Bayi dalam gendonganku menyusu dengan semangat, berjenis kelamin perempuan dengan berat 3,1 kilo gram. Lahir lebih cepat dua minggu dari perkiraan normal. Terpaksa cecar karena ketuban kering. Mungkin karena banyak pikiran dan aku tidak menjaga kondisi tubuh, juga karena stres dengan semua masalah yang sedang terjadi. Bayiku keluar lebih cepat. Aku tahu Diandra sudah berusaha semaksimal mungkin, mengurusku selama seminggu di rumahnya dan menyembunyikan keberadaanku dari Mas Malik. "Ratih pulang duluan, besok akan ke sini lagi. Gara-gara kamu uangku habis." Kata Mas Malik mendengus kesal. "Aku akan berusaha menggantinya, jadi ceraikan aku." Mendengar itu matanya nyalang menatap, seakan bisa memakanku bulat-bulat. Aku memalingkan wajah, melihat ke arah lain dengan embusan napas. Lelah mengatakan hal yang sama berulang-ulang."Aku tidak akan melepaskan dirimu apapun yang terjadi." Ancamnya. Beberapa hari yang lalu, Diandra membawaku ke rumah sakit yang ada di kota Metro. Dekat denga
Pagi harinya aku dikejutkan dengan tamu yang tidak pernah disangka. Berdiri di depan pintu dengan dahinya yang berkerut, melihatku dari atas sampai bawah. Memang penampilanku tidak terurus. Aku cuma pembantu di rumah ini, mana mungkin bisa berdandan. "Hana, apa kabar?" "Kak Afrizal kenapa ke sini? Apa Kakak ingin mengembalikan Cheril? Ini kan belum lebaran." Apa dia tidak menerima Cheril dan mau mengambalikan anak itu? Kupikir Cheril diterima, ternyata tidak. Padahal tinggal seminggu lagi lebaran. Kasihan Cheril yang ingin lebaran bersama ayahnya. Keinginan kecil anak itu tidak bisa terwujud. Miris."Tidak, aku tidak akan mengembalikan Cheril ke sini. Aku hanya ingin bertanya, apa--""Siapa yang bertamu?" tanya Mas Malik. Aku segera menoleh ke belakang. "Masuk dulu, Kak." Aku mempersilakan Kak Afrizal masuk ke dalam, matanya melihat ke sekeliling ruangan sebelum duduk di kursi. Mbak Ratih keluar kamar dengan menggendong anakku. "Anda siapa?" Tanya Mas Malik setelah duduk. "Saya
Akhir-akhir ini hujan terus turun, mengguyur kota Bandar Lampung. Rizal pulang tanpa membawa Hana, menemui Cheril yang langsung menyambutnya di depan pintu. Ada pengasuh yang sudah dia sewa, Bi Mita. Warga asli Bandar Lampung berumur separuh baya dan melalui proses seleksi. Total ada tiga pekerja di rumah ini. Satu pria penjaga rumah dan gerbang, satu tukang masak dan beres-beres rumah dan satu lagi khusus untuk merawat Cheril. "Ayah, Ibu ana?" tanya Cheril. Tangan kecil itu membawa boneka yang kemarin meraka beli di mall.Rizal mengelap lengannya yang terkena air hujan, lalu berjongkok. Menyeimbangkan tubuhnya dengan bocah itu. "Ibu belum bisa bareng kita, tunggu sampai lebaran, ya?" Wajah Cheril tampak murung, senyumannya hilang. Padahal sudah berharap bisa berjumpa dengan ibunya ketika ayah pamit akan ke rumah Om Malik. "Iya, Elil unggu." Jawabnya. Kepala kecilnya mengangguk. Rizal mengusap kepala bocah itu sembari tersenyum, tidak mungkin menceritakan keadaan yang sebenarnya.
