Share

Bab 28

Author: Dwi Mei Rahayu
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Kami Bukan Benalu, Bu.

Bab 28

POV Jelita

Sedih, marah, sakit hati, dan dunia seolah runtuh menimpaku. Rasanya sesak sekali saat mengetahui Mas Satya, suamiku selingkuh dengan seorang mahasiswi bernama Hanum. Ingin sekali aku mengumpat, mencaci maki, dan menyerang serta mempermalukan mereka di depan umum. Atau memviralkan perbuatan mereka, supaya mereka malu. Akan tetapi, kalau aku melakukan hal itu, pasti aku pun akan ikut terkena imbasnya. Jika mereka viral, tidak menutup kemungkinan, orang tua dan keluargaku akan tahu juga. Bukan apa-apa, kedua orang tuaku, dulu tidak menyetujui aku menikah dengan Mas Satya. Alasannya, mereka tidak menyukai Mas Satya yang waktu itu belum memiliki pekerjaan tetap. Apalagi, waktu itu aku terlanjur berbadan dua. Hal itu semakin menambah nilai minus di mata kedua orang tuaku yang masih memegang teguh nilai adat ketimuran. Seandainya sekarang mereka mengetahui perselingkuhan Mas Satya, pasti mereka akan

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 2 9

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 29POV Jelita Ternyata, Hanum cukup kuat. Dia bertahan di rumahku dengan segala persyaratan yang kuajukan. Hubunganku dengan Mas Satya juga semakin dingin. Meskipun tidur di dalam kamar yang sama, kami tidur terpisah. Aku sudah tak sudi tidur di ranjang yang sama dengan pengkhianat seperti dia. Untuk urusan nafkah batin, ada Hanum yang pastinya bersedia melakukannya saat Mas Satya butuh. Buktinya, Mas Satya sudah tidak pernah lagi memintanya padaku. Kalau pun meminta, aku selalu beralasan ini-itu. Biar saja aku dianggap istri durhaka. Hatiku sudah terlanjur sakit. Kalau bukan mengingat keadaanku yang tak memungkinkan lagi untuk memiliki keturunan, aku tidak akan bertahan dengan rumah tangga ini. Ya, beberapa tahun yang lalu, aku pernah merasakan indahnya menjadi seorang calon ibu. Aku pernah hamil, bahkan sebelum kami resmi menikah. Akan tetapi, saat kandungan itu men

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 30

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 30POV HANUMAku tidak pernah menyangka, Mbak Jelita akan meminta sebuah hal yang tidak pernah terlintas dalam benakku sama sekali. Mbak Jelita meminta namanya dicantumkan sebagai ibu dalam akte kelahiran, saat anakku lahir nanti. Tentu saja aku keberatan dengan permintaan yang menurutku sangat tidak masuk akal itu. “Kalo aku nggak mau?” tanyaku. Mbak Jelita terlihat mengedikkan bahu. “Ya, terserah. Kalo kalian nggak setuju, artinya, siap-siap saja untuk pergi dari rumah ini.” Aku menatap Mas Satya, berharap kali ini dia berpihak padaku. “Mas, jangan diam aja, dong.” Mbak Jelita mencebik sinis. “Betul kata Hanum. Kamu jangan seenaknya minta namamu dicantumkan dalam akta anak kami.” Mbak Jelita mendengus kasar sambil menge

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 31

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 31POV Hanum Tatapan tajam Bu Nancy membuatku semakin salah tingkah. “Siapa yang bersin?” Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Emm, mungkin itu Bik Atun, Bu.” Bu Nancy terlihat mengerutkan dahinya. Ia menatap tepat mataku. “Saya masih bisa membedakan mana suara laki-laki, dan qmana suara perempuan. Itu tadi, suara laki-laki, dan berasal dari kamar kamu!” Aku menunduk. Dalam hati mengutuk Mas Satya, kenapa dia harus bersin segala, sih? “Siapa yang ada di kamar kamu, Hanum?” Aku tetap menunduk, dan tidak berani menjawab. “Jangan bilang, kalo kamu selama ini suka masukin cowok, selama anak dan menantu saya nggak ada di rumah.” Tanpa menunggu jawaban, Bu Nanc

