Kami Bukan Benalu, Bu.
Bab 24
POV Hanum
Ibu melepas kepergianku dengan isakan dan linangan air mata. Begitu juga beberapa kerabat yang lain. Mereka tidak rela melihatku meninggalkan acara resepsi yang belum selesai. Akan tetapi, aku sudah mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan Jelita dan Mas Satya. Dari pada menjadi gunjingan banyak orang, lebih baik aku ikut dengan mereka. Dengan begitu, aku tidak akan mendengar apapun soal pernikahan yang tak wajar menurut beberapa orang.
Mas Faisal, Mas Zaenal dan Mbak Hana memelukku sebelum aku naik ke mobil milik Satya. Ketiga kakakku itu tampak menitikkan air mata. Bagaimana pun juga, mereka pasti sedih melepas adik bungsunya ke luar dari rumah.
Mas Faisal, walaupun pendiam dan tidak banyak bicara, tapi dia selalu menuruti semua permintaanku. Apalagi, setelah bapak meninggal. Hampir semua tanggung jawab bapak, berpindah pa
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 25POV Hanum Mobil berbelok memasuki halaman sebuah rumah dengan pagar tinggi menutup hampir sekelilingnya. Mang Caca langsung turun dan membukakan pintu mobil untuk Mas Satya yang duduk di belakangnya. Mas Satya pun turun, lalu berjalan memutari bagian depan kendaraan roda empat ini. Aku pikir, dia akan membukakan pintu untukku, seperti yang ia lakukan saat kami masih berpacaran. Ternyata, itu hanya angan saja. Dia berjalan melewati pintu depan begitu saja, dan bergegas membuka pintu belakang, lalu pria yang masih mengenakan jas hitam itu, mengulurkan tangannya pada Jelita. “Hanum, kamu bantu Mang Caca bawa barang belanjaan ke dalam, ya. Langsung simp
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 26POV HanumMas Satya tengah berdiri di depan pintu kamar, saat aku ke luar hendak ke dapur. Entah apa yang ia lakukan di sana. “Mas, ngapain?” Mas Satya menggaruk kepalanya. “Jangan bilang, kamu disuruh Jelita buat manggil aku.” Pria yang sudah berganti pakaian dengan kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek kotak-kotak itu, menggeleng perlahan. “Nggak, kok. Aku cuma mau memastikan kalo kamu dikasih kamar yang ini, bukan kamar pembantu.” “Maksudnya, apa Mas? Emang, tadinya, aku mau ditempatin di kamar pembantu?” Lagi-lagi, Mas Satya hanya menggaruk bagian belakang kepalanya. “Nggak, kok. Udah, lupain aja. Mm, pokoknya, kamu turuti aja semua perintah Jelita. Biar nggak dapat masalah.” “Termasuk soal pembagian waktu buat
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 27POV HANUMSuasana makan malam terasa membosankan buatku. Apalagi, Jelita seperti sengaja memanas-manasiku dengan bersikap sok mesra pada Mas Satya. Sedangkan kedua orang tua Jelita sesekali melemparkan obrolan ringan yang ditanggapi oleh kedua makhluk menyebalkan itu. Cepat-cepat kukunyah suapan terakhirku. Rasanya ingin muntah melihat sikap Jelita dan Mas Satya. “Loh, cepet amat makannya, Num? Apa makanannya nggak enak?” tanya mamanya Jelita. Aku berusaha tersenyum sambil menggeleng perlahan. “Nggak, kok, Bu. Enak. Tapi, saya udah kenyang.” “Oh. Iya, emang anak perawan harusnya memperhatikan porsi makan, ya. Biar badannya bagus. Kalo perawan makannya banyak, ntar gendut kan, nggak enak lihatnya.” Aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapan wanita yang berparas ser
