Sekarang aku merasa bahwa pria ini bisa menjadi sandaran supaya aku tidak sendirian berjuang. Aku yang sedari kecil merasa kesepian, menanggung semua hal sendirian, kini memiliki seseorang yang selalu ada di samping ku. "Semua akan baik-baik saja, tenanglah." Tepukan ringan datang dari tangan Kak Afrizal ke punggungku. Pelan dan menenangkan. Seolah kalimatnya mengatakan bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi.Sudah lama aku tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, kalimatnya yang mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja persis seperti perkataan ibu. Setelah aku tenang, Kak Afrizal mengajak shalat subuh bersama, meminta aku mandi dan ganti baju juga. Kami mendoakan Cheril dan Ramaniya. Dia membimbingku, menjagaku dan percaya bahwa semua akan baik-baik saja asal kami menghadapinya bersama. Aku takut hatiku goyah lagi, jatuh cinta dan bergantung padanya. Perkataan Mbak Marsha supaya menjauhi Kak Afrizal yang merupakan pacarnya aku langgar. Demi Cheril, izinkan aku merasa ti
Sifat kasar Malik ketika di penjara tidak berubah, tetap saja layaknya mandor. Memerintah sebarangan dan sok berkuasa. Dia menganggap derajatnya lebih tinggi dari yang lain. Karena sifatnya itu, di dalam penjara dia menjadi bulan-bulanan. Ditambah ada dua orang yang terus mengganggunya tanpa sebab jelas. Seperti sengaja memusuhinya. Malik bukan lagi orang yang dihormati sejak vonis hukuman 12 tahun penjara dijatuhkan. Hal itu mengakibatkan pukulan telak hingga saudara-saudaranya malu. Ibunya memutuskan pulang kampung ke Jambi karena tidak ada lagi yang menafkahi dan malu terhadap saudara. Ratih masih bertahan di Bandar Lampung meskipun hidupnya sudah hancur, suami di penjara dan uang hasil penjualan ladang 3 hektar dirampok. Bayi yang dia inginkan juga tidak bisa dimiliki. Kini pasangan suami istri itu jatuh ke dalam keterpurukan yang sangat dalam. Namun, Malik berjanji pada Ratih bahwa mereka akan bisa bangkit lagi suatu hari nanti."Aku tidak bisa hancur sendirian, Mas. Tara dan
Di dalam lapas terjadi perkelahian sudah biasa, bahkan sampai menyebabkan kematian adalah hal yang lumrah bagi sesama tahanan. Penjaga sipir tidak akan peduli sebelum keadaan parah, mereka biasanya hanya pura-pura melerai. Tak acuh. Bagi mereka, para tahanan hanyalah orang-orang berdosa, yang mati pun tidak akan berpengaruh terhadap dunia."Mereka pantas mendapatkannya," ucap Malik enteng."Apa makananmu enak setelah berniat membunuh Hana dan Cheril?" tanya Rizal. Matanya menyelidik.Sekarang sudah kepalang tanggung, tidak bisa mundur apalagi mengelak. Malik berdiri, matanya nyalang membalas tantangan Rizal. Kulit Rizal yang sawo matang terlihat gagah dengan pakaian tahanan. "Tentu saja enak, apalagi kalau Hana dan Cheril mati. Aku akan berpesta di sini."Tonjokan langsung mengarah ke wajah Malik, bibirnya pecah hingga mengeluarkan darah segar. "Apa kau ini manusia?!" Teriak Rizal, dia menduduki Malik dan memegang kerahnya. "Di rumah itu juga ada anakmu!" Malik sadar anaknya bisa
Untuk apa menyesal sekarang di saat semua sudah terlambat? Waktu tidak akan pernah diulang. Hidupnya sudah hancur. Tidak bisa diperbaiki lagi, Hana sudah membencinya, Ramaniya sudah hilang dari pelukannya, Ratih menderita sendirian di luar sana, ibunya tidak bisa memiliki cucu.Semuanya sudah kacau dan tidak ada hal yang bisa mengembalikan semuanya, dadanya terasa sesak. Dia menyesal."Maaf...." Akhirnya kalimat itu keluar dari mulutnya yang berdarah. Dia menutup matanya menggunakan punggung tangan. Ada air mata di sana. Meski terlambat, tapi ia tetap ingin mengucapkannya.Malik meminta maaf untuk setiap hal yang terjadi, andai tidak menipu Hana pasti dia dan Ratih juga akan baik-baik. Mereka bisa mengadopsi anak, atau jika dia memperlakukan Hana dan Cheril dengan baik, pasti sekarang dia tengah berkumpul di rumah bukan di penjara. Menjadi keluarga yang harmonis.Rizal melepaskan Malik, dia berdiri dengan darah menetes dari tangannya. Meludah ke samping. Kekesalannya sudah terlampias