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 32

    Kami Bukan BenaluBab 32POV HanumWaktu berjalan terasa sangat lambat. Saat aku terakhir melihat jam dinding, sudah lewat tengah malam. Akan tetapi, baik Jelita maupun Mas Satya, tak ada yang muncul. Jangankan pulang, mengirim kabar saja tidak. Karena lelah menunggu, aku pun tertidur. Suara berisik yang semula terdengar samar semakin jelas menyapa gendang telinga. Aku pun terpaksa membuka mata yang masih terasa berat. Susah payah aku berusaha mengumpulkan kesadaran, saat terdengar pintu diketuk. Lebih tepatnya digedor dari luar. “Hanum! Bangun kamu!” terdengar suara Mbak Jelita memanggilku. Dengan malas, aku pun beringsut turun dari tempat tidur dan membuka pintu yang masih digedor. “Ada apa, sih? Masih pagi, udah berisik banget. Ganggu orang tidur aja,” omelku saat membuka pintu. &nb

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 33

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 33POV Hanum Taksi yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah rumah dengan gerbang tidak terlalu tinggi. Sekilas, kulihat di kiri kanan rumah ada bangunan memanjang ke belakang. Mungkin, itulah kamar kontrakan milik teman Mas Satya. Sewaktu kuliah dulu, aku juga pernah main ke tempat kost temanku. Kurang lebih, bentuk bangunannya mirip dengan kontrakan ini. “Ayo,” ajak Mas Satya. Aku pun mengekor di belakang Mas Satya.Seorang pria berambut keriting menyambut kami. Tubuhnya yang ceking dan tinggi, menjulang di depan kami. “Akhirnya sampai juga. Mari masuk.”“Iya, Tom. Tadi sempet nanya-nanya dulu. Kirain kamu masih di rumah yang lama. Oh, iya, kenalin, ini Hanum, istriku. Hanum, ini Tomi, temanku.”Aku memngangguk dan berusahah tersenyum pada pria bernama Tomi ini.

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 34

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 34POV ArumTak terasa, delapan bulan telah berlalu sejak pernikahan Hanum yang penuh drama itu berlangsung. Entah bagaimana Hanum menjalani hari-harinya sebagai istri kedua di sana. Kami tak bisa membantah keinginan Jelita yang meminta Hanum untuk tinggal di rumah yang sama dengannya. Toh, Hanum juga setuju dengan permintaan kakak madunya itu. Sebagai kakak ipar yang tidak dianggap, aku memilih diam dan mendoakan semoga itu adalah jalan yang terbaik.Semenjak dibawa oleh Jelita dan Satya, Hanum jarang memberi kabar pada kami. Saat ibu menelpon, dia hanya mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Menurut cerita ibu, Jelita dan Satya memperlakukan Hanum dengan baik. Kami pun merasa lega. Karena, bagaimana pun juga, kami khawatir jika Hanum tidak bisa menyesuaikan diri di sana.Ibu juga semakin tertutup pada kami, terutama padaku. Ibu lebih sering berdiam diri di rumah. Sesekali ke luar jika a

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 35

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 35POV ArumUntuk sesaat, kami saling tatap. Kami sama-sama tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut yang menyapa. “Hanum?” Akhirnya aku bisa menyebut nama itu, sambil menyerahkan barang-barang yang tadi jatuh. “Mbak ....” Hanum tampak kikuk. Aku berusaha tersenyum. “Alea, Arkan, ayo, salim sama Tante Hanum.” Kedua anakku terlihat ragu-ragu saat menyalami adik ayahnya itu. Hanum menerima uluran tangan kedua keponakannya. Kulihat, ada air menggenang di sudut mata adik iparku itu. “Kamu apa kabar, Num? Satya mana?” “Kabarku, baik, Mbak. Mas Satya lagi kerja.” “Oh.” Lagi-lagi, kami saling diam. “Num, Mas Faisal nunggu kami di toko buku. Kita k

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 36

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 36Setelah diketuk beberapa kali oleh Mas Faisal, pintu kayu bercat coklat tua di depan kami akhirnya terbuka. Wajah ibu terlihat masam. Mungkin dia tak suka melihat kehadiranku.“Mau apa lagi kalian ke sini?” tanya Ibu ketus seraya menatap sinis ke arah Hanum dan Satya.Aku sedikit terkejut melihat reaksi Ibu. Dari kalimat Ibu, aku menyimpulkan kalau ini bukan pertama kalinya Hanum dan Satya datang ke rumah ini. Mungkinkah, mereka pernah mengunjungi Ibu sebelumnya? Tetapi, kenapa reaksi Ibu seperti itu? Seolah tidak senang anak dan menantu kebanggaanya datang.“Bu ....” Kulihat Hanum hendak menyalami Ibu, tapi Ibu terlihat enggan menerima uluran tangan anak bungsunya itu. Hal yang sama juga dilakukan Ibu saat Satya hendak menyalaminya.Aku dan Mas Faisal saling pandang. Mungkin, suamiku itu juga bingung dengan sikap ibunya.