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 28POV JelitaSedih, marah, sakit hati, dan dunia seolah runtuh menimpaku. Rasanya sesak sekali saat mengetahui Mas Satya, suamiku selingkuh dengan seorang mahasiswi bernama Hanum. Ingin sekali aku mengumpat, mencaci maki, dan menyerang serta mempermalukan mereka di depan umum. Atau memviralkan perbuatan mereka, supaya mereka malu. Akan tetapi, kalau aku melakukan hal itu, pasti aku pun akan ikut terkena imbasnya. Jika mereka viral, tidak menutup kemungkinan, orang tua dan keluargaku akan tahu juga. Bukan apa-apa, kedua orang tuaku, dulu tidak menyetujui aku menikah dengan Mas Satya. Alasannya, mereka tidak menyukai Mas Satya yang waktu itu belum memiliki pekerjaan tetap. Apalagi, waktu itu aku terlanjur berbadan dua. Hal itu semakin menambah nilai minus di mata kedua orang tuaku yang masih memegang teguh nilai adat ketimuran. Seandainya sekarang mereka mengetahui perselingkuhan Mas Satya, pasti mereka akan
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 29POV Jelita Ternyata, Hanum cukup kuat. Dia bertahan di rumahku dengan segala persyaratan yang kuajukan. Hubunganku dengan Mas Satya juga semakin dingin. Meskipun tidur di dalam kamar yang sama, kami tidur terpisah. Aku sudah tak sudi tidur di ranjang yang sama dengan pengkhianat seperti dia. Untuk urusan nafkah batin, ada Hanum yang pastinya bersedia melakukannya saat Mas Satya butuh. Buktinya, Mas Satya sudah tidak pernah lagi memintanya padaku. Kalau pun meminta, aku selalu beralasan ini-itu. Biar saja aku dianggap istri durhaka. Hatiku sudah terlanjur sakit. Kalau bukan mengingat keadaanku yang tak memungkinkan lagi untuk memiliki keturunan, aku tidak akan bertahan dengan rumah tangga ini. Ya, beberapa tahun yang lalu, aku pernah merasakan indahnya menjadi seorang calon ibu. Aku pernah hamil, bahkan sebelum kami resmi menikah. Akan tetapi, saat kandungan itu men
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 30POV HANUMAku tidak pernah menyangka, Mbak Jelita akan meminta sebuah hal yang tidak pernah terlintas dalam benakku sama sekali. Mbak Jelita meminta namanya dicantumkan sebagai ibu dalam akte kelahiran, saat anakku lahir nanti. Tentu saja aku keberatan dengan permintaan yang menurutku sangat tidak masuk akal itu. “Kalo aku nggak mau?” tanyaku. Mbak Jelita terlihat mengedikkan bahu. “Ya, terserah. Kalo kalian nggak setuju, artinya, siap-siap saja untuk pergi dari rumah ini.” Aku menatap Mas Satya, berharap kali ini dia berpihak padaku. “Mas, jangan diam aja, dong.” Mbak Jelita mencebik sinis. “Betul kata Hanum. Kamu jangan seenaknya minta namamu dicantumkan dalam akta anak kami.” Mbak Jelita mendengus kasar sambil menge
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 31POV Hanum Tatapan tajam Bu Nancy membuatku semakin salah tingkah. “Siapa yang bersin?” Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Emm, mungkin itu Bik Atun, Bu.” Bu Nancy terlihat mengerutkan dahinya. Ia menatap tepat mataku. “Saya masih bisa membedakan mana suara laki-laki, dan qmana suara perempuan. Itu tadi, suara laki-laki, dan berasal dari kamar kamu!” Aku menunduk. Dalam hati mengutuk Mas Satya, kenapa dia harus bersin segala, sih? “Siapa yang ada di kamar kamu, Hanum?” Aku tetap menunduk, dan tidak berani menjawab. “Jangan bilang, kalo kamu selama ini suka masukin cowok, selama anak dan menantu saya nggak ada di rumah.” Tanpa menunggu jawaban, Bu Nanc
Kami Bukan BenaluBab 32POV HanumWaktu berjalan terasa sangat lambat. Saat aku terakhir melihat jam dinding, sudah lewat tengah malam. Akan tetapi, baik Jelita maupun Mas Satya, tak ada yang muncul. Jangankan pulang, mengirim kabar saja tidak. Karena lelah menunggu, aku pun tertidur. Suara berisik yang semula terdengar samar semakin jelas menyapa gendang telinga. Aku pun terpaksa membuka mata yang masih terasa berat. Susah payah aku berusaha mengumpulkan kesadaran, saat terdengar pintu diketuk. Lebih tepatnya digedor dari luar. “Hanum! Bangun kamu!” terdengar suara Mbak Jelita memanggilku. Dengan malas, aku pun beringsut turun dari tempat tidur dan membuka pintu yang masih digedor. “Ada apa, sih? Masih pagi, udah berisik banget. Ganggu orang tidur aja,” omelku saat membuka pintu. &nb
