Bubur ayam ditambah, tidak terlalu banyak. Mungkin takut tidak habis. Cheril segera makan lagi, menghabiskan bubur ayam dengan lahap.Bi Sarah sudah selesai makan dan membersihkan kulkas sembari menunggu Cheril selesai. Mengeluarkan buah yang sudah tidak segar. Biasa dibungkus untuk dibawa pulang dan mengganti dengan buah baru. Setelah Cheril selesai makan dia mandi, diberikan baju bagus yang dibeli di mall kemarin. Bajunya dari Lampung benar-benar dibuang. "Ayah Non tidak membelikan mainan apapun, ya?" tanya Bi Sarah. Dia mencari sesuatu yang bisa digunakan Cheril untuk bermain. Rambut Cheril sudah disisir, sekarang memakai bando cantik yang ayahnya belikan. Dia memang tidak pernah bermain, jadi tidak tahu harus main apa. "Nonton TV." Kata Cheril.Sewaktu disuruh menunggu Rizal menyuruhnya nonton TV, dia juga suka nonton kartun. Di rumah Om Malik Cheril selalu mencuri kesempatan lihat kartun setiap Zila datang. "Nonton TV terus nggak baik, bentar Bibi carikan mainan."Bi Sarah k
Angin berembus menerbangkan helain rambutku, Mas Malik meminjam mobil kakak iparnya. Kami menuju ke Menggala, kabupaten Tulang Bawang rumah bibi dan pamanku. Besok adalah hari pertama puasa, mau ziarah ke makan orang tuaku sekaligus nenek kakek Mas Malik. Kampung halaman Mas Malik dari pihak Ayah ada di Tulang Bawang. Keluarga Mas Malik kenal dekat dengan paman dan bibi karena orang tua mereka pernah satu sekolah. Lalu memperkenalkan kami, menjodohkan kami yang katanya cocok. "Kenapa ibu nggak mau ikut, Mas?" tanyaku. "Jaga rumah." Mata Mas Malik fokus melihat ke jalan, sebenarnya dia punya motor. Biasanya kami ke Menggala atau ke daerah lain berboncengan. Namun hari ini dia bersikeras untuk meminjam mobil. Katanya takut kandunganku yang sudah memasuki usia ke sembilan kenapa-napa. Perhatiannya terkadang membuatku luluh, berpikir mungkin masih ada kebaikan dan rasa sayang darinya. Melunturkan sikap kasar yang selama ini telah menyakiti perasaanku. "Kalau Bapak, lebaran tahun ini
Sesampainya di rumah paman dan bibi, Mas Malik langsung disambut, garis bawahi bahwa yang disambut hanyalah Mas Malik. Bukan diriku. "Assalamualaikum." Sapaku dan Mas Malik berbarengan."Waalaikumsalam.""Harusnya kemarin kita ke sini, tapi karena repot baru bisa sekarang." Ungkap Mas Malik. Padahal kemarin ketika aku ajak ke sini dia bilang malas berangkat malam saja, biar tidak perlu menginap katanya. Sore ke makam dan langsung pulang. Jadi kami berangkat tengah malam. Dan di sini hanya siang hari. Ibu mertua juga mengomel kalau sampai kami menginap, katanya lebih baik berangkat malam dari pada menginap di rumah orang. "Kami nunggu dari pagi, Bibi sudah masakin gule kambing." Bibi sangat antusias dan senang. Paman dan bibi memiliki dua anak, semuanya kerja di Jakarta. Mereka masih muda dan belum menikah. Bilqis bekerja sebagai SPG dan Nazir sebagai satpam. Pulang ke Lampung hanya saat lebaran. "Makasih, Bik." Kami masuk dan makan siang bersama, shalat dzuhur lalu Mas Malik ng
Bagi Rizal, keluarga adalah sesuatu yang semu. Bagaimana rasanya memiliki keluarga dia tidak tahu. Ingatan tentang orang tuanya yang harmonis tidak ada sama sekali. Hanya bapak yang suka memukul, ibu yang selingkuh dan dirinya yang terus menangis. Lebaran baginya sama saja dengan hari biasa, tidak ada yang harus dia sungkem tangan untuk minta maaf. Ada bunda di panti asuhan. Tapi tidak terlalu dekat. Dia lepas dari panti sejak lulus SMP. Diterima di SMA negeri di Bandar Lampung dengan beasiswa. Lanjut kuliah di UNILA dengan beasiswa juga.Untuk kebutuhan sehari-hari dia bekerja, menghidupi diri sendiri. Dalam kesendirian, tanpa teman karena terlalu sibuk bekerja. Tidak ada keluarga, apalagi pacar. Kesamaan nasib dengan Hana membuat mereka dipertemukan dalam satu lebaran yang berkesan. Saling mengisi makna lebaran hingga lupa bahwa mereka tidak memiliki keluarga. "Aku emang nggak punya keluarga, Kak. Tapi aku janji sama diri sendiri kalau anakku nanti harus lebaran bareng keluarga."
