rumah sakit, Bu. Sebentar saja kata nya tadi, tapi sampai sekarang belum kembali juga."Astaga, apa yang keluargaku lakukan sih? Kenapa mereka tidak menghubungi aku sama sekali soal ini? Aku jadi tambah kesal. Aku tau sekali kalau mereka tidak menghubungi aku sama sekali. Kalau sudah, ponselku pasti berdering sejak tadi, tetapi ini tidak ada. Haduh, aku tidak paham dengan apa yang mereka pikir kan. "Bibi tau di mana rumah sakit nya? Atau rumah sakit keluarga kita biasa? Atau bibi tau sesuatu gitu?" tanyaku panik. "Enggak, Nyonya. Saya gak tau sama sekali rumah sakit nya dimana. Soal nya gak ngasih tau ke saya."Haduh, sudah lah. Aku buru-buru mengambil ponsel, berusaha untuk menghubungi Mas Fajar, nomor telepon nya tidak aktif. Aku mengembuskan napas kesal, menghubungi Mama. Terdengar nada sambung, aku harap-harap cemas. Berharap Mama mau mengangkat telepon dari aku. "Ya ampun, pada kemana sih gak ada yang mau ngangkat telepon aku." Aku bergumam kesal. Di s
"Wah, Mas Fajar gak beres lagi ini mah." Aku menggelengkan kepala, kesal sekali dengan perkataan Mas Fajar tadi. Apa kah dia tidak bisa berpikir kalau aku tidak suka dia menyembunyikan sesuatu dari aku, hah?! Kenapa sih selalu saja menganggap enteng semua nya?Memang nya Mas Fajar tidak lagi menganggap aku sebagai istrinya? Atau bagaimana ini? Aku gak paham sama sekali dengan apa yang dia lakukan. "Mama udah gak tau lagi harus kayak mana. Istri kamu semakin hari semakin curiga sama kamu. Mama mungkin bisa halangin dia sekarang, tapi kalau nanti? Mama gak tau bisa atau enggak." Terdengar suara Mamaku yang frustasi. "Sama, Mbak pasti curiga sama aku terus. Aku udah capek buat bohong, Mas gak bisa jujur saja sama Mbak? Lagi pula, Mbak gak akan marah kok."Apa sih yang mereka pikir kan? Apa kah mereka tidak kasihan padaku karena terus saja menebak-nebak apa yang mereka sembunyikan, hah?! "Maka nya itu, Mas gak mau nambahin beban Mbak kamu, meskipun Mas tau kalau dia gak akan marah. Ka
"Hah?! Soal penyakit? Tentang dia?" Aku bergumam pelan. Apa maksud dari pesan ini? Buru-buru aku memfoto pesannya, kemudian kembali menyembunyikan ponselku ketika Mas Fajar berganti posisi tidur. Pasti ini adalah jawaban dari semua ini. Aku mengembuskan napas pelan, sebenar nya aku pusing sekali sih memikirkan nya. "Apa yang sebenar nya kamu sembunyikan dari aku, Mas? Kenapa kamu gak jujur aja sama aku? Kenapa?" tanyaku pelan. Sungguh, aku ingin jawaban dari Mas Fajar, tetapi suamiku ini masih sakit, pasti Kafka dan juga Mama tau, tetapi bagaimana cara membujuk mereka agar mau menjawab nya? Ah, pasti mereka tidak akan mau menjawab pertanyaan dan juga kebingungan aku. Aku takut terjadi sesuatu pada Mas Fajar yang tidak aku ketahui, apa lagi anak yang akan aku kandung akan segera lahir ke dunia. "Sayang." Mama mengetuk pintu kamar. Aku mengembuskan napas pelan, melangkah menuju ke pintu rumah. "Ada apa, Ma?" tanyaku sambil membuka pintu, aku berusaha untuk menyembunyikan kesedih
"Mama serius? Mas Fajar pingsan kenapa, Ma?"Wajah Kafka juga langsung berubah panik. Aku menggigit bibir dalam-dalam. Astaga, apa yang terjadi pada suamiku?"Aduh, Mama juga gak tau Fajar pingsan kenapa. Kamu buruan ke sini, Mama udah minta bantuan beberapa tetangga tadi, juga minta bantuan tukang kebun dan pembantu."Aku menelan ludah, buru-buru menganggukkan kepala, aku khawatir sekali dengan kondisi Mas Fajar sekarang. Memang sih tadi Mas Fajar kelihatan pucat sekali, tetapi aku juga tidak tau kalau suamiku itu sedang sakit. Kenapa juga Mas Fajar tidak bilang padaku. Haduh, membuat pusing saja. "Kenapa, Mbak? Mas Fajar kenapa?" tanya Kafka juga ikutan panik. "Mbak juga gak tau, yang pasti, kata Mama, Mas Fajar pingsan." Aku mengusap wajah berkali-kali, mempercepat langkah. "Padahal tadi baik-baik aja kok. Kenapa sama Mas Fajar, ya, Mbak? Tadi pas masih sama aku, Mas Fajar sehat banget loh, Mbak."Ya kan beda kasus nya. Aku menggelengkan kepala mendnegar perkataan nya Kafka, ya
"Aku sudah selesai siap-siap. Maaf ya kalau aku sudah nyusahin Mbak dan yang lainnya. Juga menyusahkan Kafka."Adikku itu langsung memalingkan wajah nya mendnegar nama nya di sebut di belakang kalimat Rini. Aku mengembuksan napas pelan, Rini sudah menggeret koper nya. Aku bingung dengan mereka, aku bahkan tidak paham lagi dengan jalan pikiran adik dan juga suamiku itu. Entah apa yang mereka katakan soal Rini. Ah, bodo amat deh. Padahal kan Rini juga baru saja kehilangan Mama nya. Masa iya kami sudah mengusir dia dari rumah ini. "Sekali lagi maaf kalau kesannya kami malah mengusir kamu, Rini. Tenang saja, semua biaya hidup kamu, biar kami yang tanggung. Kalau ada apa-apa, langsung kabarin aja." Mas Fajar mengatakan itu. Kami sudah sampai di rumah yang memang kosong, tetapi ini dulu memang dijadikan sebagai rumah orang kantor Mas Fajar yang rumah nya jauh, karena masuk pagi, maka nya menginap sebentar. Tidak mungkin orang kantor nya Mas Fajar menginap di rumah kami. "Aku yang makas