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 43Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi menyambangi kediaman Ibu mertua. Entah dengan Mas Faisal dan adik-adiknya, serta menantu yang lain. Tak ingin memperpanjang masalah, aku memberikan uang yang sedianya untuk membayar denda, pada Mas Faisal. Tentu sesuai jumlah yang harus dibayar oleh Ibu. Aku juga tak pernah menanyakan kabar ibu pada siapapun. Dan, sepertinya, Mas Faisal dan adik-adiknya juga mengerti dan menghargai sikapku. Terbukti, saat berkumpul, mereka tak pernah membahas apapun soal Ibu. Menurut cerita Nita, dia juga sudah jarang berkomunikasi dengan ibu. Sebenarnya, bukan ini yang aku inginkan. Bagaimanapun juga, aku ingin anak-anak ibu mertuaku tetap dekat dan memperhatikan ibu mereka. Karena, mungkin saja, di masa senjanya, Ibu pasti ingin dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu, serta menantunya. Akan tetapi, aku juga tak berhak memaksa mereka untuk mengambil sikap yang sedikit tegas pada ibu. Ya, walaupun tujuannya hanya untuk memberi pelaja
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 42Aku sangat terkejut mendengar kalimat panjang Nita. Dia yang selama ini selalu diam dan patuh pada Ibu, akhirnya buka suara juga. Mungkin,dia sudah jengah dengan sikap ibu mertua yang semakin hari semakin menyebalkan. Perlahan, kuangkat wajah, menatap satu persatu orang-orang yang ada di ruangan ini. Mereka juga sepertinya sama denganku, terkejut dengan kalimat yang diucapkan Nita, menantu kesayangan Ibu. Sedangkan Ibu, kulihat tak kalah terkejutnya. Wajahnya tampak pucat. Mungkin, ia tak menyangka, menantu kesayangan yang selama ini dibanggakan, berani membantah omongannya."Bu-bukan begitu maksud ibu, Nit." Ibu berusaha menyanggah kata-katanya sendiri. "Lalu, apa? Jelas-jelas Ibu tadi bilang, kalo Mbak Arum itu orang lain yang hanya kebetulan menikah dengan anak Ibu, bukan?"Ibu mengangguk samar, sambil menautkan jari jemari tangannya."Nah, terus, apa bedanya Mbak Arum, sama Nita? Juga Dika? Kami juga orang lain yang kebetulan berjodoh dengan anak
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 41Aku terus berjalan menjauhi rumah Hanum. Hingga tak terasa hampir tiba di gerbang komplek. Kuputuskan untuk mencari tukang ojeg yang biasa mangkal di depan komplek. Akan tetapi, belum juga sampai ke pangkalan ojek, Mas Faisal sudah berhasil menyusulku dengan mengendarai mobil kami. “Arum!” teriaknya.Tak ingin menjadi pusat perhatian orang di sekitar kami, aku pun terpaksa menghentikan langkah. Mas Faisal memarkirkan kendaraan roda empat itu di depanku, lalu bergegas turun “Masuk, Rum!” titahnya sambil menuntunku masuk ke mobil. Aku pun menurut saja. Apalagi, memang dalam hal ini Ma
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 40Seminggu sejak Hanum melahirkan, Ibu masih tidak mau datang menjenguk anak dan cucunya itu. Setiap kali aku dan Mas Faisal mengajak ke rumah Hanum, ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Apalagi, masalah mobil yang hilang itu masih belum selesai. Karena kendaran roda empat tersebut tidak bisa ditemukan, maka sang pemilik menuntut ganti rugi. Apalagi, ternyata, sebelum menyewa, Mbak Tuti sudah menanda tangani surat perjanjian tentang peraturan sewa. Tentu saja, hal itu membuat kami tidak bisa berbuat banyak. “Kalian ini! Hanum terus yang diurus! Ibu yang lagi kena masalah, kalian biarkan saja! Tidak satu pun yang berniat membantu!” omel Ibu saat aku dan Mas Faisal akan berangkat ke rumah Hanum.