"Ayah angan angis," ucap Cheril. Menghapus air mata Rizal yang terus menetes. Sekarang, apa bedanya dia dengan ibu? Tidak ada. Malah dia lebih buruk, walaupun sudah menemukan ibu yang tengah sakit. Rizal tidak memaafkan dan menemui saja tidak mau. Tapi Cheril, meski sudah ditinggalkan tetap mau memanggilnya 'Ayah' bahkan meminta maaf padahal tidak salah. Juga menghapus air matanya. Rizal berjongkok, dia membawa Cheril ke dalam pelukannya. Erat seperti tidak akan pernah dia lepaskan. "Maaf, maafkan Ayah." Tangan Cheril melingkar di leher Rizal, tidak tahu apa yang membuat ayahnya menangis sampai semua orang di rumah sakit itu mengamati mereka. Satu hal yang Cheril tahu, dia tidak suka ayahnya sedih. Hatinya juga ikut terluka melihat ayahnya mengeluarkan air mata. "Ayah akit?" tanyanya. Mencari tahu kenapa ayahnya bisa menangis sampai segitunya. "Maafkan, Ayah. Maaf, Nak. Maaf." Kalimat itu terus Rizal ulangi dengan derai air mata, berusaha melepaskan beban berat di hati meskipu
Langit sore menampilkan awan hitam, hampir tak ada celah cahaya untuk masuk. Waktu menunjukkan pukul lima, Rizal tidak sabar pulang untuk berbuka puasa bersama Cheril. Dia menumpuk berkas dan menaruhnya di pojok kanan, lalu memasukkan laptop di tas hitam serta beberapa berkas yang akan dikerjakan di rumah. "Mau ke mana?" tanya Yuno. "Pulang, ini kan sudah habis jam kerja." "Kamu nggak mau lembur?""Nggak, terima kasih." Rizal berjalan keluar dari ruangan, tidak menghiraukan panggilan Yuno yang berteriak. Baginya pekerjaan bisa dilakukan nanti, sekarang yang terpenting adalah berbuka puasa bersama putri kecilnya. Lift penuh, dia harus menunggu beberapa menit dan mengantri bersama karyawan lain untuk turun ke bawah. Sesampainya di lobby ternyata Rizal sudah ditunggu Marsha. Gadis bermata cantik dengan rok abu-abu. Terlihat sangat anggun. "Buka puasa bareng, yuk?" Ajaknya. Rizal bingung, dia sudah berjanji akan berbuka puasa bersama Cheril. Tidak boleh ingkar janji. Lagi pula anak
Semudah itukah Marsha menerima semuanya? Terbuat dari apa hati wanita di hadapannya ini? Sangat lembut tak terkira sampai membuat Rizal tercengang. Apakah Marsha bisa menjadi Ibu sambung yang baik untuk Cheril? Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Rizal membalas genggaman tangan Marsha sembari tersenyum. Mereka melanjutkan makan lalu shalat magrib di masjid tidak jauh dari sana sebelum mengantarkan Marsha pulang. Sementara itu di apartemen, Cheril murung karena ayahnya tidak pulang untuk buka puasa bersama. Dia membantu Bi Sarah membereskan meja makan. Mengelapnya meski Bi Sarah melarang, dia kangen ibu yang mungkin sedang mengelap meja sepertinya. "Ayah Non Cheril sedang sibuk kerja, cari uang untuk Non Cheril. Jangan sedih, besok kan masih bisa buka puasa bareng.""Elil gak suka uang." Seberapa pun uang yang diberikan tidak bisa membeli kebersamaan yang dia inginkan. Padahal kata Ayah, mereka kan menghabiskan waktu bersama. Apakah benar itu bisa terwujud? Pintu ap
Rumah tangga bukan atas dasar cinta, kerinduan yang tak pernah ada. Keharmonisan bagaikan impian semu yang tidak akan terwujud. Kupikir semuanya masih bisa kulalui asal kami tetap saling memiliki satu sama lain. Bagaimana bisa hati ini bertahan jika Mas Malik membawa perempuan lain ke dalam rumah tangga? Istana yang sudah retak kini menjadi hancur. Aku tidak bisa melihat rumah tangga ini bisa diperbaiki lagi. Bagiku, Mas Malik adalah orang kedua setelah Cheril yang paling penting dalam hidupku. Meskipun dia cuek dan kasar, selama ini aku masih berharap bahwa rumah tangga kami akan tetap bertahan. "Hana ini Ratih, Ratih ini Hana. Kalian harus akur." Ungkap Mas Malik ketika Mbak Ratih datang dengan koper besar dan tas ransel.Hari yang aku takutkan itu datang, lebih cepat dari dugaan. Persiapanku belum sempurna. Hanya sempat mengambil foto copy bukti nikah berupa surat-surat yang Mas Malik palsukan untuk menipuku. Dulu, pernikahan bagiku bagikan istana. Ikrar saling setia, sebuah ke
Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J
Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h
Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah
Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.
Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T
Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida
Hari pembebasan tiba, setelah delapan tahun akhirnya ia bisa menghirup udara bebas. Malik langsung menuju ke lapas tempat Ratih ditahan. Rasa rindu pada istrinya itu tak terbendung lagi. Cinta pertama, cinta sejati, mereka berdua berjanji sehidup semati. Benar kata orang, jodoh itu cerminan. Saat Malik jahat, Ratih pun sama jahatnya. Sekarang Malik tobat, Ratih juga sudah tobat. "Maaf aku baru bisa menemuimu," ucap Malik. Mereka berpelukan erat, Ratih menangis meraung tak menyangka bisa bertemu Malik lebih cepat dari perkiraan. "Aku sangat merindukanmu," ucap Ratih. Wanita itu terlihat sangat senang melihat wajah orang yang sangat dirindukan, sejak mereka masuk penjara, tidak ada kerabat yang mengunjungi. Semua membenci mereka. Karena Mereka juga Ihsan dan Tara terseret kasus ini, membuat Zila tidak memiliki orang tua dalam waktu yang lama. Anak itu sekarang ikut ibunya Malik pulang kampung. "Aku juga, sangat merindukanmu."Pelukan dilepaskan, Malik menghapus air mata di wajah R
Langit di atas lapas mendung, padahal Malik harus segera menjemur pakaian. Hari ini yang memakai jasanya lebih banyak dari biasanya. 50 pakaian yang artinya 50 ribu. Angka yang sulit dia dapatkan dalam sehari. Selain untuk membeli mainan untuk Ramaniya, Malik juga mengirim uang untuk Ratih. Istrinya itu pasti kesulitan di penjara. Beberapa kali Ratih mengeluh tentang sulitnya di penjara, Malik hanya bisa menyemangati. Mereka saling mencintai dan tak terpisahkan sejak dulu, andai tidak terobsesi mendapatkan anak, pasti sekarang hidup mereka baik-baik saja. Setiap hari Malik menyesali perbuatannya dan berjanji akan memulai hidup baru dengan Ratih setelah keluar lapas. "Masih hujan, nanti aja jemurnya." Salah satu teman lapas lewat, menepuk pundak Malik. Badannya tinggi, penuh tato. Dialah premannya raja preman, masuk lapas dan langsung menjadi boss. Tidak ada yang berani membantah. "Kalau nggak kering nanti bau." Malik mencari akal lain, di sini tidak ada pengering. Dia harus membu
Seminggu telah berlalu dan Rizal mengambil anak-anaknya. Bersama Hana memberikan oleh-oleh dari Rusia. Tidak banyak, tapi cukup membuat Yuno lega telah berhenti mengurus tiga bocilnya Rizal. "Aku nggak pingin ke luar negeri lagi, dingin banget. Nggak enak," komentar Hana. Dia tidak betah di udara yang dingin, selalu mengeluh ingin pulang. "Hahaha Bang Rizal aneh, honeymoon kok pas musim dingin." Celetuk Yuno. Menggelengkan kepala. "Sengaja, biar di kamar terus." Jawaban Rizal membuat Hana melotot, lalu memukul lengan suaminya. Tidak menyangka bahwa itu sengaja, selama di Rusia mereka hanya keluar vila tiga kali. Padahal fasilitas keluarga Bagaskara di Rusia bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Kalau hanya untuk berduaan di kamar, kenapa harus jauh-jauh ke Rusia? Hana sangat kesal. Perjalanan ke sana membuat badannya sakit semua. Di pesawat selama berjam-jam, ia tidak betah dan sempat mabuk di kelas bisnis. "Lain kali ogah aku ke sana lagi, capek." "Kalau ke tempat lain mau?