Latest chapter

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 43

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 43Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi menyambangi kediaman Ibu mertua. Entah dengan Mas Faisal dan adik-adiknya, serta menantu yang lain. Tak ingin memperpanjang masalah, aku memberikan uang yang sedianya untuk membayar denda, pada Mas Faisal. Tentu sesuai jumlah yang harus dibayar oleh Ibu. Aku juga tak pernah menanyakan kabar ibu pada siapapun. Dan, sepertinya, Mas Faisal dan adik-adiknya juga mengerti dan menghargai sikapku. Terbukti, saat berkumpul, mereka tak pernah membahas apapun soal Ibu. Menurut cerita Nita, dia juga sudah jarang berkomunikasi dengan ibu. Sebenarnya, bukan ini yang aku inginkan. Bagaimanapun juga, aku ingin anak-anak ibu mertuaku tetap dekat dan memperhatikan ibu mereka. Karena, mungkin saja, di masa senjanya, Ibu pasti ingin dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu, serta menantunya. Akan tetapi, aku juga tak berhak memaksa mereka untuk mengambil sikap yang sedikit tegas pada ibu. Ya, walaupun tujuannya hanya untuk memberi pelaja

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 42

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 42Aku sangat terkejut mendengar kalimat panjang Nita. Dia yang selama ini selalu diam dan patuh pada Ibu, akhirnya buka suara juga. Mungkin,dia sudah jengah dengan sikap ibu mertua yang semakin hari semakin menyebalkan. Perlahan, kuangkat wajah, menatap satu persatu orang-orang yang ada di ruangan ini. Mereka juga sepertinya sama denganku, terkejut dengan kalimat yang diucapkan Nita, menantu kesayangan Ibu. Sedangkan Ibu, kulihat tak kalah terkejutnya. Wajahnya tampak pucat. Mungkin, ia tak menyangka, menantu kesayangan yang selama ini dibanggakan, berani membantah omongannya."Bu-bukan begitu maksud ibu, Nit." Ibu berusaha menyanggah kata-katanya sendiri. "Lalu, apa? Jelas-jelas Ibu tadi bilang, kalo Mbak Arum itu orang lain yang hanya kebetulan menikah dengan anak Ibu, bukan?"Ibu mengangguk samar, sambil menautkan jari jemari tangannya."Nah, terus, apa bedanya Mbak Arum, sama Nita? Juga Dika? Kami juga orang lain yang kebetulan berjodoh dengan anak

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 41

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 41Aku terus berjalan menjauhi rumah Hanum. Hingga tak terasa hampir tiba di gerbang komplek. Kuputuskan untuk mencari tukang ojeg yang biasa mangkal di depan komplek. Akan tetapi, belum juga sampai ke pangkalan ojek, Mas Faisal sudah berhasil menyusulku dengan mengendarai mobil kami. “Arum!” teriaknya.Tak ingin menjadi pusat perhatian orang di sekitar kami, aku pun terpaksa menghentikan langkah. Mas Faisal memarkirkan kendaraan roda empat itu di depanku, lalu bergegas turun “Masuk, Rum!” titahnya sambil menuntunku masuk ke mobil. Aku pun menurut saja. Apalagi, memang dalam hal ini Ma

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 40

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 40Seminggu sejak Hanum melahirkan, Ibu masih tidak mau datang menjenguk anak dan cucunya itu. Setiap kali aku dan Mas Faisal mengajak ke rumah Hanum, ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Apalagi, masalah mobil yang hilang itu masih belum selesai. Karena kendaran roda empat tersebut tidak bisa ditemukan, maka sang pemilik menuntut ganti rugi. Apalagi, ternyata, sebelum menyewa, Mbak Tuti sudah menanda tangani surat perjanjian tentang peraturan sewa. Tentu saja, hal itu membuat kami tidak bisa berbuat banyak. “Kalian ini! Hanum terus yang diurus! Ibu yang lagi kena masalah, kalian biarkan saja! Tidak satu pun yang berniat membantu!” omel Ibu saat aku dan Mas Faisal akan berangkat ke rumah Hanum.