Sepanjang perjalanan, Cheril terus berceloteh. Menceritakan apa saja yang terlintas di benaknya. Rizal menyukai itu. Dibandingkan pertama bertemu, sekarang Cheril jauh lebih aktif. Tidak pemalu lagi dan berani meminta sesuatu padanya. Pertumbuhan seperti itu yang Rizal inginkan untuk Cheril, menjadi balita yang riang dan serba ingin tahu. Dulu Cheril tidak seperti itu. Pendiam dan takut melakukan kesalahan, takut dipukul dan dimarahi. Seperti trauma. Kasih sayang yang Rizal berikan terus menerus membuat Cheril perlahan berubah, senyumannya terlihat bahagia bukan terpaksa. Sorot matanya berbinar bukan lagi rasa takut. Hanya satu yang kurang bagi Cheril, yakni keluarga lengkap. Pertumbuhan paling utama bagi seorang anak yakni memiliki ayah dan ibu. Hal yang sulit diwujudkan untuk Cheril. Setelah satu jam akhirnya mereka sampai di panti asuhan, tepat jam empat sore. Bunda menyambut kedatangan Rizal, anak asuh yang paling sukses dibandingkan lainnya. "Assalamualaikum, Bun." "Waalaik
Setelah menyusun rencana dengan Kahfi selesai, Rizal memutuskan pulang bersama Cheril. Bocah kecil itu tertidur di mobil dengan memeluk bonekanya. Sampai di bandar Lampung pukul sepuluh malam.Lampu kelap-kelip menghiasi sepanjang perjalanan. Kota yang mengajarinya arti dewasa dan mandiri. Mencari nafkah sendiri dan meraih gelar S1. Juga tempatnya bertemu dengan Hana... cinta pertamanya. Mobil berbelok memasuki daerah Kedamaian, rumah yang dia hadiahkan untuk Cheril berada. Berharap bisa pulang ke sini dengan Hana juga. Rizal takut terlalu berandai-andai, kesalahannya di masa lalu begitu besar. Bisa jadi penderitaan Hana dan Cheril di rumah Malik akibat dari kesalahannya. "Selamat malam, Tuan." Penjaga rumah, Bang Manto membukakan gerbang. "Malam." Mobil masuk ke dalam halaman rumah, langsung ke garasi. Lalu Rizal menggendong Cheril sampai ke lantai dua. Menidurkan bocah yang terlelap itu di ranjang. Menyelimuti dengan penuh kasih sayang sebelum pergi dan menutup pintu. Rumah mew
Sebenarnya alat penyadap itu juga terhubung langsung dengan ponselnya, namun dia tidak bisa mengecek karena keterbatasan waktu. Terlebih tadi malam ternyata Yuno mengeluh tidak bisa mengerjakan tugas kantor sendirian. Alhasil pekerjaan tetap dibagi dan dia kerjakan sampai sahur. Jika tidak dibantu maka ketika cuti bersama Yuno akan tetap bekerja, tidak bisa mudik ke Lampung. Kasihan keluarga di sini jika sampai Yuno tidak pulang."Seperti dugaan, mereka memperlakukan Hana dengan kasar. Bayi Hana tidak boleh digendong ibunya selain saat menyusui, juga membuat Hana menjadi pembantu di rumah itu dengan terpaksa." Mendengar itu tangan Rizal mengepal, ingin segera menghancurkan Malik dan keluarganya. "Baiklah, terus awasi mereka dan laporkan pada saya setiap hari.""Baik."Pria bertopi hitam itu beranjak pergi meninggalkan rumah, Rizal membereskan berkas di meja sebelum Cheril pulang. Tadi pagi dia menyuruh Bi Mita membawa Cheril jalan pagi. Membiarkan anak itu menghirup udara segar supay
Pertengkaran menjelang buka puasa, masalah sepele yang menjadi besar. Mas Malik menyuruh aku makan duluan, memberikan daging supaya sehat dan kuat menyusui. Itu juga perintah dari dokter karena aku terlalu kurus. Perhatian yang tidak ada apa-apanya itu disalah artikan sebagai sayang oleh Mbak Ratih. Piring makanku dilempar Mbak Ratih sampai terjatuh di lantai, tercecer hingga piringnya terbalik. Mau makan saja susah, dari pagi aku sudah lelah karena harus mengurus rumah di saat kondisi tubuh belum pulih. Aku duduk di kursi meja makan, masih melihat dua orang berdebat."Kamu kenapa sih? Hana makan duluan karena dia nifas nggak puasa." "Kenapa Mas kasih daging ke dia?""Dia kan lagi menyusui, wajarlah kalau harus makan yang bergizi.""Aku juga ngurus bayi itu, tapi Mas nggak perhatian sama sekali.""Kamu kan nggak nyusuin, kenapa jadi bandingin sama Hana?" "Oh, mentang-mentang aku nggak ngelahirin bayi itu jadi Mas pilih kasih?"Drama apa pula itu, membuatku sangat muak. Padahal jela
Seharusnya anak sekecil ini jika ingin menangis maka akan langsung menangis, tapi Cheril tahu kalau dia menangis pasti aku yang akan dimarahi. Pernah beberapa kali kejadian seperti ini. "Nggak papa, cuma boneka kayak gitu. Jelek." Aku berucap, berusaha menenangkan Cheril. "Ini tangan yang tadi dipukul, Ibu tiup pasti langsung sembuh." Aku meniup tangan kecil itu. Hatiku menahan tangis, andai kami tidak terjebak di rumah ini mungkin aku bisa memberikan Cheril boneka meskipun tidak mahal. Tapi seusia ini Cheril tidak punya mainan satu pun. Miris rasanya. Jangankan mainan, makan daging saja susah. "Elil gak mau boneka." Kata Cheril.Tangan kanannya meraih pipiku, menghapus air mata yang bahkan tidak aku sadari kapan keluarnya. Cengeng sekali, padahal Cheril bisa menahan tangis tapi malah aku yang menangis. Ibu mana yang tidak menangis melihat anaknya diperlukan seperti itu? Aku memeluk Cheril. Perih sekali hati ini. Pertanyaan kapan bisa membahagiakan Cheril terasa amat jauh. Air mat
Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J
Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h
Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah
Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.
Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T
Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida
Hari pembebasan tiba, setelah delapan tahun akhirnya ia bisa menghirup udara bebas. Malik langsung menuju ke lapas tempat Ratih ditahan. Rasa rindu pada istrinya itu tak terbendung lagi. Cinta pertama, cinta sejati, mereka berdua berjanji sehidup semati. Benar kata orang, jodoh itu cerminan. Saat Malik jahat, Ratih pun sama jahatnya. Sekarang Malik tobat, Ratih juga sudah tobat. "Maaf aku baru bisa menemuimu," ucap Malik. Mereka berpelukan erat, Ratih menangis meraung tak menyangka bisa bertemu Malik lebih cepat dari perkiraan. "Aku sangat merindukanmu," ucap Ratih. Wanita itu terlihat sangat senang melihat wajah orang yang sangat dirindukan, sejak mereka masuk penjara, tidak ada kerabat yang mengunjungi. Semua membenci mereka. Karena Mereka juga Ihsan dan Tara terseret kasus ini, membuat Zila tidak memiliki orang tua dalam waktu yang lama. Anak itu sekarang ikut ibunya Malik pulang kampung. "Aku juga, sangat merindukanmu."Pelukan dilepaskan, Malik menghapus air mata di wajah R
Langit di atas lapas mendung, padahal Malik harus segera menjemur pakaian. Hari ini yang memakai jasanya lebih banyak dari biasanya. 50 pakaian yang artinya 50 ribu. Angka yang sulit dia dapatkan dalam sehari. Selain untuk membeli mainan untuk Ramaniya, Malik juga mengirim uang untuk Ratih. Istrinya itu pasti kesulitan di penjara. Beberapa kali Ratih mengeluh tentang sulitnya di penjara, Malik hanya bisa menyemangati. Mereka saling mencintai dan tak terpisahkan sejak dulu, andai tidak terobsesi mendapatkan anak, pasti sekarang hidup mereka baik-baik saja. Setiap hari Malik menyesali perbuatannya dan berjanji akan memulai hidup baru dengan Ratih setelah keluar lapas. "Masih hujan, nanti aja jemurnya." Salah satu teman lapas lewat, menepuk pundak Malik. Badannya tinggi, penuh tato. Dialah premannya raja preman, masuk lapas dan langsung menjadi boss. Tidak ada yang berani membantah. "Kalau nggak kering nanti bau." Malik mencari akal lain, di sini tidak ada pengering. Dia harus membu
Seminggu telah berlalu dan Rizal mengambil anak-anaknya. Bersama Hana memberikan oleh-oleh dari Rusia. Tidak banyak, tapi cukup membuat Yuno lega telah berhenti mengurus tiga bocilnya Rizal. "Aku nggak pingin ke luar negeri lagi, dingin banget. Nggak enak," komentar Hana. Dia tidak betah di udara yang dingin, selalu mengeluh ingin pulang. "Hahaha Bang Rizal aneh, honeymoon kok pas musim dingin." Celetuk Yuno. Menggelengkan kepala. "Sengaja, biar di kamar terus." Jawaban Rizal membuat Hana melotot, lalu memukul lengan suaminya. Tidak menyangka bahwa itu sengaja, selama di Rusia mereka hanya keluar vila tiga kali. Padahal fasilitas keluarga Bagaskara di Rusia bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Kalau hanya untuk berduaan di kamar, kenapa harus jauh-jauh ke Rusia? Hana sangat kesal. Perjalanan ke sana membuat badannya sakit semua. Di pesawat selama berjam-jam, ia tidak betah dan sempat mabuk di kelas bisnis. "Lain kali ogah aku ke sana lagi, capek." "Kalau ke tempat lain mau?