"Ya. Mama dan Papamu. Aku minta maaf soal semuanya. Aku justru belum tau itu kemarin. Aku kira—"
"Oke. Cukup. Aku ngerti perasaan kamu dan apa pun itu."
Aku menghela napas pelan. Semua ini. Malah membuatku bingung akan maju untuk melaporkan Rian ke penjara atau tidak.
Apalagi kronologinya seperti itu. Jelas saja dendam itu muncul.
Siapa pelaku sebenarnya?
"Tapi siapa pelaku sebenarnya, Ri?" tanyaku sambil menoleh pada pria itu.
"Dua orang pria misterius itu. Orang suruhan Mama dan Papa kamu."
Astaga. Jantungku langsung berdetak kencang, aku menoleh ke Kafka dan Bang Tirta yang sama terkejutnya. Kami benar-benar tidak menyangka kalau Mama dan Papa yang sebenarnya ada di balik semua ini.
"Mereka tidak senang kamu dekat dengan Angkasa. Si anak kecil yang dekil dan miskin dulu."
<
"Masa tega banget mau laporin Mama sama Papa juga."Aku saling bertatapan dengan Kafka. Bang Tirta baru saja mengatakan itu. Membuat kami kembali berpusing ria.Memikirkan itu, hanya membuatku kembali pusing. Aku menghela napas pelan, menoleh ke Bang Tirta."Apa pun nanti hasilnya, kita perlu bicarain sama Mama dan Papa, Bang. Kita juga harus tau kronologi dari Mama dan Papa. Gak bisa hanya dari satu cerita, kan," kataku sambil tersenyum pada Bang Tirta."Betul. Ayo pulang. Kita harus tau kronologinya dari Mama dan Papa."Kafka menggenggam tanganku. Kami melangkah keluar dari restoran setelah mengambil kamera yang merekam percakapan kami.Sepanjang perjalanan, aku hanya diam. Sementara Kafka sibuk dengan kameranya dan Bang Tirta menyetir mobil.Banyak sekali pikiran di kepalaku. Apalagi membahas soal kematian Angkasa yan
"Haduh, kenapa kamu pakai acara injak kaki Mama, sih?"Kami buru-buru membuka pintu, mendapati Mama Mas Reno, juga anaknya. Ngapain mereka ada di sini?"Eh, Nina. Maaf, ya, tadi kita lagi bersih-bersih, terus gucci-nya pecah."Gucci yang diletakkan di sana memang pecah. Aku menggelengkan kepala, mereka selalu saja membuat ulah.Aku menghela napas pelan. Mereka pasti penasaran dengan apa yang terjadi di dalam. Beberapa detik aku terdiam, Kafka menepuk pundakku. Dia membisikkan sesuatu."Em, apa yang kalian dengar di dalam?""Gak dengar apa-apa, kok.""Jawab yang jujur atau gak ada jatah makan nanti malam. Buat gantiin gucci itu aja makannya.""Eh?" Mereka berdua terdengar terkejut. "Udah kayak ibu tiri di sinetron aja kamu, Nin."Tidak lucu sama sekali. Aku menggelengkan kepala, masih m
"Gimana caranya manfaatin mereka? Kayaknya mereka gak ada manfaatnya sama sekali."Terdengar tawa pelan dari adikku. Aku menoleh, menatapnya yang menarik turunkan alis."Nanti aku cerita sama Mbak.""Bang, ayo. Ke kamar."Bang Tirta menoleh. Kemudian menganggukkan kepala. Dia beranjak. Aku masih menatap Mas Reno yang sesekali melirik ke arah kami."Mana si Rini?""Hadir, Bang." Rini muncul di sebelahku. Dia kemudian melangkah mendekati Bang Tirta."Tolong awasi mereka. Apa pun yang kalian dnegar di kamar Mama dan Papa tadi, saya harap gak terjadi apa pun."Mereka tidak menjawab perkataan Bang Tirta sama sekali. Aku melangkah duluan ke kamar. Menyalakan ponsel milik Kafka."Mbak mau mandi dulu, gak?""Iya, deh. Sekalian nanti langsung ketemuan sama Fajar. Malas kalau nanti-nanti."Setidaknya, aku sudah sedikit lega sekarang. Kami bisa tahu s
"Akhirnya!"Aku berseru senang. Membuka kertas itu, menyimak baik-baik. Beberapa hari lagi, aku akan melakukan sidang."Ah, ya. Si Reno itu, dia gak di rumahnya lagi, ya?" tanya Fajar membuatku menoleh."Di rumah Mama sama Papa sekarang." Kafka yang menjawab."Hah?!" Wajah Fajar terlihat terkejut sekali. "Kok bisa? Padahal kan gak boleh."Memang. Aku menggaruk ujung hidung. Lumayan bingung. Apa yang akan aku jawab pada Fajar?"Jadi, mereka itu udah tandatangan surat kerjasama, kok. Masalahnya cukup besar, sih. Maka nya, kami ikutan deh. Lumayan buat pembantu dir umah meskipun udah ada."Aku menganggukkan kepala, setuju dengan perkataan Kafka."Gimana ceritanya, sih?"Kafka menceritakan semuanya. Sesekali, aku memakan yang sudah disajikan."Oke-oke. Paham. Jadi, besok kalian mau ke rumah saksi itu?""Pasti kami besok ke sana."