Setelah kepergian Kak Afrizal, aku kembali ke kamar. Melihat Cheril yang sedih ditinggal ayahnya, bocah itu masih belum bisa bicara. Aku duduk di kursi, menggenggam erat tangan Cheril dan mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Ayah kerja, cari uang untuk berobat Cheril. Biar Cheril bisa bicara lagi, nanti kita juga ke Jakarta. Tinggal bareng ayah, jadi bisa tiap hari ketemu. Cheril jangan sedih lagi ya?" Wajah itu masih keberatan, tetap tidak mau ditinggal. Wajar saja karena setiap hari Cheril mencari ayahnya. Baru bertemu sebentar langsung ditinggal lagi. "Ayah pasti juga rindu Cheril, Ayah sayang Cheril. Tapi Ayah harus kerja, Cheril jangan sedih lagi." Aku mengusap rambutnya dengan lembut, biasanya mereka menahan rindu dengan berbicara di telepon. Cheril selalu bercerita banyak hal kepada ayahnya, bahkan hal-hal tidak penting sekalipun. Demi mengobati rindu di saat tubuh berjauhan, hanya bisa terobati lewat suara.Sekarang pasti Cheril panik, tidak bisa lagi melepas rindu
Aku melihat ke arah Cheril dan Ramaniya, mereka tertidur lelap. Sebentar lagi ulang tahun Cheril ke empat. Tantangan mendidik kedua putriku menjadi fokus utama, mereka adalah kertas putih. Tergantung aku akan mencoret tinta warna apa di dalam hidup mereka. Sekarang kami tidak lagi terkekang di keluarga Mas Malik, aku bisa menentukan masa depan kami bertiga. Meskipun sulit menjadi orang tua tunggal, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk kedua buat hatiku. Supaya mereka tidak mengalami masa kecil yang sama sepertiku, mereka harus bahagia dan memiliki kebebasan. "Silakan istirahat Nyonya, saya mau ke depan dulu, ngopi." Bang Gufron menyudahi ceritanya, makanan di piring juga sudah habis. Bang Gufron harus berjaga di luar, beliau pasti juga ingin menghirup udara segar."Oh iya, Bang. Makasih."Bang Gufron beranjak, pergi meninggalkan ruangan ini, aku tahu baliau tidak benar-benar pergi, setiap malam akan mengunjungi ruangan ini beberapa jam sekali untuk mengecek keadaan. Malam
Jalanan padat dan banyak pengendara motor berboncengan, mereka mahasiswa dari berbagai perguruan, terlihat dari jasnya."Udah, Mbak tenang aja." ungkap Kahfi. "Takutnya ntar dimarahin bundamu," kataku sembari menoleh. Tidak ingin Kahfi dapat masalah karena aku."Hahaha aku ini bukan anak kecil loh Mbak, udah biasa ke sana ke mari sendiri." Pria berusia 23 tahun itu tersenyum ke arahku, buru-buru aku berpaling. Takut tidak kuat menahan pesona Kahfi, bahaya kalau sampai suka sama brondong. Badannya tinggi besar, ditambah wajahnya yang tampan, aku yakin banyak wanita oleng karena pemuda ini."Syukurlah kalau nggak papa, aku cuma khawatir." "Nggak kok, tenang aja, Mbak." Ramaniya anteng berada di gendonganku, matanya terbuka dan beberapa kali berkedip. Pipinya gembul dan sebentar lagi bisa miring. Rambutnya mirip Mas Malik yang sedikit ikal, matanya mirip denganku yang sedikit sipit. Ramaniya berdarah Lampung yang khas berkulit putih."Waktu di rumahmu, ternyata kamu punya banyak nen
Aku pernah jatuh cinta dengan Kak Afrizal, bisa dibilang perasaanku masih sama meskipun tidak sehebat dulu. Mungkin, karena sudah memiliki dua anak. Urusan cinta tidak lagi menjadi prioritas. Aku tidak lagi peduli apakah perasaanku kepada Kak Afrizal akan dibalas atau tidak. Namun, perasaanku tidak nyaman mengetahui bahwa dia memiliki wanita lain. Apalagi kami terhubung lewat Cheril. Membuatku terus melihat dia bersama Mbak Marsha. "Aku ke sini cuma mau ngambil barang yang ketinggalan waktu nginep kemarin," ucap Mbak Marsha. Wajahnya cantik, rambutnya bergelombang dan pakaiannya sangat elegan. Jika kami bersanding, maka orang akan berpikir bahwa kami majikan dan pembantu."Oh iya, Mbak Marsha, saya Hana. Silakan masuk, mau aku buatin teh?" "Nggak usah, aku buru-buru mau ke kantor. Cuma ngambil lipstik yang ketinggalan di kamar Rizal." "Lipstik?"Mbak Marsha menggaruk belakang kepalanya, seperti sungkan untuk menjawab. Yah, lagi pula apapun yang mereka lakukan sampai lipstik terti
Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J
Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h
Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah
Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.
Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T
Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida
Hari pembebasan tiba, setelah delapan tahun akhirnya ia bisa menghirup udara bebas. Malik langsung menuju ke lapas tempat Ratih ditahan. Rasa rindu pada istrinya itu tak terbendung lagi. Cinta pertama, cinta sejati, mereka berdua berjanji sehidup semati. Benar kata orang, jodoh itu cerminan. Saat Malik jahat, Ratih pun sama jahatnya. Sekarang Malik tobat, Ratih juga sudah tobat. "Maaf aku baru bisa menemuimu," ucap Malik. Mereka berpelukan erat, Ratih menangis meraung tak menyangka bisa bertemu Malik lebih cepat dari perkiraan. "Aku sangat merindukanmu," ucap Ratih. Wanita itu terlihat sangat senang melihat wajah orang yang sangat dirindukan, sejak mereka masuk penjara, tidak ada kerabat yang mengunjungi. Semua membenci mereka. Karena Mereka juga Ihsan dan Tara terseret kasus ini, membuat Zila tidak memiliki orang tua dalam waktu yang lama. Anak itu sekarang ikut ibunya Malik pulang kampung. "Aku juga, sangat merindukanmu."Pelukan dilepaskan, Malik menghapus air mata di wajah R
Langit di atas lapas mendung, padahal Malik harus segera menjemur pakaian. Hari ini yang memakai jasanya lebih banyak dari biasanya. 50 pakaian yang artinya 50 ribu. Angka yang sulit dia dapatkan dalam sehari. Selain untuk membeli mainan untuk Ramaniya, Malik juga mengirim uang untuk Ratih. Istrinya itu pasti kesulitan di penjara. Beberapa kali Ratih mengeluh tentang sulitnya di penjara, Malik hanya bisa menyemangati. Mereka saling mencintai dan tak terpisahkan sejak dulu, andai tidak terobsesi mendapatkan anak, pasti sekarang hidup mereka baik-baik saja. Setiap hari Malik menyesali perbuatannya dan berjanji akan memulai hidup baru dengan Ratih setelah keluar lapas. "Masih hujan, nanti aja jemurnya." Salah satu teman lapas lewat, menepuk pundak Malik. Badannya tinggi, penuh tato. Dialah premannya raja preman, masuk lapas dan langsung menjadi boss. Tidak ada yang berani membantah. "Kalau nggak kering nanti bau." Malik mencari akal lain, di sini tidak ada pengering. Dia harus membu
Seminggu telah berlalu dan Rizal mengambil anak-anaknya. Bersama Hana memberikan oleh-oleh dari Rusia. Tidak banyak, tapi cukup membuat Yuno lega telah berhenti mengurus tiga bocilnya Rizal. "Aku nggak pingin ke luar negeri lagi, dingin banget. Nggak enak," komentar Hana. Dia tidak betah di udara yang dingin, selalu mengeluh ingin pulang. "Hahaha Bang Rizal aneh, honeymoon kok pas musim dingin." Celetuk Yuno. Menggelengkan kepala. "Sengaja, biar di kamar terus." Jawaban Rizal membuat Hana melotot, lalu memukul lengan suaminya. Tidak menyangka bahwa itu sengaja, selama di Rusia mereka hanya keluar vila tiga kali. Padahal fasilitas keluarga Bagaskara di Rusia bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Kalau hanya untuk berduaan di kamar, kenapa harus jauh-jauh ke Rusia? Hana sangat kesal. Perjalanan ke sana membuat badannya sakit semua. Di pesawat selama berjam-jam, ia tidak betah dan sempat mabuk di kelas bisnis. "Lain kali ogah aku ke sana lagi, capek." "Kalau ke tempat lain mau?