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 39

    &nb

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 38

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 38Sejak kedatangannya yang mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Ibu, baik Hanum maupun Satya, tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Ibu. Begitu juga Ibu yang semakin menjaga jarak dengan kami. Bahkan, sewaktu Hanum menggelar acara tujuh bulanan, Ibu juga menolak untuk datang. “Mau ngadain acara di mana? Mereka kan, tinggal di kontrakan, pasti tempatnya sempit. Kalo kalian mau datang, ya silakan. Ibu ada acara lain,” tolaknya waktu itu.Hatiku serasa ditusuk pisau tak kasat mata mendengar kalimat Ibu. Hal yang sama juga kualami saat menggelar acara tujuh bulanan Alea dulu. Waktu itu, kami juga masih tinggal di kontrakan dua petak. Ibu menolak datang, alasannya tempat tinggal kami sempit. Dan Ibu lebih memilih membantu acara syukuran wisuda anak bungsu Bude Warni. Padahal, waktu itu Ibu belum mempunyai cucu dari anak menantu yang lain. Harusnya, kehadiran Alea dis

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 37

    Kami Bukan Benalu, Bu. Bab 37 Kami diam menunggu dengan perasaan tak menentu. Ketegangan tergambar jelas di wajah Mas Faisal dan Hanum, serta Satya. aku pun sama tegangnya dengan mereka. Karena, setelah siuman, ibu terus merintih kesakitan. “Gimana, Mas Agung? Ibu sakit apa?” tanya Mas Faisal. Mas Agung adalah salah satu tetangga kami yang berprofesi sebagai mantri di Puskesmas. Kebetulan ia sedang libur, jadi dipanggil ke sini untuk memeriksa keadaan ibu. ibu sendiri menolak dibawa ke rumah sakit saat kami tiba tadi. “Asam lambungnya naik. Mas Faisal. Selain minum obat, Bude Ning juga harus makan teratur dan jangan banyak pikiran,” terang pria berkepala plontos itu sambil membetulkan letak kacamatanya. “Tekanan darahnya juga tinggi banget, Mas.” Aku, Mas Faisal, dan Hanum serta Satya saling pandang. Aku pun tak habis pikir dengan perkataan Mas Agung yang mengatakan

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 36

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 36Setelah diketuk beberapa kali oleh Mas Faisal, pintu kayu bercat coklat tua di depan kami akhirnya terbuka. Wajah ibu terlihat masam. Mungkin dia tak suka melihat kehadiranku.“Mau apa lagi kalian ke sini?” tanya Ibu ketus seraya menatap sinis ke arah Hanum dan Satya.Aku sedikit terkejut melihat reaksi Ibu. Dari kalimat Ibu, aku menyimpulkan kalau ini bukan pertama kalinya Hanum dan Satya datang ke rumah ini. Mungkinkah, mereka pernah mengunjungi Ibu sebelumnya? Tetapi, kenapa reaksi Ibu seperti itu? Seolah tidak senang anak dan menantu kebanggaanya datang.“Bu ....” Kulihat Hanum hendak menyalami Ibu, tapi Ibu terlihat enggan menerima uluran tangan anak bungsunya itu. Hal yang sama juga dilakukan Ibu saat Satya hendak menyalaminya.Aku dan Mas Faisal saling pandang. Mungkin, suamiku itu juga bingung dengan sikap ibunya.

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 35

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 35POV ArumUntuk sesaat, kami saling tatap. Kami sama-sama tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut yang menyapa. “Hanum?” Akhirnya aku bisa menyebut nama itu, sambil menyerahkan barang-barang yang tadi jatuh. “Mbak ....” Hanum tampak kikuk. Aku berusaha tersenyum. “Alea, Arkan, ayo, salim sama Tante Hanum.” Kedua anakku terlihat ragu-ragu saat menyalami adik ayahnya itu. Hanum menerima uluran tangan kedua keponakannya. Kulihat, ada air menggenang di sudut mata adik iparku itu. “Kamu apa kabar, Num? Satya mana?” “Kabarku, baik, Mbak. Mas Satya lagi kerja.” “Oh.” Lagi-lagi, kami saling diam. “Num, Mas Faisal nunggu kami di toko buku. Kita k

DMCA.com Protection Status