"Buset orang itu." Kafka menggelengkan kepala melihat kondisi Bang Tirta.Aku menghela napas pelan. Kami salah menduga rupanya. Delia memang tidak ada baik-baiknya."Baru ditinggal sebentar, beberapa menit. Udah beraksi aja. Coba tadi Mbak lempar dia sekalian pakai barang apalah."Sejak tadi, Kafka mendumal. Sementara aku menepuk-nepuk pipi Bang Tirta. Dia tidak mau bangun juga.Untung saja belum terjadi apa-apa. Aku menghela napas pelan, menggelengkan kepala. Kondisi Bang Tirta buruk sekali sekarang."Bang, bangun." Aku menepuk pipinya kembali."Udahlah, Mbak. Orang ngeyel kayak Bang Tirta itu emang nyebelin.""Masalahnya, kita mau bilang apa ke Mama dan Papa kalau udah sampai rumah dan Bang Tirta masih dalam kondisi gini?" tanyaku ikutan kesal.Bang Tirta dikasih minum entahlah. Mungkin obat tidur atau malah obat mabuk? Aku juga tidak tahu.
"Aduh, pusing banget. Ini di mana?"Kami menoleh ke Bang Tirta yang sudah bangun. Dia mengerjap, menoleh ke aku dan Kafka yang sejak tadi sudah bangun."Bukannya tadi malam—""Abang ditipu kali. Maka nya, jangan percaya sama kayak gitu. Kebanyakan makan percaya." Kafka menimpuk Bang Tirta dengan kulit kacang.Aku menggelengkan kepala melihatnya. Kemudian kembali fokus menentukan titik di mana tempat saksi itu tinggal."Ngapain?" tanya Bang Tirta setelah mencuci wajahnya."Nyari lokasi tinggal saksi itu. Abang sarapan dulu sana.""Loh, kalian udah?""Udah, tuh." Aku menunjuk piring bekas kami makan.Setelah selesai semuanya, kami baru berangkat. Aku sesekali melirik jam, kami akan memasuki
"Ancaman apaa?" tanyaku penasaran.Bang Tirta mengangkat bahu. Kami masuk ke dalm mobil. Aku menghela napas pelan, menatap Kafka yang fokus menyetir.Sepanjang perjalanan, kami diam saja. Aku tidak mau mengganggu fokus Kafka dengan bertanya macam-macam.Ponsel Kafka berdering. Adikku hanya melirik sekilas, kemudian kembali fokus menyetir mobil.Tanpa bilang apa pun lagi, aku mengambil ponsel Kafka, melihat siapa yang menelepon.Papa.Dengan cepat, aku menggeser tombol berwarna hijau."Kalian di mana? Ini udah banyak banget yang ngasih tau.""Masih di perjalanan, Pa."Bisa kulihat, Kafka mengatupkan rahang. Dia menggelengkan kepala ketika ada yang mengganggu fokusnya. Ah, adikku yang
"Siapa?" tanya Kafka sambil menyenggolku. Aku tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Sibuk memikirkan dulu."Nina. Ayo sini.""I—iya." Dengan langkah pelan aku melangkah duduk di sebelah Ibu paruh baya yang sedang tersenyum itu."Kamu cantik. Sudah besar ternyata. Udah lama banget gak ketemu, Nina."Aku tersenyum, kemudian menganggukkan kepala."Kalian kesini untuk mencari tau kebenaran bukan? Soal Angkasa, kamu, dan orang tua kamu, Nina."Pelan sekali, aku menganggukkan kepala kembali. Itu memang benar. Aku mencari kebenaran di sini."Ah, itu bukan sesuatu yang mudah untuk menjawabnya, Nina."Kenapa? Aku menatap wanita itu."Kita harus bisa memutar kisah itu lagi. Kamu sudah mau membuka kenangan masa lalu itu?"Hah?! Aku menatap tidak mengerti. Ibu paruh baya itu menganggukkan kepala padaku. Dia tersenyum."Apa kamu mau, Nin