&nb
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 38Sejak kedatangannya yang mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Ibu, baik Hanum maupun Satya, tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Ibu. Begitu juga Ibu yang semakin menjaga jarak dengan kami. Bahkan, sewaktu Hanum menggelar acara tujuh bulanan, Ibu juga menolak untuk datang. “Mau ngadain acara di mana? Mereka kan, tinggal di kontrakan, pasti tempatnya sempit. Kalo kalian mau datang, ya silakan. Ibu ada acara lain,” tolaknya waktu itu.Hatiku serasa ditusuk pisau tak kasat mata mendengar kalimat Ibu. Hal yang sama juga kualami saat menggelar acara tujuh bulanan Alea dulu. Waktu itu, kami juga masih tinggal di kontrakan dua petak. Ibu menolak datang, alasannya tempat tinggal kami sempit. Dan Ibu lebih memilih membantu acara syukuran wisuda anak bungsu Bude Warni. Padahal, waktu itu Ibu belum mempunyai cucu dari anak menantu yang lain. Harusnya, kehadiran Alea dis
Kami Bukan Benalu, Bu. Bab 37 Kami diam menunggu dengan perasaan tak menentu. Ketegangan tergambar jelas di wajah Mas Faisal dan Hanum, serta Satya. aku pun sama tegangnya dengan mereka. Karena, setelah siuman, ibu terus merintih kesakitan. “Gimana, Mas Agung? Ibu sakit apa?” tanya Mas Faisal. Mas Agung adalah salah satu tetangga kami yang berprofesi sebagai mantri di Puskesmas. Kebetulan ia sedang libur, jadi dipanggil ke sini untuk memeriksa keadaan ibu. ibu sendiri menolak dibawa ke rumah sakit saat kami tiba tadi. “Asam lambungnya naik. Mas Faisal. Selain minum obat, Bude Ning juga harus makan teratur dan jangan banyak pikiran,” terang pria berkepala plontos itu sambil membetulkan letak kacamatanya. “Tekanan darahnya juga tinggi banget, Mas.” Aku, Mas Faisal, dan Hanum serta Satya saling pandang. Aku pun tak habis pikir dengan perkataan Mas Agung yang mengatakan
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 36Setelah diketuk beberapa kali oleh Mas Faisal, pintu kayu bercat coklat tua di depan kami akhirnya terbuka. Wajah ibu terlihat masam. Mungkin dia tak suka melihat kehadiranku.“Mau apa lagi kalian ke sini?” tanya Ibu ketus seraya menatap sinis ke arah Hanum dan Satya.Aku sedikit terkejut melihat reaksi Ibu. Dari kalimat Ibu, aku menyimpulkan kalau ini bukan pertama kalinya Hanum dan Satya datang ke rumah ini. Mungkinkah, mereka pernah mengunjungi Ibu sebelumnya? Tetapi, kenapa reaksi Ibu seperti itu? Seolah tidak senang anak dan menantu kebanggaanya datang.“Bu ....” Kulihat Hanum hendak menyalami Ibu, tapi Ibu terlihat enggan menerima uluran tangan anak bungsunya itu. Hal yang sama juga dilakukan Ibu saat Satya hendak menyalaminya.Aku dan Mas Faisal saling pandang. Mungkin, suamiku itu juga bingung dengan sikap ibunya.
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 35POV ArumUntuk sesaat, kami saling tatap. Kami sama-sama tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut yang menyapa. “Hanum?” Akhirnya aku bisa menyebut nama itu, sambil menyerahkan barang-barang yang tadi jatuh. “Mbak ....” Hanum tampak kikuk. Aku berusaha tersenyum. “Alea, Arkan, ayo, salim sama Tante Hanum.” Kedua anakku terlihat ragu-ragu saat menyalami adik ayahnya itu. Hanum menerima uluran tangan kedua keponakannya. Kulihat, ada air menggenang di sudut mata adik iparku itu. “Kamu apa kabar, Num? Satya mana?” “Kabarku, baik, Mbak. Mas Satya lagi kerja.” “Oh.” Lagi-lagi, kami saling diam. “Num, Mas Faisal nunggu kami di toko buku. Kita k